Kamis, 25 Desember 2014

H-2

It's getting closer. I didn't even remember  what really happened in past years. Come away with me. The best is yet to be. 


Pharmindo, 25 Desember 2014. 

Minggu, 14 Desember 2014

BAJAK JAKARTA 2014

Sudah hampir dua bulan ini saya tidak mengikuti lomba lari. Terakhir, lomba yang saya ikuti adalah Mandiri Run Bandung bulan Oktober lalu. November, saya tidak ada dalam barisan starter di lomba lari manapun. Desember ini, saya mengikuti Nike Indonesia #BAJAKJKT 2014 sebagai lomba pamungkas, at least untuk tahun ini. 

TIIS JAYA RUNNER VS JKT

Persiapan menuju #BAJAKJKT saya lalui dengan lari rutin mingguan, entah di Monas, Petojo, dan Pharmindo. Tidak hanya itu, #BAJAKJKT juga menyadarkan saya untuk mendiskusikan terlebih dahulu apa yang jadi keinginan saya ini bersama sang calon istri tercinta. Dua minggu lagi kami akan menikah, sehingga waktu mendaftar untuk menjadi Pembajak Jakarta saya kurang aware bahwa ia cukup khawatir dengan keputusan saya berlomba menjelang waktu pernikahan yang semakin dekat, kalau tidak mau dibilang menghitung hari.

Setelah melalui diskusi kecil di satu rumah makan di Bogor, saya mengambil satu keputusan. Saya berusaha untuk tidak memaksakan diri dengan latihan long run. Saya masih akan setia dengan usaha saya memperbaiki personal record dan menjaga pace di 5K run.

Courtesy: @IndoRunners

Raceday. Saya melintasi garis start #BAJAKJKT 10 menit setelah bendera start dikibarkan. Telat memang karena saya masih mengantri di toilet umum. Pengaruh dari badan yang kurang fit beberapa hari belakangan pun membuat saya lebih santai untuk tidak memaksa berlari kencang di 2,5 km pertama. Saya lebih santai dan berada di wave belakang. Barisan wave belakang ini diisi pelari kelas fun run sepertinya. Mereka masih bisa berfoto selfie, memakai tongsis sambil berlari, dan bahkan berfoto dengan bajaj yang ‘dihias’ YOU VS BAJAJ ala #BAJAKJKT.

Pengalaman berlari di wave seperti itu adalah yang pertama bagi saya. Terus terang saya kurang merasa nyaman. Saya khawatir terkena tongsis dan juga perlu gesa-gesi (geser sana, geser sini) untuk menyusul pelari di depan. Alhasil, karena saya memang tidak mau berlari dengan pace 6 saya harus berjuang menyesuaikan. Saya menyayangkan pelari yang tidak membaca dengan seksama prerace guide, dimana dinyatakan bahwa pelari yang lebih lambat harus berada di jalur kiri agar pelari yang lebih cepat bisa menyusul di jalur kanan. Imbasnya, banyak pelari yang lebih cepat perlu zig-zag untuk menyusul.

Courtesy: @IndoRunners

Saya cukup memaklumi bahwa saya memang berada di wave yang crowded. Berbeda dengan Panin 10K dimana saya berada di wave depan. Saya cenderung tidak memaksakan diri berlari cepat ketika memasuki 5+ km. Saya mencoba berlari santai saja, barangkali dengan berlari bisa menghangatkan badan dan melancarkan sirkulasi darah dan udara setelah didera meriang disko.
 


Menjelang finish, papan waktu menunjukkan 1 jam 20 menit, artinya ini adalah lari 10K terburuk saya. Apapun itu, saya tidak terlalu peduli. Yang jelas saya berhasil finish dengan kondisi badan yang tidak terlalu fit. Melintasi garis finish, saya melihat Ella sudah menunggu. Dari senyumnya saya tahu bahwa ia masih mengkhawatirkan kondisi saya. Setidaknya, setelah saya finish Ella tidak perlu lagi khawatir. I’ll be there for you, cause i know you’ll be there for me too.

RACE RESULT

1399/3523 runners in Male 25+ Category & 2213/5533 Male runners, lumayan masih setengah diatas.


Lapangan Banteng-Paninggilan, 13 Desember 2014.

Senin, 01 Desember 2014

Catatan Hati Pengantin

Barangkali benar, tidak ada yang bisa menyiapkan diri kita lahir batin sebelum memasuki gerbang pernikahan. Karena memang tidak pernah ada institusi pendidikan yang membekali seseorang untuk benar-benar siap mengarungi bahteranya.



Harus saya akui bahwa membaca buku bertema pernikahan adalah satu persiapan yang baik bagi calon pengantin. Melalui buku ini, pembaca diajak menyelami gambaran perjalanan kehidupan pernikahan. Segenap jatuh bangun usaha, turun naik gelombang kehidupan, pasang surut kasih sayang, dalam keseharian pernikahan digambarkan disini.

Ada beberapa nama yang saya kenal yang berkontribusi dalam kumpulan cerita ini. Sebut saja, Novia Syahidah, penulis buku "Titip Rindu Buat Ibu" dan Sinta Yudisia yang juga penulis beberapa buku bestseller. 

Saya mendapatkan gambaran yang lebih nyata bila dibandingkan dengan buku bertema serupa "Sakinah Bersamamu", masih dari penulis yang sama. Ada sepuluh bab yang menghimpun keseharian kehidupan pernikahan. Dimulai dengan hal-hal yang utama dalam pernikahan, yaitu kesehatan dan perekonomian keluarga. Kemudian, perihal rindu terhadap pasangan dan pekerjaan rumah tangga pun jadi bab tersendiri. Selanjutnya, tidak kalah dalam penting adalah pentingnya memilih tempat tinggal serta adanya orang ketiga dalam kehidupan pernikahan.

Memasuki bab-bab akhir, pembaca dihadapkan pada hal-hal yang berkaitan dengan komunikasi situasional dalam pernikahan. Betapa komunikasi antar individu sangat berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga pernikahan. Komunikasi yang terjalin pun tidak hanya dalam lingkup keluarga kecil saja, komunikasi dengan mertua dan kerabat juga menjadi fokus yang harus diperhatikan oleh setiap pasangan. Hingga akhirnya, ditutup oleh bab mengenai kehilangan yang disebabkan oleh maut.

Pada setiap akhir bab, ada satu konklusi sebagai bahan renungan dari penulis. Perbandingan pengalaman penulis dan para pengisi cerita menjadi satu nilai plus tersendiri. Saya mengambil banyak manfaat dari buku ini. Saya jadi lebih sadar akan hal-hal yang akan saya hadapi dalam kehidupan pernikahan nanti. Terakhir, saya berterima kasih karena buku ini telah membantu saya menghadapi berbagai kekhawatiran menjelang pernikahan yang tinggal menghitung hari.


Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 30 November 2014.

Kamis, 27 November 2014

Surat dari Sanur (3)




My Dearest Ella,

Today must be a long long day for you. Saya tidak tahu apakah engkau sudah sampai ke Jakarta ketika surat ini mulai ditulis. Sejak kereta rel listrik Jakarta - Bogor selalu menyanyikan lagu yang sama. Kereta tiba pukul berapa...

Saya terbangun pagi ini dengan kalender yang menunjukkan tanggal 27 November. Tidak ada apa-apa memang dengan tanggal ini. Hanya saja, ketika saya terduduk lesu penuh kantuk di kloset, tiba-tiba saya teringat pada rencana kita satu bulan lagi sejak hari ini. Hari pernikahan kita semakin menjelang. Bagai gelombang yang menghantam karang.

Siang tadi hujan deras mengguyur Bedugul. Saya tidak mendapatkan apa-apa disana selain basah. Kami hanya menemani rekan kami dari Bhutan itu. Mereka ingin pergi ke tempat eksotis seperti itu. Saya melihat rona bahagia dari pancaran sinar mata mereka. Mereka nampak berbahagia walau hujan deras enggan berhenti sejenak. Keindahan danau yang dikelilingi Pura ini tertutup kabut pula. Mirip Situ Patenggang di Ciwidey sana.

Menjelang sore, kami pergi lagi ke Tanah Lot. Tanah Lot jadi satu tempat lagi yang ingin mereka kunjungi. Dawa menunjukkan foto-foto Tanah Lot hasil Googling kemarin. Ia minta tolong agar saya dan Pak Bambang bicara pada panitia agar diberikan waktu untuk berkunjung kesana. Akhirnya, kami pun pergi kesana. Hujan sudah reda. Namun senja seperti di Sanur kemarin memang langka adanya. Awan tebal yang entah kumolonimbus atau stratokumulus menghalangi keindahan senja. 

Malam ini, bulan sabit bersinar terang. Seperti menggantung di atas lautan tenang. Saya tidak tahu apakah engkau disana memandangi bulan sabit yang sama di langit yang sudah terlalu tua. Saya berjalan-jalan sebentar di tepi pantai usai makan malam. Saya harus mengakui bahwa saya pun mengalami tekanan untuk menyiapkan hari pernikahan kita. 

Dolly Parton pernah bilang, "If you want the rainbow, you gotta put up with the rain." Tidak ada sesuatu yang instan di dunia ini kecuali lautan yang membelah ketika Musa menyeberanginya atas izin Tuhan. Jika kita ingin melihat pelangi di ujung sana, kita harus melalui dan membiarkan hujan berlalu terlebih dahulu. Saya berharap, apapun yang kita usahakan-dengan segala kekhawatiran-akan menjadi pengantar yang sempurna bagi pelangi di ujung senja. Nanti, satu putaran purnama lagi.

Seperti biasa, bersama surat ini juga saya kirimkan riak debur ombak yang menghantam karang di Tanah Lot. Rinduku, lebih dari itu.

Selamat malam kekasihku, semoga malam indah temani nyenyaknya tidurmu.

Penuh rindu,


Affectionately yours.


Tanah Lot-Sanur, 27 November 2014.
H-30

Rabu, 26 November 2014

Surat dari Sanur (2): Episode Senja



Selamat malam kekasihku,

Akhirnya, saya menjumpai senja pertama di Sanur. Tadi pagi hujan deras dan siang begitu panas. Usai kelas sore tadi, saya berlari seperti biasa. Kemudian, masih dengan keringat yang bercampur asin laut, senja tiba perlahan. Mendekatkan cahayanya yang selalu menimbulkan perasaan ajaib. 

Rasanya, saya tidak perlu jadi seorang Sukab. Menggunting sepotong senja untuk kemudian mengirimkannya pada satu yang terkasih, Alina. Saya rasa saya tidak akan melakukannya untukmu. Bahaya besar akan menimpa umat manusia bila sampai senja di Sanur saya gunting dan paketkan supaya engkau bisa memajangnya di meja kerjamu. 

Cintaku,

Hari ini semua modul sudah selesai disampaikan. Artinya, tugas instruktur sudah selesai walau masih harus memeriksa ujian Jum'at esok. Percayalah, bahwa aku pun sebenarnya ingin pulang saja dan segera menemuimu. Berbincang santai denganmu seraya menyelesaikan semua persiapan untuk pernikahan kita nanti yang tinggal menghitung satu purnama lagi. 

Senja ini menuntun pada lamunan tentangmu. Sejauh mana pun saya berlari, ia akan selalu menuntun kepadamu. Saya memang terlalu angkuh untuk mampu menuturkan kata lewat jaringan Indosat. Tapi jangan sekali-kali engkau pikir aku tidak pernah ingin berusaha ada di dekatmu. Membenarkan letak kerudungmu sambil menemanimu minum teh. Ya, kalimat itu tadi sengaja saya adaptasi dari puisi Soe Hok Gie. Beruntung kita masih diberkahi dua jemari yang sehat untuk memijat layar sentuh yang juga ajaib itu. 

Ella yang baik,

Sejenak saya termenung di hadapan laut yang membentang. Langit masih berwarna keunguan. Laut yang terhampar dan bergelora itu mengajari saya bercermin. Tubuh kita ini hanya perahu pada dunia dan angin waktu. Entah, suasana senja yang selalu menghadirkan perasaan menakjubkan ini membuat diri saya terkesiap dan tiba pada pikiran seperti itu. Entah apa maknanya, saya harap Ella mengerti, satu saat nanti. 

Disini, saya kirimkan juga potret senja sore tadi. Kiranya, engkau mampu menafsirkan sendiri senja macam apa yang mampu menenangkan dalam riak gelisah berulang. Apakah senja serupa dengan kesedihan yang sama, bila hanya untuk dinikmati sendirian?

Penuh cinta dan peluk hangat,


Afrectionately yours. 



Sanur, 26 November 2014. 
Teringat pada cerpen "Sepotong Senja Untuk Pacarku"

Selasa, 25 November 2014

Surat dari Sanur




Dear Ella,

Belahan jiwaku, apa kabarnya engkau disana? Apa ada bedanya satu purnama di langit Jakarta dengan di Sanur? Walaupun bulan belum purnama, bayangkan saja pertemuan Cinta dan Rangga yang ternyata tidak lagi shooting di Soekarno-Hatta. Seperti halnya demam Korea,  mereka juga shooting di Incheon Airport. Satu airport hebat di benua kita ini. Saya mengalaminya sendiri. Engkau pun tahu itu.

Denting waktu rupanya berjalan merambat cepat di Sanur. Matahari terbit lebih awal. The sunrise always reminds me of you. Merekah seolah senyum yang menyapa pagi saya disini. 

Saya belum mencoba lari pagi disini. Tapi kemarin sore, saya sudah berlari di sekitar pantai. Tak perlu repot, saya hanya perlu pergi berlari lewat belakang hotel. 

Perlu Ella tahu, keringat saya disini bercampur dengan angin laut. Radanya sedikit asin. Bila engkau disini, pasti tahu macam apa aroma badan saya ini. 

Hari ini saya dibuat percaya lagi bahwa hukum tabur tuai itu ada. Dua tahun lalu, saya dengan gagahnya menjadi seorang perwakilan untuk mengikuti training SMS di Medan. Tinggal di kamar deluxe hotel bintang lima selama seminggu. Saya tidak pernah menyangka bahwa setahun kemudian saya menjadi seorang fasilitator di training serupa. 

Tahun ini, saya dipercaya untuk menjadi instruktur. Saya diberi tanggung jawab untuk menyampaikan tiga modul materi. Hazards, SMS Introduction, dan SMS Regulations. Seorang rekan sekelas alumni Medan dua tahun lalu juga ikut jadi instruktur. Kami bertiga berusaha memberi apa yang kami tahu sekaligus menambah jam terbang. 

Malam ini, diiringi nyanyian desir lembut ombak di pantai, saya merenungi hal ini. Kita memang tidak pernah benar-benar tahu apa nasib waktu. Kita tidak pernah tahu kemana angin berhembus. Persimpangan takdir telah membawa saya pada sebuah pengalaman. Seperti yang sedang saya alami saat ini. 

Ella yang baik,

Usai percakapan kita malam ini, ada sesuatu yang tidak pernah bisa saya bendung. Rindu. Rindu pada binar mata juga hangat senyummu. Kelak, itulah yang akan selalu membawa saya pulang. 

Seperti kata seorang penyair, rindu adalah belajar memeluk, sekalipun tak nampak di pelupuk. Izinkanlah saya mengakhiri surat ini dengan sebuah pelukan paling hangat. Semoga mampu menghangatkan malam di peraduanmu usai hujan di langit Jakarta yang tak pernah tua. 


Peluk rindu,



Affectionately yours. 



Sanur, 25 November 2014. 
dihujam rindu, di pinggir pantai. padamu

Kamis, 13 November 2014

The Joseon Shooter


Satu drama lagi setelah Emergency Couple yang menemani malam saya di Incheon adalah The Joseon Shooter. Drama ini juga dikenal dengan judul Gunman in Joseon. Selama di Incheon saya menghabiskan dua episode awal drama sepanjang 22 episode ini. Yang saya ingat pada akhir episode kedua, Park Yoon Kang tertembak pasukan kerajaan yang mengejarnya. Dari preview episode ketiga, Park Yoon Kang kembali ke tanah airnya dengan penampilan dan identitas yang berbeda. Ia terlihat mahir menggunakan pistol.

Park Yoon Kang diperankan oleh Lee Joon Ki, yang sebelumnya juga bermain dalam drama romantis bercorak kolosal “Ahrang and The Magistrate” bersama Shin Min Ah. Sedangkan, Nam Sang Mi yang jadi lawan main Lee Joon Ki, memerankan Jeong Soo In.

Pada konferensi pers saat drama ini dirilis, Lee Joon Ki mengaku tidak mengalami kesulitan berarti selama proses pengambilan gambar. Ia mengaku tidak dibebani karena harus mengenakan hanbok selama waktu shooting. Berbeda dengan Nam Sang Mi yang agak kesulitan karena harus menggunakan hanbok setiap saat. “Ahrang and The Magistrate” kiranya membuat Lee Joon Ki lebih mudah beradaptasi. Apalagi, tempat shooting yang sama dengan The Joseon Shooter semakin membuatnya leluasa.   


The Joseon Shooter mengangkat cerita pada satu linimasa di Korea (Joseon) dimana penggunaan pedang sebagai alat peperangan dan pertahanan diri sudah mulai ditinggalkan. Pengaruh masuknya Amerika Serikat ke Jepang turut mendorong penggunaan pistol dan senapan laras panjang sebagai senjata. Pengaruh penggunaan senjata di ketentaraan Dinasti Qing (China) juga turut mendorong Joseon untuk mulai meninggalkan pedang sebagai senjata utama.

Pada masa itu,  Joseon mengalami masa pancaroba dalam bidang pemerintahan dimana kaum reformis bersengketa dengan kaum konservatif yang berkuasa di parlemen. Hubungan kelompok konservatif juga mendapat dukungan dari para pedagang untuk melancarkan jalan mereka dalam menguasai perdagangan di seluruh negeri. Ketegangan ini menyebabkan terbunuhnya beberapa pemuka kaum reformis yang ditembak oleh penembak gelap. Kejadian ini menimbulkan kekhawatiran di kubu reformis. Kerajaan pun segera bertindak untuk menemukan pelaku penembakan.

Ayah Park Yoon Kang, Park Jin Ha sebagai Kepala Pengawal Kerajaan mendapatkan tugas dari Raja untuk memburu penembak misterius. Dalam perjalanannya, ia sempat berhadapan langsung dengan si penembak misterius. Ia juga mendapat beberapa kali kesempatan untuk membunuh si penembak. Karena jalan cerita drama ini masih panjang, maka Park Jin Ha terbunuh dalam duel dengan si penembak.

Kematian ayahnya membuat Park Yoon Kang ingin membalas dendam pada si penembak misterius. Belum sempat bertindak, kubu konservatif berhasil mempengaruhi Raja dan menganggap Park Jin Ha sebagai pengkhianat kerajaan. Hal itu menyebabkan Park Yoon Kang sekeluarga mendapat hukuman. Dalam pelariannya bersama Soo In, Yoon Kang tertembak ketika berusaha kabur melalui jalur laut.

Nam Sang Mi <3 br="">

Tidak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Soo In yang mulai menumbuhkan perasaan pada Yoon Kang. Begitu juga dengan Yoon Kang. Usai tertembak, tidak ada yang tahu kemana Yoon Kang pergi. Hingga suatu saat satu kapal Jepang berlabuh di Joseon. Nampak seorang yang mirip Yoon Kang menembak pelaku kerusuhan di pelabuhan. Sebuah comeback yang dramatis, IMO.

Yoon Kang kembali ke Joseon dengan identitas sebagai Hasegawa Hanjo, pedagang dari Jepang yang bertugas menjalin hubungan dengan pedagang dari Joseon. Kesempatan ini sengaja ia manfaatkan untuk mencari tahu siapa penembak yang membunuh ayahnya. Agenda lainnya, ia harus menemukan adiknya yang dijual menjadi budak.

Choi Won Sin VS Hasegawa Hanjo

Selama masa tinggal di Joseon, Hanjo banyak berinteraksi dengan kepala kelompok pedagang terkemuka, Choi Won Sin. Keduanya saling curiga. Hanjo menaruh curiga karena Choi Won Sin mempunyai luka di tangan kirinya seperti yang diceritakan ayahnya usai bertarung dengan si penembak. Choi Won Sin pun mencurigai Hanjo sebagai Yoon Kang yang menyamar.

Soo In dan adik Yoon Kang merasa kaget ketika menemui Hanjo. Keduanya menganggap Hanjo adalah Yoon Kang. Pergolakan dalam batin Yoon Kang tidak tertahankan. Tapi demi membalas dendam atas kematian ayahnya, ia menguatkan dirinya sendiri agar tidak terbawa emosi. Soo In pun meyakinkan dirinya sendiri bahwa suatu saat Yoon Kang akan kembali dan kelak mereka akan bisa hidup bersama tanpa ada rasa khawatir seperti saat ini.

Hanjo sendiri merancang beberapa skenario dalam usahanya untuk menemukan si penembak misterius yang tak lain adalah Choi Won Sin. Kubu konservatif yang berada di belakang Won Sin selalu mendesaknya untuk segera menghabisi siapa saja yang menghalangi langkah mereka. Namun, revolusi selalu menelan anaknya sendiri. Sang pemimpin konservatif akhirnya mati ditangan Won Sin karena ia sudah tidak tahan atas perintahnya.

Choi Won Sin & Choi Hye Won

Won Sin sendiri mendapat dukungan dari Wakil Perdana Menteri untuk membuat Departemen Perdagangan. Dengan begitu, ia dapat menguasai perdagangan di seluruh negeri. Intrik-intrik politik dan kekuasaan semakin merajalela karena Raja pun tidak mampu berbuat apa-apa. Raja sendiri merasa berhutang budi pada Won Sin dan anaknya, Choi Hye Won, yang menyelamatkan Raja ketika terjadi pemberontakan yang didalangi kaum reformis.

Setelah melalui berbagai usaha, akhirnya identitas Yoon Kang terungkap. Ia kembali jadi buronan kerajaan. Puncaknya, Yoon Kang berhadapan langsung dengan Won Sin, si pembunuh ayahnya. Keduanya sengaja bertemu untuk duel. Yoon Kang berhasil melumpuhkan Won Sin dan punya kesempatan untuk membunuhnya. Park Yoon Kang tidak membunuh Choi Won Sin. Ia merasa tidak ada gunanya. Ayahnya pun tidak akan kembali dengan kematian Choi Won Sin. Choi Won Sin pun bunuh diri. Seperti dapat ditebak, Park Yoon Kang dan Jeong Soo In kembali bersatu.

Catatan Seorang Penulis Dadakan



Drama sepanjang 22 episode ini berhasil dalam membangun karakter tokoh-tokoh pemerannya. Hanya saja, plot menjadi bercabang ketika intrik politik dan kekuasaan menjadi sentral jalan cerita. Walau begitu, benang merah yang terjalin antar konflik balas dendam dengan intrik-intrik tersebut kembali mewujud dalam rangkaian cerita yang happy ending, sebagaimana drama romantis pada umumnya.

Walaupun kecenderungan untuk menumbuhkan perasaan ‘heartwarming’ tidak begitu kuat kiranya pelajaran utama dari The Joseon Shooter adalah cinta kasih dan pengorbanan. Tak terhitung berapa kali sudah Yoon Kang membahayakan dirinya demi menyelamatkan orang-orang terdekatnya. Pun, Choi Won Sin yang sangat menyayangi Hye Won dan tidak ingin nasib buruk mereka di masa lalu terulang.

Sulit untuk memilih scene mana yang jadi pilihan favorit saya. Seperti Shin Min Ah, Nam Sang Mi berhasil merebut perhatian saya (karena sepenuh hati ini sudah jadi milik @farida_ella :D ). Aktris berusia 30 tahun ini mempunyai karakter yang kuat, terlihat pada adegan dimana Soo In dan ayahnya diinterogasi oleh Mahkamah Kerajaan. Soo In yang kesakitan terlihat tegar menghadapi dera dan siksa.

Personally, drama ini sukses membuat perasaan penonton seperti saya turun naik. Saya suka dengan intensitas cerita dalam drama yang saya tamatkan selama kurang lebih dua minggu. Naik turunnya cerita ini adalah buah dari pengembangan karakter masing-masing tokoh. Ceritanya pun tidak selalu bertutur tentang bagaimana sebuah revolusi berlangsung dan bagaimana dendam yang berhasil dibalaskan.

The Joseon Shooter punya ending yang tidak terlalu sulit ditebak. Pada akhirnya, kebaikan akan selalu menang. Revolusi selalu memakan anaknya sendiri, begitulah yang terjadi dengan kaum konservatif yang berusaha mempertahankan status quo. Dari sisi sejarah, drama kolosal ini memberikan wawasan tentang kondisi geopolitik di poros semenanjung China-Korea-Jepang saat itu serta implikasi masuknya pengaruh Barat dalam kehidupan masyarakat mereka.

Akhirul kalam, The Joseon Shooter layak dinikmati oleh kalangan remaja hingga dewasa. Banyak hikmah dan pelajaran tata negara yang bisa diambil dari drama ini. Tuntutlah ilmu walau hanya dari sepenggal drama Korea, kiranya tidak terlalu salah.

 
Judul         : The Joseon Shooter
Pemeran   : Lee Joon Ki – Park Yoon Kang; Nam Sang Mi – Jeong Soo In; 
                   Jeon Hye Bin – Choi Hye Won; Yoo Oh Seong – Choi Won Sin; 
                   Han Juwan – Kim Ho Kyeong
Durasi        : 22 Eps
Produksi    : KBS

 
Medan Merdeka Barat, 13 November 2014.

Rabu, 12 November 2014

12 Tahun AADC

Adalah cinta yang mengubah jalannya waktu
Karena cinta, waktu terbagi dua
Denganmu dan rindu, untuk membalik masa


Dua tahun lalu, saya menemukan sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan dua belas tahun lalu. Finally, tahun ini Rangga dan Cinta mengalaminya. Dua belas tahun jarak waktu dan ruang membentang akhirnya kembali tayang. Apa hubungannya? Abaikan. Apapun itu, kita harus berterimakasih pada perusahaan developer aplikasi chatting yang sengaja mengumpulkan The Signature of 2002. Minus Dennis Adhiswara.


Ada Apa Dengan Cinta akhirnya kembali tayang. Meski dalam format mini drama yang habis ditonton sekali duduk. Biarpun begitu, AADC versi 2014 ini membuat para muda-mudi yang mengalami masa-masa bangkitnya perfilman Indonesia medio 2002 silam,  kembali mengenang masa keemasan paling indah dalam hidup mereka (Saya sih iya. Kamu?). Mini drama ini seakan ingin menjawab pertanyaan atas segenap rasa penasaran kita, “12 tahun ini Rangga dan Cinta ngapain aja?”.

Rangga terlalu sibuk, mana sempat ingat sama Cinta.
Dimulai dengan Rangga yang disela kesibukannya harus menyempatkan diri pulang ke Jakarta demi urusan pekerjaan. Well said. Rangga kini sudah jadi pekerja kreatif yang (nampaknya) sukses di New York sana. Ukurannya apa? Rangga bisa dapat penugasan ke luar negeri dari kantornya.

Sambil menyiapkan bekal perjalanan tugasnya, tak sengaja Rangga menjatuhkan buku “Aku” karya Sjuman Djaya. Ini pasti sebuah konspirasi besar alam semesta untuk mengembalikan ingatan Rangga pada Cinta.

The Gang: Friendship never ends
Cinta sendiri (barangkali) menjalani pekerjaan impiannya. Sambil sesekali berkumpul bersama geng SMA, Alya, Maura, Milly, dan Carmen; yang tentunya sudah punya hidup masing-masing juga. Saat itu juga, Rangga menemukan kembali Cinta lewat fitur aplikasi chatting yang terkenal gara-gara stikernya itu. Rangga yang terkenang masa lalu bersama Cinta, mengirim pesan langsung ke ponsel  Cinta. Sejenak, Cinta merasa aneh karena ia tidak mengenal Rangga yang lain. Alhasil, pesan Rangga itu berhasil mengoyak jala memori dalam ingatan Cinta.


Rangga berusaha menemui Cinta dalam perjalanannya ke Jakarta. OK, sampai disini barangkali juga pembaca sudah mafhum bahwa beredar kabar hoax yang menyatakan bahwa Cinta sudah tidak lagi tinggal di Jakarta tapi di Bekasi, lalu Rangga mencoba menyamar menjadi agen MLM untuk mendekati kembali Cinta. Prelude yang bagus untuk rehat sejenak dari kebosanan rutinitas :p.


Rangga terus menerus mengirimi pesan pada Cinta. Pesan yang percuma saja karena tidak terbalas. Cinta sendiri bukannya tak ada usaha.  Ia mencoba meyakinkan perasaannya kembali pada Rangga. Satu sisi, ia tidak ingin memberikan harapan apa-apa untuk Rangga. Namun, sisi lain hatinya pun merasa ingin melangkah dan melanjutkan hidup tanpa bayang-bayang masa lalu (baca: Rangga).

Rangga dan Cinta bakal ciuman lagi?

Memang dasarnya sekuel mini ini berbasis drama, selalu ada kejutan menjelang akhir cerita. Lupakan sejenak pesan sponsor. Cinta memutuskan untuk tidak menjawab pesan-pesan Rangga. Rangga pun sudah patah harapan untuk bertemu Cinta. Keajaiban itu nyata bagi mereka yang meyakininya. Sepertinya doa Rangga didengar Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan Maha Pembulakbalik Hati, yang akhirnya mengirim Cinta untuk menemui Rangga. Lagi-lagi, menjelang waktu keberangkatan Rangga.

Detik tidak pernah melangkah mundur,
Tapi kertas putih itu selalu ada.
Waktu tidak pernah berjalan mundur,
Dan hari tidak pernah terulang.
Tetapi, pagi selalu menawarkan cerita yang baru.
Untuk semua pertanyaan, yang belum sempat terjawab.


“Jadi, beda satu purnama di New York dan di Jakarta?” Pertanyaan akhir yang menutup cerita. Kiranya, penonton harus kembali menunggu jawaban apa yang akan Rangga berikan pada Cinta.

Gugatan Seorang Penulis Dadakan

Saya termasuk dalam generasi emas yang ikut mengalami fenomena Ada Apa Dengan Cinta jilid pertama. Saya juga termasuk dalam golongan pembaca yang ikut penasaran dengan buku “Aku” tulisan Sjuman Djaya namun batal membelinya di toko buku. Saya masih kelas 1 SMA ketika Cinta memberikan ciuman perpisahan pada Rangga. Film ini seakan mewakili keberadaan entitas kami di dunia yang tak pernah selebar daun kelor ini.

Kembalinya kisah Rangga dan Cinta ini sempat saya ketahui dari judul headline sebuah portal berita online. Katanya, pemeran AADC-minus Dennis Adhiswara @omdennis- kembali reuni untuk promosi sebuah produk. Saya tidak lantas membaca berita itu lebih lanjut karena tidak menyangka bahwa reuni mereka akan berakhir dengan sebuah rilis mini drama.

Weekend minggu lalu, saat Persib bersiap merayakan keberhasilannya menjuarai Liga Indonesia, saya dikejutkan dengan rilis sekuel AADC yang bisa ditonton di Youtube. Saya tidak menyangka bahwa akan ada konspirasi besar antara pemilik modal (sebut saja perusahaan pengembang aplikasi chatting berwarna hijau) dengan reuni pemeran AADC.


Saya bersyukur karena akhirnya tidak lagi penasaran, apakah Rangga berhasil melalui satu purnama tanpa Cinta nun jauh disana. Buktinya, keduanya baik-baik saja tanpa harus saling mengingat, hanya dengan menjalani hidup masing-masing saja. Tetapi, kita memang tidak pernah tahu apa nasib waktu. Kita tidak pernah benar-benar paham bagaimana persinggungan takdir mempertemukan kita dengan seseorang, lantas akrab lengket seperti ketan, kemudian kembali berpisah atas nama takdir pula.

Melalui mini drama ini, kita kembali dihadapkan pada Cinta yang masih mengalami peer pressure dari keempat sahabatnya. Lupakan Rangga, cari yang lain saja. Begitu kata mereka *kecuali Alya*  yang merasakan kegundahan Cinta. *peluk Ladya Cheril*. Cinta terlihat seperti yang tidak mau cari ‘gara-gara’ dengan Rangga namun akhirnya mengalah pada perasaannya dan menemui Rangga di saat-saat terakhir langkah Rangga di Jakarta. Pelajarannya, barangkali Dian Sastro dan Nicholas Saputra ingin berpesan bahwa tidak baik memberikan harapan palsu pada seseorang kecuali kamu sudah seganteng dan secantik mereka berdua. #justsaying

Alya, aku juga pengen kita mulai dari awal lagi *digetok Mira Lesmana*

12 tahun waktu berlalu dan mereka berdua asyik dengan hidup masing-masing dan hanya dihabiskan dengan pertemuan singkat di akhir cerita. Keduanya tidak sama-sama berusaha untuk menjalin kembali apa yang telah mereka mulai. Kalau saat itu umur mereka 18 tahun, berarti mereka sekarang sudah berumur 30 tahun. Waktu yang cukup dari ideal untuk mempersatukan tali cinta abadi. Hal ini menandai satu fenomena bahwa kaum muda di Ibukota baru memulai untuk menjalin hubungan serius di penghujung umur 20-an mereka. Tentu, perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesis dadakan saya ini.

Kemasan mini drama sekuel ini rasanya cukup baik dengan polesan scoring yang tepat. Dibuka dengan puisi Rangga, diiringi instrumen lagu-lagu official soundtrack, dan ditutup dengan puisi Rangga dan Cinta. Perlu ada analisis tersendiri pula mengapa lagu ‘Demikianlah’ menjadi dominan di akhir cerita. Apa karena ada liriknya yang berkata: “kata orang rindu itu indah”, sehingga Rangga dan Cinta butuh waktu lagu untuk menikmati kebersamaan mereka dalam bentangan jarak dan waktu? Semoga kita tidak perlu menunggu hingga 12 tahun lagi untuk mendapatkan jawaban.

Terakhir, andai saya jadi Rangga saya akan menjawab pertanyaan Cinta.

“Jadi, beda satu purnama di New York dan di Jakarta?”

Saya akan menjawab:

“Cinta, percayalah, bahwa ketika engkau menatap purnama di langit Jakarta, aku pun menatap purnama yang sama di langit New York” *keselek duren*



Paninggilan, 12 November 2014.
menatap nanar pada gerimis, rindu

Jumat, 31 Oktober 2014

Sebelum Maghrib

Ketika Yoon Kang menatap dalam pada dua mata Soo In, percayalah.
Aku pun menatap dua matamu yang berbinar.
Rindu, adalah memeluk yang tak nampak di pelupuk. 
#sajaksebelumMaghrib




Medan Merdeka Barat, 30 Oktober 2014. 
usai tamat 22 episode The Joseon Shooter

Kamis, 30 Oktober 2014

Emergency Couple (Korean Drama)

Menjelang keberangkatan saya ke Incheon bulan Juli lalu, saya menonton satu dari 21 episode drama ini di Channel M. Saya sudah lupa episode ke berapa. Saya tidak terlalu ingat kecuali waktu tayangnya di akhir pekan. Setibanya saya di Incheon, lewat stasiun televisi tvN, saya kembali menonton Oh Chang Min yang berusaha merebut hati Oh Jin Hee, mantan istrinya. Saya juga lupa episodenya.



Rasa penasaran akibat serial drama yang tak tuntas ditonton akhirnya menuntun saya untuk pergi ke toko DVD langganan dan membeli copy bajakan drama ini. Saya memang lebih suka drama  Korea semacam ini. Temanya jelas. Masih berujar tentang cinta. Namun, kehidupan seputar para dokter yang bekerja di IGD rumah sakit tentu menjadi daya tarik sendiri.

Emergency Couple (EC) mengingatkan saya pada drama bertema sama sebelumnya, “Surgeon Bong Dal Hee” (SBDH). Seperti sudah disinggung sebelumnya, EC bercerita tentang kehidupan romantika para dokter dan pekerja di Instalasi Gawat Darurat, sedangkan SBDH mengangkat kisah para dokter magang dan dokter spesialis di Instalasi Bedah.

Yang menarik, Choi Yeo Jin, yang sempat berperan sebagai Cho Ah Ra di SBDH, kembali bermain di EC dan berperan sebagai dokter spesialis, Sim Ji Hye. Saya senang melihatnya kembali bermain dalam drama bertema sama. She’s growing up now and looks so mature.

Emergency Couple mengisahkan Oh Chang Min dan Oh Chang Hee, pasangan yang disatukan oleh takdir, lantas dipisahkan dan dipertemukan kembali. Pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Kematangan emosi mereka belum teruji kala menghadapi berbagai masalah dalam keseharian pernikahan mereka. Ketika sudah tak tertahankan makan perceraian menjadi pilihan mereka. Mereka berdua menjalani hidupnya masing-masing. Oh Jin Hee mendapat dukungan mantan ayah mertuanya untuk melanjutkan ke sekolah kedokteran. Begitu juga dengan Oh Chang Min.


Komplikasi cerita meninggi ketika Oh Chang Min dan Oh Jin Hee berada dalam kelompok yang sama dalam program dokter magang. Oh Chang Min jelas kaget dan tidak menyangka akan bertemu lagi dengan mantan istrinya. Perasaan awkward diantara mereka berdua selalu menjadi bahan pertanyaan teman-teman sekelompok mereka. Terutama, Han Ah Reum yang menyimpan rasa pada Oh Chang Min.

Dalam menjalani program magang, kelompok mereka berada dalam pengawasan Dokter Kepala, Gook Cheon Soo. Dokter ini dikenal sebagai dokter bertangan dingin dengan attitude yang hampir sama, dingin. Semua berubah ketika Oh Jin Hee mulai terlibat beberapa urusan dengan Dokter Kepala. Oh Chang Min pun sempat dibuat cemburu. Namun, ketika Oh Jin Hee mendapat ancaman pemecatan, Oh Chang Min meminta tolong kepada Pamannya untuk membujuk Kepala Rumah Sakit tempatnya bekerja untuk membatalkan hukuman kepada Oh Jin Hee.

Konflik semakin meninggi ketika Oh Jin Hee yang sedang menikmati perasaannya bersama Dokter Cheon Soo, dihadang oleh Oh Chang Min. Ia bertekad untuk mendapatkan Oh Jin Hee kembali. Dokter Kepala menanggapinya biasa saja. Namun, ia harus akui bahwa ada beberapa hal yang berbeda. Terlebih, ketika Sim Ji Hye, mantan kekasihnya menjadi sesama dokter kepala partner di IGD. Kenangan masa lalu bersama Sim Ji Hye sempat membawa Gook Cheon Soo terhanyut. Sim Ji Hye sendiri cukup sadar bahwa ada sesuatu antara Cheon Soo dengan Jin Hee.


Personally, drama ini cukup memberi wawasan ringan seputar kehidupan pernikahan. Bahwa kedewasaan dan kematangan emosi adalah hal yang sangat penting untuk dimiliki setiap pasangan. Saling mengerti dan memahami adalah sebuah perjalanan. It’s not just a destination, it’s more than a journey.

Melalui drama ini juga saya mendapat pemahaman bahwa perceraian masih menjadi satu ‘aib’ dalam tatanan kehidupan bermasyarakat di Korea sana. Setiap pasangan yang bercerai kelak akan mendapat judgement dari lingkungan di sekitarnya sebagai pasangan yang telah melakukan kesalahan. Khusus untuk hal ini, saya pernah mendapat pengalaman ketika berbicara soal mantan kekasih dengan seorang rekan peserta seminar di Kuala Lumpur setahun yang lalu. Esoknya, rekan saya itu tidak lagi seramah saat jumpa pertama.

Adegan yang saya suka dari Emergency Couple adalah ketika Cheon Soo mabuk dan sengaja pulang ke rumah Ji Hye lalu mereka berdebat sebentar. Belum lama tertidur, Ji Hye menyiram air Cheon Soo karena ia menganggap Cheon Soo tidak mengerti perasaannya. Kalau saya menonton lagi drama itu, scene ini pasti akan selalu saya putar ulang.

Ending dari drama ini juga dapat ditalar kemungkinannya. Apakah Oh Chang Min akan berhasil meyakinkan Oh Jin Hee untuk menikah kembali. Atau malah Oh Jin Hee yang berlabuh pada Gook Cheon Soo. Atau malahan tidak ada satu pun dari mereka yang berhasil menjalin tali cintanya.

Anyway, drama yang tayang sejak Januari hingga April 2014 ini menyajikan sebuah gambaran realita yang mungkin saja ada di sekitar kita. Jalinan takdir hanya tinggal menunggu waktu saja untuk menampakkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Tak jarang ada berbagai macam kejutan dan keajaiban singgah. Waktu pula yang akan menguji sejauh mana kekuatan cinta akan bertahan. Catatan terakhir, main song “Scent of A Flower” yang dibawakan Lim Jeong Hee dalam Original Soundtracknya pun punya makna lirik yang sangat dalam.

Judul         : Emergency Couple
Pemeran   :  Song Ji Hyo – Oh Jin Hee; Choi Jin Hyeok – Oh Chang Min; 
                    Lee Pil Mo – Gook Cheon Soo; Choi Yeo Jin – Sim Ji Hye; Clara – Han Ah Reum
Tayang      : 21 Eps./ tvN


Pharmindo-Paninggilan, Agustus-Oktober 2014.

Selasa, 28 Oktober 2014

Dua Komik Indonesia: Bengal & Chibi Attack

Seiring dengan perjalanan waktu, kini mulai bermunculan komikus lokal yang mampu menerbitkan karya mereka. Entah melalui penerbit lama yang sudah lebih dulu eksis ataupun lewat penerbit baru yang tengah mencari ceruk pasar. Apapun itu, kreativitas komikus lokal kini bisa lebih dinikmati khayalak luas. Situasinya jauh berbeda dengan 5-6 tahun lalu ketika saya membuat skripsi yang bertema komik Indonesia.

Kemunculan mereka membawa variasi kreatif terhadap visualisasi bentuk komik yang mereka buat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa adaptasi bentuk karakter masih mengikuti komik Jepang (manga). Manga asal Jepang ini memiliki pengaruh yang kuat terhadap banyak komikus di Indonesia. Visualisasi objek yang lebih sederhana dibandingkan komik Amerika maupun Eropa adalah satu kelebihan tersendiri.


Seperti pada komik "Bengal", Bayu Indie, sang komikus, membuat visualisasi karakter tokohnya dengan detail mendekati sempurna (karena hanya Nabi yang bisa sempurna v^_^v). Dari segi cerita, adaptasi alur filmis dalam komik ini menarik. Pembaca digiring memasuki jalan cerita yang entah awalnya darimana menuju ending yang masih belum jelas. Komik semacam menandai kemunculan era baru komik Indonesia, in my opinion.

Overall, saya suka jalan cerita komik ini. Cara si komikus dalam mengungkapkan idenya dalam bentuk gambar perlu diberikan apresiasi tersendiri. Masih jarang komikus lokal yang mampu membuat komik penuh dan utuh semacam ini. Saya juga suka setiap kejutan dan insert-insert kecil yang cukup mampu membuat pembaca tersenyum kecil.

Chibi Attack


Komik ini merupakan kumpulan komik 4 kolom yang terdiri dari 4 judul dari 4 komikus, dengan judul:

- Eri-chan
- Chocopetoc
- Bocah-Bocah Bangor
- Valkreon

Kalau boleh berkomentar, saya tidak terlalu suka judul pertama. Saya suka bagian kedua, ketiga, dan keempat komik ini. To be honest, personally, saya tidak begitu suka dengan imaji tokoh komik pada bagian pertama. Bentuk karakternya seperti dalam komik Shinchan, in my opinion.

Pada bagian 2,3, dan 4, saya suka bagaimana komikusnya membuat sekuen cerita/storyline. Jadi, walaupun tiap panel berdiri sendiri, tetap membentuk satu kesatuan cerita yang utuh. Bagaimanapun itu, saya menaruh respek pada para komikus yang terlibat didalamnya. Patut dinanti karya-karya mereka selanjutnya.

Maju terus komik Indonesia!


Pharmindo-Grand Mercure Jakarta Kota, 28 Oktober 2014
disela-sela Flight Standards Rulemaking Meeting

Minggu, 26 Oktober 2014

We Are: Monas Runners

Berawal dari sebuah posting di Facebook dan komentar-komentar dari sesama rekan sepelarian di Monas kami membentuk sebuah grup via WhatsApp. Sepakat menamakan diri Monas Runners karena memang anggotanya adalah pengunjung setia Monas untuk berlari.  Lalu, sehari setelah pelantikan Presiden, Monas Runners mengawali langkah lari pertama.





4 dari 13 member grup memeriahkan First Run alias Monas Runners launching.   Wanna join? If you meet one of them, please don't hesitate to say hi. Come and run together. 


Medan Merdeka Barat, 21 Oktober 2014. 

Minggu, 12 Oktober 2014

Mandiri Run Bandung 2014

Life can pull you down but running will lifts you up. 
- Jenny Hadfield

Finally, i'm running back in Bandung. As you might see, saya sudah lama tidak turun berlomba. Lomba terakhir saya adalah Pocari Sweat Run Jakarta pertengahan Mei lalu. Selebihnya, saya hanya berlomba dengan diri saya sendiri. Mandiri Run edisi Bandung hari ini adalah lomba kedua saya tahun ini di Bandung setelah Bandung Love Run, Februari kemarin. 


Saya cukup excited dengan lomba kali ini. Paket racepack yang cukup lengkap dan segenap kemeriahan di karnaval nusantara (seperti acara serupa di Jakarta) adalah bonus tersendiri bagi para peserta. Saya boleh memberi nilai lebih tersendiri untuk running shirt yang pada lomba ini diendorse oleh League. Pun, BIB tipis yang melekat pada material kertas. 

Rute lomba juga dibuat senyaman mungkin untuk 5K dan 10K. Udara pagi Bandung yang dihembuskan pepohonan di sekitar jalur lomba adalah teman yang baik untuk para pelari. 

Lomba hari ini cukup rapi dari sisi penyelenggaraannya. Marshall lomba waspada di setiap titik persinggungan jalur lalu lintas. Pada beberapa area juga dibuat pembatas jalur bagi pelari agar tidak mengganggu lalu lintas. Walau masih saja pengendara banyak yang tidak sabar ketika pelari harus dihentikan oleh Marshall. Tempat sampah untuk gelas di water station cukup banyak walau hanya berbentuk plastic bag besar. 

The Worst Race Ever

Personally, hari ini adalah my worst race ever. Hari lomba terburuk untuk saya. Saya tidak membawa BIB yang saya siapkan semalam. Barangkali karena saya salah tidak menyimpannya langsung ke dalam tas. Saya baru menyadarinya ketika sudah berada di Jl. Pajajaran. Butuh waktu 15 menit untuk kembali ke rumah. Padahal waktu start tinggal 15 menit pula. 

Alhasil, saya tidak punya data untuk lomba saya hari ini. Saya resmi tidak tercatat dalam sistem bawaan Chronotrack. Praktis, saya hanya punya Nike+ di ponsel sebagai perekam jejak lomba ini. Saya menyesal walau panitia tetap mengalungkan medali finisher. Kecerobohan itu dekat pada kesalahan dan kesalahan itu mahal harganya. Saya jadi ingat lagi petuah lama di Formula 1. 

Eniweeey, penyesalan saya tadi agak terbalas dengan performa lomba. Andai saja saya berlari 200 meter lagi setelah garis finis, niscaya saya akan mencetak Fastest 5K untuk Personal Record di Nike+. Akhir kata, saya berpesan kepada sesama rekan sepelarian dan utamanya untuk saya sendiri. Menyiapkan fisik dan mental untuk lomba sama pentingnya dengan menyiapkan peralatan lari itu sendiri. Be prepare, get the best of yourself. 


Pharmindo, 12 Oktober 2014. 
sambil nonton The Joseon Shooter Episode 4 

Selasa, 07 Oktober 2014

Transformers 4: Resurrection of Prime and Megatron

This is not war, it's human extinction!
Optimus Prime

Agak sedikit kaget ketika Megan Fox dan Shia Lebouef tidak lagi membintangi serial terbaru Transformers: Age of Extinction. Tidak ada lagi kesan 'boyish' dan 'sensual' dari mereka. Berganti kesan maskulin seorang ayah yang diperankan oleh Mark Wahlberg. 


Beberapa bulan lalu ketika trailer film ini diluncurkan dan bisa diakses di Youtube, saya menduga bakal ada plot lain untuk menjaga kelangsungan permusuhan abadi Decepticons dan Autobots. Pemilihan Mark Wahlberg sebagai peran utama semakin menguatkan dugaan saya itu. Perlu dicatat, selain Megan dan Shia, Josh Duhamel pun tidak nampak disini. 

Durasi film yang mencapai dua jam lebih adalah alasan tersendiri mengapa film ini layak ditonton. Oke. Saya memang harus menunggu hingga keping DVD versi bajakan tersedia di warung langganan. Saya tidak berada di antrian hanya untuk melihat kebangkitan kembali Megatron dalam wujudnya yang baru. 

Intrik-intrik dalam film ini yang melibatkan unit khusus CIA yang bersekutu dengan The Lockdown menyajikan alur cerita baru setelah trilogi terdahulu. Pertempuran antara militer Amerika serikat dalam memburu Autobots yang tersisa adalah implikasi dari sebuah kontrak spesial antara pemerintah dengan KSI Technology, perusahaan yang ditunjuk untuk mereproduksi robot yang lebih canggih serta memiliki kemampuan tempur dan intelegensi diatas Autobots dan Decepticons.

Seperti layaknya film-film yang melibatkan sebuah pengkhianatan; sebut saja Air Force One atau Olympus Has Fallen, kesepakatan antara pihak-pihak yang berkepentingan menjadi sebuah senjata makan tuan. Your betrayal means nothing. Setidaknya, itu pelajaran pertama dari film ini.


Saya sendiri agak terkejut karena jilid terbaru Transformers ini menampilkan nuansa yang lebih humanis. Optimus Prime sudah akan meninggalkan medan laga dan perlu waktu untuk Cade Yeager (Mark Wahlberg) meyakinkan Sang Prime Terakhir itu. Bedanya, kali ini Optimus Prime kembali memimpin pasukan Autobots untuk menyelesaikan urusan mereka yang secara tidak langsung akan menyelamatkan umat manusia.

Satu hal yang saya nantikan dari film ini adalah percakapan legendaris antara dua pemimpin yang salig bertarung. Bila di Transformers 1 lalu Optimus Prime dengan gagahnya berkata "At the end of the day, one shall stand, one shall fall." Yang dibalas Megatron dengan hantaman seraya berujar "That's gonna be me". Kali ini, tidak ada adu mulut semacam itu antara Lockdown dan Optimus Prime. Hanya gertakan Lockdown yang mengejek Optimus Prime karena menyalahi kodratnya dan akan segera membawanya pulang pada The Creators.

Keterlibatan unsur keluarga dalam film ini juga membawa kehangatan sepanjang 120 menit lebih itu. Barangkali itulah alasan mengapa Michael Bay memilih Mark Wahlberg, bukan Gerard Butler atau bahkan Ben Affleck. 

Overall, Age Of Extinction memberikan pengalaman tontonan yang berbeda dengan kebaruan jalan cerita dan beberapa unsur kejutan. Kemunculan Dinobots adalah satu tanda tanya tersendiri yang perlu satu episode Transformers lagi untuk menayangkan sejarah mereka. 

Lainnya, kelahiran kembali Optimus Prime di bengkel Yeager setelah menjadi buronan paling wahid diseantero jagad, wujud Megatron yang bereinkarnasi menjadi Galvatron (dan lebih powerful dari sebelumnya), tidak adanya my favourite villain: Starscream, dan sisa-sisa Autobots yang menemani Bumblebee adalah hadiah Michael Bay untuk saya. Anyway, gumaptahamnida. Terima kasih.

Judul           : Transformers 4: Age of Extinction
Sutradara    : Michael Bay
Cast            : Mark Wahlberg, Nicola Peltz, Jack Reynor
Durasi        : 165 menit
Tahun         : 2014
Produksi     : Paramount Pictures
Genre         : Science-Fiction


Rasuna Said-Gatot Subroto, 7 Oktober 2014.
Masih menunggu The Hunt for Red October tayang di televisi nasional

Selasa, 30 September 2014

Fragmen Untuk Anita



We never talked about it, but i hear the blame was mine*
 
Perceraian adalah bukan suatu pembenaran atas alasan untuk berpisah. Setidaknya, begitulah kata Anita. Perceraiannya dengan Haris memang sudah seharusnya terjadi. Anita sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap mencintai Haris. Haris sendiri lebih mencintai pekerjaannya ketimbang keluarga kecil yang susah payah mereka bangun bersama. Aku kini berdua saja dengan Anita. Usai menjalani hari yang melelahkan demi mendengarkan keputusan Hakim yang mengesahkan perceraian Anita dengan Haris.

Kami duduk bersama menghadap jendela besar dari sebuah kafe di lantai paling atas gedung yang menampilkan kemegahan kota yang tidak pernah tidur ini. Malam menyamarkan keangkuhan kota ini dalam gelap. Kami duduk sambil menatap gelas kami masing-masing. Anggur Perancis yang telah kami pesan masih setengah penuh. Sementara gelas kami mulai menagih untuk diisi. Entah sudah berapa kali aku dan Anita melampiaskan segala kekecewaan dengan meminum bergelas-gelas anggur ini dalam sekali teguk. Rasanya masih sama seperti dulu saat aku dan Anita masih jadi pegawai di kantor yang sama. Kami merayakan gaji pertama kami dengan sesuatu yang disebut “Wine-Wine Solution”. Suatu perayaan yang selalu kami lakukan setidaknya setiap seorang dari kami berulang tahun.

Cahaya remang dari lampu-lampu kafe ini membuat suasana semakin syahdu. Musik yang mengalun pelan nan lembut ini ikut menghadirkan suasana sentimental penuh romantisme. Tamu-tamu mulai berdatangan. Mereka datang dengan pasangan mereka masing-masing. Entah itu suami-istri, sepasang kekasih yang merayakan cinta mereka, atau malah sepasang kekasih yang sedang berselingkuh dari kenyataan cinta mereka. Aku melihat si lelaki menggenggam mesra tangan kekasihnya, satu yang akan duduk di pojok itu tampak memegang punggung perempuan disampingnya. Aroma cinta menyeruak dalam keremangan serupa cahaya senja.

Aku jadi ingat waktu pertama kali mengajak Anita kesini. Anita memang sudah berpacaran dengan Haris. Keduanya sudah sangat siap untuk melanjutkan perjalanan biduk cinta mereka menuju mahligai pernikahan. Aku sengaja mengajak Anita makan malam berdua hanya untuk menjelaskan perasaanku saja. Aku mengatakan apa yang sudah seharusnya aku katakan bertahun-tahun lalu. Bahwa aku sangat menyayangi Anita dan mencintainya sejak “Wine-Wine Solution” kami yang pertama. Aku tidak menuntut jawaban dari Anita. Aku hanya ingin Anita tahu. Itu saja. Aku tidak berharap lebih.

Anita malam ini banyak bercerita tentang kehidupannya yang kemarin bersama Haris. Munafik sekali rasanya untuk menganggap cerita hidupnya itu sebagai suatu kesalahan. Bukankah Anita telah memilih untuk menjalani hidupnya yang kemarin itu, bersama Haris. Anita mengulang kembali kisah cintanya dengan Haris. Tentang malam pertama Haris menyatakan cintanya pada Anita, tentang semua pertengkaran yang menguji kesetiaan cinta mereka, hingga saat-saat yang menentukan ketika Anita menerima lamaran Haris.

Aku selalu jadi pendengar yang baik untuk semua cerita Anita. Barangkali, itu adalah kemampuanku yang utama diantara segenap kelemahan yang bersemayam dalam diriku. Kadang terlintas dalam pikiranku seandainya aku ini punya bakat menulis tentu cerita-cerita Anita ini sudah jadi sebuah buku. Buku yang bersumber dari kisah nyata tentang kekuatan seorang perempuan untuk bertahan dan berjuang demi cintanya.

“Kau tahu, aku tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini.”
“Memang Nit, kita tidak pernah tahu sebelum menjalaninya sendiri.”
“Sok bijak.”
“You know me so well, right?”

Anita tanpak santai sekali malam ini. Air mukanya terlihat lebih segar. Segala beban akibat urusan perceraian kemarin terbayar lunas tadi siang. Anita Kirana Prasasti resmi bercerai dari Haris Gunawan. Anita masih tampak melamun.

“So, gimana dengan Niki?” tanyaku memecah sepi.
“Niki ikut denganku. Aku akan jadi single-mother. That’s it”

Dari pernikahannya dengan Haris, Anita diberkahi seorang anak perempuan. Niki Indah Prasasti. Umurnya masih dua tahun dan masih terlalu kecil untuk tahu apa yang telah terjadi dengan kedua orang tua mereka. Malam ini, saat aku dan Anita duduk berdua menikmati botol anggur Perancis yang kedua ini, Niki telah tertidur lelap di rumah orang tua Anita. Anita sengaja menitipkan Niki disana agar kami lebih leluasa. Aku dan Orang tua Anita pun sudah saling mengenal dan akrab sekali. Tidak heran bila mereka tidak merasa risih dengan kehadiranku di sidang perceraian Anita tadi siang.
Kami benar-benar menikmati malam ini. Sejenak, aku mengajak Anita untuk menebak isi pikiran tamu lainnya di kafe ini. Seperti kataku tadi, tidak ada yang tahu status pasangan kekasih yang datang kemari. Mirip seperti dalam film “Date Night”, Aku dan Anita memainkan peran seperti Claire dan Phil. Aku dan Anita menirukan gaya dialog sepasang kekasih yang duduk di sudut sana. Berperan seolah kami sedang mengobrol mengikuti gaya mereka. Kami pun tertawa puas setelahnya. Menyenangkan sekali rasanya menertawakan kelakuan bodoh kami ini.

Sementara di sudut lain, aku melihat sepasang kekasih lainnya, mungkin yang lelaki berumur sekitar empat puluhan dan perempuan kekasihnya itu sekitar dua puluhan akhir. Mereka saling tertegun. Keduanya tampak tegang. Kekasih lelaki itu sepertinya mencoba menjelaskan sesuatu yang sangat tidak berkenan bagi kekasih perempuannya. Anita menggodaku sekali lagi untuk memainkan peran that-Date-Night-scene. Aku tidak tega tetapi bukankah penderitaan orang lain kadang jadi bahan tertawaan yang menyenangkan untuk sekedar menghilangkan kepenatan.

Usai bermain peran seperti itu, aku meminta pelayan mengganti lagu yang jadi backsound kafe ini. Aku meminta mereka memutar lagu-lagu romantis yang lain. Semoga membawa perasaan yang indah bagi semua pengunjung kafe ini. Kebetulan, selera si pemilik kafe ini boleh juga. Beberapa nomor audiophile seperti Olivia Ong dan Susan Wong mereka mainkan. Menambah semarak malam syahdu.

Dulu, lagu-lagu mereka itulah yang selalu menemani aku dan Anita mengerjakan tugas lembur di kantor. Gila juga rasanya mengerjakan laporan-laporan sialan itu dengan ditemani lagu-lagu slow semacam itu. Bukannya selesai, justru pekerjaan itu malah kami simpan untuk esok hari. Aku dan Anita malah jadi buka sesi curhat sambil menertawakan kebodohan masing-masing.

I never made promises lightly
And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We'll walk in fields of gold, we'll walk in fields of gold**


“Kamu sengaja pilih lagu ini, Gus?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu ya, itu lagu waktu kita sering lembur tapi nggak pernah beres.” Kata Anita sembari tersenyum kecil.

Senyuman Anita itu benar-benar kulihat lagi malam ini. Senyuman yang telah lama hilang dari paras ayu kini telah kembali lagi. Aku rasa itu bukan karena pengaruh anggur yang kini tinggal seperempat botol isinya. Ada pancaran kebahagiaan dalam senyum itu.

Malam kian meninggi. Anita masih ingin bercerita. Anita tidak tampak lelah sedikit pun. Kata-kata terucap deras dari bibirnya yang tipis itu. Riuh mengalir bagai gerimis sore tadi. Anita kian bersemangat kala bercerita tentang peri kecilnya, Niki. Aku bisa merasakan kasih sayang Anita dari ceritanya. Sambil sesekali memotong steak wagyu pesanannya, Anita terus bercerita soal rencananya nanti. Anita akan menyekolahkan Niki tepat pada waktunya. Anita tidak akan memaksakan Niki untuk ikut kelas pra-sekolah. Anita tidak ingin Niki kehilangan kesempatan untuk bermain dan lebih dekat dengan orang tuanya.

Anita belum akan berhenti bercerita seandainya ponselnya tidak berbunyi.

“Gus, Niki....”
“Ada apa, Nit? Niki kenapa?”
“Kita cepat pulang, Gus.”

Anita tidak memberi penjelasan lagi. Malam kian larut membawa mimpi bagi mereka yang terlelap di bawah langit Jakarta yang tua ini. Aku segera bergegas memacu mobilku untuk sampai ke rumah orang tua Anita. Anita nampak tegang. Telapak tangannya terasa amat dingin. Aku yakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu Anita mulai menangis. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku sendiri tidak tahu masalahnya. Yang aku tahu, aku harus segera sampai ke rumah keluarga Hardjakusuma tepat waktu. Sebelum semuanya terlambat dan menyisakan penyesalan. Anita masih menangis. Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.

Makasih Gus, sekarang aku bisa ketemu Niki setiap hari.


Paninggilan, 15 Mei 2012.

*dari lirik lagu “Do You Remember” dinyanyikan oleh Phil Collins.
** dari lirik lagu “Fields of Gold” dinyanyikan oleh Sting. Versi recycle dinyanyikan oleh Olivia Ong dalam album “Fall in Love With”.

Pusara Senja

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada

Tidak ada matahari pagi ini. Langit masih mendung sisa hujan semalam. Ibu masih terbaring diam di ranjang.

"Aku tinggal dulu. Kamu baik-baik ya. Jangan lupa makan."

Bagas membangunkanku pelan dengan kata-katanya. Aku tidak tahu kalau dia ikut menginap denganku disini, disamping Ibu. Ah, aku pasti lelah usai menempuh perjalanan panjang semalam. Amsterdam-Jakarta-Bandung ternyata tidak sejengkal jari manisku di bola dunia. Perjalanan pulang yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. 

*

"Kamu pergi sekolah sendirian bisa? Ibu nggak bisa antar kamu pagi ini. Ibu harus mengantar pesanan."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Nita bisa pergi sendiri. Siapa tahu Selly masih di rumah, jadi bisa bareng ke sekolah."
"Ini uang jajan kamu. Kunci rumah Ibu simpan di tempat biasa.


Aku masih ingat percakapan dengan Ibu di satu pagi yang sudah lama sekali. Aku masih SD waktu itu. Entah kenapa ingatanku pagi ini kembali ke masa itu. Satu waktu dimana aku mulai menyadari bahwa Ibu adalah seorang Ibu yang luar biasa kuat, tabah, dan tegar. Satu titik dimana aku mulai merasakan ketulusan Ibu, yang takkan bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.

Aku terlahir tanpa mengenal siapa ayahku. Kata Nenek, ayah sudah lama meninggal sebelum aku lahir. Ayahku seorang ahli biologi molekuler yang juga seorang dosen. Determinasi dan ketekunannya membuat Ayah punya reputasi yang baik di kalangan akademisi dan peneliti. Sayang, hal itu pula yang perlahan menggerogoti tubuh Ayah.  Ayah meninggal karena gangguan fungsi liver. Selebihnya, aku tidak tahu lagi soal Ayah. Tepatnya, belum mencari tahu.

Aku tumbuh dibimbing Ibu seorang diri. Kami tinggal berdua di rumah peninggalan Ayah. Sebenarnya, Ibu bisa saja menjual rumah itu dan kami tinggal bersama Nenek. Waktu aku tanya begitu, Ibu selalu bilang bahwa rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang Ibu dan Ayah. Lagipula, ada campur tangan Kakek yang turut mendesain facade rumah itu, maklum ia seorang arsitek.

"Bukankah kenangan itu ada untuk dilupakan, Bu?"
"Begitu, ya. Kamu lagi baca buku apa?"
"Nggak sih. Tapi, banyak orang memilih kenangan mereka sendiri dan berusaha melupakannya."
"Sayang, suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa kenangan diciptakan dan mengapa beberapa dari mereka tinggal di hati kita."

Aku memang tidak pernah bisa sedekat itu dengan Ibu. Aku sangat jarang bisa bicara atau sekedar mengobrol ringan dengannya. Aku mulai mau dekat dengan Ibu usai menstruasi pertamaku. Aku terlalu takut menghadapi gerbang dimulainya masa remajaku. Kata orang, aku juga akan mengalami masa puber. Dari majalah remaja yang aku sering pinjam dari Kak Sheila, kakaknya Selly, aku menemukan banyak hal soal bagaimana menjadi seorang remaja. Termasuk tahapan-tahapan yang akan aku lalui nantinya. Kak Sheila sering berkata padaku bahwa tak lama lagi aku akan segera merayakan "Goodbye Miniset". Terus terang semua itumembuatku takut. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku, mengantarku dengan perasaan gembira menuju gerbang itu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi, selain Ibu tentunya.

Ibu dengan setia menemaniku, ketika aku memilih dan membeli pembalut wanita pertamaku. Aku melihat api cinta yang dahsyat dimatanya. Barangkali, Ibu tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar ada disisiku, selalu ada disampingku, hingga aku menjalani masa remajaku. Ibu juga yang membantu menjelaskan soal perubahan fisik yang terjadi pada tubuhku. Ibu juga tak henti-hentinya memperhatikanku. Mulai dari penampilan, gaya bahasa, tutur bicara, segalanya tak luput dari perhatian Ibu. Aku semakin sadar bahwa aku akan tumbuh jadi perempuan dewasa, tak lama lagi. Aku jadi semakin takut.

Satu kali, aku mulai tahu rasanya jatuh cinta. Seperti anak SMP lainnya, aku terkagum-kagum pada kakak kelas yang jago main basket. Setiap pulang sekolah hari Rabu, aku dan Selly selalu punya alasan untuk pulang telat. Aku biasa berkilah pada Ibu bahwa kami harus pergi ke rumah teman lain untuk kerja kelompok. Padahal, aku dan Selly hanya duduk di pinggir lapangan sekolah melihat Arya dan Bimo latihan basket.

Aku dan Selly berhadapan dengan seorang bintang  lapangan yang tentunya juga idola semua perempuan di sekolah ini. Kami tidak pernah bisa mengalihkan atensi Arya dan Bimo. Sampai suatu saat, mereka mengajak kami minum jus di kantin sekolah usai latihan. Mereka heran karena kami selalu jadi penonton setia latihan mereka. Aku dan Selly tentu senang merasa diperhatikan seperti itu. Ternyata mereka tahu kehadiran kami setiap latihan. Namun, rasa senang yang terlanjur melambung itu hanya sesaat saja. Arya dan Bimo sudah punya pacar di sekolah lain. Damn!

Lain waktu, aku jatuh cinta lagi pada guru pelajaran Seni Musik. Aku tidak tahu apakah Ibu pernah mengalami hal yang sama denganku. Aku suka memanggilnya Mas Daniel, karena ia masih cukup muda dan juga jadi anggota The Symphony 8, sebuah grup orkestra klasik yang cukup terkenal di kotaku. Aku mulai rajin latihan biola, alat musik yang aku pilih dengan asal hanya karena ingin jadi seperti seorang Sharon Corrs. Aku memainkan melodi 'Toss The Feathers' saat pertunjukan yang jadi ujian akhir pelajaran. Aku berhasil mendapat nilai sempurna dan standing ovation dari Kepala Sekolah serta Mas Daniel. Lagi-lagi, aku dibuat kecewa ketika tiket spesial pertunjukan The Symphony 8 pemberian Mas Daniel hanya untuk sekedar melihatnya menerima pelukan mesra dari seseorang yang mengaku sebagai kekasihnya.

Seakan bisa membaca perasaanku, Ibu mulai mengajakku bicara sejak kejadian malam itu. Ibu melihat perubahan yang tidak biasa akhir-akhir ini. Aku tidak lagi bergairah memainkan biola ketika Ibu memintanya. Tiba-tiba aku tersadar saat aku sudah berada di pelukan Ibu, dengan derai mata yang masih hangat. Aku masih ingat kata Ibu.

"Gagal memiliki bukan berarti gagal mencintai, sayang."

*

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku masih bersama Anita hingga saat ini. Menemaninya pergi membeli pembalut wanita pertamanya hingga menjelaskannya soal perubahan fisik yang terjadi padanya. Sepuluh tahun berlalu sejak ia bisa memanggilku Ibu dengan sempurna. Kini, malah aku yang tak sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat. Anak perempuanku yang belum pernah bertemu ayahnya itu kini sudah jadi gadis remaja. Tak lama lagi, seorang laki-laki akan jatuh cinta padanya. Atau malah ia yang jatuh hati duluan, pada Guru Musiknya barangkali. Seperti aku dulu.

Aku jadi malu bila mengingat lagi masa itu lagi. Aku tidak akan pernah lupa Bagus yang gila kerja itu berani bertemu Bapak dan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Padahal, saat itu aku masih jadi kekasih Daniel, seorang guru piano yang sengaja Bapak pilih untuk mengajariku memainkan melodi lagu kesukaannya, "Memories Of Youth" dari Richard Clayderman. 

Sayangnya, Daniel tidak punya cukup nyali untuk melamarku. Ia terlalu takut menghadapi Bapak karena tidak mau jadi orang yang tidak tahu diri. Aku berkali-kali meyakinkannya bahwa cinta kami tidak akan pernah gagal hanya karena ia 'berhutang' pada Bapak. Bapak sangat menghargai kejujuran dan keberanian. Bagus tahu itu, maka dengan sepeda kumbangnya ia datang ke rumahku dan menyampaikan niatnya. 

Aku mendapat restu kedua orangtuaku untuk menikah dengan Bagus. Dia sudah jadi dosen muda waktu itu. Aku cukup realistis untuk memulai hidupku bersama Bagus karena gaji dosen waktu itu tidaklah terlalu besar. Banyak pria lain yang patah hati karena aku lebih memilih Bagus. Bahkan, Handi, arsitek handal tangan kanan Bapak pun ikut merasakannya.
Aku kaget ketika Bagus membawaku ke konservatorium milik sahabatnya. Tepat di hari ulang tahun pertama pernikahan kami, Bagus memainkan lagu kesukaan Bapak "Memories of Youth" dan "Ballade pour Adeline" kesukaanku. Aku tidak menyangka bahwa Bagus bermain piano lebih baik daripada aku yang sengaja dikursuskan oleh Bapak. Sejak itu, Bagus tidak pernah berhenti memberiku kejutan.

Aku jadi anak perempuan pertama yang memberi cucu untuk Bapak dan Ibu. Anita Diandra Febrina, begitu kami menamainya. Lahir tanggal 14 Februari, dimana Bagus masih berada di Australia untuk hari seminar pertamanya. This mommy little girl will never see his father karena Bagus meninggal tak lama setelah kepulangannya. Kataku, sambil menggendong Anita di peristirahatan terakhir lelaki pemain melodi terindah sepanjang hidupku.
Aku masih menulis buku harianku ketika Anita menerima telepon pertama dari anak lelaki yang sedang mendekatinya. Anita mulai mengambil jarak denganku, aku bisa rasakan hal itu. Aku rasa inilah waktu untuk memberinya ruang privasi. Peranku berubah, aku harus menjadi seorang teman sekaligus sahabat untuknya. 

Aku cukup tahu bagaimana Anita bermain dengan perasaannya. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Naluri Ibu manapun di dunia ini pasti bisa merasakan getarannya. Apapun itu, aku harus tetap bertahan dan selalu ada untuknya. Aku tahu ketakutan terbesarku. Akhirnya, aku harus akui kalau aku sangat takut untuk selalu mampu menemaninya. Melewati prom night pertamanya, kelulusan SMA yang selalu penuh cerita, hari-harinya di universitas, hingga mendengarkan cerita soal wawancara kerja pertamanya.

*

Tanpamu... semua tak berarti... cinta sudah lewat...

Pada senja pertamaku di Tanah Air, aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Aku mendadak merasa jadi orang paling kejam di dunia. Aku meninggalkan Ibu seorang diri di rumah demi sebuah pekerjaan di Belanda sana. Aku meninggalkan Ibu beserta segenap cinta kasih yang pernah ia sematkan dalam setiap hela nafasku. Aku masih bisa merasakan semua kasih sayang yang telah Ibu berikan sepenuhnya. Aku yakin, cinta tidak pernah gagal membuat Ibu mengerti. Hingga saat ini, saat aku memandangi pusaranya.



Jakarta-Bandung, 14 Februari 2014.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...