Selasa, 25 November 2014

Surat dari Sanur




Dear Ella,

Belahan jiwaku, apa kabarnya engkau disana? Apa ada bedanya satu purnama di langit Jakarta dengan di Sanur? Walaupun bulan belum purnama, bayangkan saja pertemuan Cinta dan Rangga yang ternyata tidak lagi shooting di Soekarno-Hatta. Seperti halnya demam Korea,  mereka juga shooting di Incheon Airport. Satu airport hebat di benua kita ini. Saya mengalaminya sendiri. Engkau pun tahu itu.

Denting waktu rupanya berjalan merambat cepat di Sanur. Matahari terbit lebih awal. The sunrise always reminds me of you. Merekah seolah senyum yang menyapa pagi saya disini. 

Saya belum mencoba lari pagi disini. Tapi kemarin sore, saya sudah berlari di sekitar pantai. Tak perlu repot, saya hanya perlu pergi berlari lewat belakang hotel. 

Perlu Ella tahu, keringat saya disini bercampur dengan angin laut. Radanya sedikit asin. Bila engkau disini, pasti tahu macam apa aroma badan saya ini. 

Hari ini saya dibuat percaya lagi bahwa hukum tabur tuai itu ada. Dua tahun lalu, saya dengan gagahnya menjadi seorang perwakilan untuk mengikuti training SMS di Medan. Tinggal di kamar deluxe hotel bintang lima selama seminggu. Saya tidak pernah menyangka bahwa setahun kemudian saya menjadi seorang fasilitator di training serupa. 

Tahun ini, saya dipercaya untuk menjadi instruktur. Saya diberi tanggung jawab untuk menyampaikan tiga modul materi. Hazards, SMS Introduction, dan SMS Regulations. Seorang rekan sekelas alumni Medan dua tahun lalu juga ikut jadi instruktur. Kami bertiga berusaha memberi apa yang kami tahu sekaligus menambah jam terbang. 

Malam ini, diiringi nyanyian desir lembut ombak di pantai, saya merenungi hal ini. Kita memang tidak pernah benar-benar tahu apa nasib waktu. Kita tidak pernah tahu kemana angin berhembus. Persimpangan takdir telah membawa saya pada sebuah pengalaman. Seperti yang sedang saya alami saat ini. 

Ella yang baik,

Usai percakapan kita malam ini, ada sesuatu yang tidak pernah bisa saya bendung. Rindu. Rindu pada binar mata juga hangat senyummu. Kelak, itulah yang akan selalu membawa saya pulang. 

Seperti kata seorang penyair, rindu adalah belajar memeluk, sekalipun tak nampak di pelupuk. Izinkanlah saya mengakhiri surat ini dengan sebuah pelukan paling hangat. Semoga mampu menghangatkan malam di peraduanmu usai hujan di langit Jakarta yang tak pernah tua. 


Peluk rindu,



Affectionately yours. 



Sanur, 25 November 2014. 
dihujam rindu, di pinggir pantai. padamu

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...