Kamis, 31 Juli 2014

The Mirror Has Two Faces

Sejak pertama kali mendengar “I Finally Found Someone”, duet karya Bryan Adams dan Barbra Streisand saya tidak tahu bahwa lagu ini merupakan soundtrack sebuah film. Kemudian, dari sebuah majalah film yang membahas Top 10 Greatest Movie Soundtrack barulah saya tahu bahwa duet cantik itu milik film “The Mirror Has Two Faces”. Sejak saat itu pula saya penasaran dengan film ini. Alhasil, baru awal bulan ini saya bisa menonton lewat televisi langganan berbayar.


Menarik untuk tahu awal kisah cinta Rose Morgan dan Gregory Larkin yang berawal dari sebuah iklan di koran. Kakak Rose, Claire (Mimi Rogers), menjawab iklan tersebut dan mengatur sebuah kencan untuk Rose dan Gregory. Gregory sendiri sedang mencari pasangan yang mampu mengimbanginya secara intelektual, maklum ia adalah seorang dosen Matematika di Columbia University. Gregory berpandangan bahwa seks membuat runyam hubungan antara pria dan wanita, karena ia selalu kehilangan rasio akal sehatnya setiap kali tergoda oleh seorang wanita.

Rose sendiri adalah seorang dosen Sastra Inggris di universitas yang sama. Satu waktu, Gregory menyelinap ke dalam kelas Rose. Gregory terpesona dengan materi yang Rose bawakan. Mereka pun akhirnya mulai kencan. Beberapa kali pula mereka saling bertukar pikiran sehingga membawa perubahan dalam cara mengajar mereka. Gregory yang merasa cocok, segera melamar Rose. Dengan satu syarat, bahwa mereka akan menjalani kehidupan cinta yang platonik, dengan ‘occasional sex’ yang hanya dilakukan sesekali ketika Rose minta saja.

Seiring berjalannya hari-hari pernikahan mereka, Rose semakin jatuh cinta dengan sosok Gregory. Gregory sendiri merasa semakin nyaman bersama Rose, walau kehidupan seks mereka tidak seperti orang normal kebanyakan. Satu malam, Rose menggoda Gregory untuk berhubungan intim. Gregory rupanya terganggu namun ia tidak mau menyakiti perasaan Rose. Gregory menolaknya karena takut merubah perasaannya pada Rose. Rose sendiri merasa bersalah dengan keadaan itu. Namun, tetap saja ia memendam keinginan itu.

Hari-hari mereka pun selanjutnya berjalan hambar. Rose harus semakin bersabar menghadapi Gregory. Gregory pun semakin sibuk ketika bukunya laris dan akan dipromosikan di Eropa. Artinya, Gregory harus pergi tiga bulan lamanya sebelum bisa kembali ke kampus. Rose sendiri berharap jarak akan membawa perubahan pada hubungan mereka.

Gregory tidak pernah lupa memberi kabar selama perpisahan sementara mereka itu. Rose sendiri berkutat melawan dirinya sendiri. Ia bertekad untuk mengubah penampilannya, secara fisik of course, demi sebuah perhatian dari Gregory. Rose juga berharap Gregory akan menyadarinya ketika ia pulang nanti. Rose mengubah dirinya, ia belajar menggunakan make-up, melakukan diet, mengubah gaya rambut, rajin berolahraga, hingga mengubah gaya berpakaian.

Gregory pun akhirnya pulang. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaan rindunya kepada Rose. Rose sendiri tahu itu, maka ia menyiapkan sebuah kejutan. Ia berharap Gregory dapat membaca keinginannya setelah melihat perubahan dalam dirinya. Gregory kaget melihat Rose yang telah berubah. Dalam benaknya, ia masih menyimpan imaji Rose dalam citra yang lama. Bukan seperti yang ada dihadapannya. Gregory tidak lagi meihat Rose yang dulu.

Rose pun akhirnya tidak tahan dan meninggalkan Gregory. Rose menganggap kehidupan pernikahannya yang passionless itu adalah sebuah kesalahan. Rose telah salah menilai Gregory. Keduanya pun akhirnya berpisah dan kembali pada kehidupan mereka masing-masing sebagai dosen. Selama masa berpisah itu, keduanya menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta. Perpisahan yang sedang mereka jalani hanya sebuah alasan belaka. Hanya saja, cinta mereka terhalang oleh teori atau pemikiran dari Gregory yang tidak berdasar. Gregory segera menyadarinya dan menginginkan Rose untuk kembali padanya. 

Melalui sebuah ending yang dramatis, di suatu pagi hari yang dingin, Gregory berhasil meyakinkan Rose untuk melanjutkan pernikahan mereka.

I Finally Found Someone pun mengalun, mengantar akhir kisah mereka.

Did i keep you wait... i didn’t mind

I apologize... Baby, that’s fine


Judul           : The Mirror Has Two Faces
Sutradara    : Barbra Streisand
Cast            : Barbra Streisand, Jeff Bridges, Pierce Brosnan, Lauren Bacall, George Segal
Tahun         : 1996
Produksi     : Phoenix Pictures
Genre         : Drama

Pharmindo, 31 Juli 2014
Berharap menyanyikan “i Finally Found Someone” di pelaminan. Nanti.

Rabu, 30 Juli 2014

Nasihat Untuk Ananda

Suatu sore, saya menemukan buku ini diantara rentetan buku-buku soal pernikahan. Membaca nama penulisnya, sudah terbayang bahwa buku ini akan jadi buku kecil yang sarat muatan pesan. Sepintas, nampak seperti karya normatif seorang ulama dan penasihat agama. Tetapi, jika dikaji lebih dalam seolah merepresentasikan kehidupan keluarga yang dibangun dan dijalaninya setiap hari. 


KH Miftah Faridl menjelaskan pengertian-pengertian serta ilustrasi untuk mewujudkan keluarga yang sakinah-mawaddah-warrahmah sebagai satu siklus yang utuh. Diawali dengan sebuah pemikiran tentang mengapa harus sakinah, memelihara kenyamanan keluarga, hingga membentuk keluarga sakinah.

Bab selanjutnya adalah perihal mendidik anak. Penulisnya seperti sengaja memberikan clue soal petunjuk mendidikan anak sejak dini, lengkap dengan tingkatan umurnya. Mulai dari masa kehamilan hingga masa kelahiran. Pendidikan anak pascalahir sampai usia 12 tahun pun tidak luput. Semakin lengkap dengan beberapa insight mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan keagamaan anak dan hal-hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam mendidik anak.

Awalnya, buku ini memang disiapkan untuk kenang-kenangan tasyakur pernikahan putrinya. Namun, setelah melalui beberapa perenungan, akhirnya buku ini diberi judul “Nasihat Untuk Ananda” ketika sampai di tangan pembaca.

Untuk saya sendiri, sebagian besar nasihat dalam buku ini bagaikan sebuah khutbah nikah. Dengan tambahan beberapa contoh pengalaman dalam kehidupan rumah tangga kemudian menjadikannya berbeda. Tidak berbeda dari apa yang disampaikan penulisnya sendiri dalam pengantar buku. Buku ini merupakan kumpulan pesan seorang ayah yang memiliki kewajiban untuk menuntun anaknya ke pelaminan. Nasihat-nasihat ini diberikan sebagai bentuk kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Nasihat bijak yang sangat diperlukan seorang anak yang akan mengayuh bahtera rumah tangga. Secara psikologis, diharapkan nasihat –nasihat itu akan menenteramkan sang putera.

Melalui buku ini, siapapun dapat belajar dari pengalaman orang lain, tentang bagaimana memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit ditemukan dalam buku-buku ilmiah manapun. Ia ada pada buku raksasa yang disebut kehidupan.

Judul        : Nasihat Untuk Ananda: Pesan-pesan Cinta Untuk Pengantin
Penulis     : K.H Miftah Faridl
Penerbit    : Mizania
Tahun       : 2013
Tebal        : 135 hal.
Genre       : Agama Islam-Pernikahan
 


Pharmindo, 30 Juli 2014.

Selasa, 29 Juli 2014

Surat dari Gyeongbokgung

Annyeonghaseyo,
 
Dear Ella...
 
Hari-hari saya disini sebentar lagi usai. Ella mungkin membayangkan saya bertemu dengan artis macam Jun Yong Hwa atau Lee Min Ho. Jangankan mereka, saya pun gagal bertemu Shin Min Ah dan Lee Yo Won. Selebihnya, sisa waktu kami disini masih berkutat soal sejarah peradaban bangsa Korea.
 
Sejarah bagi saya adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.

 
Kami mendatangi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Istana ini dibangun pada tahun 1395 pada masa Dinasti Joseon. Gyeongbokgung sendiri berarti “the palace greatly blessed by heaven” atau istana yang diberkahi. Istana Gyeongbokgung ini membantu saya melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.
 
Raja sengaja memilih lokasi Istana Gyeongbokgung tepat di jantung Seoul. Pemilihan tempat ini didasari penghitungan fengshui mereka yang meyakini bahwa Istana yang didepannya mengalir Sungai Han dan dilindungi oleh Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan di bagian belakang.
Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat.Saya membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Lalu bagaimana Raja mendatangi kamar Sang Permaisuri demi mendapatkan buah cinta mereka.
 
Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan semasa pendudukan Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.


Sebelum beranjak menuju N Seoul Tower, kami mengunjungi ‘The Blue House’ (‘Cheonghwadae’ dalam bahasa Korea) tempat tinggal Presiden Korea. Suasananya agak mirip Istana Bogor. The Blue House sendiri terletak di bagian selatan Istana Gyeongbokgung. Saya menyimpan tanya, apakah penamaan bangunan itu mengikuti bangunan kepresidenan Amerika Serikat yang lebih dahulu masyhur dengan nama White House. Entahlah.
 
Kami pun menyinggahi sebuah museum bertajuk Cheonghwadae Sarangchae yang dari jauh terbaca oleh saya sebagai Cheonghwadae Saranghae. Seketika Gina membenarkan ucapan saya. saya tertawa kecil, karena mudahnya untuk mengucapkan ‘saranghae’ pengaruh dari Hallyu (Korean Wave) di negeri kita tercinta.


Cheonghwadae Sarangchae sendiri adalah sebuah tempat yang nyaman untuk mempelajari tata hidup dan pencapaian-pencapaian Presiden Korea terdahulu, dan juga untuk memahami tradisi kultural bangsa Korea. Layanan dalam bahasa non-Korea, seperti bahasa Jepang, Inggris, dan China bisa didapatkan bila kita melakukan reservasi terlebih dahulu.
 
Demikianlah, sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa. 


 
Akhirnya, Gina dan Nick membawa kami ke N Seoul Tower dimana terdapat Pohon Gembok Cinta. Senja penutupan telah berakhir. Namun, waktu berbuka puasa masih lama. N Seoul Tower terletak di kaki gunung Namsan. Bila ditarik garis lurus, akan sejajar dengan Istana Gyeongbokgung yang agung itu. N Seoul Tower itu kurang lebih seperti KL Tower. Kita bisa mengunjungi souvenir shop yang ada di lantai bawah atau sekedar menikmati pemandangan kota Seoul dari observatorium. Jangan khawatir kelaparan, karena disini banyak sekali restoran yang bisa disinggahi di setiap level.
 
Menuju kesana perlu lima menit berjalan kaki dari pelataran parkir. Kami termasuk pengunjung yang beruntung karena dibolehkan menggunakan bis yang kami tumpangi hingga ke tempat parkir bis. Warga Korea sendiri tidak dibolehkan membawa kendaraan untuk menuju kesana. Sehingga, mereka memarkirkan kendaraannya dahulu sebelum berjalan menanjak yang ditempuh selama kurang lebih satu jam. Agaknya, KL Tower dalam hal ini sedikit lebih baik karena menyediakan shuttle bus dari pick up point di bawah menuju ke tower.


Saya mengalami overexcited sepanjang perjalanan lima menit yang menanjak itu. Beberapa tahun lalu, saya membaca cerita dalam surat seorang kawan @syarafmaulini kepada kekasihnya. Dia mengabadikan cintanya dengan menulis kedua nama mereka dalam gembok yang dikunci. Saya bersyukur bahwa saya tidak akan lama lagi akan mengalami pengalaman yang kurang lebih sama dengannya.

Saya lupa membawa gembok koper yang sudah saya siapkan sebelumnya. Beruntung, toko souvenir itu memang menjual gembok cinta lengkap dengan spidol khusus. Satu paket dijual seharga 8.000 KRW. Menurut catatan beberapa traveler dari negeri kita harga itu cukup mehong alias mahal.
 
Saya berhasil mengabadikan cinta kita disana. Saya menulis nama kita di gembok itu dan menguncinya. Saya tidak kesulitan mencari tempat untuk menggantungkan gembok harapan itu. Konon, ketika gembok itu terkunci, maka pasangan yang namanya ada di gembok tadi tidak akan terpisah untuk selamanya. Kedengarannya romantis bukan?
 
Ella yang baik, 

Begitulah, surat-surat ini pun telah jadi bagian dari sejarah kita. Sejarah yang akan menembus ruang dan waktu bagi anak cucu kita kelak. Sejarah yang akan menuliskan nama kita disana sebagai suatu kesatuan yang utuh, tak lekang oleh waktu.
 
Penuh rindu,
 

Gyeongbokgung-Namsan, 12 Juli 2014.
Sebentar lagi saya pulang, naik Garuda :)

Sabtu, 12 Juli 2014

Surat dari Seoul

Dear Ella,

Annyeonghaseyo,

Kabut turun perlahan di waktu sahur ini. Tadinya saya pikir saya sedang bermimpi. Perlahan, kabut bergerak menerpa kaca jendela meninggalkan embun. Seperti biasa, saya buka nasi instan yang saya beli sore kemarin di Emart. Tak lupa, rendang vacuum dari Indonesia. Waktu Shubuh segera tiba.

Sejak pukul 8 ini kami melakukan Excursion Day ke Seoul. Saya belum tahu kemana Nick (course leader) akan membawa kami. Kemarin, usai closing ceremony saya bertanya apakah ia akan membawa kami ke Seoul Tower. Ya, dia akan membawa kami kesana. Entah pagi, siang, atau sore nanti.

Konon, di Seoul Tower ada tempat yang penuh gembok cinta. Banyak pasangan mengikat janji mereka dan mengucinya pada gembok yang dipasangkan ke sebuah pagar disana. Mungkin, terinspirasi dari drama dan sinetron Korea yang syuting disana. Boys Before Flower salah satunya.

Saya menulis surat ini di sebuah restoran tradisional Korea yang terletak di Korean Folk Village. Korean Folk Village adalah tujuan pertama kami. Jina, tour guide kami sengaja membawa kami kemari sebagai tujuan pertama agar kami memahami tradisi kehidupan masyarakat Korea. Harga tiket masuk cukup mahal. 15.000 KRW untuk dewasa, 12.000 KRW untuk grup, sedangkan untuk anak-anak dan remaja berkisar antara 8.000-12.000 KRW.

Atraksi yang bisa dinikmati disini cukup banyak. Ada tarian dari sekelompok petani untuk merayakan panen. Kemudian, ada juga atraksi Tightrope Acrobatic. Bila sedang beruntung, Ella bisa menyaksikan prosesi pernikahan tradisional Korea juga. Menarik untuk mengetahui bagaimana orang Korea jaman baheula menjalani tata kehidupan bermasyarakat. Sejarah, sepertinya tidak benar-benar mereka lupakan.

Selanjutnya, kami berjalan-jalan menelusuri rumah-rumah tradisional. Seperti yang biasa Ella tonton di drama kolosal mereka. Sinetron Daejanggeum mengambil lokasi syuting disini. Kami pun menghabiskan waktu makan siang kami disini. Sajian menu tradisional bibimbab dan green radish kimchi jadi menu utama hari ini. Sayangnya, saya masih punya 8 jam sampai waktu shaum berakhir.


Usai berkeliling, saya menemukan sebuah kumpulan batu besar. Tertulis siapa saja boleh menuliskan harapannya pada kertas yang disediakan, lalu melipat dan mengikatkannya pada tali pengikat batu. Mirip ritual ‘Gembok Cinta’ di Seoul Tower. Hanya saja disini sedikit lebih unik. Karena Seoul Tower masih jauh. Saya menulis sebuah harapan dan merekatkannya pada tali jerami. Semoga harapan yang saya tulis tadi tidak lantas nyangkut di langit dan Tuhan segera membacanya. 

Waktu makan berakhir terlalu singkat. Saya tidak sempat menengok toko souvenir yang ada disana. Namun, saya menemukan Lee Yo Won dalam wujudnya sebagai poster The Great Queen Seondeok. What a coincidence. Rasanya ingin mampir sebentar ke toko didalamnya dan mencari posternya, barangkali si pemilik toko masih punya barang satu atau dua. Sayang sekali, Jina segera bergegas mengumpulkan kami untuk berangkat kembali ke Gyeongbokgung Palace.

Nanti disana saya tulis surat lagi. Konon, hari libur begini banyak turis dari banyak negara. Let’s see, apakah ada orang Indonesia juga disana.

Penuh rindu. Annyeonghigaseyo.


Gyeonggi-do, Seoul
12 Juli 2014
Haus... :(

Jumat, 11 Juli 2014

Surat dari Incheon

Dear Ella,

Annyeonghaseyo,

Surat ini ditulis ketika bulan purnama sedang rebah di langit barat Incheon. Dari kamar, rembulan nampak jelas menggantung tanpa tersapu awan mendung. Barangkali, saat ini Gumiho sedang mengibaskan 9 ekornya ketika Prabowo dan Jokowi masih sibuk menghitung perolehan jumlah suara mereka. 



Berada di daerah sub-urban yang menyerupai pedesaan seperti ini tentu sangat berbeda dengan keseharian yang selalu kita jalani di Jakarta. Disini, bisa melihat mobil yang melintas pada malam hari pun kami sudah senang. Jalanan sangat sepi, bahkan di siang hari. Kemarin, beberapa orang menyalakan kembang api. Entah untuk merayakan apa, mungkin mereka habis minum-minum saja. Biar begitu, tidak lantas menambah keramaian di kampung ini. Selebihnya, hanya deru pesawat dari Incheon Airport, nyanyian jangkrik, dan gonggongan anjing dari kampung sebelah.

Untuk mengusir rasa jenuh dan bosan, kami biasa pergi ke Incheon Airport. Sekedar melihat-lihat dan cuci mata. Kalau masih banyak waktu, saya mengajak beberapa teman pergi ke Seoul. Rabu kemarin, saya dan dua orang kawan dari Tunisia dan Yaman berbuka puasa di restoran Little India yang terletak di Itaewon. Itulah menu halal kami yang pertama selama berada di Korea. Kami menyantap nasi briyani, lamb vindaloo, dan aloo pratha (roti khas India). Plus, sajian tajil yang disiapkan khusus oleh sang pemilik restoran.

Selama disini, saya belum sekalipun berjumpa dengan artis-artis Korea yang selalu bertebaran di tabloid remaja tanah air. Seorang instruktur menyuruh saya untuk menunggu mereka di arrival gate Incheon Airport selama 7-10 jam. Biasanya, akan ada satu atau dua orang artis yang tiba disana. Saya tidak akan menghabiskan waktu saya hanya untuk hal seperti itu. Setidaknya, kalau itu Shin Min Ah atau Lee Yo Won, tentu saya tidak akan menolak dan dengan senang hati menunggu.

FYI, musim panas disini dibarengi dengan heat wave attack (serangan hawa panaas) yang menerpa beberapa wilayah di Korea. Demikian menurut beberapa ramalan berita pagi. Warga lokal dan wisatawan dihimbau untuk berhati-hati dan mempersiapkan diri. Kalau nanti Ella main kesini, sila rasakan sendiri bagaimana pemerintah mereka betul-betul peduli dan memperhatikan keselamatan warganya. Walau hawanya cukup panas, angin disini benar-benar kencang apabila sudah lewat tengah hari. Kadang, pagi turun hujan dan hawa dingin segera menyelinap ke kamar yang jendelanya tidak pernah saya tutup.

Fellowship course ini sudah sampai ke ujungnya. Farewell party sudah kami rayakan di The Sky Onn, sebuah restoran buffet mewah di Gimpo International Airport. Closing ceremony pun baru saja selesai. Selebihnya, fasilitator akan memberikan kami Excursion Day besok. Barangkali, kami akan pergi ke Seoul besok. Oh ya, kemarin di Gimpo juga, ada beberapa kumpulan remaja yang memenuhi pintu kedatangan domestik. Mereka adalah fans yang akan menyambut artis pujaannya. Siapa itu, saya pun tidak tahu. Yang jelas, situasinya sama dengan di negeri kita.

Malam begini, televisi banyak menyajikan pilihan acara. Drama? Sudah jelas. Tinggal pilih saja mau di channel yang mana. Hanya saja, segera persiapkan diri untuk mengalami penurunan kecerdasan seketika. Tidak banyak tayangan drama atau film yang menggunakan subtitel kecuali di KBS World. Sayang sekali memang, padahal drama terakhir yang sedang saya tonton ‘Emergency  Couple’ juga masih tayang disini.

Malam semakin sepi. Anjing-anjing di kampung sebelah sudah tidak lagi menggonggong, mungkin mereka sudah lelah. Waktunya untuk tidur. 

Penuh rindu. Have a nice weekend!

Annyeonghigaseyo.


Ulwang-dong, Jung-Gu, Incheon
11 Juli 2014

Rabu, 09 Juli 2014

Get Lost in Seoul dan Pemilu

Pemilu Presiden tahun ini adalah pemilu presiden saya yang ketiga. Tetapi ini akan jadi berbeda sejak saya tidak akan berada di TPS RW24 Kelurahan Melong, Cimahi Selatan. Saya tidak tahu angin apa yang membawa saya hingga ke Incheon untuk sebuah Fellowship Course dari Ministry of Land, Infrastructure, and Transportation Republic of Korea dan ICAO. Saya dijadwalkan untuk tiba di Incheon Airport Aviation Academy pada tanggal 6 Juli 2014, hari Minggu.

Saya sempat mengecek informasi bahwa Pemilu di luar negeri/KBRI/konsulat jenderal akan dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 6 Juli 2014. Tepat pada hari kedatangan saya. Beberapa hari sebelum keberangkatan, saya segera menghubungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Seoul melalui e-mail. Esok sorenya, saya mendapatkan balasan dari PPLN Korea Selatan bahwa betul pemilu akan dilaksanakan pada hari Minggu. Saya diberi pilihan untuk melakukan pemilihan di KBRI Seoul atau Jumin Center, Incheon. Saya memilih untuk pergi ke Seoul, tak lama setelah mendarat dan check-in ke Best Western Airport Hotel.


Menuju Seoul
Saya pergi ke Seoul dengan bis airport limousine tujuan Seoul Station. Menurut informasi dari KBRI, lokasi mereka tidak jauh dari stasiun Saetgang (line 9). Jadi, saya memutuskan lebih baik naik kereta dari Seoul Station. Saya tidak membawa peta atau petunjuk apapun. Kedua ponsel saya pun tidak berfungsi karena saya tidak membeli SIM card. Kalaupun ada, harganya mahal sekali 50.000 KRW (sekitar Rp. 500.000). Praktis, saya hanya mengandalkan alamat yang KBRI dari website mereka.

Masalah pertama yang saya hadapi adalah tiket bis. Sepanjang 13 pintu kedatangan ada banyak counter pembelian tiket, namun ketika saya bertanya pada petugas informasi yang berkeliaran (dan memakai rompi resmi) mereka segera menyuruh saya naik bis dan membayar tiket ke dalam kotak yang ada di sebelah pengemudi. Rata-rata, bis airport limousine tujuan Seoul mengenakan tarif 10.000 KRW sekali jalan untuk penumpang dewasa. Anak-anak dibawah lima tahun hanya dikenakan 8.000 KRW (tetep aja mahal :D ).
Setelah tiba di Seoul Station, saya segera mengecek lokasi Stasiun Saetgang di subway line 9. Saa masih harus transit sebelum masuk ke line 9. Mesin tiket kereta di Seoul kurang lebih sama seperti di Kuala  Lumpur atau Bangkok. Tersedia petunjuk dalam bahasa Inggris. Tarif minimal sekali jalan adalah 1.150 KRW ditambah deposit 500 KRW yang bisa diambil setelah tiba di stasiun tujuan dengan mengembalikan kartu ke deposit machine.


Setelah kurang lebih satu jam berkeliling dan berganti-ganti kereta plus beberapa kali salah arah, saya tiba di stasiun Saetgang. Tampak beberapa orang Indonesia lainnya sama-sama berjalan menuju arah Ankara Park, sebuah taman yang terletak di sebelah KBRI Seoul. Jarak dari Saetgang ke KBRI hanya sekitar 300 meter. Tak jauh dari sana juga terdapat gedung KBS Annex. KBS tentu sudah tak asing lagi bagi para penikmat drama Korea.


Saya bertemu dengan banyak orang Indonesia (ya iya lah, ini kedutaan emangnya kebun binatang?). Saya segera mendaftar ke panitia dan mereka meminta paspor. Setelah itu, saya dibawa ke meja antrian untuk mendapatkan nomor. Sekali lagi, mereka mengecek alamat (Incheon Airport Aviation Academy) dan tiket saya. Saya pun dipanggil masuk bilik suara dan panitia mengingatkan untuk tidak membawa ponsel. Saya pun masuk, memilih pasangan capres, mengambil foto sebentar, lalu kembali ke ruang tunggu.
Antusiasme warga Indonesia di Seoul nampak jelas. Kebanyakan dari mereka adalah mahasiswa dan pekerja. Saya sempat berkenalan dengan mereka. Obrolan kami hanya seputar Seoul saja, tidak ada obrolan soal capres-cawapres pilihan. Pun, tidak ada exit poll. Sebuah polling yang dilakukan setelah pemilih keluar dari TPS.



Heading to Incheon via Itaewon

Dalam perjalanan pulang, saya bertemu dengan kawan-kawan penggiat mushola di Guro. Tujuan saya pun berubah, yang semula ke Dongdaemun berganti ke Itaewon. Saya memang ingin pergi Itaewon namun mata saya kurang jeli mencari dimana letak stasiun sehingga memutuskan untuk pergi Dongdaemun saja. Akhirnya, saya pergi ke Itaewon dimana terdapat Masjid Agung Seoul yang dikelola Dewan Islam Korea.


Sebagai salah satu destinasi wisata di Seoul, Masjid Itaewon juga sering dikunjungi oleh wisatawan dari berbagai negara. Saat ini, sudah ada papan pengumuman yang mewajibkan perempuan untuk menutupi aurat mereka sebelum pintu masuk masjid. Sepanjang jalanan menanjak menuju Masjid Itaewon, banyak penjual makanan khas Arab, India, bahkan Indonesia. Cita rasanya sungguh menggoda. 

Usai shalat Dzuhur, saya melanjutkan perjalanan kembali ke Incheon. Sudah pukul 5 sore disini, jadi saya kemungkinan besar tiba di Incheon Airport sekitar pukul 6.30. Waktu buka puasa sendiri masih lama yaitu pukul 19.58. Musim panas di Korea menyebabkan waktu siang yang lebih panjang. Sehingga, umat Muslim disini harus menyiapkan diri untuk shaum sejak imsak pukul 03.15 hingga 19.58.

Saya segera menuju stasiun Itaewon setelah mampir sebentar di Starbucks. Saya naik Airport Railroad (AREX) menuju Incheon International Airport. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 1,5 jam dengan tarif 4,150 KRW plus 500 KRW deposit.
Konklusi
Pengalaman hari ini cukup menyenangkan. Saya jadi paham bagaimana caranya jalan-jalan ke Seoul dari Academy. Saya juga puas menertawakan diri sendiri kala dengan ‘PD’nya mengambil leaflet tentang Seoul yang berjudul bahasa Inggris tapi ternyata isinya bahasa Korea semua. Kadang, perjalanan itu hanya tinggal dijalani saja. Pergilah kemana langkah membawamu.

Saya masih punya daftar tujuan yang harus disinggahi. Entah itu Gyeongbokgung Palace, Dongdaemun History Park, Namdaemun Market, Gangnam District, atau toko musik untuk membeli CD Wonder Girls dan SNSD. Sementara hari ini saya cukupkan sekian. Saya sudah lelah. Sambil menunggu waktu buka puasa, saya menyiapkan semangkuk oatmeal dan rendang vacuum yang saya bawa dari Indonesia.

Bismillahirrahmanirrahim.


Incheon, 6 Juli 2014

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...