Kamis, 31 Maret 2016

A Prelude to an Authorized Biography

Jika dia menghabiskan waktu untuk menoleh ke masa lalu, semakin sedikit waktu tersisa untuk bergerak ke depan. – Charles Moore

Courtesy: www.goodreads.com

Menarik sekali untuk memperbincangkan Margaret Thatcer, satu dari sekian perempuan yang paling berpengaruh di medio 80-90an. Sepak terjangnya memang menimbulkan pro dan kontra, baik dari kawan sepaham maupun dari pihak sayap kiri di pemerintahan. Namun, dengan segenap kontroversinya, Lady Thatcer tetaplah pribadi yang dicari untuk dibuatkan otobiografinya.

Usai berhenti menjabat sebagai Perdana Menteri, banyak penerbit datang pada Thatcer. Tentu mereka tertarik pada kenangan pribadi dan kisah tersembunyi di balik pemerintahannya. Mereka berebutan ingin mendapatkan hak untuk menerbitkan memoarnya. Ia sendiri sebenarnya lebih suka untuk tidak mengumbar cerita pribadi.

Barangkali, karena didasari oleh rasa geram akibat dipaksa untuk menginggalkan tahta Perdana Menteri, Thatcer mulai sadar untuk menjelaskan apa saja yang sudah dicapai selama masa pemerintahannya. Untuk hal ini, sebuah tim yang terdiri dari para asistennya mengemban tugas berat untuk membujuk Lady Thatcer guna mengungkapkan anekdot informative, sentuhan pribadi, dan narasi jernih yang merupakan dasar dari memoar bermutu.

Lady Thatcer ternyata tidak mampu memaparkan kehidupannya secara akurat. Memorinya yang teramat kuat dalam menguasi fakta dan statistik pemerintah, gagal ketika diminta merunut riwayat hidupnya secara detail. Thatcer terlalu sibuk menjalani hidupnya sehingga tidak sempat merekam pengalaman pribadi.

Membaca bagian pembuka dari buku setebal 1080 halaman ini adalah suatu perjalanan memasuki sejarah hidup seseorang yang lugas. Karenanya, buku ini ditulis dengan tidak mengikuti kaidah autobiografi pada umumnya. Thatcer yang sering melompat dari satu topik ke topic lain membuat kesulitan tersendiri bagi penulis. Walaupun begitu, penulis berhasil mengkaji kehidupan dari seseorang yang tidak pernah mengkaji hidupnya sendiri.

Perempuan bernama lahir Margaret Hilda Roberts ini istimewa. Dialah perempuan pertama dan satu-satunya yang pernah menjadi pemimpin partai politik di Inggris. Dialah perempuan yang membawa Inggris melewati pertikaian denga Irlandia Utara, Perang DIngin dan Perang Falkland. Thatcer memang telah tiada, namun minat publik kepadanya akan selalu ada. Seiring dengan surutnya kontroversi yang hilang ditelan arus sejarah, minat terhadap Thatcer akan kian meningkat.

 
Medan Merdeka Barat, 31 Maret 2016

Rabu, 30 Maret 2016

Super Cobra, Sebuah Misi Tebus Dosa


Seperti judul diatas, alasan saya membeli model kit Super Cobra ini adalah untuk menebus kesalahan saya 16 tahun yang lalu. Saat itu, saya sudah punya mainan plastik heli AH-1D Cobra dan dengan sadar mengizinkan adik sahabat saya untuk memainkannya. Seperti yang sudah diduga, heli Cobra itu rusak berat. Blade patah dan kaca kanopi pecah. Maklum, jatuh dari ketinggian pangkuan Ibu. Saya juga sudah lupa dimana terakhir kali menyimpan bangkai heli Cobra itu. Saya cukup sadar sekarang untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Walaupun memang model kit plastic injection mold generasi saat ini agak ringkih.

Model kit terbaru kali ini dating dari satu brand Jepang yang sudah terkenal dengan varian mini 4WD, Tamiya. Agak excited memang untuk mendapatkan item ini karena selain brand, pertimbangan lainnya yaitu kualitas material dan detail. Perbedaan yang saya dapati antara Stuka dengan Super Cobra memang agak lumayan. Tetapi, secara keseluruhan diantara kedua brand model kit itu memang memiliki keunikan sendiri dimana modeler penghobi harus menyesuaikan.

Project Super Cobra ini saya mulai dengan pembuatan dan pengecatan kanopi pada kaca. Saya meniru sebuah tayangan video di Youtube sehingga memutuskan untuk mencoba membuat kanopi untuk pertama kalinya. Dengan sedikit kemauan, niat, dan tools, akhirnya saya berhasil menyelesaikannya. Thanks to the masking tape. Saya berhasil melakukan suatu lompatan besar dalam karir saya sebagai perakit model kit dadakan.


Selebihnya, saya mulai membuat pola camouflage pada bodi heli (lagi-lagi) dengan masking tape. Saya tidak membuat pola yang terlalu besar, mengingat saya hanya akan memainkan dua warna saja. Yaitu hijau dan warna dasar abu-abu.Saya juga masih mengandalkan spray paint Fuji Green seperti yang saya gunakan di Stuka. Ditambah warna Deep Blue untuk pewarnaan kanopi, weaponry, landing gear, dan rear blade.

Super Cobra 1/72 ini memiliki tingkat kesulitan yang agak lumayan. Bagian fuselage yang ramping memang memiliki kesulitannya sendiri. Namun, kesulitan yang sangat terasa adalah berat heli sesudah semua part selesai dipasang terlalu ringan sehingga cenderung berat ke belakang. Untuk mengatasi imbalance weight, saya terpaksa membongkar kembali bagian badan atas heli. Saya menambahkan ballast pemberat berupa dua buah paku 5 cm yang saya tanam dan tempel dalam fuselage bagian dalam. Penambahan 2 buah paku sebagai ballast ini rupanya cukup efektif untuk menjaga keseimbangan heli. Saya sarankan untuk melakukan penambahan ballast pada model kit sejenis agar heli bisa berdiri sebagaimana mestinya.


Saya belum melakukan finishing dengan menambahkan decal pada Super Cobra ini. At least, saya sudah melakukan satu hal sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Saya belum pernah melakukan pembuatan kanopi dengan cara mengecat. Again, that masking tape is really works. Masking tape sangat membantu dalam pengerjaan kanopi. Saya juga belum pernah membuat camo pada semua model kit sebelumnya, dengan percobaan pertama pada Super Cobra, saya masih membuka kemungkinan untuk melakukan hal yang sama pada model kit lain yang akan datang selanjutnya. Dengan demikian, dosa 16 tahun lalu sudah terbayar. I feel at ease now. So, never stop to learn and experience new experience. 

Model Kit      : Bell AH-1W Super Cobra
Skala              : 1/72
Manufacturer : Tamiya

Cipayung, 27 Maret 2016.

'Just Alvin' Offline

Courtesy: www.goodreads.com

Sejak awal kemunculannya, ‘Just Alvin’ memposisikan dirinya sebagai acara talkshow yang menampilkan value lain dari para bintang tamunya. Dengan demikian, ‘Just Alvin’ tidak malah menjadi talkshow biasa yang mainstream. ‘Just Alvin’ menjelma menjadi talkshow yang berbeda dimana banyak bintang tamunya yang tidak segan untuk membagi pengalaman atau cerita yang belum pernah dipublikasikan di media manapun.

Buku ini mengangkat cerita kembali dari sosok-sosok bintang tamu yang pernah mengisi acara yang dipandu Alvin Adam itu. I must say that sosok yang muncul dalam buku ini adalah para kontroversialis. Masih ingat cerita perceraian Anang-KD dan Ahmad Dhani-Maia Estianty? Skandal video Ariel-Luna-Cut Tari? munculnya kembali Tamara ke ranah publik dengan film 'Air Terjun Pengantin'? Kembalinya Sophia Latjuba ke tanah air? Kisah romansa Angelina Sondakh dengan Adjie Massaid? Tentang bagaimana Elfa Secioria menciptakan jingle untuk acara ini, dan kenang-kenangan terakhir bersama Utha Likumahuwa? Itulah sekelumit cerita yang dituangkan dalam buku ini.

Hal-hal diatas menambah catatan tersendiri tentang 'Just Alvin' yang mampu meyakinkan narasumber untuk mau bercerita-hanya kepada 'Just Alvin'-tidak melalui media lain. Semua narasumber dalam buku ini memiliki kisah tersendiri dan mungkin itu alasan mengapa mereka terpilih untuk dimasukkan dalam daftar pengisi buku ini. Sebagai contoh, simak bagaimana Alvin Adam berusaha menemui Anang dan membujuknya untuk mau tampil pasca perceraian. Lalu, Alvin juga mendatangi LP tempat Ariel ditahan dan mendapat cibiran dari media-media yang lain.

Well, dari segi penampilan, buku ini mewakili pencitraan acara ‘Just Alvin’. Jurnalisme rasa yang diusung ‘Just Alvin’ memang terasa dalam teks yang cenderung singkat. Ditambah potongan foto-foto saat shooting, menjadikan buku ini lebih hidup dan merepresentasikan keadaan narasumber saat shooting.

Anyway, kalaupun ada buku selanjutnya dari ‘Just Alvin’, saya berharap buku baru itu mampu menampilkan lebih banyak teks dan foto serta harga yang lebih bersahabat agar pembaca mampu lebih menikmati saduran talkshow ke dalam teks.

Judul     : The Storybook of Just Alvin
Penulis  : Alvin Adam, Feby Indirani
Penerbit : Gagasmedia
Tahun    : 2011
Tebal     : 204 hal.
Genre    : Non Fiksi - Memoar


Cipayung, 29 Maret 2016.

Kamis, 17 Maret 2016

Kepada Cinta

Courtesy: www.bukukita.com

Tidak ada alasan lain bagi saya untuk membaca buku ini kecuali penasaran dengan surat cinta tulisan Adhitya Mulya. Itu saja. Lainnya saya anggap bonus. Termasuk surat cinta dari Raditya Dika. Maklum saja, buku ini memuat tulisan surat cinta dari para pemenang kontes surat cinta. Tidak melulu soal surat cinta sepasang kekasih. 'Kepada Cinta' menghadirkan cinta yang universal, kepada keluarga, teman, sahabat, bahkan cinta sejenis.

Sebagai seorang penulis musiman dan dadakan yang surat cintanya pernah dimuat dalam satu buku kompilasi, saya sangat menikmati pembacaan buku ini. Tata letak dan tipografi yang beragam membuat tidak mudah bosan dan jenuh. Kalaupun benar jenuh dan bosan, barangkali karena terlalu banyak cinta didalamnya.

Judul       : Kepada Cinta: True Love Keeps No Secret
Penulis    : Adhitya Mulya [et.al]
Penerbit   : Gagasmedia
Tahun      : 2009
Tebal       : 244 hal.
Genre      : Fiksi- Kumpulan Surat Cinta

Cipayung, 16 Maret 2016.

Selasa, 08 Maret 2016

Stuka Model Kit Finishing: Painting and Decaling

Tulisan ini didasari oleh ketidakmampuan saya untuk segera move-on dari Stuka. Proses pengerjaan Stuka, mulai dari assembling (perakitan), painting (pengecatan), hingga finishing (decaling) masih melekat dan membuat perhatian saya belum beralih walaupun saya sudah memesan model kit lain, yaitu Kyrios Gundam.



Sepanjang sejarah pengerjaan model kit, mulai dari Apache AH64D 1/72, F16, MiG-29 Fulcrum, F15, dan F14 buatan Academy skala 1/144 belum sekalipun saya selesaikan hingga decaling. Saya tidak pernah menempelkan decal pada model yang telah selesai dirakit. Saya belum percaya diri untuk menempelkan decal pada model. Saya masih dirundung kegagalan merakit Mazda RX7 tahun 2002 silam. Saya sudah merasa cukup untuk merakit saja, tanpa pengecatan ulang (repainting), dan mengganti stiker decal dengan Rugos ® .


Anyway, pada Proyek Stuka ini saya merasa harus menghentikan kebiasaan saya. Selain karena pertimbangan faktor sejarah, Stuka ini juga saya dedikasikan untuk Aldebaran, putra saya. Maka mulailah saya mencari cat semprot warna hijau gelap khas Luftwaffe. Berhubung warna tersebut tidak ada di toko besi dekat rumah, maka saya mengganti dengan warna Fuji Green No. 162 dari varian cat Pylox ®. Mengikuti panduan, saya mengecat permukaan bagian atas pesawat dengan warna hijau tersebut. Warna hijau fuji membuat fuselage Stuka menjadi lebih terang, tidak gelap sebagaimana Stuka asli milik Luftwaffe. Saya rasa itu bukan masalah besar, lagipula dengan warna yang lebih terang membuat Stuka versi saya lebih bisa untuk dinikmati.


Selesai pengecatan, saya membiarkan Stuka polos semalaman. Baru keesokan harinya saya mulai proses lanjutan yaitu penempelan stiker decal. Saya paling tidak suka menunggu, begitu pun ketika harus menyisihkan waktu untuk proses decaling. Saya menonton dulu panduan pemasangan decal pada model kit yang ada di Youtube. Saya pun segera menyiapkan alat-alat dan bahan seperti air hangat untuk memisahkan decal dari stiker induknya, pinset, dan pembersih telinga untuk menyerap air. Saya tidak mungkin menuruti apa kata video Youtube karena memang tidak menyiapkan decal enamel sebagai pelapis dasar dan pelapis akhir di model kit.


Proses penempelan decal memang membutuhkan ketelitian dan kesabaran sebagai faktor utama penentu keberhasilan detail. Saya pun berhasil memasang decal untuk pertama kalinya pada model kit Stuka 1/72 ini. Saya tidak memasang semua stiker yang diberikan. Alasannya, selain kebanyakan terlalu kecil, bila semua decal dipasang tangan saya akan mengalami kesulitan dalam mencari pegangan/patokan karena bagian fuselage belakang sudah kena decal. 


Untuk mengeringkan decal, setelah menggunakan pembersih telinga, saya pun menjemur Stuka di bawah terik matahari selama kurang lebih 15 menit. Usai dijemur, Stuka yang sudah gagah ini saya pajang sambil sedikit dikenai terpaan kipas angin. Proyek Stuka ini menyisakan satu pekerjaan lagi. Pengecatan dengan menggunakan cat semprot warna clear alias bening untuk melapisi seluruh lapisan badan atas dan bawah. Pengecatan ini bermaksud agar menguatkan decal yang telah terpasang sehingga bila kena air tidak akan kembali memudar. CMIIW.

Satu pekerjaan tersisa ini akan saya selesaikan nanti usai paket Kyrios Gundam tiba. Saya akan melihat terlebih dahulu apakah model kit Gundam membutuhkan hal yang sama dengan Stuka. Ini sangat penting. Terutama soal budget, apalagi bagi modeler penghobi amatir seperti saya ini.


Cipayung, 7 Maret 2016.

Jumat, 04 Maret 2016

A380 on a Photobook

"People love the A380 as passengers. But airlines don't."
– Airbus Chief Executive, Fabrice Bregier




Airbus A380 setidaknya sampai hari ini masih memegang predikat sebagai pesawat terbesar di dunia. Namun, tidak banyak orang yang tahu bagaimana dibalik proses pembuatan pesawat ini. Ide untuk membuat pesawat dengan dua dek penumpang ini sudah muncul di tahun 90-an. Ketika itu, Airbus telah membuat gambar imaji (artist impression) tentang pesawat impiannya ini dengan label A3XX dan dimuat dalam beberapa majalah penerbangan.

Prototipe pertama A380 diberi tanda registrasi F-WWOW. Pada satu judul majalah penerbangan di Indonesia, peristiwa first flight A380 pada 18 January 2005 diberi judul "Il vole..". Buku ini mengajak pembaca untuk menyelami lebih dalam bagaimana usaha Airbus dalam mewujudkan impian mereka. Airbus A380 sendiri menggunakan berbagai fasilitas Airbus yang ada di beberapa negara Eropa, diantaranya Prancis, Jerman, Inggris, dan Spanyol.

Erik Orsenna dan beberapa rekan fotografernya mengajak kita melihat bagaimana Airbus membangun hangar-hangar besar untuk fasilitas produksi A380, hingga bagaimana para engineer memasang ratusan kilometer kabel yang ditanam dalam A380. Foto-foto itu disusun dengan sekuen berurutan dari pembangunan fasilitas produksi hingga first flight A380 pada 18 January 2005. Kualitas foto yang memang baik dipadukan dengan teknologi cetak premium sehingga momoen bersejarah dalam khazanah penerbangan dunia dapat diabadikan dengan layak. Sayangnya, buku ini hanya terbit dalam bahasa aslinya, bahasa Prancis. 

Judul     : A380
Penulis  : Erik Orsenna, et.al
Penerbit : Fayard
Tahun    : 2007
Tebal     : 191 hal.
Genre    : Penerbangan-Photobook


Medan Merdeka Barat, 3 Maret 2016.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...