Kamis, 29 Oktober 2009

Potongan E-mail dan Sumpah Pemuda

"Memang Cikeas, beberapa Menteri dan Panitia Harkitnas pusat tidak kenal wacana apapun kecuali 'merekrut' mereka: kaum muda yg bertekad meneguhkan kebangkitan generasi muda mandiri itu. Bisa dipahami kenapa tak pernah lahir manusia baru Indonesia, setiap yg tumbuh selalu diletakkan sebagai ekor dari generasi sebelumnya.

Sebenarnya eksekusi movement mereka bisa dengan mudah dilaksanakan andaikan mereka mau jadi 'boneka industri', karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Tapi jadi batal 'dzat'nya, pilihan watak kemandirian hidupnya.

Tapi saya percaya itu tak akan lantas kalah oleh tantangan dan halangan, mereka tak akan menjebak diri menjadi benih2 murni nasionalisme yang balik ke mainstream untuk hanya menjadi penempuh2 karier pribadi yg egosentris dan primordial.

Thanks dan salam"

*****

Satu email dari seorang sahabat yang juga 'orang dalam' di lingkungan rumah tangga kepresidenan cukup mengejutkan. Ditengah situasi politik saat ini yang membuat siapapun mau merapat lebih dekat dengan kekuasaan tiba-tiba saja ia agak berontak. Mungkin ia sudah waras dan mulai paham serta sadar posisinya. Ia mungkin sudah sadar bahwa yang ada disekelilingnya hanyalah omong kosong belaka adanya. Budaya birokrasi yang terlanjur mengakar kuat tanpa terasa telah menjerat semua urusan yang ada disana.

Pesan itu lebih cocok tendensinya kalau lagi musimnya bahas wacana kebangkitan nasional yang selalu diperingati pada bulan Mei. Tapi, aku pikir ini masih ada hubungannya dengan Sumpah Pemuda yang gegap gempitanya hilang begitu saja hari ini oleh gemuruh yang selalu datang di akhir bulan, apalagi kalau bukan gajian. Sumpah pemuda yang tak lagi muda. 81 tahun sudah setelah para pemuda dari seluruh negeri berikrar untuk Indonesia yang merdeka.

Sejak periode kebangkitan nasional, pemuda telah menjadi motor yang menggerakkan seluruh perangkat mesin kebangsaan untuk sama-sama bercita-cita merdeka. Maka tak heran bila kemudian mereka berkumpul untuk mendeklarasikan cita-cita yang selalu diidamkan. Merdeka dari penjajahan. Sumpah pemuda hanyalah sebuah peretas menuju jalan perjuangan memperebutkan kemerdekaan.

Sumpah Pemuda mengandung makna tekad, upaya, dan ikhtiar pemuda dalam meraih cita-cita kebangsaan melalui satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. Melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 bangsa ini memulai suatu pergerakan baru menuju Indonesia merdeka setelah diawali dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.

Kondisi pasca kemerdekaan di zaman modern seperti saat ini, Sumpah Pemuda hanyalah tinggal jadi satu penanda setiap tahunnya tanpa benar-benar ada waktu khusus untuk menghayati kembali maknanya. Kita hanya tahu 28 Oktober itu adalah harinya Sumpah Pemuda. That’s all. Kita mungkin telah lupa juga kalau hari itu pertama kalinya Indonesia Raya diperdengarkan.

Kaum muda selayaknya jadi generasi mandiri yang lahir menjadi manusia baru Indonesia. Sayangnya, setiap mereka yang tumbuh selalu dijadikan ekor dari generasi sebelumnya. Mereka sengaja diposisikan seperti itu oleh bermacam-macam alasan dan kepentingan agar mindsetnya mentok Cuma sebatas ekor atau pengikut saja tanpa ada breakthrough. Mereka hanya akan mengikuti siapa yang lebih menguntungkan. Menguntungkan untuk karir pribadi-pribadi yang sangat egosentris dan primordial.

Karena itu mereka telah menjadi ‘makhluk industri’ yang movementnya bisa dieksekusi setiap saat. Tidak butuh waktu lama karena ratusan perusahaan siap mensponsori mereka. Imbas dari perebutan kepentingan itu akibatnya mengorbankan sikap-sikap dan pola pikir mandiri. Hasilnya, konsumerisme di level kaum muda meningkat dan itu adalah ekspektasi kaum kapitalis.

Kalau sudah begitu itu berarti tanda bahaya untuk nasionalisme. Nasionalisme yang terjalin utuh sejak Indonesia merdeka akan lebih kehilangan esensinya. Nasionalisme bangsa ini naik turun. Kalau dicubit Malaysia baru teriak “Ganyang Malaysia…”. Belum ada satu kejadian yang menyadarkan masyarakat secara massal untuk menggelorakan nasionalisme sejati. Bukan nasionalisme semu, bukan nasionalisme kesukuan. Nasionalisme Indonesia: Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa.


Kelapa Gading, 29 Oktober 2009

Jumat, 23 Oktober 2009

Cinta Dalam Sepotong Artikel

From : Cinta (cinta@kantorberita.net.id)
To :bedul@kempos.com
Title : Article

Here's an article as you requested for your essay.
Hope to see your writing soon.
Love U.

Cinta

*****

Email yang datang sore ini sungguh mengejutkanku. Bagaimana tidak, ternyata ia menganggap serius semua yang kami bahas kemarin malam. Dalam pertemuan yang singkat itu tidak terlalu banyak yang kami bahas. Aku hanya bercerita padanya kalau mungkin aku akan mulai menulis essay seputar konflik internasional. Aku menemukan kembali passion untuk menulis terutama setelah menyadari bahwa keadaan demokrasi di Afghanistan tidak jauh berbeda dengan demokrasi di Indonesia pasca reformasi.

Ia hanya mengangguk saja dan tidak banyak bicara. Sorot matanya tajam seakan ia tahu betul apa yang ada di pikiranku. Pun ketika akhirnya waktu pertemuan kami habis ia tidak berkata apa-apa. Ia hanya tersenyum sambil mempersilakanku keluar ruangan.

Rasanya pertemuan itu begitu hambar. Aku lanjutkan membaca artikel yang dikirimnya.

A government-appointed commission in Afghanistan has ordered a run-off vote to decide the country's divisive presidential election. But as two experts told DW, it won't be easy to resolve the battle for power. Afghanistan's Independent Election Commission (IEC) ruled on Tuesday that incumbent President Hamid Karzai and his closest rival, former Foreign Minister Abdullah Abdullah, should face off directly against one another in a second vote on Nov. 7.

In the first round of voting this August, which featured dozens of candidates, Karzai initially got 54 percent of the ballots. But that election was marred by fraud - with the UN-run Electoral Complaints Commision saying that up to 90 percent of ballots cast at some polling stations shouldn't have counted.

Karzai and Adbullah have both said they welcome the IEC's ruling, while world leaders, including US President Barack Obama and UN Sercretary General Ban Ki Moon, also hailed the decision to hold second vote.

The German Foreign Ministry said Berlin was pleased that a way forward had been found.

"It is important for all those involved to show responsibility, calm and moderation during the current situation and ensure there is a credible continuation of the electoral process," the ministry said in an official statement.

But Afghans living in Germany are skeptical about how credible any election results can be.*)


*****

Demokrasi di Indonesia baru bisa dikatakan berjalan pasca reformasi. Semua bidang dan sendi-sendi kehidupan mulai mengenal apa itu namanya demokrasi. Asalkan ada demokrasinya pasti laku. Kebebasan media dianggap sebagai penyebar virus buatan kaum intelektual Barat itu.

Kalau dihitung, Indonesia sudah menjalankan demokrasi yang betulan ini 11 tahun lamanya. Tidak jauh berbeda dengan Afghanistan. Afghanistan mulai melek demokrasi semenjak menjadi pesakitan koboi bernama George W. Bush yang menjadikan tanah Mujahidin sebagai ladang pembantaian massal atas nama perang terhadap terorisme pada 2001. Dengan dalih mencari biang kerok teroris pengebom WTC, Osama bin Laden, penghancuran massal pun dilakukan.

Selain upaya untuk menangkap dalang teroris rupanya imperialis modern tidak lagi menggunakan gold, gospel, dan glory dalam melaksanakan misinya. Sudah tentu, demokrasi kini menjadi bawaan wajib. Keadaan itu telah menguras otak penduduk Afghanistan. Mereka yang dulunya konservatif dibawah pimpinan rezim Taliban telah membuka matanya bahwa Taliban pun bisa diruntuhkan.

Invasi yang dilancarkan AS ternyata membuahkan hasil yang sepadan. Rakyat Afghanistan mulai terbuka terhadap virus yang sengaja mereka sebarkan. Buktinya, Hamid Karzai, terpilih sebagai presiden pada tahun 2004. Terpilihnya Hamid pun bukan tanpa kontroversi karena ia lebih dianggap sebagai boneka titipan asing. Sebagaimana yang sedang terjadi di Indonesia. Penunjukkan Endang Rahayu sebagai Menteri Kesehatan pun dinilai sebagai titipan asing alias AS.

8 tahun sudah demokrasi dilangsungkan di Afghanistan. Namun, belum ada perubahan yang signifikan dalam tata kehidupan bernegara masyarakat Afghanistan. Konflik horizontal antar etnis masih berlangsung. Taliban juga masih menjadi momok yang menakutkan bagi pasukan pendudukan yang bertugas di Afghanistan.

Rupanya, Hamid Karzai tidak bisa menyatukan seluruh masyarakat Afghanistan. Karzai kurang bisa menyatu dan menyublim dalam hati masyarakat yang dipimpinnya. Sempat beredar dugaan bahwa kemenangannya di Pemilu kemarin itu hanyalah omong kosong yang dikarangnya sendiri. Untung dia masih sedikit legowo untuk menerima keputusan KPU-nya Afghanistan untuk melaksanakan pemilu ulang.

Hamid Karzai tentu masih dibayangi kekhawatiran mengenai kekalahannya. Karzai tidak bisa menghindari fakta bahwa bila seandainya bila pemilu yang terlanjur dibatalkan hasilnya kemarin itu bisa jadi klimaks dari karir politiknya. Bila pemilu kemarin berlangsung secara jujur dan terbuka, menurut analis-analis Afghanistan di Jerman sana tidak akan mencapai 10%. Itu artinya ia akan kalah maka ia segera lakukan tindakan preventif dengan penggelembungan suara.

Agaknya, Afghanistan mesti belajar banyak dari Indonesia tentang bagaimana mengelola demokrasi terutama dalam mempertahan kekuasaan melalui cara yang demokratis. Cara-cara yang digunakan dalam pemilu di Indonesia pun masih punya banyak celah untuk dilanggar. Ini adalah masalah demokrasi di negara-negara berkembang.


*****

hitam dan putih akan kutempuh bahagia,
kututup mata rapat seperti berdoa,
rasa sepi kembali mengalir,
kesepian ini abadi **)

Otong Koil masih berteriak ketika aku tak tahu apalagi yang harus kutulis. Aku cek email yang masuk sejak aku mulai menulis tadi. Beberapa komentar atas tulisan sebelumnya, undangan pernikahan seorang sahabat, undangan pembukaan pameran, dan informasi lomba karya tulis, semua jadi satu di tumpukan berkas email.

Aku baca kembali email darinya yang entah untuk keberapa kalinya. Aku berhenti pada kalimat terakhir. Aku baru menyadarinya kalau ada sesuatu yang aneh disitu. Aku menahan nafas sejenak. Mengucek mata barangkali ada yang salah dengan mataku. Namun, semuanya semakin jelas. Aku belum sampai membaca kembali tulisanku. Aku masih terhenti pada email darinya Aku menatap pesannya semakin dalam. Mencari arti dalam cinta yang ia titipkan dalam potongan artikel itu.


Kelapa Gading, 23 Oktober 2009


*) berita dikutip dari www.dw-world.de
**) lirik lagu Koil, "Kesepian Ini Abadi"


Rabu, 21 Oktober 2009

Kita Ini

Sambil bergegas menuju lift Bedul berkata, “Mau diakui atau tidak, kita ini terlalu sibuk untuk menulis dan bercerita. Ternyata kita lebih senang mengomentari status facebook kawan-kawan kita sambil mengcopy-paste tulisan orang lain untuk kemudian diklaim sebagai buah pikiran kita. Tanpa disadari kita sudah jadi seperti Malaysia yang asal caplok sesuka hatinya. Kita ini terlalu sibuk untuk menyuarakan gagasan. Kita selalu punya sesuatu untuk dibahas walau intinya masih itu-itu juga. Gempa Padang dan Jambi, Pelantikan Mewah Anggota DPR, Penggembosan KPK, Skandal Bank Century, Uji coba rudal Iran, Soto Mie Bogor, Blackpepper KFC, Pelantikan SBY, Taufik Kiemas lidahnya keseleo, dan masih banyak lainnya.”

Sambil terus melangkah keluar lift Bedul masih terus mengoceh, “Kita ini hanya menang status saja. Dianggap pekerja kantoran di ruangan yang berAC. Berangkat pagi, pulang sore. Pakai kameja rapi bahkan kadang-kadang berdasi dan menenteng BB (yang pasti bukan Batu Bata). Pakai parfum bermerek HB yang tentunya bukan singkatan dari Hamengkubuwono dan belinya di tempat refill pula. Juga memakai sepatu hitam mengkilat yang ada labelnya “YK” alias Yongki Komarudin. Kita ini cuma menang status sebagai orang kantoran yang kerjanya duduk menghadap layar LCD padahal hanya untuk buka facebook, YM, email sambil sesekali ‘cuci mata’. Kau paham maksudku, kan?”

Sampai di halte bis, Bedul belum juga berhenti. Ia nyalakan sebatang rokok lalu meneruskan cerita yang tiba-tiba tumpah dari kepalanya. “Kita ini cuma disibukkan menjelang akhir bulan oleh jadwal deadline laporan, analisis, dan konklusi dari semua yang telah dikerjakan. Semangat kita berkobar setidaknya sampai pertengahan bulan dimana kadang kita perlu mengambil nafas sejenak sembari menghitung kembali pengeluaran. Saat-saat seperti itu rasanya bagaikan berada dibawah matahari yang membakar ubun-ubun kepala. Terkadang ikat pinggang kita pun bisa lebih kencang daripada ikatan tali sepatu. Harapan itu muncul kembali setiap tanggalan menunjukkan angka diatas 20. Semakin dekat waktu gajian. Bayangan untuk melampiaskan nafsu yang tertahan semakin tinggi. Alokasi anggaran pun jadi semakin rumit karena kita tidak pernah tahu yang mana kebutuhan yang mana keinginan.”

“Kita ini disibukkan cuma untuk mengisi waktu sebelum tanggal gajian. Percayalah, bahwa kita tidak pernah menginginkan semua ini. Kalau bisa kita hanya ingin gajiannya saja tanpa perlu mengerjakan apa-apa sekalipun. Persetan dengan motivasi, performance indicator, appraisal dan jargon-jargon sialan lainnya. Kita mengenal semua omong kosong itu hanya karena kebetulan saja pekerjaan memilih kita, padahal kita belum tentu atau malah tidak menginginkannya sama sekali. Kita tidak pernah tahu alasan mengapa kita terlibat didalamnya tetapi malah semakin menginginkannya supaya atasan tahu kalau kita ini benar-benar kerja.”

Pun ketika akhirnya kami berdua duduk di bangku pojok PPD, Bedul makin menjadi-jadi. “Kita ini terlalu sibuk untuk beribadah hingga larut dalam segala omong kosong pekerjaan. Tidak ada lagi waktu untuk sekedar membaca Al Fatihah, Alif laamiim, atau Ayat Kursi. Bila pun waktunya sempat kita pamerkan di status Facebook. Ramadhan yang telah berlalu pun itu jadi semacam kursus singkat untuk berpikir tentang akhirat. Kita masih terlalu sibuk untuk memikirkan hal itu seakan semua itu telah jadi kebiasaan atau malah pembenaran atas segala macam bentuk ibadah yang sudah ditunaikan.”

*****

Sambil pamit duluan, aku hanya tersenyum saja padanya seakan aku membenarkan semua yang telah dikatakannya. Setelah aku turun dari bis, aku tersenyum simpul sambil berkata dalam hati, “Kita? Loe aja kali….!”


Kelapa Gading, 21 Oktober 2009




Senin, 12 Oktober 2009

Golkar dan Kekuasaan

"Bargaining Golkar Sudah Lemah." - Tifatul Sembiring, Harian Republika 9 Oktober 2009

Kemenangan Aburizal Bakrie (AB) dalam memperebutkan kursi Ketua Umum Partai Golkar adalah satu pertanda bahwa Gokar masih akan berada dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Golkar adalah bagian dari sejarah kekuasaan sehingga sulit sekali bagi mereka untuk melihat Golkar yang berada diluar kekuasaan.

Golkar selalu berada dalam kekuasaan dan para elitenya pun menghendaki pula hal yang demikian. Terlepas dari perdebatan siapa yang jadi presidennya. Alasannya sederhana, partai ini dibuat dan dikembangbiakkan untuk meraih, mendapatkan, dan mempertahankan kekuasaan.Situasi sekarang tidaklah mudah. Golkar bukan lagi partai pemenang pemilu yang menguasai kursi di DPR. Terpilihnya Taufik Kiemas sebagai Ketua MPR pun ikut melemahkan power Golkar.

Maka, ketika muncul wacana untuk jadi oposisi beberapa kadernya mulai bereaksi dengan menggulirkan isu munas dengan tujuan untuk mengambil langkah nyata dan sikap Golkar dalam pemerintahan SBY 2.0. Opsi untuk jadi oposisi hanya akan semakin menjauhkan Golkar dari kekuasaan.

Pernyataan sikap Golkar yang menegaskan bahwa Golkar tidak koalisi dan tidak oposisi mengindikasikan keinginan Golkar untuk masih berada dibawah ketiak kekuasaan negeri ini. "Jika kebijakan pemerintah memperbaiki rakyat, kita dukung. Bila tidak, Golkar akan mengkritik.", begitu kata Aburizal Bakrie. Dan bila Presiden meminta kader Golkar masuk kabinet, Golkar tidak keberatan, tambahnya.

Sikap yang demikian adalah wajar untuk negara dengan sistem kabinet presidensial seperti Indonesia. Partai politik tidak perlu untuk menampakkan wajahnya secara terang-terangan. Punya dua muka pun bukan hal yang salah. Tentu akan berbeda bila sistem kabinet yang digunakan adalah kabinet parlementer. Disitu diperlukan adanya dua sisi yang berbeda. Hitam dan putih. Koalisi dan oposisi. Moderat dan konservatif.

Yang perlu diwaspadai oleh Golkar adalah pelaksanaan dari pernyataan sikapnya itu tadi. Jangan sampai apapun keputusan pemerintah baik yang mensejahterakan rakyat atau yang mengebiri hak-hak hidup rakyat diamini begitu saja tanpa ada perlawanan. Seolah Golkar lupa janjinya untuk jadi tukang kritik. Lantas, jangan juga Golkar hanya bisa cuci tangan bila keputusan pemerintah tersebut tidak berimplikasi apa-apa pada kualitas hidup rakyat.

Sebelum Golkar kembali ke puncak kekuasaan negeri ini alagkah baiknya bila Golkar terlebih dahulu mengambil langkah retrospektif dalam menganalisa dirinya sendiri. Golkar perlu menguatkan dirinya dahulu dari dalam sebelum comeback ke arena. Perseteruan antar faksi yang menyeruak dalam Munas kemarin mutlak perlu diselesaikan demi membangun Golkar yang dewasa dan solid.

Bila Golkar benar-benar menginginkan kembali pada puncak kekuasaan hendaknya Golkar melaksanakan sikapnya dengan penuh tanggung jawab. Golkar harus memperjuangkan sikapnya ini untuk menghargai konstituen yang mereka wakili sebagai satu instrumen politik di negeri ini. Golkar juga harus mengoptimalkan fungsi kontrol serta check and balance agar kekuasaan yang sedang dilangsungkan oleh pemerintahan saat ini berjalan dengan baik, lancar, dan semestinya. Golkar harus tetap kritis atau hanya akan jadi penggembira saja.


Kelapa Gading, 12 Oktober 2009


Jumat, 09 Oktober 2009

Cintaku Kandas di Tapal Batas Ambalat


Pada suatu ketika, perang telah berlangsung di blok Ambalat. Perang ini konon disebabkan oleh Tentara Laut Diraja Malaysia yang selalu menerobos perbatasan wilayah laut Indonesia tanpa izin. Awalnya, kedua negara yang bersengketa, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menghindari perang. Indonesia tidak punya dana yang cukup untuk berperang. Belum lagi alat tempur yang semuanya sudah uzur. Meskipun di level prajurit mereka sudah siap untuk mengibarkan Merah Putih di tanah Ambalat.

Malaysia pun demikian. Mereka tidak ingin berperang dengan saudara tuanya. Mereka ingin pemecahan dan solusi lewat jalur diplomasi. Tentu dalam hal ini mereka telah berpengalaman ketika akhirnya mendapatkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah lebih dulu mereka jadikan tempat wisata. Mereka tentu akan mendapat dukungan dari negara persekutuan Commonwealth. Namun, mentoknya diplomasi dari Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri kedua belah pihak seakan jadi pembenaran untuk perang ini.

Negara-negara anggota Commonwealth menyatakan netral dan menganggap apa yang terjadi di blok Ambalat adalah urusan resmi dua negara yang bersengketa jadi mereka merasa tidak ada gunanya untuk terjun berperang. Yang diuntungkan dari keputusan itu adalah pihak Indonesia karena mendapat jaminan bahwa RAAF (Royal Australian Air Force-angkatan udaranya Australia) tidak akan mengeluarkan bomber dan mengirimkan pasukannya untuk menginfiltrasi Indonesia melalui Pulau Irian.

Begitupun pulau Sumatra tidak akan menjadi sasaran serangan karena TNI AD dan TNI AL sudah lebih dari berpengalaman untuk menguasai teritori sekitarnya. Sukhoi-Sukhoi yang dibeli dengan beras itu menjadi faktor utama penentu kemenangan Republik Indonesia. Pilot-pilot terbaik lulusan Akabri Udara berhasil menjadi bintang dalam pertempuran itu. Mereka tidak perlu khawatir untuk gugur diatas peti mati tua yang bisa terbang*). Dua pilot yang biasa menerbangkan F-16 yang ikut mengusir 3 unit F-18 milik USAF (United States Air Force-angkatan udaranya AS) yang menyusup melalui Samudera Hindia ikut pula dalam pertempuran udara itu.

Begitulah seterusnya. Perang terjadi juga. Rudal-rudal dari Sukhoi yang menghantam F5Tiger dan F16E Malaysia bagaikan kembang api di langit Ambalat sana. Rasanya bagai sedang berlangsung pesta kembang api besar. Pecahannya bagaikan seribu kunang-kunang di Manhattan**). KRI-KRI yang berkeliaran di sepanjang batas territorial perbatasan bagaikan semut-semut hitam***) bila dilihat dari angkasa sana. Mereka siap dengan meriam dan long-range missiles buatan Lockheed Engineering-perusahaan yang juga membuat F16 Eagle. Sekali rudal jelajah itu melesat ia siap merontokkan apa pun termasuk kapal-kapal perang Malaysia yang akhirnya kandas di perairan sebelah barat daya Tarakan. Operasi kapal selam pun berhasil dipatahkan TNI AL. Torpedo-torpedo berhulu ledak nuklir telah lebih dahulu menghancurkan pangkalan Tentara Laut Diraja Malaysia.

*****

Pemenang perang berhak atas blok Ambalat yang katanya punya banyak cadangan minyak. Sudah puluhan perusahaan minyak beserta kontraktor-kontraktor pengeborannya datang dibawah koordinasi BP MIGAS. Ada rombongan Chevron Pacific Indonesia, disusul kontingennya Schlumberger. Ada juga Pertamina yang menggandeng Halliburton sebagai rekanan. Belum lagi Petrobras, British Petroleum, CNOOC, ExxonMobil, Santander, Petrol Ofisi , Total EP, dan tak ketinggalan beberapa perusahaan lokal seperti Indika Energy, Medco EP serta beberapa dari Timur Tengah. Tentu saja Petronas merasa kecewa dengan hasil perang ini. Investasi yang sudah direncanakan kini tidak lagi berarti.

Minyak yang dihasilkan di blok Ambalat sudah lebih dari cukup untuk menjaga stok BBM nasional 150 tahun kedepan. Industri otomotif nasional kembali bergairah dengan dibelinya beberapa anak perusahaan General Motors yang menyatakan kebangkrutannya pada bulan Juni 2009. PT. Timor Putra Nasional kembali bangkit dengan membeli Chevrolet. Konsorsium bentukan Toyota-Daihatsu membeli GMC, Buick, dan Saturn yang kolaps bersama dengan GM (bukan Gunawan Muhammad tentunya). Gaikindo pun turun dengan membentuk perusahaan yang mengambil alih SAAB. Kejadian ini menyebabkan Indonesia menempati urutan teratas dalam jumlah produksi kendaraan bermotor.

Bahkan bukan itu saja. Kelebihan uang dari penjualan minyak ini telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur industri militer nasional. PT.DI yang pernah berjaya dibawah nama IPTN kini telah menjadi pusat riset kendaraan tempur termasuk pesawat terbang. PT. Pindad yang menjadi perusahaan supplier untuk TNI kini lebih disegani dalam kancah industri militer dan pertahanan secara global. Departemen riset Pindad telah mengembangkan berbagai macam rudal jelajah dan beberapa torpedo berhulu ledak nuklir. Pemerintah tidak pernah khawatir lagi oleh embargo senjata dari Amerika Serikat walaupun untuk pesawat jet tempurnya masih disuplai oleh Rusia melalui program “Rice for Sukhoi”.

Swasembada beras yang telah berlangsung selama beberapa periode kepemimpinan telah menyebabkan BULOG tidak mempunyai gudang persediaan yang cukup lagi. Beberapa diantaranya sudah diekspor ke luar negeri. Ada yang juga yang dihibahkan untuk korban bencana alam di luar negeri sana. Maka dari itu, kalaulah kelebihan beras ini sudah cukup untuk ditukar dengan satu pesawat tempur Sukhoi 27 Flanker atau Sukhoi 30 Mk II itu artinya pengadaan pesawat tempur tidak lagi membebani APBN. Dengan ide yang dilontarkan oleh Menteri Pertanian itu pemerintah dapat mengalihkan biaya pengadaan alutsista untuk dialokasikan pada sektor pendidikan.

Rencana pemerintah untuk memberikan pendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat sudah didepan mata. Pada setiap kota yang telah memiliki RSBI (Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) akan dikembangkan menjadi sekolah internasional untuk masyarakat Indonesia-bukan ekspatriat. Kurikulum dan sistem pendidikan disesuaikan dengan menggunakan GCSE-CIPAT yang Cambridge-based dan iB atau International Baccalaureate untuk mengejar ketertinggalan pendidikan.

Menteri Pendidikan Nasional melalui siaran persnya tidak pernah berhenti meyakinkan khalayak bahwa sekolah semacam itu tidak akan membebani semua siswanya. Pemerintah menjamin ketersediaan dana bagi berlangsungnya pendidikan yang benar-benar murah, terjangkau, dan berkualitas. Peningkatan kualitas guru pun menjadi satu program tersendiri yang ditargetkan untuk menghasilkan guru-guru yang berkompetensi global. Konon, anggaran untuk peningkatan kualitas guru dan sekolah itu tidak terbatas.


*****

Perang telah usai dan semua telah kembali pada keadaan semula. Aku rindukan kekasihku yang jauh di Ambalat sana. Kandas di tapal batas. Sukhoi yang diterbangkannya jatuh ditembak Tentara Darat Diraja Malaysia. Kata teman-temannya, sebenarnya kerusakan pesawatnya tidak terlalu parah dan masih bisa terbang kembali ke pangkalan namun ia lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara yang sama seperti yang dilakukan pilot-pilot Jepang pada waktu Perang Dunia II, harakiri. Aku tidak pernah tahu sejak kapan TNI-AU mulai membiasakan diri dengan hal itu.

Kekasihku menabrakkan pesawatnya pada satu gudang yang diketahui sebagai gudang logistik pasukan perang Malaysia. Akurasi data intelejen memang tidak pernah salah. Kejadian itu mengakibatkan pecahnya konsentrasi perang pasukan Malaysia. Antara menyelamatkan logistik atau mempertahankan garis depan.

Perang memang telah usai namun badai masih menggulung hatiku. Aku masih menatap matahari senja yang berkilauan. Aku harap ini bukan senja yang terakhir. Bukan juga senja penghabisan. Aku menantap matahari yang bagaikan bola emas raksasa. Sinarnya belum juga redakan badai hati ini.

Kekasihku, seorang pilot berpangkat kapten yang punya mata setajam elang itu kini mungkin sudah sampai di pintu surga. Tuhan pernah menjanjikan siapapun yang berangkat menunaikan tugas mempertahankan kedaulatan bangsanya akan dimasukkan ke dalam golongan penghuni surga. Aku tahu bahwa kekasihku melakukan sesuatu yang benar. Untuk negaranya, Untuk cintanya-bukan padaku.


Kelapa Gading, 9 Oktober 2009


*) Peti mati tua yang bisa terbang, istilah ini popular setelah terjadi kecelakaan pesawat terbang Hercules C-130 milik TNI AU di Magetan, Jawa Timur bulan Mei 2008.
**) Seribu Kunang-kunang di Manhattan, sebuah judul kumpulan cerpen Umar Kayam.
***) Semut Hitam, judul lagu God Bless

Senin, 05 Oktober 2009

Golkar dan AC Milan


Golkar adalah sebuah sejarah yang sedang berlangsung. Satu partai yang masa kejayaannya dimulai sejak Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997 dengan pendapatan jumlah suara sebesar 74,5 persen. Kemerosotan Golkar dimulai sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004 hingga anti-klimaksnya di Pemilu 2009 kemarin. Berturut-turut Golkar hanya mendapatkan 22,4 %, 21,6 %, dan 14 %.

Semakin menurunnya perolehan suara Golkar telah menjadi isu yang semakin meruncing dalam perdebatan untuk menentukan siapa yang layak, mampu, dan bisa menegakkan beringin yang telah rapuh setelah lama berkuasa. Membangun kembali Golkar adalah membangun kembali susunan akar rumput penyangga kehidupan partai. Tanpa hal itu, takkan ada Golkar yang kuat. Yang selalu jadi pemenang Pemilu hingga disegani.

Tidak adanya figur pemimpin dinilai sebagai penyebab kekalahan Golkar. Oleh lawannya Golkar pun kini bukan lagi suatu entitas besar yang patut diwaspadai manuvernya atau dicurigai gerak-geriknya. Beringin telah rubuh tanpa meninggalkan suara. Pemilu 2009 meninggalkan luka yang sangat dalam dalam tubuh partai beringin. Partai yang dikenal lewat jargonnya "Luber" alias "Lubangi Beringin" zaman orde baru ini seakan tak kuasa menampik takdir.

Kenyataannya sekarang ini Munas Golkar di Pekanbaru yang bertujuan mencari pemimpin ideal yang bisa membangun dan menegakkan kembali beringin yang telah rubuh hanya jadi ajang pamer belaka. Semua kandidat saling berlomba mengumpulkan dukungan. Ada yang berkelas dengan menyelenggarakan turnamen Golf. Satu budaya peninggalan kaum pebisnis, yang memiliki motto "di atas padang golf segala urusan dibicarakan, dari politik hingga bisnis". Ada lagi yang datang dengan 5 pesawat carteran untuk mengangkut para pendukungnya. Ada lagi yang datang hanya bermodal kekuatan intelektualnya. Sedang, yang terakhir datang membawa keyakinan semu yang dibalut kekuatan modal dengan gaya main seorang Mafia.

Adalah baik bila sebuah organisasi memiliki banyak calon pemimpin potensial yang mampu membawa angin perubahan pada organisasinya kelak. Kapabilitas kepemimpinan, integritas dan loyalitas mutlak dibutuhkan untuk melawan rintangan yang tidak semakin mudah. Namun, semua itu menjadi tidak berarti ketika modal dalam bentuk uang mulai turun tangan. Melalui kekuatan uang setiap calon pemimpin Golkar beradu. Bukankah JK yang akan digantikan itu juga seorang pengusaha penghasil uang dan kebetulan sedang naik daun hingga terpilih jadi wakilnya SBY di Pemilu 2004 kemarin?

Pengaruh uang pada kekuasaan masih jadi perdebatan terutama mengenai efeknya terhadap integritas organisasi. Tesis seorang doktor politik harus membuktikannya bahwa uang adalah cara yang mudah untuk mencapai pucuk kekuasaan. Sederhana saja, uang bisa membeli apapun termasuk kekuasaan.

*****


AC Milan. Siapa yang tidak kenal klub sepakbola dari pusat mode di Italia ini yang juga klub sekota rival Internazionale Milan. Sejarah telah menuliskan Ruud Gullit, Van Basten, Frank Rijkaard, Franco Baresi, hingga Paolo Maldini meraih puncak karirnya sebagai pemain di klub yang bermarkas di San Siro. AC Milan telah menjadi suatu kekuatan yang pernah merajalela di Italia maupun di Eropa. Pada saat itu, semua klub berusaha sebisa mungkin mengalahkannya. Tak apa tak jadi juara. Asalkan bisa mengalahkan AC Milan itu sama rasanya dengan jadi juara.

AC Milan telah mengalami suatu masa kejayaan di medio 90-an ketika masih dilatih Don Fabio Capello. Di negerinya sendiri, waktu itu AC Milan adalah raja kompetisi. Siapapun sangat bernafsu untuk mengalahkannya. Tidak perlu sampai harus menjuarai seluruh kompetisi. Mengalahkan Milan dalam satu matchday pun sudah merupakan kemenangan besar.

AC Milan juga adalah satu dari 10 klub paling kaya di dunia. Klub yang dimiliki oleh politisi partai Forza Italia merangkap Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi tak hentinya membuat sensasi. Siapa yang kenal Ricardo Icezson Santos Leite de Kaka medio 2003? Tidak banyak orang yang tahu siapa dan bagaimana sepak terjangnya. Namun, final Liga Champions 2003 jadi bukti bahwa membeli Kaka bukanlah keputusan yang terlalu salah. Milan juara Champions 2003. Setelah kalah tragis di Final Liga Champions 2005 oleh Liverpool, 2 tahun kemudian mereka membalasnya. Nama Kaka pun masuk daftar buruan Real Madrid. Semuanya terjadi di masa kepelatihan Carlo Ancelotti.

Setelah kepergian Kaka dan Ancelotti sebenarnya Milan punya modal yang kuat untuk membangun dan membentuk skuad yang benar-benar kuat untuk kembali berjaya di Eropa. dengan tidak hanya mengandalkan skuad mesin tua mereka. Skuad saat ini sudah tergolong uzur secara usia menurut beberapa pengamat. Uang hasil penjualan Kaka rasanya cukup untuk mendatangkan playmaker idaman mereka sejak 2002 silam, Rafael van Der Vaart. Nasib van der Vaart yang tidak menentu di Madrid harusnya jadi pertimbangan bagi Berlusconi supaya Milan kembali pada kejayaannya. Namun, rupanya Sang Perdana Menteri lebih percaya bahwa skuad yang ada sudah cukup mengingat rencana comebacknya Beckham ke San Siro dan juga datangnya Milos Krasic, winger CSKA Moskow di musim Dingin nanti.

*****

Nah, apa hubungannya Golkar dengan AC Milan. Keduanya sama-sama punya modal (uang) yang banyak. Namun, keduanya juga masih terlihat sangat hati-hati sekali dan terlalu pelit dalam menghamburkan uangnya. Bukankah uang yang habis untuk kekuasaan akan mudah diperoleh kembali ketika nanti berkuasa? Bila memang kekuasaan sudah mantap kejayaan itu akan datang dengan sendirinya bukan?

Keduanya kini berada dalam persimpangan jalannya masing-masing. Golkar sedang beradu dengan takdirnya. Akankah Munas di Riau nanti membawa hasil yang tidak sekedar menjadikan Golkar sebagai entitas politik biasa yang selalu meramaikan pemilu seperti biasanya. Golkar diharapkan mampu keluar dari krisisnya dengan menguatkan basis pendukung (akar rumput). Soliditas mutlak diperlukan agar Golkar mampu meraih suara maksimal di Pemilu 2014 nanti.

Sedangkan, AC Milan juga harus segera melakukan perubahan besar (kalau perlu dengan cara yang radikal) untuk mengembalikan Milan pada peta persaingan juara di Italia dan Eropa. Leonardo, Ronaldinho dkk, harus berjuang keras untuk meyakinkan publik San Siro bahwa mereka masih layak diperhitungkan. Entah dengan penyempurnaan skuad yang ada, perubahan gaya dan taktik permainan, bahkan kalau perlu hingga mengganti pelatih yang sekarang. Jangan jadikan modal yang sudah ada jadi sia-sia. Kecuali bila memang si Perdana Menteri lagi butuh uang buat kegiatan politiknya. Ingat, politik juga butuh uang dan itu tidak sedikit.

Sepeninggal masa kejayaannya, baik Golkar ataupun AC Milan keduanya tidak punya lagi figur yang bisa memimpin dan mendikte mereka jalan menuju kejayaan. Selepas Orde Baru, Golkar tidak punya pemimpin kharismatik yang benar-benar mencerminkan figur dari rakyat. Golkar selalu terjebak dalam paradigma bahwa yang memimpin Golkar adalah harus dari kalangan birokrat dan politisi.

Akibatnya, ketika birokrasi mengalami reformasi dan politisi digoyang dari kabinet Golkar tidak mampu jadi beringin yang kuat yang mampu menahan segala desakan itu. Maka, Golkar mengalami kemunduran. Ditambah lagi dengan tidak lagi solidnya Golkar dari pucuk pimpinan hingga akar rumputnya. Ini terlihat dari pecahnya dukungan untuk pasangan JK-Win di Pemilu 2009. Basis suara Golkar yang diperkirakan dapat menembus kisaran 20% secara nasional ternyata gagal. Suara Golkar pecah, tidak utuh. Mesin politik Golkar mogok.

AC Milan pun demikian. Sepeninggal Ancelotti, Milan belum punya pengganti yang (minimal) bisa menggantikan sosok Ancelotti. Adapun keberadaan Leonardo di jajaran bangku cadangan Milan hanya dianggap sebagai pelengkap formalitas semata mengingat berbagai hasil buruk yang menimpa mereka. Dihajar habis oleh rekan sekota dan baru-baru ini dipermalukan oleh tamu dari Zurich. AC Milan butuh sosok pemimpin yang bisa membuat ide-ide dan terobosan baru dalam cara bermain. Tidak hanya sebagai pelatih tapi juga sebagai pemain. Pelatih yang membuat kodenya, lalu pemain yang menerjemahkannya.

*****

Yang terjadi pada Golkar dan AC Milan adalah juga cerminan bangsa ini. Bangsa yang sejatinya bangsa yang besar namun masih dianggap bangsa yang kerdil oleh tetangganya sendiri. Indonesia belum punya sosok yang mampu menyatukan kehendak rakyat yang diwakilinya dalam suatu bentuk pemerintahan yang benar-benar menjunjung tinggi UUD 1945. Indonesia masih terjebak dalam permainan politis-birokratif karangan para politisi busuk yang menghuni gedung MPR-DPR di Senayan sana.

Jangan sampai Indonesia terjebak dalam permainan kekuasaan seperti yang dicontohkan Golkar. Jangan pula Indonesia kehilangan kejayaannya karena rakyatnya cuma bisa main bola seperti yang diperagakan AC Milan. Karena bagaimana pun politik dan sepakbola juga persamaan. Dua-duanya butuh pendukung. Tidak ada pendukung, tidak ada persaingan menuju kejayaan. Kalau kata iklan rokok, "Gak ada loe, gak rame..."


Kelapa Gading, 5 Oktober 2009

Jumat, 02 Oktober 2009

Batik, Identitas, dan Bencana

“Merenungkan Indonesia adalah juga merenungkan identitas kebangsaan kita.” *)

Sekilas Sejarah Batik

Sejarah pembatikan di Indonesia berkait erat dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan penyebaran ajaran Islam di Tanah Jawa. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.

Jadi, kesenian batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang kepada kerajaan dan raja-raja berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX.

Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah perang dunia kesatu habis atau sekitar tahun 1920. Adapun kaitan dengan penyebaran ajaran Islam. Banyak daerah-daerah pusat perbatikan di Jawa adalah daerah-daerah santri dan kemudian Batik menjadi alat perjuangan ekonomi oleh tokoh-tokoh pedagang Muslim melawan perekonomian Belanda.

Kesenian batik adalah kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluaga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam keraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar keraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar keraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Lama-lama kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga keraton, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria. Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri.

Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari: pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.

Zaman Majapahit, Batik yang telah menjadi kebudayaan di kerajaan Majapahit, dapat ditelusuri di daerah Mojokerto dan Tulung Agung. Mojokerto adalah daerah yang erat hubungannya dengan kerajaan Majapahit semasa dahulu dan asal nama Majokerto ada hubungannya dengan Majapahit.

Kaitannya dengan perkembangan batik asal Majapahit berkembang di Tulung Agung adalah riwayat perkembangan pembatikan di daerah ini, dapat digali dari peninggalan di zaman kerajaan Majapahit. Pada waktu itu daerah Tulungagung yang sebagian terdiri dari rawa-rawa dalam sejarah terkenal dengan nama daerah Bonorowo, yang pada saat bekembangnya Majapahit daerah itu dikuasai oleh seorang yang benama Adipati Kalang, dan tidak mau tunduk kepada kerajaan Majapahit.

Diceritakan bahwa dalam aksi polisionil yang dilancarkan oleh Majapahati, Adipati Kalang tewas dalam pertempuran yang konon dikabarkan disekitar desa yang sekarang bernama Kalangbret. Demikianlah maka petugas-petugas tentara dan keluara kerajaan Majapahit yang menetap dan tinggal diwilayah Bonorowo atau yang sekarang bernama Tulungagung antara lain juga membawa kesenian membuat batik asli.



Identitas Bangsa

Batik menjadi tema hari ini, 2 Oktober 2009, dimana UNESCO sepakat untuk menamakan batik sebagai world heritage kepunyaan Indonesia. Siapa yang menyangka bahwa hari ini batik akan mendapatkan rekognisi dari UNESCO? Kita sebagai bangsa Indonesia tentunya berbangga bahwa (akhirnya) batik secara resmi telah mendapatkan klaim dari dunia internasional sebagai warisan budaya nusantara. Hari ini juga seruan untuk mengenakan batik merebak dimana-mana dan menjadi satu tren yang happening. Entah untuk menghargai niat baik UNESCO atau kita memang masih menghargai warisan budaya nenek moyang sendiri.

Pengukuhan ini juga membuat lega perasaan kita dari ancaman dan rongrongan Malaysia yang selalu tanpa malu mengklaim beberapa dari budaya Indonesia sebagai kepunyaannya. Perdebatan pun selalu meruncing dan tiba pada satu guyonan bahwa Malaysia adalah Truly Maling Asia.Kita ini bangsa Indonesia, bangsa yang punya identitas kuat baik secara sosiologis, historis, dan kultural walau memang masih ada keterkaitan hubungan dengan bangsa Melayu.

Budaya kita direpresentasikan dalam berbagai bentuk kesenian di tiap daerah. Batik, hanyalah satu representasi dari sekian banyak elemen yang menyusun dan membentuk identitas kebangsaan. Batik kini telah mengalami pergeseran dalam nilai utilisasi atau penggunaannya. Terutama setelah cekcok dengan Malaysia yang terang-terangan mengklaim batik sebagai milik mereka. Bak anak kecil merebut mainan temannya sendiri.

Batik tidak hanya digunakan dalam acara yang sifatnya resmi saja seperti undangan pernikahan maupun jamuan resmi lainnya. Bahkan sejak lama pun anak-anak sekolah sudah menggunakan batik setiap hari Jum’at. Kini, giliran orang-orang kantoran pun mengikuti tren tersebut yang dimulai dengan PNS yang selalu mengenakan batik KORPRI.

Bagaimana seandainya bila kemarin itu Malaysia tidak mengutak-atik batik? Bagaimana bila kemarin itu Malaysia tidak melakukan self-recognition atas segala sesuatu yang jadi milik kita bangsa Indonesia? Mengapa kita harus menunggu saat dimana identitas kita terancam oleh bangsa yang terjebak di persimpangan jalan dalam proses pencarian identitasnya?

Nasionalisme

Dalam pengamatan yang masih terbatas dan masih dapat terbantahkan oleh tesis doktoral studi kebudayaan, kenyataan yang ada saat ini menunjukkan bahwa kita masih terjebak dalam nasionalisme semu (pseudo-nationalism). Rasa nasionalisme kita bukan lagi dibangun dan dipelihara dari peringatan Sumpah Pemuda dan hari Kemerdekaan 17 Agustus.

Nasionalisme kita kita ini terbentuk dari perasaan khawatir. Khawatir akan meledaknya bom akibat teroris keparat pelarian dari Negeri Jiran. Khawatir akan dicaploknya Reog Ponorogo, Tari Pendet, dan Ambalat oleh negeri yang merasa jadi pusatnya peradaban bangsa Melayu (dengan Kerajaan Melayu sebagai basisnya). Karena perasaan khawatir itu terus menggelora dan dikhawatirkan bila dibiarkan akan merusak sendi-sendi identitas kebangsaan maka kita pun mulai sadar bahwa kita itu cenderung memandang remeh dan lengah pada apa yang telah kita miliki dalam hal yang berhubungan dengan konteks sosiologis-historis-kultural.

Berapa banyak dari kita yang mendukung gerakan Indonesiaunite? Sebuah gerakan yang membawa pesan moral bahwa kita tidak takut dengan segala ancaman yang mengancam bangsa ini. Sebuah gerakan yang menggema setelah aksi The Last Bombing di Mega Kuningan yang menyebabkan batalnya Timnas PSSI All Star untuk belajar sepakbola dari murid-murid Sir Alex Ferguson.

Gerakan ini disebut-sebut sebagai Sumpah Pemuda 2.0 yang mencoba membangkitkan semangat kita sebagai bangsa yang berdaulat dan mau melakukan apa saja yang terbaik untuk negeri ini termasuk pemulihan citra sebagai negara teror. Tersisa satu pertanyaan, bila Indonesiaunite dianggap sumpah pemuda jilid 2 dan menjadi suatu semangat nasionalisme baru mengapa judulnya harus menggunakan bahasa asing? Kenapa tidak menggunakan bahasa Indonesia saja? Indonesia bersatu misalnya, walau sudah keduluan sama SBY untuk menamai kabinetnya.

Identitas dan Nasionalisme

Nasionalisme yang berangkat dari kekhawatiran ini tentu akan sangat berbahaya bagi identitas bangsa sebesar Indonesia. Perlahan hal ini akan menggerogoti makna eksistensial dari identitas bangsa itu sendiri. Padahal, identitas memberikan makna eksistensial bagi suatu komunitas sekaligus menyadarkannya akan keberadaan komunitas lain di sisi mereka.

Bencana

Lupakan sejenak perdebatan tentang batik yang telah mendapatkan pengakuan internasionalnya. Jelas itu bukan hal yang mudah untuk mempertahankan dan mempertanggungjawabkannya. Berapa banyak dari kita yang tahu jumlah motif dan corak batik di setiap daerah? Apa bedanya batik Pekalongan, batik Madura, dan batik Trusmi. Lalu, adakah hubungan pola batik dari batik Majalengka, Indramayu, Cirebon, dan Kuningan? Mari kita lupakan sejenak yang demikian itu.

Negeri kita ini masih dirundung duka akibat bencana. 5 tahun yang lalu saat SBY mengawali kepemimpinannya negeri ini dilanda Tsunami yang menghanyutkan ribuan rakyat Aceh. 5 tahun kemudian bom dan gempa silih berganti mewarnai kedukaan negeri ini. Gempa menjalar dari selatan Jawa Barat hingga ke Pariaman dan Jambi lalu ke Manado.

Apakah Tuhan sedang menuntut kita untuk sama-sama membangkitkan rasa nasionalisme dan menguji identitas bangsa dengan menolong sesama saudara kita yang tertimpa musibah? Adalah hal yang logis bila Tuhan menginginkannya. Mungkin juga Tuhan inginkan kita tunjukkan identitas kita yang senang untuk berbagi dengan sesama dan saling bergotong royong serta bahu membahu dalam membangun negeri ini. Tuhan tidak ingin kita terjebak dalam hal-hal yang palsu dan semua karena semua itu tidaklah nyata adanya.

Penutup

Batik telah menjadi identitas satu bangsa yang kini sedang dilipur lara akibat bencana. Mari kita berdoa kepada Tuhan secara vertikal, tidak tanggung-tanggung, supaya doa kita tidak menggantung di langit dan diterima oleh Tuhan. Mintakan agar bangsa ini tidak kehilangan identitas, rasa nasionalisme, dan semangat dalam membangun negeri yang sedang ditimpa banyak ujian ini.


Kelapa Gading, 2 Oktober 2009


*) Jamal D. Rahman, dalam kolom Catatan Kebudayaaan Majalah Horison, Edisi September 2009
**) Sekilas tentang sejarah batik dikutip dari http://pesonabatik.site40.net/Sejarah_Batik.html


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...