Senin, 31 Maret 2014

Untitled (5)

“Pagi, Glo. Itu tadi asisten baru kamu? She looks nice.”

“You name it. Oke, kamu udah siap? Kita mulai langsung sekarang.”

“Terserah. Lebih cepet beres, lebih bagus!”

“Pertama, seandainya kamu jadi pemain sepakbola, kamu mau pakai nomor punggung berapa?”

“Is that matter to you?”

“Sure. Nomor berapa? Lima? Sembilan belas? Dua puluh satu?”

“Kok kamu bisa tahu? Do you go deep with Danita?”

“Aku nggak mau jawab soal itu. It’s confidential. So, nomor berapa?”

“Ah, i see. Kamu tahu kenapa aku selalu suka nomor 5?

“Yang jelas bukan karena Pancasila dan Rukun Islam ada lima.”

“Kalau sembilan belas dan dua puluh satu?”

“Sembilan belas itu tanggal lahirmu. Aku bisa lihat itu di Facebook. Dua puluh satu, adalah nomor yang...suatu saat kamu pernah berharap untuk memakainya. Sayang, nggak kesampaian.”

“Danita told you that?”

“Confidential. I told you. So? Gus, let’s just be honest. OK? ”

“You are digging me.”

“But i’m not offense you.”

“Lima. Aku selalu pilih nomor lima. It’s more than a magical lucky number. It’s in me already.”

Aku kaget. Bagus tiba-tiba menjawab pertanyaanku tanpa banyak berdebat lagi. Syukurlah, berarti ia masih mau jawab pertanyaanku yang lain.

“Good. Shall we move to another questions?”

“Go ahead. I’m listening.”

 “Sekarang pertanyaan yang lebih serius.”

“What kind of serious do you want from me?”

“Darimana kamu dapat ide buat nama-nama tokoh di cerpen kamu?”

“Whaaat? Kamu nanyain gituan? Gak ada pertanyaan lagi apa?”

“Kita lagi konseling. Kamu, tepatnya.”

“Kenapa mesti pertanyaan semacem itu sih?”

“Kamu mau jawab apa nggak? Kamu nggak mau bantu diri kamu sendiri? Atau, nama-nama itu memang bukan fiktif, bisa jadi mereka itu mantan-mantan kamu.”

“Hah? Mantan-mantan? Glo, kamu bercanda?”

“Tergantung maksud kamu apa.”

“Hei Glo, itu cuma fiksi. Sama aja dengan aku nulis cerpen tentang sesi konseling hari ini dan aku kasih nama konselornya Gloria. It’s just happened, Glo! Apa sih yang spesial dari nama-nama itu? Danita suruh kamu buat tanyain soal ini?”

“Danita orang yang tahu diri, Gus. Dia nggak pernah manfaatin posisi aku cuma buat kepoin kamu!”

Aku berusaha membela sahabatku. Aku kenal siapa sahabatku itu. Bagaimanapun, aku berusaha untuk tetap netral, tidak memihak satu dari mereka. Bagus nampak tersinggung."

“Terus apa masalahnya dengan nama-nama itu? Itu cuma nama. Nggak lebih.”

“Aku hanya tanya. Kamu yang jawab.”
 
“Glo, would you stop this session?”

“Twenty minutes break. Cukup?”
 
“Cukup!”

Bagus menatap kosong pada jendela di pojok ruangan. Dari matanya, aku bisa lihat Bagus berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku memang tidak bermaksud demikian. Nampaknya, pertanyaan-pertanyaanku membawa sesuatu pada dirinya. Entah apa, itu jadi tugasku untuk mengetahuinya.

“Gus, no smoking please.”

“Lho. Udah nggak boleh lagi ngerokok disini sekarang?”

“Gus, tolong hargai aku. Aku lagi kerja.”

“After all we did in here, making love, wine-wine-solution...”

“Gus!”

“OK. Aku ngerti. Aku keluar dulu.”

“Nggak sekarang. Sesi ini belum selesai.”

“Aku nggak akan kabur, aku cuma mau ngobrol sama asisten baru kamu itu.”
 
“Kamu nggak pernah berubah ya. Namanya Citra. Bulan depan dia akan menikah.”

“Well, good then. Sainganku cuma tinggal si calon suaminya.”
 
“Gus!”
 
“Ok, I’ll stay here.”

Bagus nampak resah. Walaupun pernikahannya sedang dalam masalah, Bagus selalu bisa menyembunyikannya dariku. Tapi tidak untuk hari ini. Bagus tidak terlihat seperti biasanya. Bagus terlihat gusar usai membaca pesan di ponselnya.


*

Aku bersandar pada bidang dada Bagus usai permainan cinta kami. Aku masih menemukan Bagus yang selalu seperti itu, tidak kurang apapun. Hanya saja, tatapan matanya kembali kosong saat aku menoleh padanya.

“Gus, i know you’re in a deep shit. Please, help me to help you so you can help yourself.”

“Ada alasan kenapa aku harus percaya kamu? Dengan jawab semua pertanyaan konyol itu.”

“Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu nggak pengen lagi ngebuka terus soal personal life kamu, tapi Gus, asal kamu tahu. Aku punya cara sendiri supaya kerjaan aku bisa selesai. Kalau kamu mau bantu aku, kita bakal cepet selesai, masalahmu sendiri selesai, dan kamu nggak perlu balik lagi ke tempat sialan ini. Do we made a deal?”

“Fair enough.”
 
Aku merapikan pakaianku kembali lalu menuju mini kitchen. Bagus masih tiduran sambil melamun di sofa yang kami pakai untuk bercinta.

“Kamu nggak ngopi, tumben? Perlu aku bikinin. Bitter? Sweet?”
 
“.....”

“Aku bikinin teh aja ya.”

“.....”

“Kamu kok jadi diam? Gus, kalau kamu nggak mau jawab pertanyaanku nggak apa-apa, masih ada lain waktu. Tapi tolong, kalau sekarang ini ada yang perlu kamu ceritakan, kasih tahu aku,  Gus.”

Hening melanda selama lima menit. Aku hanya bisa mendengar desiran angin yang menerpan dahan-dahan kering pepohonan di taman.

“I’m getting sick of it.”

“Then, help yourself out.”

“Thanks for the tea, anyway. I just...”

“Kenapa? Kamu belum bisa terima kenyataan?”

 

Paninggilan, 23 Maret 2014

Minggu, 30 Maret 2014

Membaca Kembali Seno

Beberapa hari yang lalu, seorang kawan membaca kembali fiksi tulisan Seno Gumira Ajidarma favoritnya, “Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta”. Melalui akun twitter pribadinya lalu kawan tadi menceritakan kembali soal satu cerpen berjudul “Rahasia”. Satu cerpen yang saya perlu membacanya dua kali sebelum tahu bahwa cerpen itu bertema tentang jalinan sebuah kisah indah dalam perselingkuhan. Kawan saya tadi lantas membahas bagaimana SGA menuliskan cerita perselingkuhan dengan tabir yang amat menawan sehingga tidak perlu menohok pembaca bahwa ini adalah cerpen tentang perselingkuhan.

Saya selalu ingat kalimat pembuka cerpen itu. “Pada hari kematian Jose, seorang wanita menangis tersedu-sedu”. Satu prolog yang kemudian membuka sekian banyak pertanyaan. Siapakah dia yang ikut menangisi kematian Jose selain Dewi, istri Jose. Cerpen ini kemudian ditutup dengan kalimat, “Barangkali Dewi lupa, hidup ini memang penuh dengan rahasia.” Cerpen bertanggal 16 November 1991 ini mampu membuat pembaca awam seperti saya mereka-reka siapa perempuan itu tadi. Hingga akhirnya saya sepenuhnya paham, bahwa ada dua perempuan yang bersedih karena kematian Jose.


Tiga Drama Kekerasan Politik

Awal tahun 2013 lalu, saya menemukan seorang penjual buku bekas di sebuah forum jual beli. Kebetulan, buku yang dijual adalah kumpulan drama dari SGA yang berjudul “Mengapa Kau Culik Anak Kami?”. Perlu waktu lama dan ekstra kesabaran sebelum akhirnya saya bisa memuaskan rasa penasaran. Secara singkat, buku ini memuat lakon dari tiga naskah sandiwara: ‘Tumirah, Sang Mucikari’ ‘Mengapa Kau Culik Anak Kami?’ ; dan ‘Jakarta 2039’. 

Cerita pertama, mengisahkan soal kehidupan seorang mucikari yang diposisikan berada dalam situasi tidak menentu akibat konfrontasi antara gerilyawan dengan aparat. Cerita kedua, adalah drama tiga babak. Seorang ayah dan ibu terlibat dalam suatu percakapan yang berujung pada anak mereka yang hilang diculik. 

Cerita terakhir, seperti sudah pernah dimuat dalam cerpen berjudul sama dalam kumpulan cerpen “Iblis Tidak Akan Pernah Mati”, menceritakan dua babak peristiwa. Pertama, Mei 1998 pada saat Clara mengalami sendiri tragedi kemanusiaan paling kelam sepanjang sejarah Republik. Kedua, 40 tahun 9 bulan usai tragedi Mei 1998. Saat itu, Clara sudah melahirkan seorang anak hasil dari pemerkosaan yang dialaminya. Kemudian, anak itu bercerita. 

‘Ibuku diperkosa bapakku  pada malam penjarahan dan pembakaran tanggal 14 Mei 1998. Tepat sembilan bulan kemudian, aku lahir pada 14 Februari 1999. Kini tanggal 14 Februari 2039, umurku tepat 40 tahun. Aku tak tahu siapa ibuku dan aku tak tahu di mana bapakku.’ 

‘Aku hidup dengan penuh dendam kepada para pemerkosa. Namun, jika aku bunuh kedua orang itu karena mereka adalah pemerkosa, itu berarti aku telah membunuh bapakku dalam pikiranku. Aku tak tahu, manakah yang lebih jahat dan lebih salah, membunuh pemerkosa atau membunuh bapak sendiri?’

Ketiga lakon drama ini ditulis oleh SGA didasari oleh tindakan represif aparat semasa Orde Baru. Tak heran, bila kemudian ada banyak tragedi yang disebabkan olehnya. SGA berusaha menangkap fenomena-fenomena kecil dimana keberadaan mereka sangat mungkin terabaikan. SGA menangkap suara-suara yang demikian lalu menerjemahkannya dalam bentuk lakon teater yang pertama kali digelutinya sejak tahun 1975. Tiga lakon drama yang dibukukan ini adalah catatan rekam jejak historis kontekstual terhadap sebuah tragedi aktual yang dialami bangsa ini. Agaknya, SGA berhasil dalam membentuk suatu perlawanan untuk melawan lupa.

Pharmindo, 30 Maret 2013.

Minggu, 23 Maret 2014

A Quest for Identity in ASEAN Literary Festival 2014

 

Sebagai seorang literature enthusiast versi The Jakarta Post (baca artikelnya disini), rasanya tidak sah kalau tidak mampir sebentar ke ASEAN Literary Festival yang tahun ini digelar di Taman Ismail Marzuki. Saya tidak punya referensi sebelumnya mengenai rundown acara dan pengisi acara sampai saya membaca satu twit mengenai diskusi tentang buku anak pada hari kedua. Kebetulan, diskusi sore kemarin menghadirkan tiga penulis buku anak, Arswendo Atmowiloto, Clara Ng @Clara_Ng, dan Icha Rahmanti @cintapuccino. 

Karya Mas Wendo sudah lebih dulu dikenal sebagai tayangan keluarga, yaitu “Keluarga Cemara”. Baru-baru ini, beliau juga menerbitkan bukunya mengenai serial detektif anak. Selama ini, saya mengenal Clara Ng sebagai penulis cerita novel dewasa. Duetnya dengan Felice Cahyadi dalam “Blackjack” adalah karya terakhirnya yang bergenre dewasa sebelum kembali berduet menulis buku bergenre anak-anak dengan Icha Rahmanti dalam “Pintu Harmonika” dan “Princess, Bajak Laut, dan Alien”. Icha Rahmanti sendiri saya ingat sebagai penulis bergenre ‘sastra wangi’ (chick literature). Beberapa novelnya sempat diangkat ke layar lebar dan mendapat sambutan yang baik dari khalayak.

Sangat menarik untuk mengikuti diskusi berjudul “A Quest for Identity” ini. Saya rasa bukan tanpa sebab isu tentang bacaan anak menjadi satu topik bahasan dalam hajatan festival sastra se-ASEAN ini. Terutama untuk Indonesia sendiri, kesadaran untuk kembali menghadirkan bacaan anak agar anak-anak kembali pada fitrahnya (bermain dan bersenang-senang) mulai terbentuk. Kerinduan akan bacaan anak yang bisa mendidik sekaligus menghibur plus imajinatif sudah menjadi concern beberapa kalangan.


Perbincangan dimulai tentang mengapa ketiga narasumber itu bisa terlibat dalam penulisan buku anak. Awal perjalanan kepenulisan mereka yang berbeda membuat diskusi semakin menghangat. Anak-anak bisa menemukan siapa diri dan identitas mereka ketika membaca buku. Sayangnya, campur tangan industri membuat mereka kehilangannya. Saya senang sekali melihat Clara Ng berapi-api dalam menyampaikan pendapatnya. Semua yang dikatakannya tidak berbeda dengan apa yang ditulisnya via twitter. Banyak pandangan dan harapan yang narasumber sampaikan mengenai buku anak yang senantiasa mengedepankan lokalitas budaya, kedekatan konteks, bahkan adaptasi karya asing.

Pada akhirnya, bacaan anak harus mampu mendekatkan anak-anak pada dunianya dan budaya lokal disekitarnya. Ketika identitas lokal sudah terbentuk maka tidaklah salah bila kemudian mereka diperkenalkan pada khazanah sastra global. Peran orang tua pun sangat dituntut dalam hal ini. Pengalaman Clara Ng dan Icha Rahmanti sebagai seorang ibu telah membuktikannya. Diskusi dan wacana mengenai konten buku anak yang berkualitas haruslah pula menjadi hal lain yang dipertimbangkan untuk perkembangan bacaan anak di Indonesia.

Terlepas dari topik bahasan, saya sendiri ikut bertanya kepada Clara Ng dan Icha Rahmanti mengenai hambatan yang mereka alami dalam menulis “Pintu Harmonika” dan “Princess, Bajak Laut, dan Alien”. Saya tidak ingin mengajukan pertanyaan mengenai teknik menulis, atau bagaimana mengatasi writer’s block, selain karena sudah ditanyakan, saya sendiri ingin tahu apa-apa saja yang mereka alami dalam pembuatan sebuah karya, apalagi yang didedikasikan untuk anak-anak.

Beruntung, karena pertanyaan itu , saya bisa naik panggung untuk mengambil hadiah yang disediakan untuk pertanyaan terbaik versi mereka berdua. Saya cukup kaget karena saya adalah penanya terakhir dimana energi mereka sudah terkuras untuk beberapa pertanyaan sebelumnya. Well, it’s just my luck for having their books. 


Kalaupun boleh berpendapat, saya tentu mengharapkan akan lebih banyak lagi karya bacaan anak yang mampu mendekatkan mereka kepada dunianya. Dunia penuh imajinasi yang kini hanya bisa dipenuhi oleh gadget-gadget populer. Untuk itu, setidaknya diskusi hari ini sudah cukup membuka wacana bahwa anak-anak pun tidak bisa dilewatkan begitu saja sebagai bagian dari sastra.


Paninggilan, 23 Maret 2014.

Senin, 10 Maret 2014

Run With Heart, Run To Share

Remember, the feeling you get from a good run is far better than the feeling you get from sitting around wishing you were running.
Sarah Condor

Here comes another shot for this March. Glad to be back running on the street. Oh, i never forget the feeling of excitements to circling Semanggi bridge. Yeah, it's Run With Heart, proudly presented by MNC Channels.


Gelaran lomba ini cukup unik karena sejak pendaftaran online, peserta diharuskan mengisi kolom dedikasi. Artinya, setiap pelari harus mencantumkan alasan mereka untuk berlari di lomba berjarak 5 KM ini. Saya sempat dibuat bingung dengan hal ini. Biar begitu, saya tidak menemui banyak masalah soal registrasi dan administrasi.

Berhubung belum lewat sebulan dari tanggal ulang tahun Ibu, maka saya dedikasikan "pelarian" saya untuk Ibu. Lalu, dengan percaya diri saya mengisi kolom "I Run For: IBU" dan "Reason: Because I Love Her So Much". Mudah-mudahan, doa Ibu yang katanya sepanjang jalan itu mampu membantu saya mendapatkan medali finisher.

Afterhour Treadmill

Untuk lomba ini, saya harus melakukan persiapan yang lebih dari 'Bandung Love Run'. Saya menambah porsi jarak lari latihan weekend plus masuk ke Gym. Untung saja, kantor saya menyediakan fasilitas yang berguna untuk menjaga kebugaran pikiran setelah urusan rutinitas pekerjaan. Saya mulai menjajal treadmill dan beberapa latihan beban. Namun tetap fokus pada latihan berlari secara konsisten plus sedikit usaha untuk mengurangi lingkar perut. If i may add.

Saya berhasil mencapai target di Run With Heart ini. Saya mendapatkan medali finisher sekaligus mencatat beberapa improvement dari workouts sebelumnya. Saya berhasil mencatat waktu terbaik (personal best) untuk lari 5 KM, versi Endomondo. Saya finish dengan waktu 29.01 menit, sedikit di depan Pak Harry Tanoe, CEO MNC, yang juga turut berlari.

Mari Lari, Mari Berbagi

Sedikit catatan lainnya, adalah bahwa Run With Heart ini tidak hanya mendedikasikan kasih sayang sepenuh hati melalui berlari. Event ini juga ikut berpartisipasi dalam aksi sosial untuk masyarakat. MNC Channels turut menyumbang dan memberikan bantuan bagi penanganan bencana yang menimpa negeri kita belakangan ini, yaitu bagi para korban letusan Gunung Sinabung dan Gunung Kelud. Pada satu stand sponsor juga terdapat sebuah wahana photobooth untuk ikut peduli dan berbagi dengan saudara kita yang kurang beruntung.

Penyerahan Hadiah Best Reason dan Donasi

Stand up. It's time for you to act. Mari lari, mari berbagi.

OFFICIAL TIMING RESULT:

Overall: 261/1429


Paninggilan, 9 Maret 2014.

Rabu, 05 Maret 2014

Mata Yang Enak Dipandang

Pembukaan

Belakangan ini, karya-karya Ahmad Tohari diterbitkan kembali dalam bentuk kumpulan cerpen. Sejauh ini, saya baru membaca “Senyum Karyamin” dan buku ini, “Mata Yang Enak Dipandang”. Ahmad Tohari sendiri adalah simbol bagi kehidupan yang bersahaja. Ahmad Tohari mampu dengan lugas selalu mampu menafsirkan tatanan hidup masyarakat pinggiran dan alam pedesaan yang kental dalam setiap karyanya.

Ahmad Tohari mengenal dengan baik objek tulisannya. Tidak heran bila mereka serasa jadi bagian nyata dalam realitas sehari-hari. Ahmad Tohari masih memegang pakem cerita yang berkisar seputar masalah orang-orang kecil, kalangan bawah, dan kaum marjinal dengan segala problematika dan dialektikanya masing-masing. Ahmad Tohari pun seperti sengaja memadukan unsur simpati dan empati dalam cerpen yang ditulisnya. Alhasil, kisah-kisah tersebut mampu memperkaya batin, mengasah nurani, dan menguji kepedulian pembaca.

Kumpulan 15 cerpen karyanya yang terbit pada rentang tahun 1983 hingga 1997 ini tersebar dalam beberapa media cetak. Sayangnya, cerpen dalam buku ini menampilkan sejarah penerbitan pada Harian Umum Kompas dan Majalah Kartini saja. Ada beberapa cerpen yang tidak tidak memiliki sejarah penerbitan bahkan riwayat penulisan. Pembaca dapat menemukannya pada judul-judul di bagian tengah buku ini.

Kelimabelas cerpen ini juga bisa dianggap sebagai sebuah kesatuan. Baik secara latar maupun entitas kehidupan lainnya. Kecuali cerpen terakhir, yang mengambil latar Tatar Parahyangan Garut-Ciamis. Seandainya setiap cerita dalam kumpulan cerpen ini berkumpul dalam satu kampung, maka lengkaplah fenomena kehidupan yang coba diangkat oleh Ahmad Tohari.



Lima Belas Cerpen

Kumpulan cerpen ini dibuka dengan cerita berjudul ‘Mata Yang Enak Dipandang’, sama dengan judul bukunya. Mengisahkan Mirta yang seorang pengemis buta dan Tarsa si penuntun jalan. Mereka terlibat dalam sebuah situasi yang tidak saling menguntungkan. Tarsa terlanjur egois untuk memaksa Mirta menuruti keinginannya. Padahal, mereka belum mendapat hasil dari pekerjaan mengemis. Hari itu, Mirta ingin mengemis di kereta kelas tiga karena menurutnya penumpang disana punya mata yang enak dipandang. Tidak seperti penumpang di kereta kelas satu yang dalam mata mereka membawa kesan dari dunia yang amat jauh. Akhir yang satir menjadi penutup sempurna bagi kisah ini.

Ahmad Tohari terus mengguncang pembaca dengan cerita tentang seorang pelacur dalam 'Bila Jebris Ada Di Rumah Kami’. Jebris yang seorang janda harus menerima kenyataan bahwa ia telah menjadi gonjang-ganjing yang tidak menyenangkan bagi orang-orang di kampungnya. Konflik mulai meninggi ketika Jebris ditangkap polisi. Sar, sahabat Jebris sejak kecil tidak tega melihat keadaan Jebris sehingga suaminya pergi untuk memulangkan Jebris dari kantor polisi dan berencana menjadikan Jebris pembantu di rumah mereka. Pada akhir cerita, Ahmad Tohari menyelipkan sebuah pesan yang sarat makna.

‘Penipu Keempat’ adalah cerpen yang penuh teka-teki. Bila tidak segera menyadarinya, pembaca akan terus surut terbawa hingga akhir cerita, hingg akhirnya si penipu keempat mengakui keberadaannya. Si Penipu Keempat yang mencoba menipu Tuhan agar bisa memberkahinya dengan urang yang telah ia berikan pada pengemis lain. Hanya penipu sejati yang bisa sangat menyadari akan penipuannya.

‘Daruan’ adalah cerpen yang bisa mewakili segenap perasaan penulis manapun. Cerpen ini bercerita tentang Daruan yang bermimpi bisa jadi novelis padahal kehidupannya di desa sangat tidak memungkinkannya. Suatu hari, ia menerima paket kiriman dari sahabatnya di kota yang mau menerbitkan novelnya. Berbekal sedikit keyakinan, Daruan berangkat ke kota dengan niat meminta honor atas karyanya. Alangkah terkejut Daruan ketika mengetahui novelnya hanya dijadikan barang jualan asongan belaka, tidak berjejer mewah di toko buku. Dalam perjalanan pulang, ia menarik semua novelnya dari seorang pedagang asongan. Daruan sungguh kehilangan dirinya sendiri.

‘Warung Penajem’ adalah sebuah kisah kecil mengenai tata hidup, nilai-nilai, dan perilaku masyarakat tradisional. Kartawi harus merelakan Jum, istrinya, memberikan penajem kepada dukun yang mampu membuat warungnya tetap laris. Pertentangan antara harga dirinya yang terenggut dan harapan akan kehidupan yang lebih baik membuatnya mengalah. Fenomena seperti ini agaknya memang benar terjadi sehingga menjadi praktek yang lumrah.

Cerpen selanjutnya, ‘Paman Doblo Merobek Layang-Layang’ adalah cerpen berlatar alam yang kental dan diperankan oleh kedua bocah kecil yang saling bersahabat. Paman Doblo adalah sahabat mereka yang terbaik, yang jadi simbol pertolongan, rasa aman, dan keakraban. Ketika mereka dewasa, tabiat Paman Doblo berubah ketika ia dipekerjakan sebagai satpam kilang kayu yang baru berdiri di dekat desa mereka. Paman Doblo merobek layang-layang hingga anak Simin berlari dan terkencing-kencing. Cerpen seperti ini mengingatkan saya pada novel “Orang-Orang Proyek”.

‘Kang Sarpin Minta Dikebiri’ adalah sebuah cerita pertobatan seorang cucuk senthe, lelaki dengan berahi yang meledak-ledak. Gelar yang terus melekat hingga akhir hidupnya. Kesaksian tentang pertobatan menjelang maut itu tidak lantas menjadikan Kang Sarpin sebagai wong bener. Masyarakat kampungnya tidak menilai niat Kang Sarpin sebagai sebuah itikad baik. Ini membuktikan juga bahwa tata masyarakat hidup kita belum bisa dan mampu menerima seseorang yang bercita-cita menjadi wong bener di akhir hidupnya.

‘Akhirnya Karsim Menyeberang Jalan’ adalah cerpen satir tentang Karsim yang berusaha menyeberang jalan demi mengurus ladangnya di seberang jalan besar yang membelah kampungnya. Tiga hari menjelang Lebaran, jalan raya bukan main padatnya hingga Karsim kesulitan menyeberang. Sedikit melangkah, ia segera disambut oleh klakson dan sumpah serapah pengemudi yang melintas. Melihat burung-burung berkumpul di ladangnya, Karsim tiba-tiba tergerak untuk segera sampai di ladangnya. Karsim meregang nyawa dengan isi perut yang semburat. Hanya dengan cara tersebut akhirnya Karsim melihat keberadaan dirinya diakui orang kampungnya. Sedikit catatan, saya pernah lebih dulu membaca cerita Karsim ini. Entah dimana, saya sudah lupa. Entah di Majalah Horison, harian Kompas Minggu, atau kumpulan cerpen lain.

Ahmad Tohari belum selesai mengangkat kehidupan orang pinggiran yang penuh melodi bernada satir. Dalam ‘Sayur Bleketupuk’ misalnya. Parsih terpaksa memberi makan anak mereka, Darto dan Darti dengan sayur dari daun bleketupuk yang biasa digunakan orang dewasa untuk menghilangkan pusing. Parsih melakukannya karena Dalbun, suaminya, tidak kunjung datang untuk mengajak anak-anak mereka naik komidi putar. Ketika Dalbun akhirnya pulang, Darto dan Darti sudah terlelap, imbas dari sayur yang mereka makan.

‘Rusmi Ingin Pulang’ adalah cerita yang setipe dengan ‘Bila Jebres Ada di Rumah Kami’. Bedanya, kisah Rusmi berakhir happy ending. Gonjang-ganjing orang kampung yang mengecap Rusmi sebagai perempuan penghibur menjelang kepulangannya ke kampung usai lama menjanda di kota menjadi sebab utama permasalahan cerpen ini. Beruntung, Rusmi segera dilamar oleh laki-laki baik dan mapan sehingga desas-desus tentangnya segera sirna.

Kisah tentang hubungan antar manusia memang tidak pernah gagal menguak sisi lain kehidupan. Seperti dalam cerpen ‘Dawir, Turah, dan Totol’, Ahmad Tohari mengajak pembaca untuk melihat lebih dekat fenomena denyut kehidupan sekitar terminal. Dengan cara apapun, Dawir berusaha membahagiakan Turah dan juga Totol. Padahal, Turah belum resmi jadi istrinya, dan Totol juga belum tentu anak hasil hubungannya dengan Turah. Cerpen ini membuat saya teringat kembali pada lagu balada milik mendiang Franky Sahilatua, ‘Terminal’.

Bicara soal kearifan lokal barangkali cerpen ‘Harta Gantungan’ ini bisa menjadi contoh tentang bagaimana seorang Kang Nurya pasrah menerima takdirnya. Walau didera penyakit ganas, ia tetap tidak mau menjual seekor kerbau yang jadi harta satu-satunya itu untuk biaya berobat. Ia bersikeras kerbaunya itu adalah harta gantungannya. Dengan jatah usia yang melebihi Kanjeng Rasul ia telah menyambut ajal dengan sukacita. Kelak, kerbau harta gantungannya itu tidak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan jenazahnya. Harta gantungan  itu benar-benar terberkati sebagai modal biaya pernikahan cucunya.

‘Pemandangan Perut’ dan ‘Salam dari Penyangga Langit’ barangkali adalah dua cerpen absurd dalam kumpulan cerpen ini. Cerpen pertama mengisahkan Sardupi yang jadi bulan-bulanan satpam pasar hanya karena ia tidak mampu menatap mata si satpam saat diajak bicara. Usut punya usut, Sardupi mampu menerawang isi perut siapapun yang dilihatnya. Tak terkecuali si aku yang jadi pemeran utama dalam cerpen itu.

Cerpen selanjutnya mengisahkan pertemuan seorang Markatab dengan malaikat penyangga langit. Ia menemui para malaikat ketika menghadiri selamatan tetangganya. Dalam kesempatan langka itu ia telah menunaikan impian masa kecilnya tentang para penyangga langit. Secara pribadi, kisah ini amat berkesan bagi saya. Mungkin juga bagi siapapun yang percaya bahwa doa, puji-pujian, dan bacaan kitab yang ditujukan pada entitas lain diluar wujud manusia akan benar-benar sampai.

Cerpen terakhir, ‘Bulan Kuning Sudah Tenggelam’ adalah cerpen terpanjang. Beruntung, ditempatkan sebagai cerita penutup. Hubungan anak dan orang tua adalah cerita yang terus mengalun sepanjang zaman. Kisah mereka akan selalu abadi. Begitulah, Yuning dan Koswara menjalani rumah tangga mereka dengan segenap prahara yang melibatkan orang tua Yuning. Tadinya, saya sempat berpikir dan mengira cerpen ini adalah sebuah cerita pembuka (prelude) bagi novel terbaru Ahmad Tohari. Saya tidak akan menolak bila penulisnya memang menghendaki demikian.

Judul        : Mata Yang Enak Dipandang
Penulis     : Ahmad Tohari
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tahun       : 2013
Tebal        : 216 hal.
Genre       : Sastra-Kumpulan Cerpen

Pharmindo, 16 Februari 2014.

Sabtu, 01 Maret 2014

Relung Rasa Raisa

"Aku nggak mungkin bergerak menuju masa depan kalau sebelah kakiku masih kusangkutkan di masa lalu. Aku membangun masa depan yang sebenarnya semu."




Semua butuh kesempatan kedua. Barangkali, itu benar adanya.

Pada akhirnya, Raisa benar-benar memberikan kesempatan kedua untuk Caesar, yang selalu dibencinya selama 8 tahun terakhir dalam hidupnya. Bagaimana Raisa bisa selalu membencinya adalah teka-teki tersendiri yang disajikan dalam novel terbaru Lea Agustina Citra ini.

Raisa punya misi besar dalam kunjungannya ke Frankfurt Book Fair. Sebagai editor Aha Publishing, Raisa harus memanfaatkan waktunya disana. Menemukan dan membeli hak cipta penerbitan buku agar Aha Publishing tetap survive.

Serangkaian peristiwa kebetulan mengiringi langkahnya. From being a stranger until meets her destiny, Caesar. Perjalanan ini malah mempertemukan kembali Raisa dengan Caesar. Satu hal yang dibencinya tapi malah kemudian mendekatkannya pada Jan Marco, penulis 'Cedar Incense' yang sedang ia kejar hak penerbitannya.

Bukan tanpa alasan Raisa berusaha sekuatnya untuk dapat menerbitkan buku itu di Indonesia. Segenap pertentangan atas insiden Mei 1998 mengungkap cerita tragis yang dialami Jan Marco dibalik tragedi kemanusiaan terburuk sepanjang sejarah Republik. Raisa mau tidak mau harus bersekongkol dengan Caesar untuk mendekati Jan Marco. Bahkan, Raisa sempat menyelamatkan Jan Marco dalam usahanya untuk bunuh diri.

Raisa hanya perlu berkaca dan berdamai dengan dirinya sendiri. Raisa harus menyelesaikan segala amarah dan penyesalan yang terlanjur berkecamuk selama petualangannya di negeri Angela Merkel ini. Raisa pun akhirnya tidak terlalu ngotot lagi soal 'Cedar Incense'. Kedamaian dan kebahagiaan yang ia cari selama ini hanyalah semu belaka. Raisa berkompromi dengan takdir, ketika hidup akhirnya menyuguhkan sepaket kesempatan yang tidak mungkin ia lepaskan.

Novel ini punya latar yang kuat. Khususnya di kota Aachen, tempat semua kejadian ini berlangsung. Hal itu pula yang menambah intensitas kedekatan antara realita dengan fiksi. Mengajak pembaca seakan menikmati satu persatu adegan dengan alur yang beragam. Menjadikan permainan alur yang berloncatan jadi satu kelebihan cerita. Membaca novel ini kita dibuat percaya bahwa when you brings out the best of you, life will give you the best of it.

Catatan Personal

Pertama-tama, jangan dulu  membayangkan sosok Raisa seperti gadis pelantun hits 'Serba Salah' itu. Imaji tentangnya akan buyar seketika karena oleh penulisnya @Cietsz, Raisa ditampilkan sebagai pemilik sorot mata mirip Natalie Imbruglia dengan warna kulit hasil tanning. Good point, it brings back 90's memories, yeah. 

Perjalanan Raisa menuju Frankfurt Book Fair bisa memberi gambaran bagi siapapun yang ingin pergi kesana. Sejenak saya pun sempat berpikir untuk menabung demi menunaikan umrohnya para penikmat dan pecinta buku, berangkat ke Frankfurt Book Fair 2015 dimana Indonesia jadi Tamu Kehormatan.

Anyway, jika pembaca menginginkan sebuah kisah asmara yang complicated, tidak mudah ditebak, dan penuh kejutan, kiranya sempatkanlah menyelami Relung Rasa Raisa ini.

Judul        : Relung Rasa Raisa
Penulis     : Lea Agustina Citra
Penerbit    : PlotPoint Publishing
Tahun       : 2013
Tebal        : 297 hal.
Genre       : Novel


Paninggilan, 1 Maret 2014.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...