Selasa, 30 Juni 2015

Pisang Ijo


It's nice for being here and having this. Right in the place where it came from. 


Losari, 30 Juni 2014. 

Senin, 29 Juni 2015

Dekade Kejayaan Luftwaffe



28 Juni 1919, Jerman resmi menandatangani Perjanjian Versailles yang disusun oleh negara-negara Sekutu pemenang Perang Dunia I. Perjanjian ini mengharuskan Angkatan Udara Jerman dibubarkan dan peralatannya dihancurkan. Suatu harga mahal yang harus dibayar setelah satu perang yang menghasilkan pilot-pilot tempur dengan kemenangan terbanyak dan mendominasi berbagai front pertempuran. Juga diperkenalkannya pesawat pemburu pertama yang memiliki senjata yang dapat menembak melalui baling-baling.

Luftwaffe dulunya adalah Die Fliegertruppen des Deutschen Kaisserreichs (Jawatan Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jerman) yang disingkat Fliegertruppe. Pada Oktober 1916, namanya berubah menjadi Deutsche Luftstreitkräfte, Angkatan Udara Jerman. 

Selama Perang Dunia I, AU Jerman meraih nama harum dengan menggunakan pesawat-pesawat pemburu Albatros dan Fokker lalu menghasilkan para ace termasyhur. Diantaranya adalah Manfred von Richtofen, Ernst Udet, Oswald Bölcke, Werner Voss, Max Immelman, dan Hermann Göring. Beberapa diantara mereka pun sempat menjadi petinggi Luftwaffe. Luftstreitkräfte juga menggunakan pesawat pembom Gotha dan kapal udara Zeppelin untuk membom Prancis, Belgia, dan Inggris. 

Setelah kalah perang, AU Jerman dibubarkan pada 8 Mei 1920. Seluruh pesawat terbang militer Jerman dihancurkan. Keadaan demikian menimbulkan kemarahan pada awak penerbang tempur Jerman. 

Keadaan itu tetap berlangsung hingga Hitler merebut kekuasaan dan naik tahta. Hitler melihat nilai lebih Hermann Göring, pengikut setianya itu. Seorang ace perang dengan Pour le Merite. Hitler kemudian memberi Göring kekuasaan yang besar. Pada tahun 1933, Göring menjadi pemimpin Reichluftfahrtministrium (RLM), Kementerian Udara Reich.

Kendati masih terikat dengan Perjanjian Versailles, sebuah departemen penerbangan disusun secara rahasia dan dilatih sebagai bagian dari Angkatan Darat. Sekutu kemudian mencabut larangan pembuatan pesawat terbang sipil pada 3 Mei 1922. Dengan demikian, Jerman kembali memproduksi sejumlah pesawat seperti Dornier, Heinkel, Junkers, Arado, dan Messerschmitt. Keberadaan Luftwaffe tidak dibuka kepada dunia hingga Maret 1935 dan disamarkan sebagai Kementerian Udara. 

Messerschmitt Bf-109. Courtesy: www.promare.co.uk

Luftwaffe mendapatkan misi pertamanya ketika Perang Saudara Spanyol pecah pada bulan Juli 1936. Kesempatan ini dijadikan ujian bagi peralatan, personil, maupun teori militer mereka. Hitler mengirim bantuan untuk pasukan pemberontak sayap kanan pimpinan Jenderal Franco. Korps sukarelawan Luftwaffe itu dinamakan Legiun Kondor. 

Perang di Spanyol itu memberikan pelajaran berharga bagi Luftwaffe. Teknik formasi terbang longgar, nilai pemboman tepat dengan menukik, dan efek pemboman karpet dicatat dan digunakan kembali ketika Perang Dunia II pecah.

Luftwaffe turun dalam medan perang sesungguhnya pada saat Reich menyerbu Polandia lewat serangan Blitzkrieg, 1 September 1939. Serangan itu sebenarnya menimbulkan kerugian besar karena Luftwaffe kehilangan 285 pesawat dan 279 lainnya rusak. Walaupun begitu, reputasi kehebatan mereka di udara tidak lantas pudar. Prancis dan Inggris pun tidak berani melawan sekalipun telah menyatakan perang. 

April 1940 Reich menyerang Skandinavia dengan sasaran Denmark, Norwegia, dan Swedia. Dominasi Luftwaffe membuat mereka leluasa menyerang armada sekutu. Selanjutnya, invasi berlanjut ke Prancis dan negara-negara rendah. 

Usai takluknya Prancis, Hitler makin bersemangat menyerbu Inggris. Inggris sendiri memang khawatir serangan Luftwaffe dapat meruntuhkan pertahanan udara mereka. Dengan kekuatan yang ada, Royal Air Force masih mampu menahan serangan Luftwaffe.

Junkers Ju-87 Sturzkampfflugzeug "Stuka". Courtesy: www.homebuiltairplanes.com

Selain bertempur di Front Barat, Hitler juga membuka wilayah pertempuran lainnya yaitu di Afrika Utara dan Rusia. Hitler dan sekutunya, Mussolini, berusaha merebut koloni Inggris dan Prancis di Afrika Utara dan Laut Tengah. Pertempuran yang kelak jadi masalah bagi pertempuran di Front Timur menghadapi Tentara Merah Stalin. 

Dengan jumlah armada pesawat tempur yang berkurang Jerman tidak lantas meningkatkan kapasitas produksinya. Mereka menghasilkan pesawat dengan jumlah yang sama seperti di masa damai. Berbeda dengan Inggris yang langsung menggenjot produksi hingga titik maksimal. Faktor inilah yang kemudian menyebabkan gagalnya Luftwaffe memberikan bantuan optimal bagi Wehrmacht dalam merebut Stalingrad dan Moskow. 

Pertahanan udara Jerman sendiri sangat rapuh dengan keadaan tersebut. Insting Hitler yang hanya mengandalkan perhitungannya semaa terbukti gagal menyelamatkan Berlin dari serbuan pesawat tempur Sekutu.  Kendati pesawat tempur bermesin jet telah diperkenalkan hal itu tidak banyak membantu. Kebijakan Hitler yang menginginkan banyak pesawat pembom menyebabkan produksi pesawat pemburu model baru tidak mencapai kapasitas yang seharusnya. Hitler kemudian menyadarinya namun semua sudah terlambat. Jerman diambang kekalahan. 

Bulan Mei 1945 yang tersisa dari sebuah kekuatan udara modern pada zamannya hanyalah rongsokan pesawat terbang yang bertebaran di berbagai lapangan terbang di Jerman. Luftwaffe dibubarkan pada tahun 1946. Luftwaffe dibangun kembali ketika Angkatan Perang Republik Federal Jerman disiapkan pada medio 1950-an untuk menghadapi konflik model baru. Perang Dingin. 

Sebagai bagian serial sejarah Perang Dunia, buku ini cukup komprehensif dalam menyajikan peristiwa perang yang melibatkan Luftwaffe. Didukung dengan daftar pustaka yang lengkap. Beberapa gambar dan ilustrasi dalam buku pun bersumber dari referensi yang relevan. 

Tinjauan mengenai kekuatan armada Luftwaffe pun disajikan secara lengkap dan detail. Tidak saja hanya pesawat-pesawat pemburu dan pembom legendaris seperti Dornier Do-17, Junkers Ju-52/3m, Junkers Ju-87 Sturzkampfflugzeug 'Stuka', Heinkel He-111, Messerschmitt Bf-109, Bf-110C4, 

Kisah-kisah lain seputar personil operasi Luftwaffe pun menjadi nilai lebih tersendiri. Terutama ketika menemukan fakta bahwa ada sebuah kebajikan dalam perang. Ketika itu, pesawat pembom Sekutu dikawal keluar medan pertempuran oleh pesawat pemburu Luftwaffe. Hingga kedua pilot pesawat meninggal, mereka tetap bersahabat. 

Buku ini hadir untuk melengkapi khazanah pengetahuan mengenai sejarah perang. Khususnya, Perang Dunia II. Selebihnya, buku ini pun dapat menjadi ensiklopedia mini tentang kehebatan dan kejayaan sebuah Angkatan Udara, sejak kemunculannya hingga batas nasib yang mampu dicapainya.


Judul        : Luftwaffe: Kisah Angkatan Udara Jerman Nazi 1935-1945
Penulis     : Nino Oktorino
Penerbit   : Elex Media Komputindo
Tebal        : 238 hal.
Tahun       : 2013
Genre       : Sejarah-Militer

Dharmawangsa, 29 Juni 2015. 



Minggu, 28 Juni 2015

Pergulatan Di Kaki Bukit Cibalak




Saya termasuk pembaca yang bersyukur dengan terbitnya edisi cetak ulang dari karya-karya Ahmad Tohari. Sebut saja, Kubah, Senyum Karyamin, Mata Yang Enak Dipandang, hingga Di Kaki Bukit Cibalak. Saya tidak lagi perlu bertanya-tanya kapan bisa membaca karya beliau yang dulu hanya bisa ditemui dalam bibliografi. Judul lainnya, saya rasa tinggal hanya menunggu waktu saja untuk diterbitkan kembali. Republished atau reprinted. 

Secara umum, Ahmad Tohari masih meninggalkan signature individunya yang khas dan detail mengenai latar belakang cerita dalam konteks kehidupan di pedesaan yang sederhana. Latar yang digunakan untuk bukunya ini kurang lebih sama dengan suasana alam yang kental dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-Jantera Bianglala-Lintang Kemukus Dini Hari. Novel ini terhitung novel singkat. Tentu bagi pembaca yang sudah mafhum dengan novel lain karya beliau. 

Berlatar pada tahun 1970-an dimana pembangunan yang digaungkan Orde Baru terasa hingga ke desa Tanggir. Desa yang begitu damai hingga akhirnya penuh kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Imbasnya, desa Tanggir menjadi sorotan setelah seorang warganya yang tidak mampu berobat mendapat simpati begitu besar usai kemunculan beritanya di sebuah harian lokal yang terbit di Yogyakarta. 

Adalah Pambudi, putra desa Tanggir yang tersingkir usai berselisih dengan Kepala Desa yang berhasil mengantar Mbok Ralem menuju kesembuhan penyakitnya. Usahanya di kota besar itu kemudian malah menjadi pukulan baginya karena sang Kepala Desa tidak senang dengan teguran dari Pak Camat, yang juga mendapat teguran dari atasannya, Pak Bupati.

Sekembalinya dari urusan dengan Mbok Ralem, Pambudi juga menemui dirinya dalam ancaman fitnah yang dilancarkan mantan koleganya di Koperasi Desa, Poyo. Ia membuat pencatatan laporan keuangan palsu yang membebankan hilangnya kas Koperasi atas nama Pambudi. 

Pambudi merasa tidak ada lagi gunanya untuk melalukan 'perlawanan' di desanya sendiri. Ia dengan berat hati meninggalkan desanya dan pergi ke Yogyakarta. Sebuah keputusan yang tidak mudah karena harus meninggalkan tambatan hatinya, Sanis. 

Petualangannya di Yogyakarta membawa Pambudi pada petualangan baru dalam hidupnya. Ia sudah bertekad untuk ikut ujian masuk kuliah. Ia juga sempat bekerja pada seorang pedagang arloji dan akhirnya berlabuh kembali ke harian 'Kalawarta'. 

Keberhasilannya di Yogya bukan tanpa tragedi. Pambudi harus merelakan Sanis diperistri oleh sang Kepala Desa yang culas dan bajul itu. Kendati begitu, Pambudi lagi-lagi harus mengalami pergulatan batin yang juga tidak mudah kala berhadapan dengan Mulyani, anak pemilik toko arloji majikannya dulu. 

Ahmad Tohari menyajikan sebuah cerita ringan yang sarat konflik tanpa meninggalkan ciri khasnya: alam pedesaan, tokoh anti-hero, dan kesewenangan penguasa. Sekilas, rasanya seperti membaca 'Orang-Orang Proyek' namun dengan jalan cerita yang lebih pendek. Novel ini seakan ingin bercerita bahwa sekecil apapun pengorbanan akan mendapatkan hasil walaupun menuntut pengorbanan lainnya.


Judul        : Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis     : Ahmad Tohari
Penerbit   : Gramedia Pustaka Utama
Tebal        : 192 hal.
Tahun       : 2014
Genre       : Fiksi-Nove

Dharmawangsa, 28 Juni 2015

Kamis, 18 Juni 2015

Rahvayana 2: Ada Yang Tiada

Sebaiknya dunia yang tak ada harus tetap kita adakan. Kalau perlu, kita ada-adakan. Caranya, yang tidak ada itu harus kita ada-adakan manfaatnya.



Kisah lanjutan dari Rahvayana edisi perdana, Aku Lala Padamu ini masih bercerita soal si ‘Aku’ yang tak henti-hentinya mengagumi Sinta. Sejak pertemuan pertama pada gerimis di Borobudur hingga Rahvayana akhirnya benar-benar melanglang buana tampil di gedung pertunjukan legendaris dunia. ‘Aku’ masih menulis surat-suratnya pada Sinta walau kadang Sinta tak lantas langsung membalasnya.

Saya tidak perlu menjelaskan lagi soal pembebasan pakem Rama-Sinta dari cerita Ramayana yang sudah terlanjur beredar dan kita semua maklum dibuatnya. Rama mengumpulkan pasukannya untuk merebut kembali Dewi Sinta. Pada “Rahvayana 2”, permainan sang Resi Sujiwo Tejo semakin mendetail untuk mengungkapkan apa saja yang terjadi diantara Rama-Sinta. Ia berhasil membuat kedua tokoh itu menampakkan sisi hitam-putihnya.

Pengalaman bersama ”Rahvayana 2” ini benar-benar menjadi suatu perjalanan yang menyenangkan. Menyenangkan karena akhirnya saya dapat gambaran mengenai sosok seorang Indrajit bila memang benar ada dalam kehidupan nyata. Sang pemilik Aji Sirep yang lebih sakti dari milik Wibisana ini menemani si ‘Aku’ sejak dari dalam kereta dari Guangzhou, lalu ke Tembok China dimana si ‘Aku’ mendalang untuk lakon Rahwana dan Sinta diiringi  repertoar yang sakral dan kuno, Gending Ayak-Ayak Slendo Manyuro.

Sinta Gugat

Seluruh perjalanan dan petualangan dalam “Rahvayana 2”; Guangzhou, Tembok Cina, Bali, Siberia, Anna Karenina, Himalaya, dst. Pada ujungnya memang hanya soal Rahwana, Sinta, dan Rama. Menjelang akhir cerita, mulai halaman 233 hingga 234, usai Rama berhasil menemui Sinta setelah dibuat tidak berdaya oleh Lawa dan Kusa, dua anak kembarnya yang ikut Sinta mengasingkan diri ke hutan Dandaka, Sinta ‘menggugat’ eksistensi Rama dalam seluruh lakon Rama-Sinta ini.

“Katanya, Rama hanyalah buih. Ia bergerak atas kehendak samudra Siwa. Kenapa cinta Tuhan kepadaku melalui Rama begitu naif? Masih ia syak wasangkai kesucianku setelah 12 tahun hidup bersama Rahwana di Alengka?”

Sinta masih melanjutkan gugatannya.

“Apakah cinta tak ubahnya dengan pengadilan, yang setiap pihak harus membuktikan segalanya?”

Gugatan Sinta menarik simpati para siluman di Dandaka. Bahkan ada yang mulai menangis.

“Rama, sebetulnya kau mencintaiku atau mencintai dirimu sendiri sehingga kau begitu hirau dengan gosip rakyatmu bahwa aku sudah tak suci lagi setelah hidup bersama Rahwana”

Gugatan Sinta pun berakhir.

“Perang Alengka-Kosala kau canangkan bukan demi cintamu kepadaku, Rama, melainkan demi ketersinggungganmu sebagai seorang lelaki dan seorang kesatria!”

Lagi-lagi, saya harus mempertanyakan Rama. Mengapa Dewi Sinta yang dicurigai sudah tidak suci lagi? Apakah karena dominasi maskulinitas terhadap feminitas Sinta? Lantas, mengapa Rama sendiri menangis di balik bukit kala Hanuman membawakan kalung titipan Sinta  untuk dipakai olehnya sekaligus untuk membuktikan kesetiaannya? Dalam hal ini, memang cinta Rama kepada Sinta perlu dipertanyakan. Bila perlu, diadakan lagi penelitian lebih jauh mengenai hal ini. Apakah sebegitu bersyaratnya cinta Sri Rama terhadap Dewi Sinta.

Barangkali memang Rahwana yang tetap bisa mencintai Sinta, apapun keadaannya. Rahwana memang menyembah dan memuji titisan Dewi Widowati itu dengan caranya sendiri. Rahwana menyembah Zat yang ada itu melalui segenap tirakatnya. Rahwana tetap menjunjung dan mencintai Sinta, walau Sinta berubah menjadi Janaki dan Waidehi.

Hanya Sekedar Komentar

Muatan lain yang jadi titik berat lanjutan ‘Aku Lala Padamu’ ini adalah satu soal filosofis tentang ada dan tiada. Pembaca bisa menilai sendiri persoalan filosofis yang rupanya sempat hinggap di kepala sang Resi Sujiwo Tejo. Soal cover buku, saya rasa ‘Aku Lala Padamu’ memang cenderung ‘lebih serius’ dalam menggarap hubungan antara cover dengan jalan cerita.

“Ada Yang Tiada” punya cover yang cenderung lebih ngepop dan santai. Tiga orang gadis naik mobil sedan kap terbuka. Mungkin, mereka naik sedan Mercy Tiger tahun 70-an dan melintasi jalanan Melawai hingga pinggiran pantai California sana. Entah mengapa, saya membayangkan perempuan-perempuan itu adalah Gwen Stefani, Mariana Renata, dan Katy Perry, sang pelantun ‘California Girls’. Entah. Entah mengapa. Seperti ada yang tiada.


Judul        : Rahvayana2: Ada Yang Tiada
Penulis     : Sujiwo Tejo
Penerbit   : Penerbit Bentang
Tebal        : 304 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Fiksi-Novel Sejarah


Medan Merdeka Barat, 18 Juni 2015
hari pertama shaum 1436H, ditemani Tragedy dari Bee Gees

Rabu, 17 Juni 2015

Pengalaman Pertama dengan Tomytec



Setelah menikah, saya tidak bisa lagi jor-joran dalam budget belanja hobi, terutama koleksi diecast. Walau begitu, itu tidak lantas menghentikan saya untuk sekedar iseng berkeliaran di FJB Kaskus. Kini, saya cenderung membatasi koleksi tipe diecast skala 1:64, apalagi setelah Tomy reguler (biru) harganya lebih dari US$ 3. Tipe bis tidak termasuk yang harus saya hindari karena bagaimanapun, saya tumbuh besar dengan kesukaan pada kendaraan itu. 

Beruntung, saya mendarat di thread dimana si penjual sedang melego habis semua koleksi Tomica miliknya. Ada yang dijual per set dan ada juga yang loose. Saya jatuh hati pada dua buah bis seri Tomytec #3 Mitsubishi Aero Queen dan Tomytec #4 Mitsubishi Low Decker. Saya mendapat harga yang pantas untuk dua buah bis Tomytec secondhand deals dan free ongkir setelah menego si penjual. 

Setelah barang sampai, saya jadi tahu apa yang membedakan bis keluaran Tomy reguler dan Tomytec. Material, jelas jauh berbeda. Tomytec menggunakan bahan mirip plastik sehingga lebih ringan dari Tomy reguler. Detail, agaknya berimbang namun harus diakui detail Tomytec lebih unggul. Perhatian saya kemudian tertuju pada sumbu roda. Tomytec terlihat seperti mainan biasa dimana kedua sumbu rodanya terlihat begitu saja begitu bis dibalik (lihat bagian bawah). 

Overall, Tomy reguler barangkali diciptakan untuk bisa dimainkan sekaligus dipajang sebagai koleksian. Sedangkan, Tomytec lebih cenderung untuk dipamerkan saja. In my honest opinion, detail yang dibawa Tomytec memang mengizinkannya untuk hanya jadi pusat perhatian. 


Dharmawangsa, 17 Juni 2015. 

Selasa, 16 Juni 2015

Jenderal Spoor



Bukan tanpa alasan kenapa saya menaruh minat besar pada buku ini. Pembacaan sebelumnya atas buku 'Doorstoot Naar Djokdja' dan serial Sejarah Indonesia dari Rosihan Anwar secara tidak langsung menyebut satu nama: Simon H. Spoor. Ia adalah Panglima Tentara KNIL dengan karir yang gemilang namun akhir hidupnya justru tragis. 

Beruntung, karya biografi terjemahan dari Belanda ini diterbitkan kembali di Indonesia. Setidaknya, kita bisa lebih belajar memahami bagaimana konstruksi Jenderal Spoor dari sudut pandang pihak Belanda. 

Semoga pembacaan terhadap buku ini cepat selesai. 


Dharmawangsa, 16 Juni 2015. 


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...