Senin, 21 Mei 2012

RIP Robin Gibb (1949-2012)



Robin Gibb died in a London hospital today after a battle with colon and liver cancer. He was 62. Robin's series of health crises began in August 2010 when he underwent emergency surgery to treat a blocked intestine. The same hereditary condition led to Robin's twin brother Maurice Gibb's death in January 2003 at age 53.

Gibb's family released a statement today, saying: "The family of Robin Gibb, of the Bee Gees, announce with great sadness that Robin passed away today following his long battle with cancer and intestinal surgery. The family have asked that their privacy is respected at this very difficult time."

Untuk memberikan penghormatan terakhir, sila klik Robin Gibb's website

Catatan Seorang Aktor Sejarah


Lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka. Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI. - Pidato Bung Tomo



10 November. Siapa yang tidak ingat pada hari bersejarah ini. Hari yang kini dirayakan untuk mengenang dan menghormati para pahlawan yang gugur dalam usaha mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Hari dimana seluruh kekuatan rakyat Surabaya turun untuk membela tumpah darah Bumi Pertiwi ini dari ancaman tentara asing yang merongrong kedaulatan bangsa.

Pertempuran yang terjadi pada hari itu adalah sebuah pertempuran besar pertama yang meletus setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebagaimana selalu dicatat oleh buku sejarah manapun, peristiwa ini kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan. Pertempuran ini merupakan salah satu penentu tetap berdirinya republik Indonesia hingga saat ini.

Membaca lebih dalam, buku ini menghadirkan kisah-kisah yang tidak pernah ada dalam buku sejarah manapun. Bung Tomo, yang bertugas sebagai wartawan di kantor berita Antara berhasil mendokumentasikan peristiwa dan momen-momen menjelang pertempuran bersejarah itu. Buku ini diadaptasi dari buku aslinya "10 November" yang kemudian di remake dengan judul yang berbeda namun tanpa kehilangan esensi. Sentuhan personal dari Bung Tomo menjadikan karakter cerita memiliki kekuatan sendiri.

Dapat dipahami, bahwa setiap usaha dalam mempertahankan kemerdekaan jauh lebih sukar dibanding mendapatkan kemerdekaan. Hubungan komunikasi antara para pemimpin di pusat dan kalanganrakyat di daerah seringkali menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan, ada beberapa daerah yang belum tahu bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya. Banyak kisah tak tercatat yang dihadirkan kembali oleh Bung Tomo.

Perjuangan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan terus berlanjut. Bung Tomo berhasil membangun kekuatan melalui siaran Radio Pemberontakan. Mobilisasi dan pengaturan strategi dapat berjalan lebih sistematis melalui komando radio siaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa siaran radio saat itu sanggup membangkitkan semangat rakyat untuk bersama-sama mempertahankan kedaulatan republik.

Seperti layaknya peristiwa Rengasdengklok yang terjadi beberapa hari menjelang proklamasi, terjadi pula perbedaan pandangan dan pendapat antara golongan  tua dan kaum muda. Semua ingin berusaha agar kemerdekaan ini tetap langgeng bebas ancaman dari kepentingan Allied Forces (sekutu) yang bertugas melucuti tawanan pihak Jepang ternyata membonceng tentara NICA untuk kembali berkuasa di Indonesia.

Presiden Soekarno sebagai pemimpin revolusi pun hanya mampu bersandar pada perundingan perdamaian. Pemerintah pusat seakan tidak mau melihat kenyataan yang bergejolak di daerah-daerah. Bahwa rakyat telah siap untuk mempertahankan kemerdekaan dari pasukan Sekutu yang akan segera mendarat di Surabaya.

Tewasnya Brigjen Mallaby sewaktu bertugas untuk menjamin keamanan kota Surabaya berperan besar sebagai penyebab serbuan terhadap Surabaya. Terlebih lagi, Jenderal Christison, Komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia saat itu mengeluarkan semacam maklumat berisi ultimatum yang harus dipatuhi seluruh kaum republik di Surabaya. Mereka dipaksa menyerah atau Inggris akan menyerang dengan segenap kekuatan darat, laut, dan udara.

Pertempuran pun tak dapat dielakkan setelah Inggris melakukan kontak senjata untuk pertama kalinya saat itu. Segenap kekuatan rakyat ikut berjuang demi kemerdekaan yang telah lama dinanti dan selalu diperjuangkan. Pidato Bung Tomo menjelang dimulainya pertempuran semakin melecut semangat banteng-banteng Indonesia untuk tetap mengibarkan merah putih di Surabaya. Merdeka atau mati. Tidak ada pilihan lain.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Membaca kembali kisah sejarah perjuangan bangsa adalah hal yang mengharukan. Bagaimana tidak, pahlawan-pahlawan tanpa nama telah rela mengobankan nyawanya di medan pertempuran demi tercapainya Indonesia Merdeka. Kemerdekaan yang diperkosa oleh kelakuan para koruptor, para pengkhianat perjuangan bangsa.

Pertempuran 10 November 1945 adalah pertempuran pertama yang mendapat "legitimasi" dari pemerintah pusat. Tidak seperti usaha melawan Agresi Militer Belanda I & II. Pertempuran yang diawali oleh sebuah ultimatum yang menginjak-injak harga diri bangsa Indonesia. Ultimatum yang sekaligus juga menjadi tantangan terhadap kedaulatan bangsa Indonesia.

Personally, isi ultimatum tersebut memang menginjak harga diri Bangsa Indonesia yang baru saja merdeka. Darah saya ikut mendidih ketika membaca teks asli ultimatium itu. Rakyat dipaksa menyerah tanpa syarat pada pasuka Sekutu pimpinan Inggris sebagai jaminan keamanan proses pelucutan tawanan tentara Jepang. Darah Jawa Timur yang mengalir dalam tubuh saya ikut meletup-letup karenanya. Niscaya, pembaca pun pasti ikut marah bila membaca naskah itu.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Republik Indonesia menerima tantangan kekuasaan asing yang hendak melanggar kedaulatannya dan berhasil melawan. Rakyat Surabaya berhasil membuktikan bahwa slogan Merdeka atau Mati itu bukan sekedar pepesan kosong belaka. Hal ini sama persis dengan aksi nekat "Bonek" yang memang benar-benar rela mati demi Persebaya yang sangat mereka cintai.

Melalui buku ini, saya tidak hanya belajar memahami peristiwa-peristiwa di balik sejarah perjuangan bangsa. Banyak kisah tentang kepemimpinan hadir di buku ini. Membawa pencerahan untuk lebih bisa bersikap terhadap suatu keadaan.

Saya melihat bagaimana plin-plannya pemerintah pusat dalam mengatasi agresi sekutu. Pun, saya kagum karena Gubernur saat itu, Gubernur Suryo mampu memberikan teladan bagi rakyat yang dipimpinnya. Itu sebabnya, nama beliau kemudian diabadikan menjadi nama jalan di Surabaya. Tidak belebihan, hal itu menandakan peran beliau yang amat vital dalam usaha mempertahankan kedaulatan bangsa.

Lebih dari itu, Peristiwa 10 November 1945 hanyalah contoh kecil dari ketabahan rakyat Indonesia untuk berusaha hidup merdeka. Perjuangan dengan darah dan air mata yang tak kunjung usai. Dengan lantunan harap dan doa yang menembus pintu langit. Masih ada pertempuran-pertempuran lain, di daerah lainnya, yang tidak kalah hebatnya meski tanpa mesti diperingati.

Seharusnya, kita merasa beruntung memiliki Bung Tomo, yang dengan sukarela menuliskan memoarnya. Bung Tomo, aktor sekaligus tokoh utama dibalik peristiwa 10 November melukiskan kembali semua itu dengan jujur, lugas, detail, dan tanpa tendensi kepentingan apa-apa. Hanya sekedar mengingatkan kita pada aksi heroik yang tidak hanya pantas dikenang atau direnungi semata. Alangkah lebih baik bila semangat juang yang besar dari mereka yang gugur dalam pertempuran itu kita tiru dalam mengisi kemerdekaan.

Sejarah selalu hadir ditengah-tengah kita untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah, sudahkah kita belajar darinya? Sejarah, seberapa jauh kita belajar tentangnya?

Judul: Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah
Penulis: Bung Tomo (Sutomo)
Penerbit: Visimedia
Tahun: 2008
Tebal: 163 hal.
Genre: Memoar-Sejarah


Pharmindo, 30 April 2012. 16:08

Kamis, 10 Mei 2012

Life Stage Delight, Delighting You Always

Time's passing by... Good Song may go, but 'Memorable Song' will stay

Tidak banyak musisi negeri kita yang mau menuliskan kisah perjalanan hidup mereka selama menjalani profesi ini. Kebanyakan masih menggunakan karya-karya musik mereka sebagai medium untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan pada publik. Hal ini adalah pengecualian untuk Syaharani. 


Seperti pada judul, dalam buku yang ditulisnya ini, Syaharani tampil terbuka dan blak-blakan soal pengalamannya di dunia entertainment. Pembaca diajak untuk melihat lebih dalam pada proses-proses yang dialami seorang musisi dalam menampilkan karyanya. Pengembaraan itu melibatkan bermacam unsur yang terkait dan saling mengisi dalam konteks musik dan entertainment yang dituturkan secara personal sehingga terkesan lebih akrab.

Penuturan Syaharani dalam buku ini tampak lebih enjoy dan santai. Tidak seperti "Living in Harmony” yang ditulis oleh Fariz RM. Walaupun sama-sama memiliki kekuatan nilai personal dan kontemplatif tetapi tulisan-tulisan Syaharani terasa lebih ringan. Bila Dewa Budjana menuliskan gitar sebagai hidup dan kekasihnya, maka Syaharani menampilkan perpaduan antara teknik vokal dan pengemasan suatu karya musik sebagai sebuah penampilan yang utuh. Mulai dari penciptaan lirik, tata panggung, tata rias, hingga stage performance. Kombinasi dari kesemuanya itu menghadirkan suatu cara pandang dalam bermusik yang bermanfaat praktis.

Berbagai pengalaman yang dituangkan Syaharani dalam bukunya ini memberikan wawasan utuh untuk menjadi seorang true performer. Syaharani mengupas secara detil hal-hal yang wajib diketahui oleh seorang penyanyi. Simak penuturan Syaharani tentang pentingnya membangun komunikasi dengan audiens. Syaharani dengan lugas menceritakan detil bagaimana menghandle playlist lagu agar mampu blending dengan ambien penonton, menghadapi uneventual things menjelang tampil, hingga persoalan tetek bengek make-up. Secara konstan Syaharani mengulang-ulang tips untuk tune in dengan suasana panggung. Serial tulisan To The Party, memberikan gambaran yang jelas dan membagi tips praktis bagi siapa saja yang ingin belajar pengalaman menyanyi di panggung. Entah itu penyanyi kawakan atau amatiran sekalipun.

Belajar dari pengalaman adalah guru terbaik. Melalui buku ini, Syaharani membagikan pengalaman praktisnya kita tidak demam panggung. Entah itu di panggung kecil, panggung besar, atau malah di panggung kehidupan.

 
Judul          : Life Stage Delight: Buka-bukaan Soal Entertainment
Penulis       : Syaharani
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Tahun         : 2008
Tebal          : 219 hal.
Genre         : Memoar-Musik
 

Curug, 9 Mei 2012.

Sepatu

Kisah-Kisah Tentang Sepatu 

Kisah tentang berartinya makna sepasang sepatu bagi saya pribadi adalah setelah menonton film “Children of Heaven”. Film yang dirilis tahun 1997 di Iran itu sempat beberapa kali diputar ulang oleh beberapa stasiun televisi swasta nasional. Film tersebut berkisah tentang dua orang kakak beradik yang berasal dari keluarga miskin, Ali dan Zahra, yang hanya memiliki sepasang sepatu untuk bersekolah.

Setiap hari, Ali dan Zahra saling bergantian memakai sepasang sepatu yang hanya ada satu-satunya itu. Karena Zahra masuk sekolah pagi maka Ali harus menanti hingga Zahra pulang sekolah untuk masuk kelas. Seringkali, Ali terlambat masuk kelas karena Zahra tidak segera muncul untuk menukar sepatu. Singkat cerita, tidak tahan dengan keadaan itu maka datanglah satu kesempatan. Ali mengikuti lomba yang salah satu hadiahnya adalah sepatu.

Ali sangat bersemangat mengikuti lomba lari itu. Ali tidak ingin lagi adiknya, Zahra, selalu tergesa-gesa setiap pulang sekolah hanya untuk menukar sepatu. Bayangan itu selalu muncul mengingatkan Ali untuk terus berlari dan menyelesaikan lomba. Ada gejolak dalam dirinya bahwa keadaan seperti itu harus berubah. Dan kesempatan itu adalah saat ini. Saat Ali mengikuti lomba lari yang salah satu hadiahnya adalah sepasang sepatu baru itu. Walaupun Ali menjadi juara tetapi itu tidak membuatnya puas. Ali menginginkan hadiah sepatu itu, bukan titel juara lomba.


Film “Children of Heaven” mengajarkan saya untuk lebih menghargai apa yang kita miliki. Kita sudah bisa berbahagia dengan apa yang kita miliki. Hidup pun akan terasa lebih menyenangkan seandainya kita sadar bahwa kebahagiaan itu cukup dengan apa yang kita miliki. Bukan dengan apa yang ada diluar jangkauan kemampuan kita.

Saya tidak bisa membayangkan seandainya masih ada anak-anak Indonesia yang mengalami hal seperti dalam film “Children of Heaven”. Ditengah kemajuan zaman yang serba cepat sangat miris sekali untuk menjumpai keadaan yang dialami oleh Ali dan Zahra. Saya tidak menutup mata atas beberapa fakta yang ada. Masih banyak anak-anak Indonesia yang bersekolah tanpa mengenakan alas kaki. Alasan utama, tentu ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk membeli sepatu sekolah. Keterbatasan ekonomi menjadi faktor penyebab yang utama.

Terbatasnya akses menuju sekolah seperti jarak tempuh perjalanan dan medan yang berliku adalah hal lainnya yang banyak ditemui. Hal ini pun dialami Bapak saya yang harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari dengan melepas sepatu dan bertelanjang kaki melewati pematang sawah. Hanya untuk berangkat sekolah. Sangat sulit menerima kenyataan bahwa hal yang demikian itu  masih terjadi hingga saat ini.

Kisah lain tentang sepatu yang juga menggugah hati saya adalah kisah proklamator kita sekaligus Bapak Koperasi Indonesia, Muhammad Hatta. Saya salut pada ketegaran hati beliau untuk memendam hasrat keinginan memiliki sepatu merk “Bally” yang saat itu menjadi tren di kalangan pembesar negeri ini. Mengingat jabatan beliau yang waktu itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden rasanya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkan sepasang sepatu mahal tersebut.

Namun, beliau menunjukkan integritasnya dengan tidak menggunakan fasilitas apapun dari negara untuk memilikinya. Bung Hatta lebih senang menabung uangnya sendiri demi memiliki sepatu tersebut. Sepatu yang tidak akan pernah dimilikinya hingga akhir hidupnya. Keadaan ekonomi yang tidak sepenuhnya berpihak dan juga prioritas lainnya dalam keluarga membuat Bung Hatta merelakan keinginannya. Sebuah sikap yang patut ditiru siapapun yang mencintai Republik ini.

Sepatu pun memiliki kisahnya sendiri. Sepatu telah menjadi simbol ketidakpuasan publik atas kebijakan seorang pemimpin. Belum lepas dari benak kita sebuah kejadian yang cukup untuk menempatkan sepatu dalam lini masa sejarah dunia. Sepatu telah mengukir kisahnya sendiri lewat Insiden Sepatu yang menimpa mantan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Pelemparan sepatu yang memalukan itu terjadi pada suatu konferensi pers di Baghdad. Pelakunya adalah Muntazar Al-Zaidi, seorang wartawan stasiun televisi swasta Al-Baghdadia yang berbasis di Kairo, Mesir.


Kedua sepatu Al-Zaidi tadi telah menjadi semacam metafora publik untuk menumpahkan segala aspirasi tentang kepuasan akibat resesi ekonomi Amerika Serikat yang berdampak global. Kebangkrutan ekonomi Amerika Serikat menjadi warisan Bush untuk diselesaikan penerusnya. Selain itu, demokrasi yang dijanjikan Bush di Negeri Seribu Satu Malam itu tidak menemui tujuannya. Janji Bush untuk membangkitkan rakyat Irak dari keterpurukan dan membangun pemerintahan yang demokratis tidak terwujud. Dengan rapor kinerjanya yang buruk menyebabkan munculnya animo ketidakpuasan dari masyarakat. Sepatu, telah menunaikan tugasnya dengan baik sebagai wakil dari animo ketidakpuasan tersebut.

Lain padang, lain ilalang. Lain waktu, lain juga ceritanya. Bila dulu Bung Hatta tidak sempat memiliki sepatu impiannya berbeda dengan Dahlan Iskan. Menteri Negara BUMN ini tidak segan untuk mengenakan sepatu kets untuk beraktivitas sehari-hari. Sejak masih menjadi Direktur Utama Jawa Pos, Dahlan Iskan tidak pernah melepas kebiasaannya itu. Hal itu sudah merupakan trademark bagi seorang Dahlan Iskan. Bahkan, pada pelantikannya sebagai Menteri di Istana Negara, Dahlan Iskan masih menggunakan sepatu ketsnya itu.

Dahlan Iskan menandai munculnya tren baru dalam bersepatu. Maksudnya, Dahlan Iskan telah menjadi figur yang meletakkan cara pandang baru dalam melakukan sesuatu. Perlu dicatat bahwa Mantan Direktur Utama PLN ini juga tidak sengaja melakukan hal itu untuk mencari sensasi semata. Dahlan Iskan menyadari betul apa yang dia lakukan. Alasan kenyamanan dalam melakukan mobilitas pekerjaan tentu jadi hal yang utama. Betapa banyak dari kita yang masih berandai-andai bisa menjadi seperti Dahlan Iskan yang tidak harus terikat norma-norma dan nilai yang berlaku di lingkungan pekerjaan yang formal dan kaku.

Untuk alasan yang sama dengan Dahlan Iskan, pada hari-hari tertentu saya menggunakan sepatu kets untuk bekerja. Ada waktu-waktu tertentu dimana pekerjaan menuntut kita untuk memiliki mobilitas yang tinggi. Walaupun menimbulkan ketidaknyamanan terutama dari pandangan orang lain, saya tetap merasa nyaman karena saya melakukannya benar-benar karena alasan mobilitas pekerjaan.

Cerita Saya

Waktu masih sekolah di SD, saya hanya membeli sepatu setiap ganti tahun ajaran. Artinya, saya hanya mengganti sepatu setiap setahun sekali. Itu pun lebih karena tuntutan gengsi karena tentunya teman-teman saya pun mendapatkan sepatu baru setiap masuk tahun ajaran baru. Sepatu baru itu seakan mewakili prestis masing-masing dari kami. Saat itu, peran media massa sebagai medium iklan cukup efektif dalam menarik minat masyarakat. Setiap menjelang akhir tahun ajaran selalu saja ada produk yang baru yang membuat semua orang tua mulai mengambil ancang-ancang demi mengantisipasi keinginan anak-anaknya.

Kebiasaan ganti sepatu setahun sekali itu berakhir ketika saya menginjak masa SMP. Dengan segala aturan disiplin yang ketat mengharuskan kami mengenakan sepatu yang seragam, kalaupun tidak sepatunya harus bermodel sama: menutupi mata kaki. Sejak saat  itu, saya mengganti sepatu setahun dua kali. Jarak dari rumah menuju terminal angkutan umum yang sekitar 1,5 kilometer mengharuskan saya untuk berjalan kaki. Pulang dan pergi. Sehingga, dengan pemakaian yang demikian saya harus meminta orang tua menyediakan dana lebih untuk membeli sepatu.

Hal seperti itu berlangsung hingga SMA. Bedanya, di SMA kami dibebaskan untuk memilih sepatu sekolah. Selama itu masih berwarna hitam tentu diperbolehkan. Pada masa itu, slogan “you are what your shoes” benar-benar menjadi istilah yang merepresentasikan jati diri seseorang. Merk sepatu tertentu mencerminkan kelas sosial pemakainya. Segregasi sosial yang terjadi sebagai akibat dari hal ini memang tidak cukup kuat. Namun, untuk beberapa kalangan di angkatan saya, hal ini cukup kentara dan bisa dijadikan bahan obrolan di waktu nongkrong. 

Nilai prestis seakan menjadi harga mati bagi siapa saja yang ingin lebih “dilihat” dan “dianggap”. Pertaruhan seperti ini menjadi semacam penilaian baku bagi siapa saja di sekolah. Seorang kakak kelas senior di klub basket sekolah tentu akan lebih mudah mengenali juniornya dari merk sepatu yang ia pakai saat latihan. Dari situ, dia sudah bisa menilai karakter permainan si juniornya ini.
*

Suatu ketika, saat sedang bermain futsal sepatu yang biasa saya pakai mendadak jebol. Sengaja saya tulis begitu supaya terkesan lebih dramatis (padahal memang sudah umurnya). Timer menunjukkan waktu permainan masih tersisa setengah jam lagi. Masih banyak waktu tersisa. Saya tidak ingin kehilangan waktu gara-gara sepatu yang rusak ini. Segera, saya mengajukan diri untuk menggantikan sahabat saya, Bery, kiper andalan tim kami. Dengan begitu, saya tidak perlu berlari-lari keliling lapangan lagi yang tentu saja akan menambah kerusakan sepatu ini.

Sepatu itu telah memasuki masa purnabakti tugasnya sejak mengabdi pada Mei 2003. Saya tidak mau jadi melankolis untuk terus menyimpan berbagai kenangan yang tercipta bersama sepatu itu. Artinya, saya harus segera mencari sepatu lagi, yang benar-benar khusus dipakai untuk bermain futsal. Bukan perkara sulit. Saya sudah bekerja dan sudah punya penghasilan sendiri untuk membeli penggantinya.

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk membuang sepatu itu. kebetulan, Bapak sedang mengumpulkan barang-barang bekas yang sudah tidak dipergunakan lagi. Saya bilang bahwa sepatu itu akan dibuang. Memang kerusakannya masih bisa diperbaiki, tetapi saya pikir alangkah baiknya bila sepatu itu dibuang saja. Lagipula, saya sudah memutuskan untuk membeli sepatu baru.

Beberapa hari kemudian, saya mendapat pesan pendek dari Bapak.

Sepatu gak jadi dibuang. Udah disol.

Saya kaget. Bukankah seharusnya sepatu saya itu ikut dibuang bersama perkakas-perkakas bekas yang kemarin Bapak kumpulkan untuk dibuang. Kaget saya belum sepenuhnya hilang ketika mencoba menerka hal apa yang ada dalam pikiran Bapak sehingga tidak jadi membuang sepatu itu.

Setelah saya pikir-pikir kembali, Bapak tentu punya alasan-alasan lain untuk tidak mau membuang sepatu itu. Barangkali juga, Bapak tidak mau berdebat dengan saya hanya karen masalah yang sepele. Saya jadi ingat. Untuk membeli sepatu itu saya tidak minta uang pada orangtua. Saya tidak memberitahu Bapak bahwa sepatu saya harus segera diganti. Saya waktu itu tidak tega walaupun sepatu saya semakin menganga karena menjadi teman yang setia menemani langkah saya. Seperti Bung Hatta, saya mengumpulkan sisa-sisa uang jajan dan sedikit dari pemberian ''kadeudeuh'' yang biasa saya terima dari saudara-saudara yang berkunjung ke rumah.

Ketika jumlah tabungan dirasa cukup, barulah saya pergi ke toko sepatu. Toko sepatu yang terletak di perempatan Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Otto Iskandardinata Bandung itu sudah menjadi langganan sejak zaman saya masih bersekolah di SD. Bapak selalu mengantarkan saya kesana dengan motor bebek warna merah kesayangannya. Saya merasa jadi anak paling beruntung setiap habis dibelikan sepatu.

Barangkali juga, alasan-alasan lain Bapak adalah karena beliau pikir saya masih ''sayang'' sama sepatu itu karena kalaupun memang mau sepatu itu sudah saya buang semenjak masuk tahun pertama kuliah, medio 2004. Alasan terakhir, mungkin juga beliau tahu isi dompet saya yang tidak pernah mengizinkan saya untuk punya sepatu bagus lagi. Ketiga alasan tersebut memang logis. Tetapi, makna yang saya sadari justru lebih dalam lagi.

Entah bagaimana saya harus menuliskan seperti apa bahwa perhatian dan rasa sayang orang tua memanglah besar dan sepanjang masa adanya. Entah ketika saya masih tinggal serumah atau nomaden seperti sekarang. Beliau selalu menaruh perhatian terhadap keluhan-keluhan saya, padahal itu semua harusnya menjadi tanggungjawab pribadi saya saja. Saya pun kembali teringat pada masa-masa itu. Bapak selalu mendengarkan apapun yang disampaikan anak-anaknya. Walaupun tidak semuanya harus dituruti dan diwujudkan tetapi saya yakin beliau telah mengusahakan yang terbaik. Termasuk, hal sepatu itu tadi.

Saya tidak menyangka Bapak akan punya inisiatif untuk memperbaiki sepatu saya itu. Kembali ke zaman SD, setiap ada tugas sekolah yang saya belum bisa kerjakan, Bapak selalu memeriksanya sambil menandai pembahasan hal tersebut di dalam buku. Pun ketika beliau sedang marah pada saya, beliau masih membuatkan saya maket gedung sekolah untuk tugas minggu depan. Semuanya dilakukan dengan cara beliau sendiri. Saat saya sedang enak-enaknya tidur, di saat itulah beliau melakukan semua hal-hal yang saya perlukan. Paginya, saya hanya bisa senyum hahah-heheh karena semuanya sudah selesai.

Sekarang, setiap akan membeli sepatu baru saya selalu ingat pesan Bapak.

Sepatu itu gak akan dipake kepala, semahal apapun itu

Pesan tersebut ada benarnya juga. Semahal apapun sepatu tentu sudah fitrahnya untuk hanya jadi pelengkap alas kaki. Sepatu adalah pelengkap yang membungkus penampilan kita sehari-hari. Pun ketika ia menjelma menjadi sebuah ikon fashion atau mode. Pesan Bapak tadi tentu bukan menjadi suatu larangan bagi saya untuk tidak memiliki sepasang sepatu bagus. Beliau mewanti-wanti agar saya benar-benar membeli sepatu bukan karena keinginan tetapi karena kebutuhan. Saya kembalikan fungsi sepatu dalam tataran fungsional dan estetika. Maka atas dasar pemikiran tersebut, sepatu tidak akan kehilangan esensinya.

Saya pernah baca sebuah tulisan.

Saya tidak pernah bersyukur dengan apa yang saya miliki hingga saya melihat orang yang tidak punya kaki.

Seperti pesan yang disampaikan dalam cerita film “Children of Heaven”. Tidak banyak orang yang beruntung untuk memiliki sepatu. Beberapa harus rela untuk tidak memilikinya dan bahkan harus menjalani hari-hari dengan segala keterbatasan tersebut. Berbagai kenyataan hidup yang kadang tidak menyenangkan menuntut kita untuk berlebihan dalam segala hal. The world is not enough.

Sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk selalu mensyukuri apa yang telah kita miliki. Kita akan menemukan kebahagiaan sejati dengan mensyukuri apa yang telah kita miliki. Kita tidak akan pernah merasa kekurangan dengan apa yang tidak kita miliki. Sepatu telah mengajarkan saya untuk lebih menghargai apa yang telah saya miliki hingga saat ini.


Paninggilan, 5 Mei 2012.

Sabtu, 05 Mei 2012

Menggapai Tuhan Lewat BH



Dalam dunia penulisan cerita pendek, nama Emha Ainun Nadjib memang jarang terdengar. Tidak seperti dalam bidang teatrikal, kepenulisan esai, maupun spiritual. Emha memang kurang produktif untuk menulis cerpen. Namun, justru dalam ketidakproduktifan seperti itu Emha mampu menyajikan cerpen-cerpen yang segar dan berbeda tanpa harus kehilangan ciri khas seorang Emha.

Ada 23 cerpen dalam kumpulan ini. Sepintas, kisah-kisah kehidupan yang diangkat oleh Emha ada miripnya dengan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma (SGA). Entah karena keduanya sama-sama berlatar belakang Yogyakarta. Atau mungkin, keduanya berangkat dari tema dan sudut pandang yang sama untuk menuliskan kembali realita kehidupan dalam sebuah cerita pendek. Judul cerpen yang berani seperti Lelaki Ke-1000 di Ranjangku terdengar frontal seperti judul cerpen SGA, Matinya Seorang Penari Telanjang. 

Emha, mengangkat isu-isu kehidupan sebagai tema untuk kebanyakan cerpennya. Beberapa malah menampilkan hal-hal yang masih tabu untuk ukuran masyarakat kita yang ketimuran ini. Ada yang berupa pengalaman tokoh-tokoh cerita dalam hubungannya dengan sesama manusia hingga hubungan dengan Tuhan. Bahkan, Emha mengangkat kembali fragmen dari kisah epik pewayangan dalam cerpennya yang berjudul Padang Kurusetra.

Membaca Emha tidak lengkap tanpa membaca sedikit jejak rekam kiprahnya sebagai sebagai budayawan. Semua cerpen di dalam buku ini hadir sebagai aktualisasi dan representasi wujud pesan yang ingin disampaikan oleh Emha kepada pembacanya. Bahwa, untuk memahami Tuhan, kita harus mampu membaca tanda-tanda yang diberikanNya melalui kehidupan ini. Suatu bentuk medium spiritualitas yang dikemas dengan cara yang berbeda.

Cerpen-cerpen yang terbit sejak tahun 1977 hingga 1982 ini tidak berhenti sampai disitu. Kesemuanya memiliki dimensi yang lebih luas bila dikaitkan dengan karya-karya Emha lainnya. Maka, jangan heran bila kisah-kisah yang dituturkan Emha memiliki hubungan dengan isi dan pesan dari kumpulan-kumpulan esainya yang terbaru. Sebut saja, Slilit Sang Kiai; Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki; Jejak Tinju Pak Kiai; dan Demokrasi La Roiba Fih.

Sangat sulit untuk mendeskripsikan Emha Ainun Nadjib yang lebih dahulu dikenal sebagai penyair, penulis naskah drama, dan penulis novel. Melalui kumpulan cerpen ini, pembaca diajak menyelami lebih dalam tentang sosok dan karakter Emha. Emha membawa kita pada suatu pengembaraan imajinasi untuk menggapai Tuhan justru dalam realitas kehidupan yang sering kita jumpai sehari-hari.

Judul       : BH: Kumpulan Cerpen Emha Ainun Nadjib
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : Penerbit Buku Kompas
Tahun     :  2005
Tebal      : 246 hal.
Genre     : Kumpulan Cerpen


Pharmindo, 30 April 2012. 17:54

Kamis, 03 Mei 2012

Episode Cinta Yang Hilang (a flash fiction) dan Sedikit Catatan

Dia hilang dari pelukku, dia hilang bagai mimpi
Dia hilang dari sadarku, dan dia hilang*


Perpisahan manakah yang paling berkesan seumur hidupmu? Perpisahan yang bukan sekedar berpisah lantas bertemu kembali. Perpisahan yang tidak selalu harus diiringi isak tangis dan janji untuk kembali. Perpisahan yang tidak selalu harus dengan lambaian tangan di ujung pelabuhan, terminal, atau stasiun. Perpisahan manakah yang pernah membekas begitu dalam pada hidupmu? Perpisahan semacam apakah yang mampi mengantarkan berjuta kenangan kembali?

Kenapa perpisahan selalu menjadi tema untuk sebuah akhir? Apa hanya untuk menegaskan berartinya sebuah pertemuan? Apakah engkau akan lebih memahami perpisahan setelah engkau mengalami perjumpaan yang begitu hebat? Kenapa akhirnya sulit sekali untuk berpisah? Kenapa malah takut untuk berpisah? Bila memang perpisahan itu akan adanya dan celakanya jadi bagian dari hidup yang masih harus kita jalani.

“Aku harus pergi. Selamanya.”
“Kau pikir kau ini siapa? Kenapa? Beri aku alasan.”
“Karena, aku adalah Romeo dan kau Juliet. Kita tidak pernah ditakdirkan hidup untuk satu cinta.”

Biarlah aku menyimpan bayangmu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan**


Kita tidak berpisah di teras St. Carolus, tidak juga di batas kota ini. Kita berpisah dengan apa adanya. Takdir tidak pernah salah. Perpisahan ini datang tak diundang. Tidak juga kau sertakan perpisahan ini dalam salam terakhirmu. Perpisahan ini menyisakan jarak terbentang antara kita. Dari Sibolga hingga Siberia. Dari Bandung hingga Bandar Sri Begawan. Dari Jakarta hingga Jamaika.

Biar kukenang perpisahan ini. Akan kubuatkan pusaranya disini. Hanya sebagai penanda, kalau kita pernah bertemu, akrab dan lengket seperti ketan, lalu berpisah kemudian. Disini. Dalam catatan ini.

Paninggilan, 28 April 2012. Remake 3 Mei 2012.

* dari lirik lagu "Hilang" dinyanyikan oleh Java Jive.
** dari lirik lagu "Biar Menjadi Kenangan" dinyanyikan oleh Reza Artamevia dan Masaki Ueda


Sedikit Catatan

Beberapa waktu belakangan, saya sempat tergelitik untuk mencari tahu tentang Flash Fiction. Rasa ingin tahu itu muncul ketika mengetahui informasi lomba menulis yang diadakan oleh The British Institute bekerjasama dengan komunitas blogger Blogfam (www.blogfam.com). Rasa penasaran itu memang tidak sempat memuncak dan menyisakan sepenggal tanya. Saya merasa belum mampu untuk menulis flash fiction. Walaupun, sempat beberapa kali tergerak untuk mulai mencoba. Saya tidak mampu mengatasi ketidakmampuan dan berbagai keraguan yang menghinggapi. Padahal, sejatinya menulis itu adalah proses pembelajaran.

Tulisan diatas adalah flash fiction (fiksi kilat) yang pertama kali saya tulis dan kebetulan khusus dibacakan pertama kalinya pula pada acara gathering Nulisbuku Club Bandung @nbcbandung. Pengalaman yang serba pertama ini mengantarkan saya pada suatu penjelajahan wahana baru dalam menulis. Selama ini saya menulis apa saja yang saya mau. Bisa berbentuk puisi, prosa, tulisan bebas (untuk tidak menyebutnya curhat), cerita pendek, dan resensi buku. Mau tidak mau, saya harus memaksa diri saya untuk membuat flash fiction yang pertama. 

Kalau anda pembaca setia Selendang Warna, tentu ada sudah lebih tahu darimana inspirasi tulisan diatas itu. Berbekal postingan lama dan tema yang diberikan untuk gathering nanti: Romeo & Juliet, maka keluarlah judul diatas. Episode Cinta Yang Hilang. Sebuah judul yang sama dengan judul lagu Ebiet G. Ade. Judul yang saya rasa cocok dengan tema Romeo & Juliet. Sebuah roman tentang perpisahan dan kehilangan.

Demikianlah. Selamat menikmati.

Rabu, 02 Mei 2012

Rumah Cokelat


We earn a living simply to live - (hal. 55)

Hannah Andhito, ibu seorang anak dan istri dari Wigra Andhito, menjalani kehidupannya dengan predikat perempuan bekerja yang terjebak dalam kompleksitas manusia modern. Kompleksitas yang melekat sebagai bagian dari kaum urban Ibukota. Tinggal di daerah pinggiran dengan mobilitas dan rutinitas yang menjenuhkan. Karenanya, ia seringkali kehilangan waktu untuk menemani Razsya.

Hannah kemudian menemukan tantangan dari babak kehidupan selanjutnya yang tidak pernah mudah. Membesarkan anak dan menemukan kembali gairah dalam pernikahan. Ketergantungan Razsya terhadap pembantu rumah tangganya, Upik, menghadirkan konflik tersendiri dalam batin Hannah. Hannah mulai menanyakan perannya sebagai Ibu. Kehidupan pernikahan yang telah dijalaninya pun ia coba untuk susun kembali demi sebuah kehangatan atas nama cinta.


Setelah berjibaku dengan beberapa kenyataan yang menyeruak dihadapannya, Hannah mengambil sebuah keputusan besar. Keputusan yang tidak pernah mudah. Hannah memutuskan untuk berhenti dari kantornya dan menjadi seorang freelancer agar mempunyai lebih banyak waktu bersama Razsya. Ujian sesungguhnya pun dimulai. Upik, memutuskan untuk berhenti bekerja. Sulit bagi Hannah untuk menerima kenyataan itu tapi ia harus merelakan Upik pergi. Maka sejak itu bertambahlah beban Hannah. Belum lagi perbedaan sudut pandang dalam membesarkan anak yang sering kali bertentangan dengan cara pandang mertua.

Untungnya, figur suami seperti Wigra cukup sabar dan telaten untuk menghadapi lika-liku kehidupan rumah tangga yang telah mereka bina.wigra mampu menjadi layar sekaligus haluan yang cukup kuat bagi Hannah. Wigra lebih dari sekedar figur suami idaman yang sangat sabar dan memahami perasaan istri.

Rumah Cokelat menawarkan pengalaman yang berbeda dalam memahami kehidupan berumah tangga. Konflik yang ada didalamnya pun sederhana dan seringkali dialami dalam keseharian. Konflik-konflik eksternal antara pasangan muda, kehidupan bertetangga, dan berdamai dengan cara pandang mertua hadir silih berganti ditambah masa lalu yang menyeruak kembali. Pun, konflik dalam diri Hannah yang tidak ingin diingat Razsya sebagai orang yang mampu membelikannya mainan saja.

Penuturan yang sederhana atas konflik yang disajikan membuat buku ini lebih mudah dicerna bagi siapa saja yang ingin menemukan makna dibalik sebuah potret kehidupan Penggalan konteks kehidupan dalam berumah tangga dalam Rumah Cokelat memberi nilai dan wawasan positif dalam menjalin mahligai rumah tangga. Marriage was never easy.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

JADI IBU BEKERJA DI JAKARTA TIDAK MUDAH!

Agaknya, kalimat di bagian sampul belakang buku ini yang membuat saya tergerak untuk kemudian membacanya. Dari kalimat diatas, saya dapat mengambil kesimpulan awal bahwa Rumah Cokelat bercerita tentang seorang working mom yang tidak ingin kehilangan momen-momen kebersamaan dalam keluarga sekaligus tidak mau lepas dari kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Hipotesis itu ternyata tidak terlalu salah.

Mengejutkan rasanya untuk membaca buku yang mengalir seperti Rumah Cokelat ini. Seakan hanyut dalam gelombang kehidupan yang memang sangat dekat dengan keyataan sehari-hari. Fenomena yang kini banyak dialami oleh rata-rata perempuan bekerja. Dengan segala kompleksitasnya, hidup kemudian memberikan suatu pengalaman untuk menghandle itu semua.

Hannah, hanyalah figur kecil dalam kompleksitas manusia modern yang serba instan, serba cepat, dan serba artifisial. Hannah berhasil lepas dari jeratan yang mengantarkannya pada suatu pengalaman lain dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Membesarkan anak dengan segala kerumitan yang membutuhkan lebih dari sekedar ketelitian. Berjuang sekuat tenaga dalam ikatan pernikahan dengan segala konsekuensinya.

Rumah Cokelat berhasil menggambarkan suatu potret kehidupan yang benar-benar dialami oleh warga Ibukota lengkap beserta konflik-konflik yang melingkupinya. Potret seorang ibu muda yang perlahan tapi pasti sanggup menaklukkan berbagai tantangan dalam kehidupan keluarganya. Interaksi dalam kehangatan keluarga adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Demi tercapainya satu tujuan akan makna berartinya seorang Ibu bagi keluarganya.

Judul       : Rumah Cokelat
Penulis    : Sitta Karina
Penerbit  : Buah Hati Books
Tahun     :  2012
Tebal      : 226 hal.
Genre     : Novel Dewasa

Pharmindo, 30 April 2012. 20:05

Selasa, 01 Mei 2012

First of May

Now we are tall and christmas trees are small...

Andina masih termenung. Menatap kosong pada jendela. Sisa-sisa rintik hujan masih menempel pada kaca yang berembun. Bayangan wajahnya hampir jelas terbentuk disitu. Bagai cermin yang takkan pernah bohong.

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.."
"Maksudmu?"
"Engkau masih punya banyak kesempatan."
"Jelaskan padaku. Beri aku penjelasan."

Masih membekas kenangan yang dulu sempat mereka ukir bersama. Kirai telah membuat Andina jatuh cinta. Andina terpukau oleh cara Kirai menatapnya. Dulu, waktu mereka masih jadi anggota paduan suara di sekolah.

Kirai telah menjadi layar terkembang yang membawa Andina hanyut di lautan cinta. Andina mencintai Kirai dengan segenap perasaannya. Persahabatan yang dulu begitu erat adalah lambang kesungguhan Andina untuk terus bersama Kirai. Kirai tidak memungkiri bahwa Andina sahabatnya itu sangat mencintainya. Bahkan, Kirai tidak bisa mengelak dari perasaannya sendiri. Kirai sama jatuh cinta pada Andina. Satu rasa tak biasa. Satu rasa yang kian menjebak.

"Andina, kau sungguh mencintaiku?"
"Aku sangat sayang padamu. Kau tahu itu."

Dua belas tahun berlalu sejak pertanyaan itu meluncur deras. Kirai meninggalkan Andina, tanpa pesan, tanpa jejak. Saat yang sama, Andina merasa dikhianati kekasih yang paling dicintainya. Betapa Kirai telah meninggalkan luka dalam hatinya. Tirai waktu pun belum sempurna karena masih menyembunyikan luka yang belum sembuh.

The apple trees that grew for you and me, i watched the apple falling one by one...

Kirai ingat sekali betapa Andina sangat menyukai lagu itu. Lagu yang sering mereka nyanyikan bersama setiap tanggal 1 Mei. Kirai meninggalkan Andina dengan satu alasan yang masih disimpannya hingga kini. Dua belas tahun kemudian. Alasan yang masih tidak bisa seuutuhnya ia berikan untuk Andina.

Andina masih duduk disitu. Menatap dua gelas setengah kosong. Andina masih menunggu. Sementara hujan belum reda. Andina masih menanti jawaban Kirai. Dua belas tahun untuk satu jawaban.


Pharmindo, 1 Mei 2012. 06.32


* Penggalan lirik diambil dari lagu "First of May" dinyanyikan oleh Bee Gees. Sempat direcycle oleh Susan Wong dan Olivia Ong.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...