Selasa, 30 September 2014

Fragmen Untuk Anita



We never talked about it, but i hear the blame was mine*
 
Perceraian adalah bukan suatu pembenaran atas alasan untuk berpisah. Setidaknya, begitulah kata Anita. Perceraiannya dengan Haris memang sudah seharusnya terjadi. Anita sudah tidak punya alasan lagi untuk tetap mencintai Haris. Haris sendiri lebih mencintai pekerjaannya ketimbang keluarga kecil yang susah payah mereka bangun bersama. Aku kini berdua saja dengan Anita. Usai menjalani hari yang melelahkan demi mendengarkan keputusan Hakim yang mengesahkan perceraian Anita dengan Haris.

Kami duduk bersama menghadap jendela besar dari sebuah kafe di lantai paling atas gedung yang menampilkan kemegahan kota yang tidak pernah tidur ini. Malam menyamarkan keangkuhan kota ini dalam gelap. Kami duduk sambil menatap gelas kami masing-masing. Anggur Perancis yang telah kami pesan masih setengah penuh. Sementara gelas kami mulai menagih untuk diisi. Entah sudah berapa kali aku dan Anita melampiaskan segala kekecewaan dengan meminum bergelas-gelas anggur ini dalam sekali teguk. Rasanya masih sama seperti dulu saat aku dan Anita masih jadi pegawai di kantor yang sama. Kami merayakan gaji pertama kami dengan sesuatu yang disebut “Wine-Wine Solution”. Suatu perayaan yang selalu kami lakukan setidaknya setiap seorang dari kami berulang tahun.

Cahaya remang dari lampu-lampu kafe ini membuat suasana semakin syahdu. Musik yang mengalun pelan nan lembut ini ikut menghadirkan suasana sentimental penuh romantisme. Tamu-tamu mulai berdatangan. Mereka datang dengan pasangan mereka masing-masing. Entah itu suami-istri, sepasang kekasih yang merayakan cinta mereka, atau malah sepasang kekasih yang sedang berselingkuh dari kenyataan cinta mereka. Aku melihat si lelaki menggenggam mesra tangan kekasihnya, satu yang akan duduk di pojok itu tampak memegang punggung perempuan disampingnya. Aroma cinta menyeruak dalam keremangan serupa cahaya senja.

Aku jadi ingat waktu pertama kali mengajak Anita kesini. Anita memang sudah berpacaran dengan Haris. Keduanya sudah sangat siap untuk melanjutkan perjalanan biduk cinta mereka menuju mahligai pernikahan. Aku sengaja mengajak Anita makan malam berdua hanya untuk menjelaskan perasaanku saja. Aku mengatakan apa yang sudah seharusnya aku katakan bertahun-tahun lalu. Bahwa aku sangat menyayangi Anita dan mencintainya sejak “Wine-Wine Solution” kami yang pertama. Aku tidak menuntut jawaban dari Anita. Aku hanya ingin Anita tahu. Itu saja. Aku tidak berharap lebih.

Anita malam ini banyak bercerita tentang kehidupannya yang kemarin bersama Haris. Munafik sekali rasanya untuk menganggap cerita hidupnya itu sebagai suatu kesalahan. Bukankah Anita telah memilih untuk menjalani hidupnya yang kemarin itu, bersama Haris. Anita mengulang kembali kisah cintanya dengan Haris. Tentang malam pertama Haris menyatakan cintanya pada Anita, tentang semua pertengkaran yang menguji kesetiaan cinta mereka, hingga saat-saat yang menentukan ketika Anita menerima lamaran Haris.

Aku selalu jadi pendengar yang baik untuk semua cerita Anita. Barangkali, itu adalah kemampuanku yang utama diantara segenap kelemahan yang bersemayam dalam diriku. Kadang terlintas dalam pikiranku seandainya aku ini punya bakat menulis tentu cerita-cerita Anita ini sudah jadi sebuah buku. Buku yang bersumber dari kisah nyata tentang kekuatan seorang perempuan untuk bertahan dan berjuang demi cintanya.

“Kau tahu, aku tidak pernah berpikir akan berakhir seperti ini.”
“Memang Nit, kita tidak pernah tahu sebelum menjalaninya sendiri.”
“Sok bijak.”
“You know me so well, right?”

Anita tanpak santai sekali malam ini. Air mukanya terlihat lebih segar. Segala beban akibat urusan perceraian kemarin terbayar lunas tadi siang. Anita Kirana Prasasti resmi bercerai dari Haris Gunawan. Anita masih tampak melamun.

“So, gimana dengan Niki?” tanyaku memecah sepi.
“Niki ikut denganku. Aku akan jadi single-mother. That’s it”

Dari pernikahannya dengan Haris, Anita diberkahi seorang anak perempuan. Niki Indah Prasasti. Umurnya masih dua tahun dan masih terlalu kecil untuk tahu apa yang telah terjadi dengan kedua orang tua mereka. Malam ini, saat aku dan Anita duduk berdua menikmati botol anggur Perancis yang kedua ini, Niki telah tertidur lelap di rumah orang tua Anita. Anita sengaja menitipkan Niki disana agar kami lebih leluasa. Aku dan Orang tua Anita pun sudah saling mengenal dan akrab sekali. Tidak heran bila mereka tidak merasa risih dengan kehadiranku di sidang perceraian Anita tadi siang.
Kami benar-benar menikmati malam ini. Sejenak, aku mengajak Anita untuk menebak isi pikiran tamu lainnya di kafe ini. Seperti kataku tadi, tidak ada yang tahu status pasangan kekasih yang datang kemari. Mirip seperti dalam film “Date Night”, Aku dan Anita memainkan peran seperti Claire dan Phil. Aku dan Anita menirukan gaya dialog sepasang kekasih yang duduk di sudut sana. Berperan seolah kami sedang mengobrol mengikuti gaya mereka. Kami pun tertawa puas setelahnya. Menyenangkan sekali rasanya menertawakan kelakuan bodoh kami ini.

Sementara di sudut lain, aku melihat sepasang kekasih lainnya, mungkin yang lelaki berumur sekitar empat puluhan dan perempuan kekasihnya itu sekitar dua puluhan akhir. Mereka saling tertegun. Keduanya tampak tegang. Kekasih lelaki itu sepertinya mencoba menjelaskan sesuatu yang sangat tidak berkenan bagi kekasih perempuannya. Anita menggodaku sekali lagi untuk memainkan peran that-Date-Night-scene. Aku tidak tega tetapi bukankah penderitaan orang lain kadang jadi bahan tertawaan yang menyenangkan untuk sekedar menghilangkan kepenatan.

Usai bermain peran seperti itu, aku meminta pelayan mengganti lagu yang jadi backsound kafe ini. Aku meminta mereka memutar lagu-lagu romantis yang lain. Semoga membawa perasaan yang indah bagi semua pengunjung kafe ini. Kebetulan, selera si pemilik kafe ini boleh juga. Beberapa nomor audiophile seperti Olivia Ong dan Susan Wong mereka mainkan. Menambah semarak malam syahdu.

Dulu, lagu-lagu mereka itulah yang selalu menemani aku dan Anita mengerjakan tugas lembur di kantor. Gila juga rasanya mengerjakan laporan-laporan sialan itu dengan ditemani lagu-lagu slow semacam itu. Bukannya selesai, justru pekerjaan itu malah kami simpan untuk esok hari. Aku dan Anita malah jadi buka sesi curhat sambil menertawakan kebodohan masing-masing.

I never made promises lightly
And there have been some that I've broken
But I swear in the days still left
We'll walk in fields of gold, we'll walk in fields of gold**


“Kamu sengaja pilih lagu ini, Gus?”
“Ya, kenapa?”
“Kamu ya, itu lagu waktu kita sering lembur tapi nggak pernah beres.” Kata Anita sembari tersenyum kecil.

Senyuman Anita itu benar-benar kulihat lagi malam ini. Senyuman yang telah lama hilang dari paras ayu kini telah kembali lagi. Aku rasa itu bukan karena pengaruh anggur yang kini tinggal seperempat botol isinya. Ada pancaran kebahagiaan dalam senyum itu.

Malam kian meninggi. Anita masih ingin bercerita. Anita tidak tampak lelah sedikit pun. Kata-kata terucap deras dari bibirnya yang tipis itu. Riuh mengalir bagai gerimis sore tadi. Anita kian bersemangat kala bercerita tentang peri kecilnya, Niki. Aku bisa merasakan kasih sayang Anita dari ceritanya. Sambil sesekali memotong steak wagyu pesanannya, Anita terus bercerita soal rencananya nanti. Anita akan menyekolahkan Niki tepat pada waktunya. Anita tidak akan memaksakan Niki untuk ikut kelas pra-sekolah. Anita tidak ingin Niki kehilangan kesempatan untuk bermain dan lebih dekat dengan orang tuanya.

Anita belum akan berhenti bercerita seandainya ponselnya tidak berbunyi.

“Gus, Niki....”
“Ada apa, Nit? Niki kenapa?”
“Kita cepat pulang, Gus.”

Anita tidak memberi penjelasan lagi. Malam kian larut membawa mimpi bagi mereka yang terlelap di bawah langit Jakarta yang tua ini. Aku segera bergegas memacu mobilku untuk sampai ke rumah orang tua Anita. Anita nampak tegang. Telapak tangannya terasa amat dingin. Aku yakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku tahu Anita mulai menangis. Tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa karena aku sendiri tidak tahu masalahnya. Yang aku tahu, aku harus segera sampai ke rumah keluarga Hardjakusuma tepat waktu. Sebelum semuanya terlambat dan menyisakan penyesalan. Anita masih menangis. Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk.

Makasih Gus, sekarang aku bisa ketemu Niki setiap hari.


Paninggilan, 15 Mei 2012.

*dari lirik lagu “Do You Remember” dinyanyikan oleh Phil Collins.
** dari lirik lagu “Fields of Gold” dinyanyikan oleh Sting. Versi recycle dinyanyikan oleh Olivia Ong dalam album “Fall in Love With”.

Pusara Senja

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada

Tidak ada matahari pagi ini. Langit masih mendung sisa hujan semalam. Ibu masih terbaring diam di ranjang.

"Aku tinggal dulu. Kamu baik-baik ya. Jangan lupa makan."

Bagas membangunkanku pelan dengan kata-katanya. Aku tidak tahu kalau dia ikut menginap denganku disini, disamping Ibu. Ah, aku pasti lelah usai menempuh perjalanan panjang semalam. Amsterdam-Jakarta-Bandung ternyata tidak sejengkal jari manisku di bola dunia. Perjalanan pulang yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. 

*

"Kamu pergi sekolah sendirian bisa? Ibu nggak bisa antar kamu pagi ini. Ibu harus mengantar pesanan."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Nita bisa pergi sendiri. Siapa tahu Selly masih di rumah, jadi bisa bareng ke sekolah."
"Ini uang jajan kamu. Kunci rumah Ibu simpan di tempat biasa.


Aku masih ingat percakapan dengan Ibu di satu pagi yang sudah lama sekali. Aku masih SD waktu itu. Entah kenapa ingatanku pagi ini kembali ke masa itu. Satu waktu dimana aku mulai menyadari bahwa Ibu adalah seorang Ibu yang luar biasa kuat, tabah, dan tegar. Satu titik dimana aku mulai merasakan ketulusan Ibu, yang takkan bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.

Aku terlahir tanpa mengenal siapa ayahku. Kata Nenek, ayah sudah lama meninggal sebelum aku lahir. Ayahku seorang ahli biologi molekuler yang juga seorang dosen. Determinasi dan ketekunannya membuat Ayah punya reputasi yang baik di kalangan akademisi dan peneliti. Sayang, hal itu pula yang perlahan menggerogoti tubuh Ayah.  Ayah meninggal karena gangguan fungsi liver. Selebihnya, aku tidak tahu lagi soal Ayah. Tepatnya, belum mencari tahu.

Aku tumbuh dibimbing Ibu seorang diri. Kami tinggal berdua di rumah peninggalan Ayah. Sebenarnya, Ibu bisa saja menjual rumah itu dan kami tinggal bersama Nenek. Waktu aku tanya begitu, Ibu selalu bilang bahwa rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang Ibu dan Ayah. Lagipula, ada campur tangan Kakek yang turut mendesain facade rumah itu, maklum ia seorang arsitek.

"Bukankah kenangan itu ada untuk dilupakan, Bu?"
"Begitu, ya. Kamu lagi baca buku apa?"
"Nggak sih. Tapi, banyak orang memilih kenangan mereka sendiri dan berusaha melupakannya."
"Sayang, suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa kenangan diciptakan dan mengapa beberapa dari mereka tinggal di hati kita."

Aku memang tidak pernah bisa sedekat itu dengan Ibu. Aku sangat jarang bisa bicara atau sekedar mengobrol ringan dengannya. Aku mulai mau dekat dengan Ibu usai menstruasi pertamaku. Aku terlalu takut menghadapi gerbang dimulainya masa remajaku. Kata orang, aku juga akan mengalami masa puber. Dari majalah remaja yang aku sering pinjam dari Kak Sheila, kakaknya Selly, aku menemukan banyak hal soal bagaimana menjadi seorang remaja. Termasuk tahapan-tahapan yang akan aku lalui nantinya. Kak Sheila sering berkata padaku bahwa tak lama lagi aku akan segera merayakan "Goodbye Miniset". Terus terang semua itumembuatku takut. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku, mengantarku dengan perasaan gembira menuju gerbang itu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi, selain Ibu tentunya.

Ibu dengan setia menemaniku, ketika aku memilih dan membeli pembalut wanita pertamaku. Aku melihat api cinta yang dahsyat dimatanya. Barangkali, Ibu tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar ada disisiku, selalu ada disampingku, hingga aku menjalani masa remajaku. Ibu juga yang membantu menjelaskan soal perubahan fisik yang terjadi pada tubuhku. Ibu juga tak henti-hentinya memperhatikanku. Mulai dari penampilan, gaya bahasa, tutur bicara, segalanya tak luput dari perhatian Ibu. Aku semakin sadar bahwa aku akan tumbuh jadi perempuan dewasa, tak lama lagi. Aku jadi semakin takut.

Satu kali, aku mulai tahu rasanya jatuh cinta. Seperti anak SMP lainnya, aku terkagum-kagum pada kakak kelas yang jago main basket. Setiap pulang sekolah hari Rabu, aku dan Selly selalu punya alasan untuk pulang telat. Aku biasa berkilah pada Ibu bahwa kami harus pergi ke rumah teman lain untuk kerja kelompok. Padahal, aku dan Selly hanya duduk di pinggir lapangan sekolah melihat Arya dan Bimo latihan basket.

Aku dan Selly berhadapan dengan seorang bintang  lapangan yang tentunya juga idola semua perempuan di sekolah ini. Kami tidak pernah bisa mengalihkan atensi Arya dan Bimo. Sampai suatu saat, mereka mengajak kami minum jus di kantin sekolah usai latihan. Mereka heran karena kami selalu jadi penonton setia latihan mereka. Aku dan Selly tentu senang merasa diperhatikan seperti itu. Ternyata mereka tahu kehadiran kami setiap latihan. Namun, rasa senang yang terlanjur melambung itu hanya sesaat saja. Arya dan Bimo sudah punya pacar di sekolah lain. Damn!

Lain waktu, aku jatuh cinta lagi pada guru pelajaran Seni Musik. Aku tidak tahu apakah Ibu pernah mengalami hal yang sama denganku. Aku suka memanggilnya Mas Daniel, karena ia masih cukup muda dan juga jadi anggota The Symphony 8, sebuah grup orkestra klasik yang cukup terkenal di kotaku. Aku mulai rajin latihan biola, alat musik yang aku pilih dengan asal hanya karena ingin jadi seperti seorang Sharon Corrs. Aku memainkan melodi 'Toss The Feathers' saat pertunjukan yang jadi ujian akhir pelajaran. Aku berhasil mendapat nilai sempurna dan standing ovation dari Kepala Sekolah serta Mas Daniel. Lagi-lagi, aku dibuat kecewa ketika tiket spesial pertunjukan The Symphony 8 pemberian Mas Daniel hanya untuk sekedar melihatnya menerima pelukan mesra dari seseorang yang mengaku sebagai kekasihnya.

Seakan bisa membaca perasaanku, Ibu mulai mengajakku bicara sejak kejadian malam itu. Ibu melihat perubahan yang tidak biasa akhir-akhir ini. Aku tidak lagi bergairah memainkan biola ketika Ibu memintanya. Tiba-tiba aku tersadar saat aku sudah berada di pelukan Ibu, dengan derai mata yang masih hangat. Aku masih ingat kata Ibu.

"Gagal memiliki bukan berarti gagal mencintai, sayang."

*

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku masih bersama Anita hingga saat ini. Menemaninya pergi membeli pembalut wanita pertamanya hingga menjelaskannya soal perubahan fisik yang terjadi padanya. Sepuluh tahun berlalu sejak ia bisa memanggilku Ibu dengan sempurna. Kini, malah aku yang tak sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat. Anak perempuanku yang belum pernah bertemu ayahnya itu kini sudah jadi gadis remaja. Tak lama lagi, seorang laki-laki akan jatuh cinta padanya. Atau malah ia yang jatuh hati duluan, pada Guru Musiknya barangkali. Seperti aku dulu.

Aku jadi malu bila mengingat lagi masa itu lagi. Aku tidak akan pernah lupa Bagus yang gila kerja itu berani bertemu Bapak dan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Padahal, saat itu aku masih jadi kekasih Daniel, seorang guru piano yang sengaja Bapak pilih untuk mengajariku memainkan melodi lagu kesukaannya, "Memories Of Youth" dari Richard Clayderman. 

Sayangnya, Daniel tidak punya cukup nyali untuk melamarku. Ia terlalu takut menghadapi Bapak karena tidak mau jadi orang yang tidak tahu diri. Aku berkali-kali meyakinkannya bahwa cinta kami tidak akan pernah gagal hanya karena ia 'berhutang' pada Bapak. Bapak sangat menghargai kejujuran dan keberanian. Bagus tahu itu, maka dengan sepeda kumbangnya ia datang ke rumahku dan menyampaikan niatnya. 

Aku mendapat restu kedua orangtuaku untuk menikah dengan Bagus. Dia sudah jadi dosen muda waktu itu. Aku cukup realistis untuk memulai hidupku bersama Bagus karena gaji dosen waktu itu tidaklah terlalu besar. Banyak pria lain yang patah hati karena aku lebih memilih Bagus. Bahkan, Handi, arsitek handal tangan kanan Bapak pun ikut merasakannya.
Aku kaget ketika Bagus membawaku ke konservatorium milik sahabatnya. Tepat di hari ulang tahun pertama pernikahan kami, Bagus memainkan lagu kesukaan Bapak "Memories of Youth" dan "Ballade pour Adeline" kesukaanku. Aku tidak menyangka bahwa Bagus bermain piano lebih baik daripada aku yang sengaja dikursuskan oleh Bapak. Sejak itu, Bagus tidak pernah berhenti memberiku kejutan.

Aku jadi anak perempuan pertama yang memberi cucu untuk Bapak dan Ibu. Anita Diandra Febrina, begitu kami menamainya. Lahir tanggal 14 Februari, dimana Bagus masih berada di Australia untuk hari seminar pertamanya. This mommy little girl will never see his father karena Bagus meninggal tak lama setelah kepulangannya. Kataku, sambil menggendong Anita di peristirahatan terakhir lelaki pemain melodi terindah sepanjang hidupku.
Aku masih menulis buku harianku ketika Anita menerima telepon pertama dari anak lelaki yang sedang mendekatinya. Anita mulai mengambil jarak denganku, aku bisa rasakan hal itu. Aku rasa inilah waktu untuk memberinya ruang privasi. Peranku berubah, aku harus menjadi seorang teman sekaligus sahabat untuknya. 

Aku cukup tahu bagaimana Anita bermain dengan perasaannya. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Naluri Ibu manapun di dunia ini pasti bisa merasakan getarannya. Apapun itu, aku harus tetap bertahan dan selalu ada untuknya. Aku tahu ketakutan terbesarku. Akhirnya, aku harus akui kalau aku sangat takut untuk selalu mampu menemaninya. Melewati prom night pertamanya, kelulusan SMA yang selalu penuh cerita, hari-harinya di universitas, hingga mendengarkan cerita soal wawancara kerja pertamanya.

*

Tanpamu... semua tak berarti... cinta sudah lewat...

Pada senja pertamaku di Tanah Air, aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Aku mendadak merasa jadi orang paling kejam di dunia. Aku meninggalkan Ibu seorang diri di rumah demi sebuah pekerjaan di Belanda sana. Aku meninggalkan Ibu beserta segenap cinta kasih yang pernah ia sematkan dalam setiap hela nafasku. Aku masih bisa merasakan semua kasih sayang yang telah Ibu berikan sepenuhnya. Aku yakin, cinta tidak pernah gagal membuat Ibu mengerti. Hingga saat ini, saat aku memandangi pusaranya.



Jakarta-Bandung, 14 Februari 2014.


Senin, 29 September 2014

Aku, Kau, dan KUA: The Movie

Tak kenal, maka ta'aruf...




Selayaknya film adaptasi, 'Aku, Kau, dan KUA' berusaha menyampaikan pesan-pesan dari bukunya yang terbit lebih dahulu. Film ini mencoba menangkap realita seraya memberikan pemahaman soal tahapan menuju ikatan suci pernikahan. Film ini berkesan santai namun berusaha untuk tetap tampil serius. 

Perjalanan menemukan pasangan hidup adalah lika-liku tersendiri. Fenomena taaruf menjadi topik bahasan utama dalam film komedi romantis ini. Sang sutradara, Monty Tiwa, mengemasnya dengan apik menjadi tontonan yang menghibur sekaligus mengedukasi. "Mengangkat soal ta'aruf sebagai opsi untuk memilih pasangan dalam film menjadi hal yang sangat menarik," ujarnya. 

Film ini berpesan bahwa menikah dengan proses ta'aruf itu menjadi hal yang menyenangkan untuk menghindari hal-hal buruk saat pacaran. Lagipula dalam Islam sendiri tidak mengenal istilah pacaran. 

Film ini juga berusaha meluruskan kesalahpahaman terkait taaruf di kehidupan sehari-hari. Film yang berdurasi 100 menit ini bercerita tentang Uci (Eriska Rein), Rico (Adipati Dolken), Deon (Deva Mahendra), Fira (Nina Zatulini), Mona (Karina Nadila), Pepi (Babe Cabiita), Lando (Eza Gionino), Jerry (Fandy Christian), Aida (Bianca Liza) dan Christian Sugiono dalam menemukan jodohnya. 

Jalan cerita sendiri diawali dari pernikahan Fira dan Lando yang gagal berlangsung, kemudian Deon yang memendam rasa pada Fira memutuskan untuk ta'aruf dengan Fira. Melalui segenap usaha Deon memenangkan hati Fira. Sementara itu, Mona memilih putus dari Jerry yang meminta sesuatu yang tidak boleh dilakukan sebelum menikah. Mona lantas jatuh cinta pada Ustadz muda yang ditemuinya pada satu acara seminar tentang memilih jodoh. Karakter kuat Dwi Sasono dalam memerankan sang Ustadz menjadi daya tarik utama dalam scene. Uci sendiri lebih berperan sebagai malaikat bagi sahabat-sahabatnya itu. Tak disangka, Rico menyatakan kesungguhannya kepada Uci. Uci pun lantas mengajak Rico untuk berdamai dengan segenap kekelaman di masa lalunya sebelum menerima pinangan. 

Anyway, semangat dari film ini cukup baik. Menghibur, mendidik, sekaligus memberikan pemahaman melalui cerita-cerita yang terjadi di lingkungan kehidupan sehari-hari. Film ini seakan ingin menunjukkan tahapan proses menuju pernikahan dengan cara yang baik bagi setiap pasang individu. Tanpa harus menerjemahkan maksud awal dari bukunya secara eksplisit. Bila pun terbit kembali dalam bentuk kepingan CD/DVD, fengan segala muatannya 'Aku, Kau, dan KUA' layak masuk daftar 'Must See'. 


Paninggilan-Sarinah, 29 September 2014. 

Jumat, 26 September 2014

Sabtu Bersama Bapak

"Waktu dulu kita jadi anak, kita gak nyusahin orangtua. Nanti kita sudah tua, kita gak nyusahin anak."
Gunawan Garnida

Kalau ada satu karya Adhitya Mulya yang perlu mendapat bintang lima alias highest appreciation tidak salah bila jatuh ke buku terbarunya ini. Sabtu Bersama Bapak bukan sekedar novel biasa. Penulisnya sengaja memasukkan unsur-unsur parenting, bagaimana mendapatkan hati seorang perempuan, serta kehidupan pra dan pasca pernikahan. Tak lupa juga, pesan sisipan penulis: being jomblo is totally wrong :D.



Untuk pembaca yang sudah terbiasa dengan buku-buku lain yang ditulis Adhitya Mulya, pasti akan menemukan klik dengan Sabtu Bersama Bapak. Sebut saja, tokoh Bapak dinamakan Gunawan Garnida. Pembaca yang familiar dengan Gege Mencari Cinta pasti bertanya-tanya apa hubungannya dengan Geladi ‘Gege’ Garnida.

Saya pun menemukan korelasi antara tulisan-tulisan di blog pribadi Adhitya Mulya, suamigila.com dengan cerita Sabtu Bersama Bapak. Planning, planning, planning, dan what if. Jika dalam buku, Satya Garnida bersama ketiga anaknya diceritakan membuat kapal perang dengan menggunakan bahan seadanya dan juga ketika ia mulai menjaga kebugaran di offshore, maka dalam dunia nyata hal itu sudah lebih dulu dipraktekkan.

Komposisi ceritanya sendiri agak sedikit kompleks. Bab pembuka sudah seperti teka-teki. Oke, penulis berhasil membuat opening yang filmis. Baru pada bab selanjutnya permainan alur ini bisa terbaca.

Kakak beradik Satya Garnida dan Cakra Garnida menjalani dua episode kehidupan berbeda. Termasuk sang Ibu, Itje Garnida, yang menyembunyikan rahasian penyakitnya. Sang kakak tampil lebih impresif dibanding sang adik. Ibu Itje tampil lebih sebagai penyeimbang dan pengingat. Nilai-nilai yang ditinggalkan Bapak mereka agaknya meresap betul. Hanya saja, sang adik lebih inferior sehingga telat mendapat jodoh.

Cakra jatuh hati pada seorang Ayu, teman kantornya. Namun, tidak semulus yang dibayangkan. Cakra harus bersaing dengan seorang bandit asmara yang mendekati Ayu juga. Sampai disini, saya terngiang lagi Project P berjudul Goodbye Ayu :)))). Ketika asa hilang, maka dua terbilang. Atas usaha Ibu Itje, akhirnya Cakra mau dikenalkan dengan anak dari teman ibunya itu. Cakra sendiri kaget karena perempuan itu adalah Ayu. Begitu pun Ayu, ia mengizinkan hatinya untuk memberi satu hari penuh untuk Cakra agar mereka bisa saling mengenal. Mereka pun akhirnya berproses hingga satu hari Cakra melamar Ayu.

Satya sendiri mengalami kehidupan pernikahan yang turun naik. Dengan pekerjaannya di kilang minyak lepas pantai, Satya agak kesulitan membagi waktu bersama keluarga. Ia sempat menjadi momok yang menakutkan bagi ketiga anaknya. Setiap pulang ke rumah, semua selalu salah di mata Satya. Alhasil, sebuah email dari Rissa membuatnya tersadar. Saya kagum bagaimana Adhitya Mulya menggambarkan usaha Satya untuk berubah. Saya yakin bahwa dalam dunia nyata pun hal itu sudah dilakukannya.

Anyway, Sabtu Bersama Bapak adalah sebuah heartwarming novel. Pembaca bisa merasakan airmata sekaligus berderai tawa dalam sekali baca. Satu kelebihan yang jarang dimiliki novel-novel bergenre sama. Ditambah lagi, nilai-nilai hubungan orang tua-anak dan yang patut dijadikan pelajaran terutama oleh pasangan-pasangan muda, baik yang menikah ataupun belum menikah.

Sabtu Bersama Bapak membuka cakrawala baru dalam menyikapi kehidupan secara lebih luas dengan segala kompleksitasnya. Bukan hanya bagaimana seorang Bapak meninggalkan ‘legacy’ berupa pesan kepada anak-anaknya, pelajaran dalam mencari cinta (dan pasangan hidup), bagaimana menjadi seorang Bapak dan Suami yang baik, dan bagaimana perjuangan seorang Ibu dalam membesarkan anak-anaknya dengan tetap menjaga proporsi badannya (if i may add ;) ).

Dengan Sabtu Bersama Bapak, kiranya peran sang penulis sebagai Bapak, Suami, dan Penulis kian paripurna. Semoga karya selanjutnya pun demikian.


Paninggilan-Medan Merdeka Barat, 26 September 2014
sambil nunggu Jum’atan

Kamis, 25 September 2014

Sepuluh Tahun

Adakah waktu mendewasakan kita?
Kla Project - Semoga

Dalam sebuah perjalanan singkat untuk bersilaturahmi, saya mendapat sebuah pertanyaan. Satu pertanyaan yang agak mengganggu dan agak eksistensialis. Kali ini bukan pertanyaan “Kapan kamu nikah?” dan sejenisnya. Hanya sekedar “Sepuluh tahun yang lalu kamu dimana?”.



Bicara soal dekade, ingatan saya selalu tertuju pada album Kla Project dengan judul yang sama, Dekade (1989-1999). Satu album yang dibuat untuk memperingati umur mereka di pentas musik Indonesia. Album itu adalah teman saya melewati malam-malam yang penuh dengan angka. Bila sedang waktunya, jam belajar malam saya diiringi oleh musik mereka.

It’s always amazing to see how time flies. You may see all that you can’t leave behind or else.

Satu dekade lalu, tepatnya tahun 2004 adalah tahun yang penuh dengan keajaiban. Saya bisa berkata bahwa tahun itu adalah tahun penentuan. Tahun dimana saya hanya punya waktu kurang dari setengah semester untuk menyelesaikan pendidikan menengah di SMA. Saya juga dihadapkan oleh keinginan masuk kuliah di kampus plat merah (baca: negeri).

Setahun sebelumnya, secara ajaib saya bisa masuk kelas IPA. Kemudian, saya juga bisa lulus dengan hasil yang tidak terlalu mengecewakan alias nggak jelek-jelek amat. Tahun itu juga saya mengambil keputusan terbesar sepanjang hidup saya hingga saat itu. Kebetulan, sistem penerimaan mahasiswa baru masih menggunakan cara yang sama hanya saja namanya sudah berganti bukan lagi UMPTN dan berubah menjadi SPMB. Saya memutuskan untuk pindah haluan dari yang asalnya ujian IPA menjadi IPS. Keputusan itu tidak saya ambil atas pertimbangan seketika. Saya sadar dan cukup tahu diri.

Keputusan itu pula yang mengantarkan saya masuk ke Program Studi Ilmu Perpustakaan di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran. Ajaib rasanya untuk bisa mengalami sendiri sebuah keberuntungan. Nama saya ada di seluruh harian yang menayangkan hasil ujian SPMB. Feels like you fulfill your destiny. Saya masih ingat rasanya pertama berjalan kaki dari gerbang lama Unpad Jatinangor menuju kampus FIKOM pada waktu registrasi ulang. Saya juga masih ingat bahwa saya bersimbah keringat melewati jalan menanjak yang rindang dan agak gersang itu.

Selebihnya, setengah tahun kedua di dekade lalu saya lewati dengan segala macam ‘first thing’. Pertama kali merasakan kehidupan anak kost, agak mirip seperti yang dibilang Project P dalam lagu “Nasib Anak Kost”. Pertama kali menjadi Ketua Regu saat Ospek. Pertama kali terpilih menjadi Ketua Kelas. Pertama kali ikut organisasi pers kampus. Pertama kalinya memakai kameja untuk kuliah. Pertama kali jatuh cinta, barangkali :)))).

Anyway, saat itu saya tidak pernah membayangkan dimana saya sepuluh tahun yang akan datang. Dalam sebuah lomba menulis tahun 2012 lalu saya menulis imajinasi saya 20 tahun mendatang. Saya hanya bisa nyengir bila membaca lagi tulisan saya yang dimuat oleh sebuah penerbit independen. Padahal, saya tidak pernah bisa membayangkan akan jadi apa jadinya 10 atau 20 tahun lagi. Saya bukan Raffi Ahmad yang bisa bilang masih akan mencintai Yuni Shara selama 50 tahun lagi. Atau Christina Perri yang mampu mencintai kekasihnya selama beribu-ribu tahun lamanya.

Through the fire, through the limit, through the wall. Through the fire, through whatever come what may.

Ada banyak rasa syukur bila kemudian berkaca kembali pada keadaan saya sekarang. Agaknya, perjalanan waktu memang mampu mendewasakan. Saya percaya bahwa siapa menabur maka akan menuai. Tuhan tidak pernah tidur maka tangan Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri. Dengan segala kekurangan dan kelebihan saat ini, rasanya semakin pantas dan belum terlambat untuk menengadahkan tangan seraya berucap “Terima kasih, Tuhan.”


Paninggilan, 25 September 2014
selesai makan malam

Senin, 01 September 2014

Happy Birthday, Would You Marry Me?

It's amazing to see how destiny meets us together. Today, on your special day.
From now till my very last breath, this day i'll cherish.



Bandung, 31 Agustus 2014

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...