Jumat, 30 Juni 2017

Selamat Tinggal, Jupe

10 Juni 2017, Julia Perez meninggal dunia. Perempuan bernama asli Yulia Rachmawati itu menghembuskan nafas terakhirnya di RSCM. Penyakitnya telah membuat Jupe semakin lemah hingga akhirnya wafat.

Jupe sendiri sudah malang melintang di dunia hiburan tanah air untuk waktu yang cukup lama. Saya sendiri lebih mengenang Jupe ketika ia menjadi satu dari sekian pemain sinetron malam, 'Konak' alias Komedi Nakal, medio 2003 lalu. Segenap kontroversi kerap menghinggapinya.

Sang pemilik tembang 'Belah Duren' kini telah tiada. Namun, torehan rasa yang ia tinggalkan akan tetap diingat. Selamat jalan dan selamat tinggal, Jupe.


Cipayung, 12 Juni 2017.


Catatan Hikmah (5)

Puasa yang dilakukan dengan benar dan intensif dalam dimensi badaniah, spiritual, intelektual dan mental, menghasilkan kemenangan-kemenangan kepribadian. Idul Fitri disebut Hari Raya Kemenangan karena sesudah 30 hari berjuang, manusia menemukan kemenang­an atas dirinya sendiri. Melalui pendadaran ibadah puasa, manusia dibina untuk sanggup mempang­limai dirinya sendiri, sanggup melakukan pilihan-pilihan terbaik menurut pandangan Allah, baik dalam dalam soal-soal konsumsi hidup, karier, atau apa pun.


Bandung, 26 Juni 2017.

Disadur dari tulisan Emha Ainun Nadjib berjudul "Idul Fitri: Kemenangan Personal di 'Tengah Kekalahan Struktural'" dalam buku "Tuhan Pun 'Berpuasa'", Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Catatan Hikmah (4)

Kalau menjalani Idulfitri dan mudik ke Tuhan, satu-satunya jalan ya memakai cara pandang Tuhan. Materi, kekayaan, tumpukan modal, citra, hamparan uang, pangkat, jabatan dua periode, semua yang tampak mata, adalah mata uang yang tidak laku di dalam pola berpikir Idulfitri, yakni di hadapan Allah. Kita ini hidup di hadapan Allah: emang ada tempat selain itu untuk hidup?”.


Bandung, 25 Juni 2017.

Disadur dari tulisan Emha Ainun Nadjib berjudul "Mudik ke Rumah Fitri", dipublikasikan di www.caknun.com, diakses pada 25 Juni 2017.

Jumat, 09 Juni 2017

Catatan Hikmah (3)

Kita semua perlu belajar kepada Cak Nun bagaimana seharusnya memahami semua itu menurut al-Quran
Sumber gambar: caknun.com
Yang membedakan Islam dengan kebudayaan, Islam dengan industri, Islam dengan selera pribadi, Islam dengan kepentingan politik, Islam dengan segala macam acual nilai ciptaan manusia adalah akar dan sumber pertimbangan dari kemaslahatan dan kemudaratan itu. Bagi Islam, maslahat dan mudarat itu didasarkan pada nilai Allah. Pada yang lain, dasarnya adalah sumber-sumber kepentingan yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan sunnatullah dan iradatullah.
Jakarta, 9 Juni 2017

Penggalan artikel “Matriks-Lima dan Asas Maslahat-Mudarat” dalam buku ‘Tuhan Pun “Berpuasa”’, Emha Ainun Nadjib, Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Senin, 05 Juni 2017

Catatan Hikmah (2): Perlunya Ilmu Kematian

Kegiatan puasa adalah perjalanan melancong ke tepian jurang kematian, meskipun engkau sadar untuk membatasinya sehingga tidak melompat masuk ke jurang itu. Perjalanan melancong itu, dalam puasa yang dikonsepkan dengan batas-batas sehat, sekadar mengajakmu untuk mengalami dan menghayati situasi yang seolah-olah antikehidupan, misalnya lapar; dahaga, lemas, loyo, lumpuh, dan seterusnya.

Sumber gambar: caknun.com

Di dalam puasa atau pekerjaan apa pun, substansi yang terpenting adalah kesadaran tentang batas. Batas yang benar pada sesuatu hal akan merelatifkan hakikat suatu pekerjaan dan kondisi. Umpamanya tadi aku sebut bahwa lapar dan haus adalah situasi yang antikehidupan. Itu artinya bahwa lapar dan haus yang tidak dibatasi akan memproduksi mati. Tetapi engkau tidak bias mendikotomikan lapar-haus dengan kenyang-segar apabila engkau memakai kesadaran batas. Sebab, kenyang yang tidak dibatasi juga akan membawa manusia kepada maut.

Juga apabila lapar di situ engkau artikan secara lebih luas menjadi –katakanlah-kemiskinan, kemelaratan, atau kefakiran. Kefakiran yang melampaui batas akan membunuh manusia. Bukan hanya terbunuh fisiknya, tapi mungkin juga daya hidupnya, kepercayaan dirinya, mentalnya, imannya, dan sebagainya.


Jakarta, 5 Juni 2017.

Potongan dari artikel "Perlunya Ilmu Kematian” dalam buku, Emha Ainun Nadjib, Gramedia Pustaka Utama, 2012.

Jumat, 02 Juni 2017

Catatan Hikmah (1)

Karena tanda orang kaya adalah ‘merasa cukup’ dan tanda miskin adalah ‘merasa belum cukup’? Maka puasa hadir ke dalam kepalamu tatkala pikiranmu bertanya:

“Benarkah aku perlu makan di restoran semahal itu?”
“Benarkah ada sesuatu yang prinsipil yang mengharuskanku membeli barang ini?”
“Benarkah ada padaku kewajaran nilai yang mewajibkanku merebut pemilikan saham-saham itu?”

Sumber gambar: caknun.com
Maka puasa merasuk ke dalam dadamu ketika mulutmu berbisik ke telinga nuranimu sendiri.

“Apakah memang aku harus mengambil political decision yang sedahsyat ini, yang dampaknya adalah kesensaraan sekian banyak rakyatku sendiri?”
“Apakah aku memang wajib mempertahankan kekuasaan ini demi sesuatu yang mendasar dan berorientasi kepada kepentingan mayoritas rakyatku?”
“Sampai kapan aku akan mendalangi semua itu dengan keyakinan bahwa ini semua adalah yang terbaik bagi masa depanku sendiri serta masa depan keluargaku sendiri?”
 

Jakarta, 2 Juni 2017.
 
Potongan dari artikel ‘Puasa dan “Tarikat Wajib” dalam Kebudayaan’ dalam buku ‘Tuhan Pun “Berpuasa”’, Emha Ainun Nadjib, Gramedia Pustaka Utama, 2012.


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...