Kamis, 28 Juni 2012

Di Antara Kebahagiaan, Cinta, dan Perselingkuhan

25 Tahun Kahitna, 25 Cerpen Kahitna

25 Tahun sudah Kahitna mewarnai pelangi langit musik Indonesia. Sebuah pertanda kematangan usia dewasa. Tidak heran apabila momen 25 Tahun Kahitna ikut dimeriahkan dengan penerbitan kumpulan cerpen dari personil Kahitna sendiri ditambah dengan beberapa sahabat mereka. Buku ini adalah perwujudan imaji kreatif sebagai bentuk tafsiran judul-judul lagu Kahitna yang dituangkan dalam bentuk cerita pendek.

Menarik untuk melihat bagaimana sebuah judul lagu dikembangkan menjadi poteret sebuah cerita yang utuh. Sejatinya, tentang kebahagiaan cinta dua manusia, ketidaksanggupan mengalami cinta, hingga pengingkaran atas nama cinta.Cinta, kadang sederhana. Kadang bisa jadi begitu rumit. Pemaknaan atas lirik lagu Kahitna membuat 25 cerpen ini seakan memiliki nyawanya sendiri-sendiri.

Favorit saya disini adalah cerpen yang ditulis Indra Brasco berjudul Tak Sebebas Merpati. Personally, cerpen itu memiliki rasa pengungkapan yang kuat. Ketika rasa tidak lagi sebatas kata-kata. Cerpen itu saya rasa adalah bukti kesungguhan dan pengungkapan cinta dari penulisnya, Indra Brasco kepada istri tercinta, Mona Ratuliu. Cerpen itu terasa sungguh hidup karena dilatarbelakangi pengalaman dan realitas yang nyata bersamanya. Bahkan, saya sempat berpikir bahwa yang ditulis Indra Brasco ini adalah semacam "memoar kecil", l' petite memoir.


Formasi terakhir Kahitna. (Courtesy: Kahitna FB Group)

Kenangan Masa Kecil personil Kahitna. (Courtesy: Kahitna FB Group)

Overall, buku ini menggambarkan pemaknaan dan pencitraan dari cinta itu sendiri. Dalam bentuk penyajian yang berbeda dalam menafsirkan cerita yang berangkat dari judul suatutu lagu. Hal ini menandakan bahwa sastra tulis mampu berkolaborasi dengan medium seni apa pun. Untuk memaknai perasaan, atas nama kebahagiaan, cinta, dan perselingkuhan. 

Judul: Di Antara Kebahagiaan, Cinta, dan Perselingkuhan
Penulis: Kahitna dan Sahabat
Penerbit: Gramdedia Pustaka Utama
Tahun: 2011
Tebal: 173 hal.
Genre: Kumpulan Cerpen


Medan Merdeka Barat, 28 Juni 2012.

Sabtu, 23 Juni 2012

#JakartaBanget: The Launching



Sabtu, 23 Juni 2012. Pagi yang cerah mengawali hari ini. Saya tidak menyangka hari ini datang begitu cepat. Padahal, sejak email pendahuluan yang mengabarkan bahwa dua tulisan saya TERPILIH untuk proyek buku antologi #JakartaBanget yang digagas oleh @Rotary_Batavia. Dengan demikian, saya resmi menjadi Kontributor dalam buku tersebut. Sehingga, saya diundang pula untuk hadir pada acara launching yang sedianya akan dilangsungkan pada hari Jum’at, 22 Juni 2012.






Saya sudah membayangkan, acara launching itu akan berlangsung malam hari di suatu tempat yang representatif. Maklum, hari itu Jum’at dan bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Jakarta yang ke-485. Saya juga membayangkan akan menghadiri launching buku ini dengan batik yang sama dengan yang saya gunakan untuk ngantor. But, that was only a dream. Hari ini semuanya buyar.

Kita memang tidak pernah tahu nasib waktu. Saya merasa sangat beruntung. Tuhan sangat baik untuk memindahkan jadwal launching ke tanggal hari ini, Sabtu 23 Juni 2012. Saya tidak bisa membayangkan seandainya Tuhan menakdirkan #JakartaBanget dirilis secara resmi tepat pada D-Day Ulang Tahun Jakarta. Saya masih berada di Palangkaraya dan terancam batal menghadiri acara itu. Nyatanya, saya masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan The Jakartans, kontributor #JakartaBanget ini. Sebuah kesempatan besar nan langka terutama ketika perasaan “Wah, tulisan saya terbit. Jadi penulis beneran donk?” bercampur dengan segenap haru ketika melihat apresiasi terhadap #JakartaBanget.


Quote from @anggihafiz's "Sepenggal Tanya di Halte Busway"



Quote from @anggihafiz's story at the top of backside #JakartaBanget cover


Adalah satu kejutan untuk membaca #JakartaBanget dari kulitnya. Saya terkejut karena quote dari cerpen saya "Sepenggal Tanya di Halte Busway" ada di bagian cover belakang, di urutan pertama pula. Sama terkejutnya waktu tahu quote saya ikut ditampilkan di #12Tweets, promosi khas @nulisbuku. Saya tidak menyangka editor buku menempatkannya disitu. Jangankan begitu, berharap ada quote yang bisa diambil dari cerpen pun tidak (thanks a lot to editor *hug ).

Saya memang belum menyediakan waktu khusus untuk membaca #JakartaBanget secara utuh. Hanya beberapa saja yang sudah saya baca. Kalau anda bertanya, “Tulisan siapa yang kamu baca duluan?”, saya jawab tentu saja punya saya sendiri. Saya ingin memastikan bahwa tulisan saya benar-benar dimuat dan saya tidak malu mengaku-ngaku sebagai penulis kontributor #JakartaBanget. Terlebih, dengan adanya profil penulis #JakartaBanget lainnya, saya sudah bisa mengira-ngira siapa saja yang akan saya temui nanti.

Benar saja, ketika acara dimulai, saya mengenali sosok si pembaca acara. Idfi Pancani (@idfipancani), seorang mantan penyiar dari Bandung yang kini menjajal Jakarta, sama seperti saya. Sedikit flashback, 27 Juni 2003, saya dan @idfipancani jadi partner siaran sehari untuk acara “High School High” yang disponsori perusahaan suplemen kesehatan dan radio tempat @idfipancani bekerja saat itu, Ardan 105,8 FM. Ternyata, pepatah yang mengatakan bahwa dunia tidak selebar daun kelor itu tidak selalu benar adanya.
Deklamasi puisi by @AngkieYudistia

 Acara launching hari ini juga ditandai dengan deklamasi puisi oleh @AngkieYudistia, seorang aktivis kaum difabel yang juga ikut berkontribusi di #JakartaBanget. Lewat puisinya, @AngkieYudistia mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian di dunia ini. Maksud saya, di sekeliling kita masih banyak keterbatasan yang dialami oleh kaum difabel untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Betapa Jakarta ini menjadi momok yang kejam bagi mereka. Personally, puisi tadi erat kaitannya dengan konsep pembangunan dan operasional sebuah kota. Sebuah kota bisa dikatakan layak untuk ditinggali bila mampu memfasilitasi warganya. Termasuk kaum difabel didalamnya. Puisi itu sedikit menggiring pikiran saya mengawang-awang pada tulisan saya di halaman 44.

Tidak hanya sampai disitu, penulis #JakartaBanget juga sempat mencicipi games a la @Rotary_Batavia. Sebuah games yang mengingatkan kita akan keunikan sejarah Jakarta. Balutan sejarah yang masih kental dalam perkembangan kota membuat Jakarta harus menelusuri kembali sejarahnya. Hal ini mutlak diperlukan karena dengan berkaca pada sejarah, sebuah kota dapat menentukan arah laju perkembangan dan pembangunan dari kota itu sendiri.

Setiap kelompok berkesempatan menjelajahi berbagai ruangan di Museum Fatahillah. Tentunya ini pengalaman pertama saya. Padahal, saya sering main ke area Kota Tua, tetapi belum pernah masuk dan menjajal ruangan-ruangan museum. Saya anggap game ini sebagai persembahan retrospektif untuk Jakarta. Dengan game itu, wawasan sejarah peserta bertambah. Saya yakin sekali, apalagi ketika muncul pertanyaan tentang pencetus istilah “DUIT”. Berapa banyak dari kita yang tahu siapa pencetusnya? Jika kita sudah melupakan sejarah, lalu mau kemana bangsa kita ini? It’s just some reflections on how history had shaping our life today.

Mama Ica, pemenang kontes foto #JakartaBanget
#JakartaBanget Best Dress Winners @AstaDewanti @lia_hmb with The Project Manager, @purew4ter

Pelengkap lainnya dalam acara ini adalah pengumuman pemenang kontes foto #JakartaBanget. Mama Ica jadi pemenangnya dengan pose yang cukup menghibur. Ditambah pembawaannya yang blak-blakan ikut mencairkan suasana setelah bermain game. Beliau banyak bercerita dibalik pose fotonya itu dan juga cerita yang ditulisnya dalam #JakartaBanget. Tak kalah menariknya adalah pemenang dress code contest. Terpilihlah @lia_hmb dan @AstaDewanti sebagai pemenang. Mereka dianggap merepresentasikan gaya berpakaian yang #JakartaBanget. Bedanya, @lia_hmb tampil dengan gaya khas tradisional Jakarta dan @AstaDewanti dengan tampilan yang lebih modern, chic metropolis (sok tau banget kesannya ya, hehehe).
One of booksigning moment, @lia_hmb with @idfipancani


The Writers Circle, @anggihafiz with None #JakartaBanget

Beauty and The Beast, @anggihafiz with @AngkieYudistia after booksigning

Coverage Media #JakartaBanget di MNC

Coverage Media #JakartaBanget di U FM Jakarta, with Moza Paramita #MozaandFriends


Sebenarnya, momen yang ditunggu itu adalah interaksi antar sesama penulis #JakartaBanget. Melalui momen yang dilengkapi dengan booksigning ini penulis bisa saling mengenal satu sama lain. Ibaratnya, kita ini benar-benar jadi penulis yang punya pembacanya sendiri. Setiap tanda tangan yang dibubuhkan pada buku setiap penulis adalah pertanda bahwa 47 penulis #JakartaBanget sudah resmi jadi penulis. Kami bisa disejajarkan dengan Dewi “Dee” Lestari yang pada saat bersamaan dengan launching buku ini sedang melakukan booksigning dan Meet & Greet di Sun Plaza, Medan.

The Jakartans bersatu, untuk Jakarta yang lebih baik

#JakartaBanget membuktikan bahwa ekspektasi terhadap Jakarta yang ramah dan layak huni masih mewujud dalam optimisme warga kotanya. Harapan untuk membangun Jakarta yang lebih beradab masih hidup dalam derap langkah warganya. Asa untuk menempatkan Jakarta sebagai kota yang unik, multietnik,dan multikultural dalam konteks sosio-budaya-spasial masih bertahan dalam hembusan nafas warga Jakarta yang tidak pernah lelah menanti suatu pencerahan dan perubahan demi kehidupan yang lebih baik. Untuk satu entitas bernama Jakarta.


Paninggilan, 23 Juni 2012. 21.21

Sebuah Komentar




Baik. Saya sudah lama tidak menulis. Beberapa postingan terakhir di blog ini semuanya tentang Bee Gees. Kalaupun ada yang lain itu hanya secarik surat cinta dari Citarik. Ya, saya memang sangat berduka dan merasakan kehilangan atas berpulangnya Robin Gibb. Saat itu, memori tentang Bee Gees memenuhi kepala saya yang cuma satu ini. Sehingga saya merasa harus menulis sesuatu tentang hal itu.

Padahal, banyak hal-hal lain yang harus saya simpan disini. Tentang surat-surat cinta lainnya, dari Bengkulu, Balikpapan, dan Palangkaraya. Tentang, catatan beberapa pertemuan di bulan Mei kemarin, pertemuan dengan seorang editor kondang, hingga pertemuan yang tidak sengaja dengan teman sebangku di kelas 1 SMA saat tergesa setengah berlari menuju gate Konser 18 Tahun /rif di Braga, Bandung.

Memang sepanjang tahun ini setidaknya sampai tengah tahun, blog ini diisi dengan beberapa resensi buku. Resensi dari buku-buku yang selesai saya baca. Sederhana saja, saya tidak ingin kehilangan jejakan tentang buku-buku itu sekalian maintain rating skill menulis. Juga, saya ingin membagi pengalaman soal buku yang saya resensikan.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa setiap tulisan yang saya tulis akan menemukan pembacanya sendiri. Cepat atau lambat. Beruntung, Twitter memudahkan semuanya saat ini. Dengan sekali twit dan mention si penulisnya langsung ada banyak keuntungan yang saya dapat. Pertama, traffic di blog meningkat. Ok, itu baru awalnya. Lalu, ini yang paling penting, si penulis buku tadi mendapat feedback langsung dari pembacanya. Disitu terjalin suatu ikatan emosional pembaca-penulis. Pembaca tentu senang tulisannya diapresiasi penulis. Sebaliknya, penulis jadi tahu bagaimana respon, tanggapan, dan pengalaman pembaca ketika membaca karya yang ditulisnya.




Hingga, pada satu hari datanglah sebuah komentar dari seorang Anonim. Begitu yang ada di kotak surat masuk. Saya memang sengaja membiarkan setiap komentar di blog ini untuk masuk juga ke e-mail. Dengan harapan, saya bisa tahu apa komentar dari para pembaca, termasuk yang Anonim. Biasanya, yang saya terima cuma beberapa spam. Namun, 11 Juni kemarin Anonim itu bukan sekedar Anonim.

Seorang penulis telah menemukan pembacanya. Dan, seorang pembaca merasa senang karena komentar si penulis. Begitulah pengalaman yang saya rasakan ketika Meiliana K. Tansri memberikan komentar di postingan resensi karyanya, "Konser". Saya merasa terkejut dan sangat senang sekali tentunya. Padahal, buku itu terbitan lama (2010) dan baru saya baca sekarang. Saya juga merasa sedikit malu karena baru membacanya kemarin. Kemana aja loe?

Namun, kembali pada pernyataan saya sebelumnya. Saya tetap yakin, bagaimana pun ketika sesuatu dituliskan ia akan memancarkan sinyalnya sendiri untuk menjangkau objek-objek diluar dirinya. Boleh jadi yang saya alami begitu adanya. Terima kasih, Mbak Meiliana. Saya kemarin beli "Gadis Buta dan Tiga Ekor Tikus". Saya akan buatkan resensinya lagi.

Paninggilan, 23 Juni 2012. 20.18

Rabu, 13 Juni 2012

Surat Cinta dari Citarik

Aninda tercinta...

Hari pertama disini tidak akan pernah sama dengan hari lainnya yang telah kita lalui bersama. Entah itu dalam keheningan, keramaian, atau malah dengan sejumput tanya. Suara alam begitu kental disini Aninda. Aku bisa merasakannya. Aku melihat bukit-bukit curam di ujung barat sana. Deretan hijau masih mebentang sejauh mata memandang. Kicau burung yang meruang menandakan pesona alam asri.




Engkau tahu sendiri Aninda. Aku kini berada di Sukabumi. Tidak jauh dari satu tempat yang berminggu-minggu lalu mendadak jadi buah bibir. Aku kini berada tidak jauh dari lokasi jatuhnya Sukhoi.

Aninda, suatu saat akan ku ajak engkau kemari. Merayakan cinta kita agar menyatu erat lekat dengan harmoni alam. Bukankah engkau rindu pada kenangan kita di kampung. Saat kita duduk berdua diatas batu kali sambil sesekali memainkan kaki kita ke air sungai yang mengalir deras. Sederas rasa rinduku setiap hari padamu, Aninda.

Cintaku, manisku, sayangku. Aku disini tak lama. Hanya untuk habiskan waktu untuk sekedar mengisi kembali ruang-ruang kosong dalam jiwa dan raga ini. Aku perlu untuk mengendurkan otot barang sejenak. Seperti pesan Pak Sjoffa, aku harus merasakan pengalaman bertualang di alam liar supaya kelak kembali ke kotamu dengan pikiran dan mental yang siap ditimpa seribu satu masalah kosmopolis.

Sore ini, pelatih menyuruh kami memainkan permainan 'ice breaking'. Sudah jelas, supaya kami saling tahu, saling kenal, dan mewujudkan kekompakan. Sebelum hujan, kami memainkan lembar bola tutup mata. Ya, aku harus mencari bola untuk dilemparkan pada sesama pencari bola. Dengan mata yang ditututp aku merasa bagai A Dead Man Walking. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara anggota kelompokku saja. Semakin lama, sayup itu semakin pudar. Hingga aku tersadar aku tinggal sendirian di lapangan permainan. Sementara, kawanku yang lain sudah meneduh karena hujan deras ikut menyambut kedatangan kami sore itu. Seakan alam pun bersuara, menandakan berkah bagi kami.

Sedang apakah engkau disana, Aninda? Apakah engkau masih sibuk dengan soal-soal persiapan ujian itu? Ya, muridmu akan segera melaksanakan ujian. Satu bagian kecil dari ujian kehidupan yang sesungguhnya. Aku bisa bayangkan kerut dikeningmu saat engkau memilih soal mana yang akan diteskan. Engkau tentu akan menyusun soal-soal latihan yang kualitasnya melebihi soal ujian itu sendiri. Engkau sepertinya masih memegang motto di kolam renang tempat kita biasa berolahraga sembari memadu rindu. Berlatihlah seperti bertanding, bertandinglah seperti berlatih. Begitu yang aku tahu. Bukankah hal itu juga yang membawa kau dan aku pada kehidupan yang sekarang?

Aku bisa rasakan segala gelisah dan resahmu disana. Rasa khawatir akan masa depan muridmu yang tentu saja tak bisa kau lepaskan begitu saja. Aku mengerti semua itu Aninda. Maka dari itu, relakan aku disini. Menjauh sejenak darimu, agar engkau lebih leluasa. Kerjakan yang terbaik. Aku tahu engkau lebih dari sekedar sanggup untuk melakukannya. Aku yakin itu, Aninda. Seyakin rasa sayangku kepadamu.



Malam pertama di Citarik, setengah rembulan menemani malam kami disini. Awan mendung membayangi tapi tak mampu menutup pesonanya. Rembulan seakan menahbiskan senyummu nan abadi dihatiku. Menghapus galau dihati. Malam ini bulan tersisa sepenggal kilau. Menyisakan rasa takjub yang tak penuh. Malam begitu dingin disini

Sebelum tidur malam ini, aku berdoa kepada Tuhan. Supaya engkau dan muridmu sanggup melewati semua rintangan esok hari. Seperti aku yang masih harus menaklukkan bermacam-macam tantangan besok. Percayalah, Aninda. Engkau akan selalu ada dalam doaku. Bahkan ketika kata tak mampu lagi mewujud dalam ruang, kelak ia akan menyublim dalam semilir angin yang membawa harapku menuju rasamu.

Hariku selanjutnya disini diisi dengan permainan-permainan ketangkasan. Engkau boleh membayangkan permainan macam apa yang kumainkan disini. Tujuannya, melatih kekompakan dan kerjasama kelompok. Begitulah Aninda, bukankah kehidupan mengajarkan kita untuk tidak jadi seorang egois?



Aku terlalu menikmati hari ini hingga tak terasa siang menjelang. Permainan usai. Aku bisa melihat wajah-wajah lelah diantara kami semua. Sebagai penutup, lomba terakhir pun dimainkan. Lomba joged. Engkau tahu sendiri kalau joged dangdut adalah kesenanganku. Seperti yang biasa aku lakukan di taman kampung setiap orkes dangdut itu tampil. Rasanya menyenangkan dan sejenak melepas kepenatan.

Selepas makan siang, kami semua harus bersiap untuk perang. Inilah yang selalu aku tunggu, Aninda. Aku menantikan permainan paintball ini. Aku sudah gatal ingin menembak teman-temanku disini. Aku bayangkan mereka menjelma menjadi sosok-sosok yang kubenci selama ini. Anggap saja aku ingin menuntaskan dendamku.

Ternyata begitulah rasanya, Aninda. Aku merasa bagai dalam situasi perang betulan. Sunyi bukan berarti damai. Maut mengintai dari setiap penjuru. Kebetulan, aku didaulat jadi kapten tim. Kemenangan adalah harga yang harus kami bayar untuk perjuangan ini. Aku tidak pernah punya pengalaman memimpin tim dalam ‘perang’ seperti ini. Aku beruntung karena tim kami berhasil memenangkan pertarungan ini. Tim kami sangat percaya diri dalam menyerang. Pun, ketika harus menghemat amunisi.

Kemenangan ini sangat berarti. Tidak hanya untuk tim kami tetapi juga untukku, Aninda. Aku rasakan kembali perasaan itu. Kurang lebih sama seperti Hakkinen yang berhasil menang balapan usai menyusul Schumacher di Spa-Francorchamps tahun 2000 lalu. Aku berhasil memimpin tim ini menuju kemenangan. Suatu kebanggaan pribadi yang kelak kami bawa dan ceritakan pada rekan-rekan sejawat di kantor. Kemenangan yang sama geloranya dengan memenangi cintamu, Aninda. Sekali lagi, cintamu Aninda. Ya, cintamu. Aku rayakan kemenangan ini seperti merayakan kemenangan atas cinta dan segenap perasaanmu. Aku putar lagu-lagu kenangan kita dari ponselku.

Untuk merayakan hari ini rupanya kami disuguhi orkes tunggal. Apalagi kalau bukan dangdutan, Aninda. Engkau tentu sudah dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya. Aku sungguh malu untuk menceritakannya disini, Aninda. Tentu engkau dapat bayangkan bagaimana aku berjoged dengan biduan-biduan sewaan itu. Engkau juga tentu bisa merasakan perasaanku saat menyanyikan lagu-lagu jadul itu. Begitulah malam itu terjadi. Semuanya terjadi begitu saja tanpa kita bisa memintanya.

Senyuman mentari pagi menyapa hangat disini. Terang pagi ini mengingatkan kami bahwa ini hari terakhir kami disini. Ini hari terakhirku disini, Aninda. Tak lama lagi aku akan pulang. Aku akan pulang kembali padamu. Merangkai kisah kita kembali seperti sediakala.

Tidakkah engkau bertanya apa yang aku lakukan di hari terakhir ini? Sudah jelas, hari ini kami bermain arung jeram. Sesuatu yang belum pernah kita coba sebelumnya. Dulu, kita hanya menaiki rakit butut itu untuk menyeberangi sungai yang tak terlalu deras. Sangat jauh beda dengan perahu karet ini. Aku tidak perlu khawatir karena pendamping kami disini sudah tahu betul medan yang kami lalui ini. Aku bisa lihat kesigapannya setiap ada seekor buaya mendekati perahu kami. 




Seperti sudah aku bilang sebelumnya, semua permainan disini membutuhkan kerjasama dan kekompakan. Sekali kami melakukan kesalahan dan tidak menuruti komando, perahu kami bisa terbalik setiap menghempas deretan batu-batu kali itu. Engkau tentu tidak ingin terjadi sesuatu padaku hingga surat ini takkan pernah sampai kepadamu, kan? Rasa lelah memang masih aku rasakan usai berpesta semalaman. Namun, aliran adrenalin yang kian kencang membuatku tidak bisa menyianyiakan kesempatan ini barang sekejap saja. Aku menikmati semua petualangan ini. Aku menikmati setiap pemandangan yang alam ini sajikan. Sejak dari awal perahu ini berangkat hingga berakhir di tepi sungai yang landai, 9 km arah selatan perbukitan ini. Aku berjanji padamu, kelak kita akan mengarungi pengalaman serupa. Catat itu, Aninda.

Adzan dhuhur yang berkumandang di puncak bukit sebelah utara itu jadi penanda. Bahwa petualanganku disini sudah harus berakhir. Suka atau tidak suka. Aku akan kembali pada kenyataan. Aku akan kembali pada cintamu yang luas tak bertepi, Aninda. Tunggu aku disana. Aku akan datang. Aku pasti datang.

Peluk hangat dan cium,


Citarik, 1 Juni 2012.

Rabu, 06 Juni 2012

THE BEE GEES Extended

Kalau ada yang bertanya, “Kenapa saya membuat postingan tentang Robin Gibb sampai dua kali?”, “Apakah saya sebegitu kehilangan Robin Gibb?”. Terus terang, pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah terlalu salah. Belum pernah saya merasa kehilangan seperti ini. Kurang lebih tidak jauh berbeda rasanya ketika Chrisye dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Saya bersyukur bahwa para musisi ini meninggalkan ‘legacy’ yang akan terus dikenang oleh generasi berikutnya.

Memang benar adanya bahwa saya merasa sangat kehilangan. Sejak wafatnya Maurice Gibb pada tahun 2003, nama Bee Gees kini tidak lagi digunakan para personilnya. Penampilan terakhir Robin Gibb di Jakarta pun menggunakan judul atas namanya sendiri. Saya memang bukan fans berat Bee Gees yang hafal dan tahu sejarah asal muasal The Brothers Gibbs. Saya bukan fans yang rela membayar mahal untuk setiap konser mereka.  Saya juga bukan fans yang mengkoleksi bermacam memorabilia lengkap dengan semua album mereka. Saya hanya menyenangi mereka sejak pertama kali mendengarkan lagu-lagu mereka. Terima kasih untuk Bapak yang bersedia menemani untuk mendengarkan lagu Bee Gees bersama-sama.


Saya benar-benar menikmati Bee Gees. Terutama saat menonton konser mereka dari DVD bajakan yang dibeli di Kota Kembang. Saya masih ingat bagaimana saya dan Bapak termenung takjub waktu menonton konser mereka yang bertajuk “One Night Only” yang digelar tahun 1997 di MGM Grand, Las Vegas. Bee Gees tampil dengan formasi lengkap. Barry, Robin, dan Maurice. Mereka seakan merengkuh kejayaan mereka kembali. Pada konser tersebut, Bee Gees juga menampilkan bintang tamu, Celine Dion, yang ikut menyanyikan lagu “Immortality”.

Dengan berpulangnya Robin, Bee Gees tidak akan pernah lagi sama. Tinggallah kini Barry sendirian, sebagai pewaris tunggal kejayaan mereka. Sulit untuk membayangkan Barry tampil sendirian tanpa iringan timbre vokal yang unik milik Robin dan Maurice. Barry kini menjadi sisa-sisa kejayaan Bee Gees sekaligus saksi hidup atas sejarah pencapaian Bee Gees di ranah musik dunia. Menarik untuk menyimak kejutan apa yang akan ditampilkan oleh Barry Gibb.

Apapun itu, “legacy” yang ditinggalkan pendahulunya tetap membawa nilai-nilai tersendiri. Album rekaman mereka masih akan tetap didengarkan di seluruh dunia. Tentu kita belum lupa bagaimana keadaan serupa yang dialami juga oleh Michael Jackson dan Whitney Houston. Album mereka dirilis ulang dengan nilai penjualan yang lumayan tinggi. Penggemar mereka dan penikmat musik dunia seakan ingin kembali bernostalgia dengan lagu-lagu mereka. Terlepas dari nilai komersialitasnya, fenomena ini mengingatkan kita bahwa suatu karya akan tetap abadi walaupun si pencipta karya itu sudah tidak ada lagi. Ia akan tetap hidup dalam hari para penggemarnya. Mengutip Seno Gumira Ajidarma dalam buku “Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara”; tidak ada yang abadi, kecuali dokumentasi.

Paninggilan, 6 Juni 2012, 19.32

For Whom The Bell Tolls (2)

Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita mengambilnya dari Tuhan (Emha Ainun Nadjib)




Seminggu yang lalu, usai mendengar kabar wafatnya Robin Gibb, mendadak suara Robin dalam reff lagu 'For Whom The Bell Tolls' mengisi ruang kepala saya.
 
When a lonely heart breaks
It's the one that forsakes
It's the dream that we stole
 
And I'm missing you more
And the fire that will roar
There's a hole in my soul

For you it's goodbye
For me it's to cry
For whom the bell tolls

Betapa vokal Robin di lagu itu sangat menyentuh. Entah karena penjiwaan atau memang sang penulis lirik menginginkan Robin menyanyi seperti itu. Tetapi, bila ditelusuri lebih lanjut vokal khas Robin ini memang membawa nuansa beraroma kehilangan. Coba dengarkan lagu “I’ve Gotta Get A Message To You” , “Run To Me”, dan “I Started A Joke”.  Semua lagu tadi bagi saya membawa kesan yang amat dalam. Terlebih dengan karakter vokal dari Robin Gibb. Kesan itu hidup dan tinggal lama dalam memori.

Bee Gees tidak akan pernah lagi sama tanpa Robin Gibb. Kepergiannya meninggalkan suatu kesan tersendiri bagi para penggemarnya. Robin Gibb akan selalu dikenang sebagai pionir musik disko pada dekade 70-an. Saya yakin bahwa ini adalah jalan terbaik yang Tuhan pilihkan untuk Robin. Saya cukup senang ketika mengetahui Robin sempat pulih dari penyakitnya. Bahkan, Robin sempat menyelesaikan proyek terbarunya yaitu "Titanic Requiem". Jika tidak berhalangan, waktu itu Robin dijadwalkan akan menghadiri pemutaran perdana dan launching karyanya itu.

Rupanya takdir berkehendak lain. Tuhan lebih dahulu memanggil Robin. Kita memang tidak pernah bisa meminta takdir, seperti meminta segelas bir (mengutip dari cerpen “Kunang-kunang Dalam Segelas Bir” ditulis oleh Agus Noor dan Djenar Maesa Ayu). Robin, the bell tolls for you now. For you it’s goodbye, for me it’s to cry. Selamat jalan, Robin Gibb.

 

Medan Merdeka Barat, 6 Juni 2012, 11.47.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...