Rabu, 13 Juni 2012

Surat Cinta dari Citarik

Aninda tercinta...

Hari pertama disini tidak akan pernah sama dengan hari lainnya yang telah kita lalui bersama. Entah itu dalam keheningan, keramaian, atau malah dengan sejumput tanya. Suara alam begitu kental disini Aninda. Aku bisa merasakannya. Aku melihat bukit-bukit curam di ujung barat sana. Deretan hijau masih mebentang sejauh mata memandang. Kicau burung yang meruang menandakan pesona alam asri.




Engkau tahu sendiri Aninda. Aku kini berada di Sukabumi. Tidak jauh dari satu tempat yang berminggu-minggu lalu mendadak jadi buah bibir. Aku kini berada tidak jauh dari lokasi jatuhnya Sukhoi.

Aninda, suatu saat akan ku ajak engkau kemari. Merayakan cinta kita agar menyatu erat lekat dengan harmoni alam. Bukankah engkau rindu pada kenangan kita di kampung. Saat kita duduk berdua diatas batu kali sambil sesekali memainkan kaki kita ke air sungai yang mengalir deras. Sederas rasa rinduku setiap hari padamu, Aninda.

Cintaku, manisku, sayangku. Aku disini tak lama. Hanya untuk habiskan waktu untuk sekedar mengisi kembali ruang-ruang kosong dalam jiwa dan raga ini. Aku perlu untuk mengendurkan otot barang sejenak. Seperti pesan Pak Sjoffa, aku harus merasakan pengalaman bertualang di alam liar supaya kelak kembali ke kotamu dengan pikiran dan mental yang siap ditimpa seribu satu masalah kosmopolis.

Sore ini, pelatih menyuruh kami memainkan permainan 'ice breaking'. Sudah jelas, supaya kami saling tahu, saling kenal, dan mewujudkan kekompakan. Sebelum hujan, kami memainkan lembar bola tutup mata. Ya, aku harus mencari bola untuk dilemparkan pada sesama pencari bola. Dengan mata yang ditututp aku merasa bagai A Dead Man Walking. Aku hanya mendengar sayup-sayup suara anggota kelompokku saja. Semakin lama, sayup itu semakin pudar. Hingga aku tersadar aku tinggal sendirian di lapangan permainan. Sementara, kawanku yang lain sudah meneduh karena hujan deras ikut menyambut kedatangan kami sore itu. Seakan alam pun bersuara, menandakan berkah bagi kami.

Sedang apakah engkau disana, Aninda? Apakah engkau masih sibuk dengan soal-soal persiapan ujian itu? Ya, muridmu akan segera melaksanakan ujian. Satu bagian kecil dari ujian kehidupan yang sesungguhnya. Aku bisa bayangkan kerut dikeningmu saat engkau memilih soal mana yang akan diteskan. Engkau tentu akan menyusun soal-soal latihan yang kualitasnya melebihi soal ujian itu sendiri. Engkau sepertinya masih memegang motto di kolam renang tempat kita biasa berolahraga sembari memadu rindu. Berlatihlah seperti bertanding, bertandinglah seperti berlatih. Begitu yang aku tahu. Bukankah hal itu juga yang membawa kau dan aku pada kehidupan yang sekarang?

Aku bisa rasakan segala gelisah dan resahmu disana. Rasa khawatir akan masa depan muridmu yang tentu saja tak bisa kau lepaskan begitu saja. Aku mengerti semua itu Aninda. Maka dari itu, relakan aku disini. Menjauh sejenak darimu, agar engkau lebih leluasa. Kerjakan yang terbaik. Aku tahu engkau lebih dari sekedar sanggup untuk melakukannya. Aku yakin itu, Aninda. Seyakin rasa sayangku kepadamu.



Malam pertama di Citarik, setengah rembulan menemani malam kami disini. Awan mendung membayangi tapi tak mampu menutup pesonanya. Rembulan seakan menahbiskan senyummu nan abadi dihatiku. Menghapus galau dihati. Malam ini bulan tersisa sepenggal kilau. Menyisakan rasa takjub yang tak penuh. Malam begitu dingin disini

Sebelum tidur malam ini, aku berdoa kepada Tuhan. Supaya engkau dan muridmu sanggup melewati semua rintangan esok hari. Seperti aku yang masih harus menaklukkan bermacam-macam tantangan besok. Percayalah, Aninda. Engkau akan selalu ada dalam doaku. Bahkan ketika kata tak mampu lagi mewujud dalam ruang, kelak ia akan menyublim dalam semilir angin yang membawa harapku menuju rasamu.

Hariku selanjutnya disini diisi dengan permainan-permainan ketangkasan. Engkau boleh membayangkan permainan macam apa yang kumainkan disini. Tujuannya, melatih kekompakan dan kerjasama kelompok. Begitulah Aninda, bukankah kehidupan mengajarkan kita untuk tidak jadi seorang egois?



Aku terlalu menikmati hari ini hingga tak terasa siang menjelang. Permainan usai. Aku bisa melihat wajah-wajah lelah diantara kami semua. Sebagai penutup, lomba terakhir pun dimainkan. Lomba joged. Engkau tahu sendiri kalau joged dangdut adalah kesenanganku. Seperti yang biasa aku lakukan di taman kampung setiap orkes dangdut itu tampil. Rasanya menyenangkan dan sejenak melepas kepenatan.

Selepas makan siang, kami semua harus bersiap untuk perang. Inilah yang selalu aku tunggu, Aninda. Aku menantikan permainan paintball ini. Aku sudah gatal ingin menembak teman-temanku disini. Aku bayangkan mereka menjelma menjadi sosok-sosok yang kubenci selama ini. Anggap saja aku ingin menuntaskan dendamku.

Ternyata begitulah rasanya, Aninda. Aku merasa bagai dalam situasi perang betulan. Sunyi bukan berarti damai. Maut mengintai dari setiap penjuru. Kebetulan, aku didaulat jadi kapten tim. Kemenangan adalah harga yang harus kami bayar untuk perjuangan ini. Aku tidak pernah punya pengalaman memimpin tim dalam ‘perang’ seperti ini. Aku beruntung karena tim kami berhasil memenangkan pertarungan ini. Tim kami sangat percaya diri dalam menyerang. Pun, ketika harus menghemat amunisi.

Kemenangan ini sangat berarti. Tidak hanya untuk tim kami tetapi juga untukku, Aninda. Aku rasakan kembali perasaan itu. Kurang lebih sama seperti Hakkinen yang berhasil menang balapan usai menyusul Schumacher di Spa-Francorchamps tahun 2000 lalu. Aku berhasil memimpin tim ini menuju kemenangan. Suatu kebanggaan pribadi yang kelak kami bawa dan ceritakan pada rekan-rekan sejawat di kantor. Kemenangan yang sama geloranya dengan memenangi cintamu, Aninda. Sekali lagi, cintamu Aninda. Ya, cintamu. Aku rayakan kemenangan ini seperti merayakan kemenangan atas cinta dan segenap perasaanmu. Aku putar lagu-lagu kenangan kita dari ponselku.

Untuk merayakan hari ini rupanya kami disuguhi orkes tunggal. Apalagi kalau bukan dangdutan, Aninda. Engkau tentu sudah dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya. Aku sungguh malu untuk menceritakannya disini, Aninda. Tentu engkau dapat bayangkan bagaimana aku berjoged dengan biduan-biduan sewaan itu. Engkau juga tentu bisa merasakan perasaanku saat menyanyikan lagu-lagu jadul itu. Begitulah malam itu terjadi. Semuanya terjadi begitu saja tanpa kita bisa memintanya.

Senyuman mentari pagi menyapa hangat disini. Terang pagi ini mengingatkan kami bahwa ini hari terakhir kami disini. Ini hari terakhirku disini, Aninda. Tak lama lagi aku akan pulang. Aku akan pulang kembali padamu. Merangkai kisah kita kembali seperti sediakala.

Tidakkah engkau bertanya apa yang aku lakukan di hari terakhir ini? Sudah jelas, hari ini kami bermain arung jeram. Sesuatu yang belum pernah kita coba sebelumnya. Dulu, kita hanya menaiki rakit butut itu untuk menyeberangi sungai yang tak terlalu deras. Sangat jauh beda dengan perahu karet ini. Aku tidak perlu khawatir karena pendamping kami disini sudah tahu betul medan yang kami lalui ini. Aku bisa lihat kesigapannya setiap ada seekor buaya mendekati perahu kami. 




Seperti sudah aku bilang sebelumnya, semua permainan disini membutuhkan kerjasama dan kekompakan. Sekali kami melakukan kesalahan dan tidak menuruti komando, perahu kami bisa terbalik setiap menghempas deretan batu-batu kali itu. Engkau tentu tidak ingin terjadi sesuatu padaku hingga surat ini takkan pernah sampai kepadamu, kan? Rasa lelah memang masih aku rasakan usai berpesta semalaman. Namun, aliran adrenalin yang kian kencang membuatku tidak bisa menyianyiakan kesempatan ini barang sekejap saja. Aku menikmati semua petualangan ini. Aku menikmati setiap pemandangan yang alam ini sajikan. Sejak dari awal perahu ini berangkat hingga berakhir di tepi sungai yang landai, 9 km arah selatan perbukitan ini. Aku berjanji padamu, kelak kita akan mengarungi pengalaman serupa. Catat itu, Aninda.

Adzan dhuhur yang berkumandang di puncak bukit sebelah utara itu jadi penanda. Bahwa petualanganku disini sudah harus berakhir. Suka atau tidak suka. Aku akan kembali pada kenyataan. Aku akan kembali pada cintamu yang luas tak bertepi, Aninda. Tunggu aku disana. Aku akan datang. Aku pasti datang.

Peluk hangat dan cium,


Citarik, 1 Juni 2012.

1 komentar:

Adit Purana mengatakan...

say it with a song!

You know i can't smile without you
can't smile without you
can't laugh and i can't sing..

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...