Selasa, 31 Oktober 2017

Daur I: Sebuah Pembukaan

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya patut bersyukur karena Alhamdulillah, atas izin Allah SWT Emha Ainun Nadjib masih diberikan nikmat sehat dan Islam sehingga mampu menulis kembali. Adapun, tulisan beliau yang benar-benar baru senantiasa saya peroleh lewat laman www.caknun.com. Saya mengamati bahwa laman tersebut pelan-pelan mulai mengalami perubahan. Perubahan itu, setidaknya untuk saya pribadi, saya amati mulai dari rubrik-rubrik tambahan yang dihiasi catatan-catatan Cak Nun.

Begitupun dengan Daur. Saya sempat dibuat tidak paham maksudnya, namun hanya mampu turut memaknai pesan Cak Nun: "...untuk anak cucu..". Tulisan Cak Nun dalam Daur adalah sesuatu yang benar-benar baru tak terkecuali tokoh idola bernama Kiai Sudrun dan Cak Markesot.

Dilihat dari perspektif manfaat dan jariah ilmu, "Daur" sendiri adalah bentuk istikomah pemikiran, perenungan, dan analisis hingga formula-formula kultural lain dari Cak Nun yang mampu memberikan manfaat dalam konteks sosial.

"Daur" adalah sebuah bentuk tulisan Cak Nun yang sudah tidak lagi siap saji dan siap antap. Pembaca diajak untuk menelusuri pembelajaran hidup yang meningkat lagi levelnya. Bisa saja dari satu tulisan pembaca berhenti pada satu kesimpulan, namun tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk menelusuri kembali ketersambungan dengan tulisan lainnya.

Dengan jumlah pembaca mencapai kurang lebih 1.100-an pembaca setiap hari (lihat halaman xiv) tentu saja "Daur" menjadi sebuah ruang bagi pembaca Cak Nun maupun Jamaah Maiyah untuk senantiasa rehat sejenak dan menemukan jawaban atas clue pemahaman hidup. Sebagaimana dapat dijumpai pada rubrik 'Tadabbur Daur'.

Bagi Cak Nun sendiri, tulisan-tulisan "Daur" adalah upaya untuk mengembalikan "mata" kita dari keterjeratan pada materialisme dimana materi menjadi variabel dan faktor utama. Akibatnya, kita semua hanya melihat berdasarkan materi dan transaksi sehingga melihat dan membayangkan Tuhan dengan cara berpikir materi.

Semoga dengan dibukukannya "Daur" edisi pembuka hingga edisi ke-65 kita dapat menemukan mata air yang mengalirkan ilmu kehidupan. Semoga terus berlahiran generasi-generasi baru yang mau belajar agar kehidupan dapat berlanjut secara berkesinambungan pada masa depan dengan nilai peradaban yang lebih tinggi. Semoga.

Judul        : Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Bentang Pustaka
Tahun       : 2017
Tebal        : 394 hal.
Genre       : Sosial Budaya

Cipayung, 29 Oktober 2017.


Bola Di Balik Bulan

“We are red, we are white, we are Danish dynamit.”

Sumber gambar: www.goodreads.com
Sepakbola secara filosofis dapat mengajari orang untuk mengalami realisme nasib. Nasib itu sendiri, entah menang atau kalah tidak terbaca dalam suatu pergulatan dalam rentang waktu yang lama, tetapi tiba-tiba terjadi dalam peristiwa tidak terduga.

Sepakbola adalah hidup. Sepakbola tidak hanya berarti sebagai olahraga belaka. Setidaknya, kesimpulan yang demikian dapat diperoleh usai membaca tulisan-tulisan Sindhunata dalam buku ini. ‘Bola Di Balik Bulan’ adalah satu bagian dari trilogi sepakbola Sindhunata. Bersama ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’.

Tidak jelas memang mana buku yang pertama, kedua, dan ketiga. Namun, kalau boleh saya menempatkan ‘Bola Di Balik Bulan’ sebagai buku pertama disusul dengan ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’ sebagai pamungkas. Ini hanya hasil pengamatan sepintas dari pengalaman saya belaka. ‘Bola Di Balik Bulan’ menampilkan suatu suguhan bahwa sepakbola adalah sebuah gairah kehidupan, kemudian usai gairah itu hadirlah sebuah “Air Mata Bola” dimana sepakbola banyak menyajikan drama (yang tidak sedangkal opera sabun) yang menguras air mata. Sehingga kemudian kesemuanya bermuara pada satu keniscayaan bahwa sepakbola itu ibarat kehidupan yang memiliki nasibnya sendiri-sendiri.

‘Bola Di Balik Bulan’ sendiri merupakan sebuah pengandaian dari gegap gempita Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Sebuah sajian sepakbola dunia di negeri yang hanya kenal permainan bola tangan. Namun demikian, Amerika Serikat saat itu mampu lolos dari fase grup dan berhadapan dengan Brazil di babak per delapan final. Tim Sepakbola Amerika Serikat pun ‘memakan’ korban bernama Andres Escobar yang membuat gol bunuh diri sehingga Kolombia harus kalah di tangan tuan rumah. Begitu besar harapan publik Amerika Serikat saat itu sehingga mereka dianggap telah berhasil menemukan bola di bulan. Ya, mereka memang telah menemukan bulan, namun sepakbola masih saja tetap tidak populer disana.

Lewat buku ini saya jadi tahu bahwa Seorang Rinus Michels tidak melatih dan memberi instruksi dengan menyebut nama pemainnya melainkan nomor punggung mereka. Bagi khalayak luas, Sindhunata seakan membawa kita pada gegap gempita jagad persepakbolaan dekade 80-90an. Nama-nama besar saat itu juga tidak lepas dari catatan Sindhunata. Sebut saja macam Van Basten, Gullit, Garrincha, Pele, Maradona, Platini, Papin, Roberto Baggio, Rinus Michels, dan Franz Beckenbauer. Tidak hanya sekedar nama, Sindhunata pun dengan piawai menuliskan kisah-kisah yang melingkupi nama-nama besar tersebut. Sehingga seluruh aspeknya terangkum utuh dalam sebuah kisah.

Catatan Sindhunata ini tadinya hanyalah sebuah tulisan kolom pada harian Kompas dan selalu terbit di halaman awal. Tidak heran bila kemudian banyak pembaca yang menginginkan agar catatan-catatan tersebut dibukukan agar tidak tercecer begitu saja. Saya turut menikmati setiap cerita dalam buku ini. Saya seakan dibuat turut mengalami sendiri kejadian-kejadian yang dicatat Sindhunata. Agaknya, Sindhunata telah berhasil mengangkat kisah dan refleksi sepakbola menjadi sebuah catatan humanis yang universal.

Judul           : Bola Di Balik Bulan
Penulis        : Sindhunata
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun          : 2002
Tebal           : 296 hal.
Genre          : Sosial-Budaya

 
Cipayung, 26 Oktober 2017

Kitab Omong Kosong

“Manusia selalu menuntut dunia membahagiakannya, pernahkah ia berusaha membahagiakan dunia?” 

Sumber gambar: www.goodreads.com

“Kitab tulisan Togog ini berkisah tentang kejadian-kejadian yang berlangsung dalam kisah Ramayana dari Walmiki. Bencana akibat persembahan kuda berlangsung hingga ke anak benua dan menghancurkan seluruh peradaban, kecuali Satya dan Maneka berhasil menemukan kelima bagian Kitab Omong Kosong itu yang keberadaannya tidak diketahui setelah berada di Perpustakaan Negeri Ayodya. Kelima bagian kitab ini memiliki arti dan penafsiran makna yang kental dengan unsur filsafat eksistensialis.”

Catatan pendek diatas dibuat usai menamatkan pembacaan Kitab Omong Kosong medio Juli 2008. Waktu itu saya baru saja membeli buku itu terbitan Bentang Pustaka, 2006. Sampulnya bukan lagi imaji kreatif dari Danarto melainkan agak lebih artistik berwarna kecoklatan.

Well, kalau harus menuliskan kembali apa yang saya dapat dari kitab rekaan Togog itu rasanya jadi agak sedikit-sedikit lupa, kalau saja bukan karena acara bersih-bersih buku kemarin. Barangkali, ‘Kitab Omong Kosong’ sendiri merupakan sebuah ungkapan filosofis untuk mengungkapkan sebuah ketiadaan, tentunya dalam konsep filsafat. Benarkah itu? Saya juga tidak pernah tahu.

Kitab ini membuat kita kembali membaca perjalanan dan kisah cinta Sri Rama dengan Dewi Shinta. Sebuah kisah epos yang terkenal soal cinta-cintaan. Sebuah kisah dimana cinta harus dibuktikan dengan sebuah pengorbanan. Sebagaimana Sri Rama yang menurunkan Hanoman untuk merebut Shinta dari cengkeraman Rahwana, Sang Penguasa Alengka.

Saya dibuat takjub betul akan sosok seorang Hanoman yang gagah berani. Pun dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Hanoman yang ada di benak saya adalah seorang panglima yang mampu melakukan apa saja untuk memenangkan pertempuran dengan pasukan Rahwana. Saya yang tidak pernah akrab dengan dunia pewayangan jadi ingin tahu bagaimana kisah-kisah wayang diadaptasi. Bagaimana tokoh-tokohnya juga sekalian. 

Anyway, ‘Kitab Omong Kosong’ sangat berhasil membuat saya mengidolakan seorang Hanoman. Saya bahkan berkhayal Sembilan Hanoman muncul di Bundaran HI dan mengacak-acak Jakarta karena negeri ini sudah tidak sanggup memberantas para koruptor. Pembaca setia SGA pasti tahu asal-usul munculnya imajinasi saya itu. Hahaha.

Kisah cinta antara Sri Rama dan Dewi Shinta yang saya tahu dan saya baca dengan tuntas adalah kisah yang ada dalam kitab ini. Itu jauh sebelum saya tahu lewat buku Sudjiwo Tejo, Rahvayana, bahwa sebenarnya yang mencintai Shinta dengan tulus dan ikhlas adalah Rahwana. Sekali lagi, Rahwana. Bukan Sri Rama. Mengapa? Kalau memang cinta itu tidak bersyarat mengapa Sri Rama masih meragukan kesucian Shinta selama dalam masa penyekapan di Alengka. Sri Rama yang meragu itu akhirnya membuat Shinta murka dan memutuskan untuk moksa.

Diluar perdebatan wacana antara Rama, Shinta, Rahwana, dan Sudjiwo Tedjo, saya sangat menikmati pembacaan ‘Kitab Omong Kosong’ ini. Rasanya seperti betul-betul membaca sebuah ‘kitab’ yang penuh cerita dan imajinasi.

Judul           : Kitab Omong Kosong
Penulis        : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit       : Bentang Pustaka
Tahun          : 2006
Tebal           : 524 hal.
Genre          : Sastra Indonesia-Novel

 
Cipayung, 27 Oktober 2017.

Makuta (Biasa Aja)



Kota Bandung sudah lebih dahulu terkenal dengan berbagai sajian kuliner khasnya. Terlebih di zaman kekinian yang selalu menuntut keunikan. Maraknya produk kuliner yang diendorse oleh selebriti seakan menjadi tren baru. 

Anyway, saya tidak terlalu suka dengan ide semacam itu. Kalau suatu produk memang memberi pengalaman yang menyenangkan maka tidak perlu mesti diendorse oleh kalangan tertentu. Karena rasa akan menentukan segalanya. Akhirnya, tren semacam ini menjadi overrated. Bisa karena kualitas produknya ataupun sekedar pencitraan untuk produk yang biasa saja. 

Termasuk penganan kue berlabel Makuta ini yang diklaim rasanya membuat kangen. Omaigad, first impression saya tidak seperti ketika pertama kali mencicipi sepotong brownies Amanda. 

Saya bisa bilang kue ini punya kualitas bahan yang bagus sekaligus dengan taktik marketingnya. Namun, makanan adalah soal lidah. Dan saya tidak mendapatkan taste yang menyenangkan untuk sebuah kue yang dibandrol dengan harga diatas lima puluh ribu rupiah. 

Bila untuk sekedar menghabiskan rasa penasaran, itu sudah cukup. Selebihnya, saya sudah bilang: overrated. Padahal, dengan range harga yang W.O.W produk kue ini mampu memberi pengalaman rasa yang (seharusnya) tidak terlupakan. 

Cipayung, 23 Oktober 2017. 

Senin, 30 Oktober 2017

Rekonstruksi Panglima Besar Soedirman

Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit

Sumber gambar: www.goodreads.com
Buku ini hadir sebagai bentuk reproduksi edisi khusus Koran Tempo yang membahas tentang Bapak Pendiri TNI ini. Melalui kehadiran buku ini, pembaca disajikan beberapa keterangan yang "disembunyikan" oleh konstruksi sejarah orde baru. Dengan demikian, buku ini merupakan dekonstruksi atas konstruksi imajiner Jenderal Besar Soedirman versi Orde Baru. Pembaca dihadapkan pada satu sosok utuh seorang Panglima Besar Soedirman. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sejarah sebuah bangsa yang baru merdeka tergambar dalam buku ini. Batu landasan pendirian Tentara Nasional Indonesia diletakkan oleh seorang Soedirman muda yang berumur 29 tahun. Sudah tentu bukan hal yang mudah, integrasi laskar-laskar rakyat sebagai kekuatan sayap militer dengan tentara republik eks Peta-KNIL, seringkali menimbulkan gesekan bagai kerikil tajam dalam tubuh Republik muda,

Dengan kharisma yang dimilikinya, Panglima Besar Soedirman berhasil meredam konflik dan meletakkan dasar fondasi penting untuk Tentara Nasional Indonesia. Dalam kondisi sesulit apapun, ia tetap tunduk pada kepemimpinan sipil Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Usaha penerbitan kembali kisah sejarah bangsa semacam ini patut mendapatkan apresiasi. Penulisan profil para perwira militer penting Indonesia membutuhkan ketekunan. Militer tetap mempertahankan aura ketertutupan yang sulit ditembus. Alhasil, pembacaan kembali sejarah ke belakang, pembaca diharapkan mampu menilai sendiri dan melakukan rekonstruksi sendiri atas fakta sejarah negeri ini.

Judul        : Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir
Penulis     : Arif Zulkifli (ed.)
Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun       : 2012
Tebal        : 160 hal.
Genre       : Sejarah-Indonesia

Cipayung, 21 Oktober 2017

Kamis, 19 Oktober 2017

Dalang Galau Ngetwit

Semua sekadar menjalani takdir. Ada yang ditakdirkan pasrah. Ada yang ditakdirkan berusaha. Ada juga yang ditakdirkan untuk tidak percaya bahwa semua sekadar menjalani takdir.

 
Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya termasuk satu dari sekian orang yang kagum dengan kekuatan Twitter. Sebuah cuitan kecil berbatas 140 karakter mampu menjelma menjadi satu narasi tulisan. Pun, ketika tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dan menjelma menjadi sebuah buku yang utuh. Maka ketika sang Rahvayana menuliskan kembali segenap kumpulan twit lengkap dengan narasinya, pembaca wajib bersyukur karena sang dalang tidak hanya menceritakan segenap kegalauannya.

Buku ini memang layak dibaca siapapun. Baik pemilik akun twitter yang rajib ngetwit ataupun hanya untuk sekedar stalking mantan (ups.) Sujiwo berhasil memainkan kata-kata serupa wayang andalannya. Sujiwo menyampaikan pesan-pesan yang humanis dan beberapa diantaranya anti-mainstream.

Subjek yang dibahas Sujiwo pun luas, seluas pemahamannya terhadap kausalitas dalam perjalanan hidupnya. Dari soal matematika yang ternyata tidak selalu pasti hingga urusan seni yang pemahaman atasnya ditentukan isi kepala masing-masing. Soal Rama-Shinta hingga Habibie-Ainun. Saya menikmati proses dialektika yang dikemukakannya. Setidaknya, untuk dipakai sebagai bahan refleksi.

Lebih luas, pemikiran Sujiwo yang merdeka tidak hanya menghibur namun mempu menyentil sedikit bagian hidup kita sehingga tidaklah berlebihan bila kemudian pembaca mencapai pencerahan. Sujiwo juga tidak lantas kehilangan keedanannya karena kegalauannya sendiri sudah menunjukkan keedanan itu sendiri.

Oleh karena itu, pembaca pun harus menyediakan hati dan pikiran yang terbuka. Menerima curhatan soal kegalauan adalah persoalan tersendiri sebagaimana menerima segala keedanan. Oleh karena itu, dengan pikiran dan pemahaman yang terbuka pembaca tentu sudah lebih pintar untuk menemukan makna dibalik setiap twit Sang Dalang.

Judul     : Dalang Galau Ngetwit
Penulis  : Sujiwo Tejo
Penerbit : Imania
Tahun    : 2013
Tebal     : 219 hal.
Genre    : Sosial-Budaya

Cipayung, 4 Oktober 2017.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...