Selasa, 31 Oktober 2017

Bola Di Balik Bulan

“We are red, we are white, we are Danish dynamit.”

Sumber gambar: www.goodreads.com
Sepakbola secara filosofis dapat mengajari orang untuk mengalami realisme nasib. Nasib itu sendiri, entah menang atau kalah tidak terbaca dalam suatu pergulatan dalam rentang waktu yang lama, tetapi tiba-tiba terjadi dalam peristiwa tidak terduga.

Sepakbola adalah hidup. Sepakbola tidak hanya berarti sebagai olahraga belaka. Setidaknya, kesimpulan yang demikian dapat diperoleh usai membaca tulisan-tulisan Sindhunata dalam buku ini. ‘Bola Di Balik Bulan’ adalah satu bagian dari trilogi sepakbola Sindhunata. Bersama ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’.

Tidak jelas memang mana buku yang pertama, kedua, dan ketiga. Namun, kalau boleh saya menempatkan ‘Bola Di Balik Bulan’ sebagai buku pertama disusul dengan ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’ sebagai pamungkas. Ini hanya hasil pengamatan sepintas dari pengalaman saya belaka. ‘Bola Di Balik Bulan’ menampilkan suatu suguhan bahwa sepakbola adalah sebuah gairah kehidupan, kemudian usai gairah itu hadirlah sebuah “Air Mata Bola” dimana sepakbola banyak menyajikan drama (yang tidak sedangkal opera sabun) yang menguras air mata. Sehingga kemudian kesemuanya bermuara pada satu keniscayaan bahwa sepakbola itu ibarat kehidupan yang memiliki nasibnya sendiri-sendiri.

‘Bola Di Balik Bulan’ sendiri merupakan sebuah pengandaian dari gegap gempita Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Sebuah sajian sepakbola dunia di negeri yang hanya kenal permainan bola tangan. Namun demikian, Amerika Serikat saat itu mampu lolos dari fase grup dan berhadapan dengan Brazil di babak per delapan final. Tim Sepakbola Amerika Serikat pun ‘memakan’ korban bernama Andres Escobar yang membuat gol bunuh diri sehingga Kolombia harus kalah di tangan tuan rumah. Begitu besar harapan publik Amerika Serikat saat itu sehingga mereka dianggap telah berhasil menemukan bola di bulan. Ya, mereka memang telah menemukan bulan, namun sepakbola masih saja tetap tidak populer disana.

Lewat buku ini saya jadi tahu bahwa Seorang Rinus Michels tidak melatih dan memberi instruksi dengan menyebut nama pemainnya melainkan nomor punggung mereka. Bagi khalayak luas, Sindhunata seakan membawa kita pada gegap gempita jagad persepakbolaan dekade 80-90an. Nama-nama besar saat itu juga tidak lepas dari catatan Sindhunata. Sebut saja macam Van Basten, Gullit, Garrincha, Pele, Maradona, Platini, Papin, Roberto Baggio, Rinus Michels, dan Franz Beckenbauer. Tidak hanya sekedar nama, Sindhunata pun dengan piawai menuliskan kisah-kisah yang melingkupi nama-nama besar tersebut. Sehingga seluruh aspeknya terangkum utuh dalam sebuah kisah.

Catatan Sindhunata ini tadinya hanyalah sebuah tulisan kolom pada harian Kompas dan selalu terbit di halaman awal. Tidak heran bila kemudian banyak pembaca yang menginginkan agar catatan-catatan tersebut dibukukan agar tidak tercecer begitu saja. Saya turut menikmati setiap cerita dalam buku ini. Saya seakan dibuat turut mengalami sendiri kejadian-kejadian yang dicatat Sindhunata. Agaknya, Sindhunata telah berhasil mengangkat kisah dan refleksi sepakbola menjadi sebuah catatan humanis yang universal.

Judul           : Bola Di Balik Bulan
Penulis        : Sindhunata
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun          : 2002
Tebal           : 296 hal.
Genre          : Sosial-Budaya

 
Cipayung, 26 Oktober 2017

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...