Sabtu, 30 Desember 2017

Selamat Tahun Baru 2018


Sumber gambar: saboronthebay.com

Ya Tuhan kami, jadikan tahun ini tahun yang kami isi penuh dengan kebaikan dan kami hias dengan penuh keindahan. 

Ya Tuhan kami, jadikan tahun ini sebagai tahun yang bertabur ilmu, utamanya bagi anak-anak kami, pemimpin-pemimpin kami.

Ya Tuhan kami, jadikan tahun ini senantiasa penuh keberkahan, kabulkan doa kami dan bimbinglah kami dalam hidayah-Mu.


Cipayung, 1 Januari 2018

Bola-Bola Nasib

Will be posted here soon.

AKU: Sesudah

Sumber gambar: Koleksi Pribadi
Terus terang, saya tidak mengharapkan sebuah kejutan nan eksplosif dalam buku ini. Sebagai sebuah skenario mengenai (sebagian) perjalanan hidup Chairil Anwar tentulah ada beberapa hal yang bisa saja hilang karena pembermaknaan yang berbeda. Tentang bagaimana narasi dan teks skenario dipahami secara tekstual ataupun melalui imajinasi visual. Namun, saya tentulah merasa sangat bahagia karena melalui pemahaman tekstual pada buku ini saya dapat membuat imajinasi buatan saya sendiri.

Saya bisa membayangkan bagaimana Chairil yang tiba-tiba saja masuk ke rumah Oomnya, Syahrir, yang dulu Perdana Menteri itu semasa zaman Republik. Pun, ketika Chairil nyelonong begitu saja ketika ikut naik kereta rombongan Perdana Menteri ke Yogyakarta. 

Lewat buku ini, setidaknya pembaca bisa dibuat paham mengenai suasana apa yang membuat sajak-sajak Chairil Anwar menjadi begitu menggelora, kadang-kadang syahdu, dan tiba-tiba mengandung kepasrahan yang total pada Si Penciptanya.

Setidaknya saya mendapatkan jawaban tentang latar suasana yang mebuat sajak ‘Aku’ menjadi legenda sepanjang masa. Tentang mengapa ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ bisa menjadi begitu syahdu, ketika Chairil termenung di pinggir pantai. Juga, penggalan syair ‘...Waktu jalan aku tidak tau apa nasib waktu...’ yang pernah saya baca dalam satu cerpen milik Seno Gumira Ajidarma, yang tercipta semasa Agresi Militer Belanda I.

Khusus untuk timeline Agresi Militer Belanda I, tercipta pula sebuah sajak perjuangan yang selalu dikenang warga Bekasi-Krawang, ‘Antara Krawang-Bekasi’. Maklum, Chairil diceritakan telah menikah dengan seorang gadis dari Karawang bernama Hapsah, Dari Hapsah pula Chairil memiliki seorang putri yang dinamainya, Evawani.

Memasuki bagian akhir, saya merasakan aroma kehilangan yang semakin menguat. Chairil agaknya tidak kuasa menahan penyakitnya hingga ia harus menyendiri di sebuah kamar yang dicarikan khusus untuknya. Perkawinannya dengan Hapsah pun harus berakhir, ia digugat cerai. Sebuah adegan yang membuat saya bergetar kala Chairil Anwar menggendong Evawani sebentar sebelum Ibunya datang. Ah, tokoh kita ini juga seorang manusia.

Menjelang akhir perjalanan hidupnya, rupanya Chairil Anwar sudah mampu meramal kematiannya sendiri. Ia sudah merasakan maut itu datang sebelum Malaikat Maut benar-benar melaksanakan tugasnya. Ia sudah menulis ‘...rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet (daerahku yang akan datang)...’. Chairil Anwar sudah tahu ia akan berpulang kemana. Masalahnya hanya soal waktu saja, entah kapan.

Tidak diragukan lagi bahwa Chairil Anwar-terlepas dari segala kontroversinya soal sajak-sajak saduran dan terjemahan-adalah seorang pionir sastra Indonesia. Chairil Anwar menandai tonggak lini masa sastra Indonesia dengan menamai angkatannya sebagai ‘Angkatan 45’. Chairil masih berseru: “Revolusi!”, menjelang akhir-akhir masa hidupnya. Sebuah pernyataan yang tabah dan berani seakan-akan ia masih akan hidup seribu tahun lagi.

Judul           : AKU: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Penulis        : Sjuman Djaya
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun          : 2017
Tebal           : 155 hal.
Genre          : Sastra Indonesia-Skenario

Cipayung, 29 Desember 2017.

Semesta Emha, Sebuah Pendekatan Filosofis

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya agak terkejut ketika mendapati buku ‘Semesta Emha’ ini sebagai sebuah naskah akademik. Rupanya, Emha Ainun Nadjib sebagai individu telah jadi referensi beberapa karya akademik yang lulus untuk diujikan. Pun, ketika menjelma simpul-simpul Jamaah Maiyah di seluruh Nusantara. Ada banyak sudut pandang yangbisa digunakan untuk membahas seorang Emha.

Buku ini dimulai dengan menguraikan potret seorang Emha Ainun Nadjib. Semacam biografi kecil yang tidak mencapai 1 bab. Pembahasan menjadi kian mendalam ketika menguraikan faset-faset perjalanan Emha Ainun Nadjib. Mulai dari masa kecilnya di Jombang, kemudian fase Malioboro dimana Emha mengenal Umbu, fase teatrikal bersama Dinasti, pementasan Lautan Jilbab, keterlibatan Emha dengan ICMI dan politik, Pak Kanjeng, Padhang Mbulan, fase reformasi hingga yang terkini adalah fase Maiyah. 

Yang terjadi pada bab-bab selanjutnya adalah sebuah filsafat dalam memandang objek berupa Emha Ainun Nadjib. Emha diuraikan dari sudut pandang Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Ontologi berbicara tentang kosmologi Emha, bagaimana filsafat dasar Emha sehingga kemudian menghasilkan sebuah eksistensialisme dan metafisika cinta. Epistemologi Emha mengetengahkan kesadaran dan pengetahuan sebagai sebuah kesatuan dalam mencapai kebenaran. Aksiologi Emha membahas etika dan estetika seni yang dijalani oleh Emha. Filsafat pendidikan ala Emha pun terpapar didalamnya.

Filsafat dasar Emha yang telah terbentuk sedemikian rupa kini diejawantahkan sebagai sebuah pemikiran kebudayaan. Sepak terjang Emha dalam bidang sastra, seni dan ideologi dikupas menjadi sebuah eksekusi dari filsafat dasar yang melingkupinya. Hal ini kemudian membawa pembaca pada sebuah teori relativisme kebudayaan dan kebudayaan Ilahiah dari seorang Emha Ainun Nadjib.

Semesta Emha yang multidimensi itu menghasilkan sebuah potensi besar terhadap kemanusiaan. Potensi pemikiran Emha yang humanis itu diteruskan oleh Emha untuk menemani bangsa Indonesia hingga saat ini. Emha dengan segenap perangkat kemaiyahannya terlihat berjalan di arus bawah masyarakat sekelilingnya. Jelas hal ini adalah bukan sesuatu yang populer, melainkan suatu  jalan yang sunyi. Gagasan-gagasan kemanusiaan Emha dari berbagai sumber nilai bersifat dialektis dan dinamis dengan dilandasi konsep kesadaran untuk membangun peradaban yang luhur.

Judul            : Semesta Emha Ainun Nadjib: Bentangan Pengembaraan Pemikiran
Penulis        : Sumasno Hadi
Penerbit       : Mizan
Tahun          : 2017
Tebal           : 216 hal.
Genre           : Filsafat-Sosial Budaya

Cipayung, 28 Desember 2017.

Matinya Seorang Penari Telanjang

Air Mata Bola

Sumber gambar: www.goodreads.com
Air Mata Bola adalah sekuel dari Trilogi Sepakbola Sindhunata. Judulnya seakan mewakili berbagai tragedi sepakbola yang tidak selalu memilukan namun menuai air mata. Betapa sepakbola bukan hanya sekedar olahraga belaka. Lebih dari itu, sepakbola adalah bagian panggung kecil kehidupan.

Bagian kedua ini mengambil rentang waktu pada menjelangnya Piala Eropa 1996 di Inggris. Waktu itu, Inggris kembali gegap gempita dengan semangat 'Football Coming Home'. Kemudian, beralih sedikit dengan kemenangan Dortmund atas Juventus pada final Piala Champions 1997.

Air mata bertebaran kala itu karena Juventus sedang berada dalam kondisi ideal untuk menguasai jagad sepakbola Eropa. Timeline ditutup dengan episode menjelang final Piala Champions musim 1998-1999 yang mempertemukan Bayern Muenchen dan Manchester United di Nou Camp, Barcelona.

Saya selalu merujuk buku ini bila butuh rekreasi sejenak untuk menemukan kembali inspirasi dari Predrag Mijatovic. Ia adalah seorang striker yang sangat percaya diri. Alasan yang tepat untuk keberadaannya di skuad Real Madrid kala itu. Kisahnya dapat dibaca dalam artikel berjudul 'Ambisi Sebuah Klub Superlatif'.

Tidak hanya soal itu saja, rasanya selalu menyenangkan kala membaca kembali kisah tidak terduga dari Kroasia dan Republik Ceko di gelaran Euro 96. Allen Boksic dan Davor Suker adalah label dari kejutan-kejutan itu. Munculnya Republik Ceko dalam final menghadapi Jerman adalah sebuah perlawanan dalam kemapanan.

Satu lagi, buku ini juga memuat kisah Eric Cantona dan Sir Alex Ferguson. Usai merekrutnya dari Leeds United, Sir Alex bertanya pada Cantona sebesar apakah dirinya untuk bermain di MU. Cantona balik bertanya sebesar apakah MU untuknya.

Kisah-kisah diatas adalah cerita yang selalu menarik untuk dibaca kembali. Sepakbola sebagai realitas kecil kehidupan mampu menyajikan tontonan yang tidak hanya melulu soal sportivitas teapi juga soal humanisme. Humanisme universal tentang bagaimana memaknai kehidupan yang kadang juga penuh dengan air mata.

Judul           : Air Mata Bola
Penulis        : Sindhunata
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun          : 2002
Tebal           : 276 hal.
Genre          : Sosial-Budaya


Cipayung, 30 Desember 2017.

Kamis, 28 Desember 2017

AKU: Sebelum

Sumber gambar: Dokumentasi Pribadi
Catatan Sebelum Tamat

AKU. Terpampang jelas dalam halaman judul sebuah buku berwarna abu-abu. Buku yang tiba-tiba menjadi hits dan bacaan wajib usai tampil di film AADC tahun 2002 silam. Buku kecil yang bercerita tentang Chairil Anwar. Sjuman Djaya, penulisnya, berusaha menulis skenario film berdasarkan perjalanan hidup dan karya penyair Chairil Anwar. Tentang ‘AKU’, adalah satu karya terpenting dari Sjuman Djaya sehingga menempatkannya di jajaran seniman besar Indonesia.

Keinginan membaca ‘AKU’ memang terlintas sejak zaman AADC. Rangga berhasil membuat suatu gebrakan sastra di kalangan anak muda. Ya, anak-anak muda zaman itu tiba-tiba penasaran dengan buku ini. Termasuk saya. Padahal, setiap lewat toko buku saya hanya mampu memegangnya saja. Tanpa membawanya ke meja kasir. Tidak ada trigger lain yang mampu menumbuhkan keinginan itu.

Chairil Anwar adalah pribadi yang meledak pada zamannya. Karya yang dihasilkannya menunjukkan gairah tinggi pada kehidupan yang dijalaninya. Barangkali, orang zaman sekarang menyebutnya sebagai progresif. Sjuman Djaya memotret perjalanan hidup Chairil Anwar frame by frame sehingga terlihat jelas rentang waktu kehidupannya.

Saya belum tiba pada halaman akhir buku ini. Saya masih terhenti pada halaman pertengahan. Namun, saya dapat merasakan gairah kehidupan Chairil Anwar yang menggelora. Pun, rasa kehilangan yang mendalam akibat duka yang dialami Ibunya dan meninggalnya Nenekda tercinta. Semua itu terangkum dalam skenario yang disusun apik (setidaknya sampai halaman pertengahan) dan benar-benar mampu menerjemahkan ‘Semangat’ yang diinginkan pada zaman itu. Chairil benar-benar ingin hidup seribu tahun lagi.

 
Meruya, 28 Desember 2017.

Rabu, 13 Desember 2017

Elegi Senja Pertama

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada



Tidak ada matahari pagi ini. Langit masih mendung sisa hujan semalam. Ibu masih terbaring diam di ranjang.

"Aku tinggal dulu. Kamu baik-baik ya. Jangan lupa makan."

Bagas membangunkanku pelan dengan kata-katanya. Aku tidak tahu kalau dia ikut menginap denganku disini, disamping Ibu. Ah, aku pasti lelah usai menempuh perjalanan panjang semalam. Amsterdam-Jakarta-Bandung ternyata tidak sejengkal jari manisku di bola dunia. Perjalanan pulang yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Sumber gambar: www.hipwee.com

*

"Kamu pergi sekolah sendirian bisa? Ibu nggak bisa antar kamu pagi ini. Ibu harus mengantar pesanan."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Nita bisa pergi sendiri. Siapa tahu Selly masih di rumah, jadi bisa bareng ke sekolah."
"Ini uang jajan kamu. Kunci rumah Ibu simpan di tempat biasa."

Aku masih ingat percakapan dengan Ibu di satu pagi yang sudah lama sekali. Aku masih SD waktu itu. Entah kenapa ingatanku pagi ini kembali ke masa itu. Satu waktu dimana aku mulai menyadari bahwa Ibu adalah seorang Ibu yang luar biasa kuat, tabah, dan tegar. Satu titik dimana aku mulai merasakan ketulusan Ibu, yang takkan bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.

Aku terlahir tanpa mengenal siapa ayahku. Kata Nenek, ayah sudah lama meninggal sebelum aku lahir. Ayahku seorang ahli biologi molekuler yang juga seorang dosen. Determinasi dan ketekunannya membuat Ayah punya reputasi yang baik di kalangan akademisi dan peneliti. Sayang, hal itu pula yang perlahan menggerogoti tubuh Ayah. Ayah meninggal karena gangguan fungsi liver. Selebihnya, aku tidak tahu lagi soal Ayah. Tepatnya, belum mencari tahu.

Aku tumbuh dibimbing Ibu seorang diri. Kami tinggal berdua di rumah peninggalan Ayah. Sebenarnya, Ibu bisa saja menjual rumah itu dan kami tinggal bersama Nenek. Waktu aku tanya begitu, Ibu selalu bilang bahwa rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang Ibu dan Ayah. Lagipula, ada campur tangan Kakek yang turut mendesain facade rumah itu, maklum ia seorang arsitek.

"Bukankah kenangan itu ada untuk dilupakan, Bu?"
"Begitu, ya. Kamu lagi baca buku apa?"
"Nggak sih. Tapi, banyak orang memilih kenangan mereka sendiri dan berusaha melupakannya."
"Sayang, suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa kenangan diciptakan dan mengapa beberapa dari mereka tinggal di hati kita."

Aku memang tidak pernah bisa sedekat itu dengan Ibu. Aku sangat jarang bisa bicara atau sekedar mengobrol ringan dengannya. Aku mulai mau dekat dengan Ibu usai menstruasi pertamaku. Aku terlalu takut menghadapi gerbang dimulainya masa remajaku. Kata orang, aku juga akan mengalami masa puber. Dari majalah remaja yang aku sering pinjam dari Kak Sheila, kakaknya Selly, aku menemukan banyak hal soal bagaimana menjadi seorang remaja. Termasuk tahapan-tahapan yang akan aku lalui nantinya. Kak Sheila sering berkata padaku bahwa tak lama lagi aku akan segera merayakan "Goodbye Miniset". Terus terang semua itumembuatku takut. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku, mengantarku dengan perasaan gembira menuju gerbang itu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi, selain Ibu tentunya.

Ibu dengan setia menemaniku, ketika aku memilih dan membeli pembalut wanita pertamaku. Aku melihat api cinta yang dahsyat dimatanya. Barangkali, Ibu tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar ada disisiku, selalu ada disampingku, hingga aku menjalani masa remajaku. Ibu juga yang membantu menjelaskan soal perubahan fisik yang terjadi pada tubuhku. Ibu juga tak henti-hentinya memperhatikanku. Mulai dari penampilan, gaya bahasa, tutur bicara, segalanya tak luput dari perhatian Ibu. Aku semakin sadar bahwa aku akan tumbuh jadi perempuan dewasa, tak lama lagi. Aku jadi semakin takut.

Satu kali, aku mulai tahu rasanya jatuh cinta. Seperti anak SMP lainnya, aku terkagum-kagum pada kakak kelas yang jago main basket. Setiap pulang sekolah hari Rabu, aku dan Selly selalu punya alasan untuk pulang telat. Aku biasa berkilah pada Ibu bahwa kami harus pergi ke rumah teman lain untuk kerja kelompok. Padahal, aku dan Selly hanya duduk di pinggir lapangan sekolah melihat Arya dan Bimo latihan basket.

Aku dan Selly berhadapan dengan seorang bintang lapangan yang tentunya juga idola semua perempuan di sekolah ini. Kami tidak pernah bisa mengalihkan atensi Arya dan Bimo. Sampai suatu saat, mereka mengajak kami minum jus di kantin sekolah usai latihan. Mereka heran karena kami selalu jadi penonton setia latihan mereka. Aku dan Selly tentu senang merasa diperhatikan seperti itu. Ternyata mereka tahu kehadiran kami setiap latihan. Namun, rasa senang yang terlanjur melambung itu hanya sesaat saja. Arya dan Bimo sudah punya pacar di sekolah lain. Damn!

Lain waktu, aku jatuh cinta lagi pada guru pelajaran Seni Musik. Aku tidak tahu apakah Ibu pernah mengalami hal yang sama denganku. Aku suka memanggilnya Mas Daniel, karena ia masih cukup muda dan juga jadi anggota The Symphony 8, sebuah grup orkestra klasik yang cukup terkenal di kotaku. Aku mulai rajin latihan biola, alat musik yang aku pilih dengan asal hanya karena ingin jadi seperti seorang Sharon Corrs. Aku memainkan melodi 'Toss The Feathers' saat pertunjukan yang jadi ujian akhir pelajaran. Aku berhasil mendapat nilai sempurna dan standing ovation dari Kepala Sekolah serta Mas Daniel. Lagi-lagi, aku dibuat kecewa ketika tiket spesial pertunjukan The Symphony 8 pemberian Mas Daniel hanya untuk sekedar melihatnya menerima pelukan mesra dari seseorang yang mengaku sebagai kekasihnya.

Seakan bisa membaca perasaanku, Ibu mulai mengajakku bicara sejak kejadian malam itu. Ibu melihat perubahan yang tidak biasa akhir-akhir ini. Aku tidak lagi bergairah memainkan biola ketika Ibu memintanya. Tiba-tiba aku tersadar saat aku sudah berada di pelukan Ibu, dengan derai mata yang masih hangat. Aku masih ingat kata Ibu.

"Gagal memiliki bukan berarti gagal mencintai, sayang."

*

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku masih bersama Anita hingga saat ini. Menemaninya pergi membeli pembalut wanita pertamanya hingga menjelaskannya soal perubahan fisik yang terjadi padanya. Sepuluh tahun berlalu sejak ia bisa memanggilku Ibu dengan sempurna. Kini, malah aku yang tak sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat. Anak perempuanku yang belum pernah bertemu ayahnya itu kini sudah jadi gadis remaja. Tak lama lagi, seorang laki-laki akan jatuh cinta padanya. Atau malah ia yang jatuh hati duluan, pada Guru Musiknya barangkali. Seperti aku dulu.

Aku jadi malu bila mengingat lagi masa itu lagi. Aku tidak akan pernah lupa Bagus yang gila kerja itu berani bertemu Bapak dan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Padahal, saat itu aku masih jadi kekasih Daniel, seorang guru piano yang sengaja Bapak pilih untuk mengajariku memainkan melodi lagu kesukaannya, "Memories Of Youth" dari Richard Clayderman.

Sayangnya, Daniel tidak punya cukup nyali untuk melamarku. Ia terlalu takut menghadapi Bapak karena tidak mau jadi orang yang tidak tahu diri. Aku berkali-kali meyakinkannya bahwa cinta kami tidak akan pernah gagal hanya karena ia 'berhutang' pada Bapak. Bapak sangat menghargai kejujuran dan keberanian. Bagus tahu itu, maka dengan sepeda kumbangnya ia datang ke rumahku dan menyampaikan niatnya.

Aku mendapat restu kedua orangtuaku untuk menikah dengan Bagus. Dia sudah jadi dosen muda waktu itu. Aku cukup realistis untuk memulai hidupku bersama Bagus karena gaji dosen waktu itu tidaklah terlalu besar. Banyak pria lain yang patah hati karena aku lebih memilih Bagus. Bahkan, Handi, arsitek handal tangan kanan Bapak pun ikut merasakannya.

Aku kaget ketika Bagus membawaku ke konservatorium milik sahabatnya. Tepat di hari ulang tahun pertama pernikahan kami, Bagus memainkan lagu kesukaan Bapak "Memories of Youth" dan "Ballade pour Adeline" kesukaanku. Aku tidak menyangka bahwa Bagus bermain piano lebih baik daripada aku yang sengaja dikursuskan oleh Bapak. Sejak itu, Bagus tidak pernah berhenti memberiku kejutan.

Aku jadi anak perempuan pertama yang memberi cucu untuk Bapak dan Ibu. Anita Diandra Febrina, begitu kami menamainya. Lahir tanggal 14 Februari, dimana Bagus masih berada di Australia untuk hari seminar pertamanya. This mommy little girl will never see his father karena Bagus meninggal tak lama setelah kepulangannya. Kataku, sambil menggendong Anita di peristirahatan terakhir lelaki pemain melodi terindah sepanjang hidupku.

Aku masih menulis buku harianku ketika Anita menerima telepon pertama dari anak lelaki yang sedang mendekatinya. Anita mulai mengambil jarak denganku, aku bisa rasakan hal itu. Aku rasa inilah waktu untuk memberinya ruang privasi. Peranku berubah, aku harus menjadi seorang teman sekaligus sahabat untuknya.

Aku cukup tahu bagaimana Anita bermain dengan perasaannya. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Naluri Ibu manapun di dunia ini pasti bisa merasakan getarannya. Apapun itu, aku harus tetap bertahan dan selalu ada untuknya. Aku tahu ketakutan terbesarku. Akhirnya, aku harus akui kalau aku sangat takut untuk tidak selalu mampu menemaninya, selalu disisinya. Melewati prom night pertamanya, kelulusan SMA yang selalu penuh cerita, hari-harinya di universitas, hingga mendengarkan cerita soal wawancara kerja pertamanya.


*

Tanpamu... semua tak berarti... cinta sudah lewat...


Pada senja pertamaku di Tanah Air, aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Aku mendadak merasa jadi orang paling kejam di dunia. Aku meninggalkan Ibu seorang diri di rumah demi sebuah pekerjaan di Belanda sana. Aku meninggalkan Ibu beserta segenap cinta kasih yang pernah ia sematkan dalam setiap hela nafasku. Aku masih bisa merasakan semua kasih sayang yang telah Ibu berikan sepenuhnya. Aku yakin, cinta tidak pernah gagal membuat Ibu mengerti. Hingga saat ini, saat aku memandangi pusaranya.


Jakarta-Bandung, 14 Februari 2014.


* Ditulis untuk kompilasi 'Love Never Fails 1" presented by @NulisBuku. Diterbitkan sebagai satu cerpen di buku ke-5 kompilasi "Love Never Fails".

Selasa, 12 Desember 2017

Yamaha NMax

Sebenarnya, agak malu juga untuk menulis sebuah catatan tentang sepeda motor yang sedang mengalami masa kekiniannya. Apalagi ketika sepeda motor sudah menjadi menu sehari-hari bagi para reviewer ataupun pengulik modifikasi. Tantangan itu semakin berasa karena tidak ada pembanding yang sejenis. Mohon pembaca maklum adanya bila nanti si penulis malah membandingkan Yamaha NMax Non-ABS lansiran 2017 dengan Honda BeAT 2014.

Sumber gambar: www.otomonesia.com

Sepeda motor matic memang sedang berada pada masa kejayaannya. Keefektifan dan kepraktisannya menjadi nilai jual yang utama untuk menjalani aktivitas sehari-hari terutama di daerah sekitar Ibu Kota. Sesuai tuntutan zaman dan juga ekspektasi pengguna lahirlah sebuah inovasi baru. Inovasi untuk menyandingkan sepeda motor matic dengan badan yang lebih besar. Generasi selanjutnya dari sepeda motor matic kemudian sering dinamai skuter maksi (maxi scooter). Setidaknya begitulah namanya pada papan informasi stasiun pencucian motor.

Yamaha NMax hadir sebagai sebuah gebrakan. Model yang dinamis dan ergonomis seketika memikat konsumen yang sudah terbiasa dengan skuter matic biasa. Badannya yang tergolong besar adalah sebuah bentuk yang tidak umum, walaupun sudah lebih didahului oleh Honda PCX. Barangkali memang begitu, NMax dihadirkan untuk melawan dominasi Honda PCX di kelas skuter matic besar.

Sepeda motor ini menggunakan teknologi Blue Core pada mesin berkapasitas 155 cc dengan VVA, Variable Valve Actuator. Mirip skema VVT-i pada mobil-mobil Jepang. Teknologi ini diklaim mampu menghemat bahan bakar, bertenaga, dan handal. Suara mesin memang terdengar agak kasar  dalam kondisi masih brand new. Tenaga yang dikeluarkan rasanya cukup besar untuk rute Bandara Soekarno-Hatta - Ciputat. Seiring penggunaan, getaran mesin berubah agak lebih halus setelah menempuh jarak 700 KM.

Teknologi pengereman masih menggunakan sistem cakram ganda, pada rem depan dan rem belakang. Masih sebatas cakram dan piston tanpa disematkan fitur ABS (Anti-lock Breaking System). Pendinginan mesin menggunakan sistem pendingin radiator. Urusan tapak, NMax menggunakan tapak ban lebar tubeless berukuran 110/70 pada bagian depan dan 130/70 pada bagian belakang dengan ukuran velg 13 untuk menjamin kenyamanan berkendara.

Yang perlu dicermati adalah soal kenyamanan. NMax memiliki nilai kenyamanan yang jauh diatas Honda BeAT yang selama ini penulis gunakan. (Ya iya lahhhh). Dimensi badan yang lebih tinggi kemudian posisi stang yang ergonomis ditambah dengan footstep yang luas menjanjikan sebuah pengalaman untuk kenyamanan berkendara. 

Namun, perlu diperhatikan sistem peredam kejut/suspensi bagian belakang bawaan pabrik terasa keras walaupun cukup stabil. Kalau boleh dinilai, sedikit dibawah Suzuki SkyWave. Hal inilah yang seharusnya menjadi perhatian untuk pengembangan produk menyongsong tahun 2018. Semoga ada perbaikan.

Untuk urusan perawatan, hal ini agaknya harus menjadi perhatian. Ada beberapa hal yang menurut penulis bisa dikerjakan sendiri, misalnya ganti oli (jangan lupa reset counter di speedometer), ganti busi, dan ganti air radiator. Memang ada beberapa juga yang menuntut keahlian khusus sehingga bila pemilik khawatir tidak bisa mengerjakan sendiri lebih baik dikerjakan oleh bengkel resmi saja. Selebihnya, itu menjadi pilihan, untuk mengerjakan sendiri atau melalui bengkel resmi. Asalkan tetap sesuai dengan petunjuk perawatan berkala yang ada dalam buku panduan.

Berkendara dengan NMax memang menjadi satu kenikmatan dan kenyamanan sendiri dalam sebuah perjalanan berkendara. Pastikan anda selalu tahu apa yang anda kendarai dan tetap mengemudi dengan aman. Keluarga menanti di rumah!

Spesifikasi detail Yamaha NMax (sumber: laman website YIMM)

Mesin
 
Tipe Mesin Liquid cooled 4-stroke, SOHC
Jumlah/Posisi Silinder Single Cylinder
Kapasitas Mesin 155cc
Diameter x Langkah 58,0 mm x 58.7 mm
Perbandingan Kompresi 10,5 : 1
Daya Maksimum 11.1 kW / 8000 rpm
Torsi Maksimum 14.4 Nm / 6000 rpm
Sistem Starter Electric Starter
Sistem Pelumasan Basah
Kapasitas Oli Mesin Total – 1,00 L ; Berkala 0,90 L
Sistem Bahan Bakar FI (Fuel Injection)
Tipe Kopling Kering, Centrifugal Automatic
Tipe Transmisi V-belt Automatic  
 
Dimensi
 
P x L x T 1.955mm x 740mm x 1.115mm
Jarak sumbu roda 1.350mm
Jarak terendah ke tanah 135mm
Tinggi tempat duduk 765 mm
Berat isi 127 kg
Kapasitas tangki bensin 6,6 L
 
Rangka
 
Tipe Rangka Underbone
Suspensi Depan Teleskopik
Suspensi Belakang Unit Swing
Ban Depan 110/70 - 13 M/C 48P
Ban Belakang 130/70 - 13 M/C 63P
Rem Depan Single Disc Brake
Rem Belakang Single Disc Brake
 
Kelistrikan
 
Sistem   pengapian  TCI
Battery   YTZ7V
Tipe Busi  NGK/CPR8EA-9                                                                


Cipayung, 30 November 2017.


Maknyus!

Sumber gambar: www.klikdokter.com
Siapa yang tidak kenal dengan istilah "Maknyus!" a la Bondan Winarno, saat membawakan acara kuliner di sebuah program televisi swasta. Tak heran, ungkapan kenikmatan itu menjadi trendsetter dan menandai dimulainya era acara perkulineran di layar kaca. Pria bernama lengkap Bondan Haryo Winarno ini menjadi sebuah ikon untuk cita rasa. Tidaklah berlebihan karena pemirsa selalu menunggu kemana ia akan pergi menyantap hidangan.

Perjalanan Bondan Winarno dimulai dengan menjadi seorang jurnalis. Naluri kewartawanannya menjadi bekal istimewa sehingga membuat penonton menggemari petualangan kuliner. Jauh sebelum terkenal sebagai pembawa acara, mendiang memang sudah merintis sebuah komunitas bernama Jalansutra sebuah wahana bagi penikmat wisata boga di Indonesia. Mendiang pun turut berkontribusi pada dunia sastra. Beberapa tulisannya muncul dalam kompilasi/kumpulan cerita dan novel.

Saya masih menjadi follower @PakBondan di Twitter dan saya melewatkan bagian-bagian terakhir hidupnya. Saya tidak tahu apa yang dicuitkannya. Berita duka yang tiba di penghujung November seakan menjadi penegas bagi 'November Rain' yang turun deras saat itu. Ikon kuliner itu meninggalkan kita semua karena penyakit vaskular (aneurisma) yang dideritanya. 

Selamat jalan, Pak Bondan. Terima kasih telah meninggalkan warisan kepada kami untuk terus mencintai kuliner lokal. 


Cipayung, 29 November 2017.


 

Senin, 27 November 2017

Iblis Tidak Pernah Mati

Sumber gambar: www.goodreads.com
Barangkali, karya Seno Gumira Ajidarma yang paling kelam dan mencekam adalah ‘Iblis Tidak Pernah Mati’ ini. Melihat halaman sampulnya, saya sudah diliputi perasaan tidak enak. Gambar seseorang yang dirupakan memiliki dua tanduk dikepalanya diatas batu dengan gerakan seperti sedang menunggu ditambah kartun karya Asnar Zacky dan paduan warna senja memberikan seolah tidak ada lagi harapan yang terang benderang. Itu 10 tahun yang lalu, saat saya pertama mendapatkan buku ini dalam sebuah book fair di kawasan Braga, Bandung.

10 tahun kemudian, imaji itu tidak berubah. Kesan kengerian sepanjang pembacaan cerpen-cerpen yang kebanyakan lahir pasca reformasi tidak juga lekas hilang. Kelima belas cerpen yang dibagi dalam 4 bagian yaitu Sebelum, Ketika, Sesudah, dan Selamanya menghadirkan satu imaji utuh atas keadaan sebuah negeri.

Kalau saya boleh memilih, cerita pendek “Clara” adalah satu dari sekian cerpen terbaik dalam kumpulan cerpen ini. Saya masih tidak lupa kesan selama pembacaan pertama yang menimbulkan beragam perasaan: marah, haru, dan segenap perasaan lain yang tidak mampu diucapkan. Cerpen ini memotret satu sisi tragedi kemanusiaan yang melanda negeri ini selama masa reformasi.

Cerpen ini sendiri dipulikasikan pertama kali ketika dibacakan oleh Adi Kurdi dan Ratna Riantiarno dalam acara Baca dan Pembahasan Cerpen Seno Gumira Ajidarma, sebuah syukuran penerimaan SEA Write Award oleh Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta, Galeri Cipta TIM, 10 Juli 1998. Kemudian, dimuat harian Republika edisi 26 Juli 1998, sebagai “Clara atawa Wanita yang Diperkosa”. “Clara” kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris sebagai ‘Clara’ oleh Michael H. Bodden; dibacakan oleh Bruce Kochis dan Christina Alfar di University of Washington – Bothell, Seattle Babb di University of Victoria. Victoria BC (1999, 2.5); Selanjutnya dimuat juga dalam jurnal Indonesia No.68 (Cornell University), Oktober 1999. 

“Clara” diterjemahkan ke bahasa Jepang sebagai ‘Kurara, rape sareta joseino monogatari’ oleh Mikihiro Moriyama; dimuat dalam berkas Seno Gumira Ajidarma, Indonesia, Senryaku to shiteno bungaku-journalism no genkai wo koete (Indonesia, sastra sebagai siasat, melewati batasnya jurnalisme) untuk Takeshi Kaiko Lecture Series No.8 (Japan Foundation).

Clara juga dibacakan untuk publik oleh Hirshi Tomioka dan Kaoru Tomihama di Tokya (1999,2.20), Osaka (1999,2.25) dan Hiroshima (1999,2.27); direkam ulang sebagai paket video Indonesia, Seijino Kisetsuni Bungaku (Indonesia, Sastra dalam Musim Politik) oleh Dewan Promosi Informasi Pendidikan Tinggi untuk proyek Eisetsushin eo riyoshita Daigaku Kokaikouza Moderujigyo (proyek modek kuliah universitas terbuka lewat satelit) tahun 2000. Bersama cerita Jakarta, 14 Februari 2039, diformat ulang menjadi naskah drama Jakarta 2039.

Terakhir, “Clara” juga hadir dalam kumpulan naskah Mengapa Kau Culik Anak Kami? (Galang Press, 2001).

Saya kagum dengan imajinasi SGA yang mampu menampilkan sosok Semar di Bundaran HI. Bukan hanya satu tapi ada sembilan Semar. Sungguh membuat saya kagum karena mungkin saja pada lain waktu yang muncul disana bukan hanya Semar tetapi juga Rahwana.

Sebagai pelengkap, ada dua esai yang turut disertakan usai cerita penutup. Esai pertama berjudul “Paman Gober, Suatu Ketika: Cerpen-Cerpen Eksoforik Seno Gumira Ajidarma” oleh Kris Budiman. Esai ini membahas lima belas cerpen yang ada dalam buku. Intinya, dengan mempertimbangkan dominan atau tidaknya referensi dalam teks kita bisa membedakan antara cerpen-cerpen yang referensial dan yang non-referensial, yang eksoforik dan endoforik.

Esai kedua adalah semacam surat yang dikirim dari Alina atau pula SGA kepada Agus Noor dengan judul “Imajinasi Yang Tak Pernah Mati: Surat dari Alina”. Agak membingungkan memang karena judulnya adalah surat dari Alina. Namun, pada akhir tulisan didapati tanda SGA pada ujung kanan bawah sebagai identitas penulis surat. Silakan pembaca yang budiman menafsirkan sendiri perihal ini. Yang jelas, antara ketiganya kelak punya hubungan sendiri-sendiri.

Kalau Budi Darma bilang bahwa ‘Iblis Tidak Pernah Mati’ sebagai sesuatu yang mengerikan dan mengharukan kiranya pembaca dapat menilai sendiri keabsahannya. Dalam konteks ini, sastra telah bicara sebagai suatu metafor atas sebuah fenomena. Pun, ketika ia menjelma sebagai ruang kesadaran bahwa kita masih punya nilai-nilai kemanusiaan dalam merayakan kehidupan ini.

Judul         : Imajinasi Tidak Pernah Mati
Penulis      : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit    : Galang Press
Tahun        : 2001
Tebal         : 264 hal.
Genre        : Sastra Indonesia-Kumpulan Cerpen  

Cipayung, 23 November 2017.

@TentangAnak

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya sudah berkali-kali menulis catatan, review, atau resensi soal twit yang dibukukan. Kali ini saya melakukannya lagi. Oops, I did it again.

Twitter bagi saya adalah sebuah old glory. Saya sudah jarang membuka Twitter sejak zaman Android mulai meraja menghapus kejayaan era Blackberry. Saya tidak sempat mengikuti twit-twit soal pengasuhan anak. Kalaupun ada, itu hanya soal pranikah. Saya lupa untuk menyiapkan episode setelah nikah.

Well, saya harus bersyukur karena ada seorang ayah yang mau berbagi. Tolong dicatat, bahwa sosok ayah ini bukan seorang ahli atau praktisi dalam pengasuhan anak. Untuk itu, adalah sebuah penghargaan baginya karena dapat memberi sedikit tetesan ilmu untuk para orang tua.

Buku ini adalah buku santai. Artinya, pembaca tidak usah harus terlalu serius. Namun, untuk informasi atau pengetahuan lebih lanjut pembaca bisa menelusurinya secara mandiri. Walaupun buku ini bersumber dari kicauan penulisnya, dalam bagian akhir buku disertakan pula referensi yang digunakan penulis.

Parenting should be fun. Buku ini mengajak pembaca untuk menikmati dan berproses sebagai orang tua yang dianugerahi sebuah amanah yang tidak terkira besarnya, yaitu anak. Tidak hanya seputar anak, penulis juga mengingatkan agar para suami juga fokus dengan para bu ebu (ibu-ibu). Ya, penulis berhasil membuat saya merasa bersalah pada istri saya.

Satu catatan lagi yaitu bahwa penulis tidak sungkan untuk mengangkat isu parents vs parents dalam bab Mertua vs Menantu. Setidaknya, ada hal-hal positif yang perlu kita amati dari sudut pandang orang tua kita. Sejalan anak yang tumbuh besar kita kadang lupa bahwa mereka pun ikut menua.

Anyway, buku ini sangat layak dibaca oleh para orang tua baru atau parents wannabe. Sebagai bahan belajar buku ini cukup variatif dan membahas isu-isu penting seputar pengasuhan anak di zaman now seperti sekarang ini. Semoga pembaca dapat menyiapkan bekal untuk menempuh perjalanan panjang tak terlupakan bersama anak-anak. Selamat menikmati.

Judul           : @TentangAnak
Penulis        : Joko Dwinanto
Penerbit      : Noura Books
Tahun          : 2014
Tebal          : 248 hal.
Genre         : Pengasuhan Anak

 
Cipayung, 21 November 2017

Selasa, 31 Oktober 2017

Daur I: Sebuah Pembukaan

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya patut bersyukur karena Alhamdulillah, atas izin Allah SWT Emha Ainun Nadjib masih diberikan nikmat sehat dan Islam sehingga mampu menulis kembali. Adapun, tulisan beliau yang benar-benar baru senantiasa saya peroleh lewat laman www.caknun.com. Saya mengamati bahwa laman tersebut pelan-pelan mulai mengalami perubahan. Perubahan itu, setidaknya untuk saya pribadi, saya amati mulai dari rubrik-rubrik tambahan yang dihiasi catatan-catatan Cak Nun.

Begitupun dengan Daur. Saya sempat dibuat tidak paham maksudnya, namun hanya mampu turut memaknai pesan Cak Nun: "...untuk anak cucu..". Tulisan Cak Nun dalam Daur adalah sesuatu yang benar-benar baru tak terkecuali tokoh idola bernama Kiai Sudrun dan Cak Markesot.

Dilihat dari perspektif manfaat dan jariah ilmu, "Daur" sendiri adalah bentuk istikomah pemikiran, perenungan, dan analisis hingga formula-formula kultural lain dari Cak Nun yang mampu memberikan manfaat dalam konteks sosial.

"Daur" adalah sebuah bentuk tulisan Cak Nun yang sudah tidak lagi siap saji dan siap antap. Pembaca diajak untuk menelusuri pembelajaran hidup yang meningkat lagi levelnya. Bisa saja dari satu tulisan pembaca berhenti pada satu kesimpulan, namun tidak menutup kemungkinan bagi pembaca untuk menelusuri kembali ketersambungan dengan tulisan lainnya.

Dengan jumlah pembaca mencapai kurang lebih 1.100-an pembaca setiap hari (lihat halaman xiv) tentu saja "Daur" menjadi sebuah ruang bagi pembaca Cak Nun maupun Jamaah Maiyah untuk senantiasa rehat sejenak dan menemukan jawaban atas clue pemahaman hidup. Sebagaimana dapat dijumpai pada rubrik 'Tadabbur Daur'.

Bagi Cak Nun sendiri, tulisan-tulisan "Daur" adalah upaya untuk mengembalikan "mata" kita dari keterjeratan pada materialisme dimana materi menjadi variabel dan faktor utama. Akibatnya, kita semua hanya melihat berdasarkan materi dan transaksi sehingga melihat dan membayangkan Tuhan dengan cara berpikir materi.

Semoga dengan dibukukannya "Daur" edisi pembuka hingga edisi ke-65 kita dapat menemukan mata air yang mengalirkan ilmu kehidupan. Semoga terus berlahiran generasi-generasi baru yang mau belajar agar kehidupan dapat berlanjut secara berkesinambungan pada masa depan dengan nilai peradaban yang lebih tinggi. Semoga.

Judul        : Daur I: Anak Asuh Bernama Indonesia
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Bentang Pustaka
Tahun       : 2017
Tebal        : 394 hal.
Genre       : Sosial Budaya

Cipayung, 29 Oktober 2017.


Bola Di Balik Bulan

“We are red, we are white, we are Danish dynamit.”

Sumber gambar: www.goodreads.com
Sepakbola secara filosofis dapat mengajari orang untuk mengalami realisme nasib. Nasib itu sendiri, entah menang atau kalah tidak terbaca dalam suatu pergulatan dalam rentang waktu yang lama, tetapi tiba-tiba terjadi dalam peristiwa tidak terduga.

Sepakbola adalah hidup. Sepakbola tidak hanya berarti sebagai olahraga belaka. Setidaknya, kesimpulan yang demikian dapat diperoleh usai membaca tulisan-tulisan Sindhunata dalam buku ini. ‘Bola Di Balik Bulan’ adalah satu bagian dari trilogi sepakbola Sindhunata. Bersama ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’.

Tidak jelas memang mana buku yang pertama, kedua, dan ketiga. Namun, kalau boleh saya menempatkan ‘Bola Di Balik Bulan’ sebagai buku pertama disusul dengan ‘Air Mata Bola’ dan ‘Bola-Bola Nasib’ sebagai pamungkas. Ini hanya hasil pengamatan sepintas dari pengalaman saya belaka. ‘Bola Di Balik Bulan’ menampilkan suatu suguhan bahwa sepakbola adalah sebuah gairah kehidupan, kemudian usai gairah itu hadirlah sebuah “Air Mata Bola” dimana sepakbola banyak menyajikan drama (yang tidak sedangkal opera sabun) yang menguras air mata. Sehingga kemudian kesemuanya bermuara pada satu keniscayaan bahwa sepakbola itu ibarat kehidupan yang memiliki nasibnya sendiri-sendiri.

‘Bola Di Balik Bulan’ sendiri merupakan sebuah pengandaian dari gegap gempita Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Sebuah sajian sepakbola dunia di negeri yang hanya kenal permainan bola tangan. Namun demikian, Amerika Serikat saat itu mampu lolos dari fase grup dan berhadapan dengan Brazil di babak per delapan final. Tim Sepakbola Amerika Serikat pun ‘memakan’ korban bernama Andres Escobar yang membuat gol bunuh diri sehingga Kolombia harus kalah di tangan tuan rumah. Begitu besar harapan publik Amerika Serikat saat itu sehingga mereka dianggap telah berhasil menemukan bola di bulan. Ya, mereka memang telah menemukan bulan, namun sepakbola masih saja tetap tidak populer disana.

Lewat buku ini saya jadi tahu bahwa Seorang Rinus Michels tidak melatih dan memberi instruksi dengan menyebut nama pemainnya melainkan nomor punggung mereka. Bagi khalayak luas, Sindhunata seakan membawa kita pada gegap gempita jagad persepakbolaan dekade 80-90an. Nama-nama besar saat itu juga tidak lepas dari catatan Sindhunata. Sebut saja macam Van Basten, Gullit, Garrincha, Pele, Maradona, Platini, Papin, Roberto Baggio, Rinus Michels, dan Franz Beckenbauer. Tidak hanya sekedar nama, Sindhunata pun dengan piawai menuliskan kisah-kisah yang melingkupi nama-nama besar tersebut. Sehingga seluruh aspeknya terangkum utuh dalam sebuah kisah.

Catatan Sindhunata ini tadinya hanyalah sebuah tulisan kolom pada harian Kompas dan selalu terbit di halaman awal. Tidak heran bila kemudian banyak pembaca yang menginginkan agar catatan-catatan tersebut dibukukan agar tidak tercecer begitu saja. Saya turut menikmati setiap cerita dalam buku ini. Saya seakan dibuat turut mengalami sendiri kejadian-kejadian yang dicatat Sindhunata. Agaknya, Sindhunata telah berhasil mengangkat kisah dan refleksi sepakbola menjadi sebuah catatan humanis yang universal.

Judul           : Bola Di Balik Bulan
Penulis        : Sindhunata
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun          : 2002
Tebal           : 296 hal.
Genre          : Sosial-Budaya

 
Cipayung, 26 Oktober 2017

Kitab Omong Kosong

“Manusia selalu menuntut dunia membahagiakannya, pernahkah ia berusaha membahagiakan dunia?” 

Sumber gambar: www.goodreads.com

“Kitab tulisan Togog ini berkisah tentang kejadian-kejadian yang berlangsung dalam kisah Ramayana dari Walmiki. Bencana akibat persembahan kuda berlangsung hingga ke anak benua dan menghancurkan seluruh peradaban, kecuali Satya dan Maneka berhasil menemukan kelima bagian Kitab Omong Kosong itu yang keberadaannya tidak diketahui setelah berada di Perpustakaan Negeri Ayodya. Kelima bagian kitab ini memiliki arti dan penafsiran makna yang kental dengan unsur filsafat eksistensialis.”

Catatan pendek diatas dibuat usai menamatkan pembacaan Kitab Omong Kosong medio Juli 2008. Waktu itu saya baru saja membeli buku itu terbitan Bentang Pustaka, 2006. Sampulnya bukan lagi imaji kreatif dari Danarto melainkan agak lebih artistik berwarna kecoklatan.

Well, kalau harus menuliskan kembali apa yang saya dapat dari kitab rekaan Togog itu rasanya jadi agak sedikit-sedikit lupa, kalau saja bukan karena acara bersih-bersih buku kemarin. Barangkali, ‘Kitab Omong Kosong’ sendiri merupakan sebuah ungkapan filosofis untuk mengungkapkan sebuah ketiadaan, tentunya dalam konsep filsafat. Benarkah itu? Saya juga tidak pernah tahu.

Kitab ini membuat kita kembali membaca perjalanan dan kisah cinta Sri Rama dengan Dewi Shinta. Sebuah kisah epos yang terkenal soal cinta-cintaan. Sebuah kisah dimana cinta harus dibuktikan dengan sebuah pengorbanan. Sebagaimana Sri Rama yang menurunkan Hanoman untuk merebut Shinta dari cengkeraman Rahwana, Sang Penguasa Alengka.

Saya dibuat takjub betul akan sosok seorang Hanoman yang gagah berani. Pun dengan berbagai kesaktian yang dimilikinya. Hanoman yang ada di benak saya adalah seorang panglima yang mampu melakukan apa saja untuk memenangkan pertempuran dengan pasukan Rahwana. Saya yang tidak pernah akrab dengan dunia pewayangan jadi ingin tahu bagaimana kisah-kisah wayang diadaptasi. Bagaimana tokoh-tokohnya juga sekalian. 

Anyway, ‘Kitab Omong Kosong’ sangat berhasil membuat saya mengidolakan seorang Hanoman. Saya bahkan berkhayal Sembilan Hanoman muncul di Bundaran HI dan mengacak-acak Jakarta karena negeri ini sudah tidak sanggup memberantas para koruptor. Pembaca setia SGA pasti tahu asal-usul munculnya imajinasi saya itu. Hahaha.

Kisah cinta antara Sri Rama dan Dewi Shinta yang saya tahu dan saya baca dengan tuntas adalah kisah yang ada dalam kitab ini. Itu jauh sebelum saya tahu lewat buku Sudjiwo Tejo, Rahvayana, bahwa sebenarnya yang mencintai Shinta dengan tulus dan ikhlas adalah Rahwana. Sekali lagi, Rahwana. Bukan Sri Rama. Mengapa? Kalau memang cinta itu tidak bersyarat mengapa Sri Rama masih meragukan kesucian Shinta selama dalam masa penyekapan di Alengka. Sri Rama yang meragu itu akhirnya membuat Shinta murka dan memutuskan untuk moksa.

Diluar perdebatan wacana antara Rama, Shinta, Rahwana, dan Sudjiwo Tedjo, saya sangat menikmati pembacaan ‘Kitab Omong Kosong’ ini. Rasanya seperti betul-betul membaca sebuah ‘kitab’ yang penuh cerita dan imajinasi.

Judul           : Kitab Omong Kosong
Penulis        : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit       : Bentang Pustaka
Tahun          : 2006
Tebal           : 524 hal.
Genre          : Sastra Indonesia-Novel

 
Cipayung, 27 Oktober 2017.

Makuta (Biasa Aja)



Kota Bandung sudah lebih dahulu terkenal dengan berbagai sajian kuliner khasnya. Terlebih di zaman kekinian yang selalu menuntut keunikan. Maraknya produk kuliner yang diendorse oleh selebriti seakan menjadi tren baru. 

Anyway, saya tidak terlalu suka dengan ide semacam itu. Kalau suatu produk memang memberi pengalaman yang menyenangkan maka tidak perlu mesti diendorse oleh kalangan tertentu. Karena rasa akan menentukan segalanya. Akhirnya, tren semacam ini menjadi overrated. Bisa karena kualitas produknya ataupun sekedar pencitraan untuk produk yang biasa saja. 

Termasuk penganan kue berlabel Makuta ini yang diklaim rasanya membuat kangen. Omaigad, first impression saya tidak seperti ketika pertama kali mencicipi sepotong brownies Amanda. 

Saya bisa bilang kue ini punya kualitas bahan yang bagus sekaligus dengan taktik marketingnya. Namun, makanan adalah soal lidah. Dan saya tidak mendapatkan taste yang menyenangkan untuk sebuah kue yang dibandrol dengan harga diatas lima puluh ribu rupiah. 

Bila untuk sekedar menghabiskan rasa penasaran, itu sudah cukup. Selebihnya, saya sudah bilang: overrated. Padahal, dengan range harga yang W.O.W produk kue ini mampu memberi pengalaman rasa yang (seharusnya) tidak terlupakan. 

Cipayung, 23 Oktober 2017. 

Senin, 30 Oktober 2017

Rekonstruksi Panglima Besar Soedirman

Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit

Sumber gambar: www.goodreads.com
Buku ini hadir sebagai bentuk reproduksi edisi khusus Koran Tempo yang membahas tentang Bapak Pendiri TNI ini. Melalui kehadiran buku ini, pembaca disajikan beberapa keterangan yang "disembunyikan" oleh konstruksi sejarah orde baru. Dengan demikian, buku ini merupakan dekonstruksi atas konstruksi imajiner Jenderal Besar Soedirman versi Orde Baru. Pembaca dihadapkan pada satu sosok utuh seorang Panglima Besar Soedirman. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Sejarah sebuah bangsa yang baru merdeka tergambar dalam buku ini. Batu landasan pendirian Tentara Nasional Indonesia diletakkan oleh seorang Soedirman muda yang berumur 29 tahun. Sudah tentu bukan hal yang mudah, integrasi laskar-laskar rakyat sebagai kekuatan sayap militer dengan tentara republik eks Peta-KNIL, seringkali menimbulkan gesekan bagai kerikil tajam dalam tubuh Republik muda,

Dengan kharisma yang dimilikinya, Panglima Besar Soedirman berhasil meredam konflik dan meletakkan dasar fondasi penting untuk Tentara Nasional Indonesia. Dalam kondisi sesulit apapun, ia tetap tunduk pada kepemimpinan sipil Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Usaha penerbitan kembali kisah sejarah bangsa semacam ini patut mendapatkan apresiasi. Penulisan profil para perwira militer penting Indonesia membutuhkan ketekunan. Militer tetap mempertahankan aura ketertutupan yang sulit ditembus. Alhasil, pembacaan kembali sejarah ke belakang, pembaca diharapkan mampu menilai sendiri dan melakukan rekonstruksi sendiri atas fakta sejarah negeri ini.

Judul        : Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir
Penulis     : Arif Zulkifli (ed.)
Penerbit    : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun       : 2012
Tebal        : 160 hal.
Genre       : Sejarah-Indonesia

Cipayung, 21 Oktober 2017

Kamis, 19 Oktober 2017

Dalang Galau Ngetwit

Semua sekadar menjalani takdir. Ada yang ditakdirkan pasrah. Ada yang ditakdirkan berusaha. Ada juga yang ditakdirkan untuk tidak percaya bahwa semua sekadar menjalani takdir.

 
Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya termasuk satu dari sekian orang yang kagum dengan kekuatan Twitter. Sebuah cuitan kecil berbatas 140 karakter mampu menjelma menjadi satu narasi tulisan. Pun, ketika tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dan menjelma menjadi sebuah buku yang utuh. Maka ketika sang Rahvayana menuliskan kembali segenap kumpulan twit lengkap dengan narasinya, pembaca wajib bersyukur karena sang dalang tidak hanya menceritakan segenap kegalauannya.

Buku ini memang layak dibaca siapapun. Baik pemilik akun twitter yang rajib ngetwit ataupun hanya untuk sekedar stalking mantan (ups.) Sujiwo berhasil memainkan kata-kata serupa wayang andalannya. Sujiwo menyampaikan pesan-pesan yang humanis dan beberapa diantaranya anti-mainstream.

Subjek yang dibahas Sujiwo pun luas, seluas pemahamannya terhadap kausalitas dalam perjalanan hidupnya. Dari soal matematika yang ternyata tidak selalu pasti hingga urusan seni yang pemahaman atasnya ditentukan isi kepala masing-masing. Soal Rama-Shinta hingga Habibie-Ainun. Saya menikmati proses dialektika yang dikemukakannya. Setidaknya, untuk dipakai sebagai bahan refleksi.

Lebih luas, pemikiran Sujiwo yang merdeka tidak hanya menghibur namun mempu menyentil sedikit bagian hidup kita sehingga tidaklah berlebihan bila kemudian pembaca mencapai pencerahan. Sujiwo juga tidak lantas kehilangan keedanannya karena kegalauannya sendiri sudah menunjukkan keedanan itu sendiri.

Oleh karena itu, pembaca pun harus menyediakan hati dan pikiran yang terbuka. Menerima curhatan soal kegalauan adalah persoalan tersendiri sebagaimana menerima segala keedanan. Oleh karena itu, dengan pikiran dan pemahaman yang terbuka pembaca tentu sudah lebih pintar untuk menemukan makna dibalik setiap twit Sang Dalang.

Judul     : Dalang Galau Ngetwit
Penulis  : Sujiwo Tejo
Penerbit : Imania
Tahun    : 2013
Tebal     : 219 hal.
Genre    : Sosial-Budaya

Cipayung, 4 Oktober 2017.

Sabtu, 30 September 2017

@BlogDokter


Sumber gambar: www.goodreads.com
Perkembangan teknologi yang semakin pesat belakangan ini memberikan banyak kemudahan bagi kita untuk mencari informasi secara mandiri. Ada banyak alternatif media yang menyediakan beragam informasi, tidak terkecuali informasi seputar kesehatan. Beruntung, atas nama dokumentasi ada orang-orang yang mau membagi ilmu di dunia maya. Buku ini adalah satu contoh dari hal tersebut.

Expertise yang dimiliki seorang dokter akan menjadi sangat bermanfaat bagi publik ketika bisa dibaca luas oleh masyarakat. Kontribusi terhadap publik ini menjadi sumbangan yang berguna bagi usaha peningkatan kesehatan masyarakat. Terlebih ketika masyarakat dihadapkan pada beragam pilihan informasi dengan tingkat akurasi yang meyakinkan.

Buku ini secara garis besar merangkum problem kesehatan yang umum ditemukan pada perempuan, bayi dan anak, kaum pria maupun pada organ-organ di badan kita. Tidak berlebihan rasanya bila buku ini patut dijadikan quick reference handbook, di kantor maupun di rumah. Buku ini sangat praktis, aplikatif, dan mudah dipahami.

Lewat artikel-artikel dalam buku ini pula, sang penulis berusaha menanamkan mindset untuk senantiasa menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh lewat olahraga. Tubuh kita juga memerlukan ritmenya sendiri supaya tetap berada dalam kondisi segar dan bugar.

Judul      : @BLOGDOKTER: Segala Hal Tentang Kesehatan yang Wajib Anda Ketahui 
Penulis   : dr. I Made C. Wirawan
Penerbit  : Noura Books
Tahun     : 2013
Tebal      : 288 hal.
Genre     : Kesehatan


Cipayung, 22 September 2017.


Sesobek Buku Harian Indonesia

Pemimpin kami amat pintar
membendung segala tidak
dari mulut kami
yang dibilang pengkhianat

 (Belajar Tidak - Hal. 23)

Sumber gambar: www.goodreads.com
Tidaklah salah bila catatan buku ini mengibaratkan Emha Ainun Nadjib sebagai seorang musafir yang telah menjelajahi seluruh Indonesia, mencicipi ribuan pengalaman didalamnya, dan memanggul ribuan beban dari apa yang telah dirasakannya. Emha memang menempuh jalan sunyinya sendiri dalam menemukan Indonesia. Indonesia hanyalah bagian dari desa semesta Emha. Maka, apabila Emha melakukan sesuatu untuk Indonesia itu hanya bagian dari sedekahnya untuk negeri yang telah ia tinggali untuk sekian lamanya.

Saya terkesan lewat kata pengantar yang ditulis untuk edisi dan cetakan baru ini. Bahwa di era 1970-an, Emha belajar memanggul beban. Era 1980-an gagah dan sombong memanggul beban. Tahun 1990-an mulai kewalahan menanggung beban. Tahun 2000-an hampir putus asa oleh beban. Tahun 2010-an mempertanyakan kenapa memanggul beban dan siapa sebenarnya petugas pemanggul beban.

Edisi pertama buku ini terbit medio 1993, tahun-tahun dimana perekonomian bangsa Indonesia disebut bakal menjadi Macan Asia. Puisi-puisi dalam buku ini setidaknya mengulang ingatan kita pada apa-apa yang terjadi di masa itu. Emha mengumpulkan segenap impresi dan ekspresinya terhadap Indonesia pada tahun-tahun dimana ia mulai kewalahan menanggung beban. Pembaca boleh menentukan sendiri pembermaknaan atas segenap puisi Emha didalamnya.

Relevansi? Jelas puisi-puisi Emha ini masih relevan dengan keadaan berbangsa dan bernegara belakangan ini. Dimana harapan hidup semakin tidak jelas namun dibuat seolah-olah menuju jalan terang. Absennya nilai-nilai keadilan, kemanusiaan yang semakin 'tidak' beradab, kesenjangan hak asasi, kesenjangan sosial yang semakin berjarak masih dapat kita jumpai di pinggir-pinggir jalan negeri tercinta ini.

Puisi-puisi Emha setidaknya hadir untuk membawa satu sudut pandang baru dimana puisi telah kehilangan eksistensinya pada zaman yang semakin serba cepat. Puisi-puisi Emha hadir untuk menemani kita-kaum yang dilemahkan untuk terus berjalan melalui jalan sunyi kita masing-masing. Puisi-puisi Emha yang disembunykan dalam sesobek buku harian Indonesia adalah sebuah catatan, tentang realitas, cita-cita, atau bahkan 'sobek'nya sebuah entitas bernama Indonesia.

Judul       : Sesobek Buku Harian Indonesia
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit  : Bentang Pustaka
Tahun      : 2017
Tebal       : 124 hal.
Genre      : Sastra Indonesia-Kumpulan Puisi


Cipayung, 20 September 2017.

Harus Pintar Ngegas dan Ngerem

Karena Islam itu mengendalikan, bukan melampiaskan. Hidup itu harus bisa ngegas dan ngerem.

Sumber gambar: www.goodreads.com

Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena memberikan rezeki dan kesehatan kepada Emha Ainun Nadjib, sehingga dengan ridho-Nya pula Mbah Nun dapat menuliskan buku terbarunya ini. Teruntuk penerbit Noura Books saya juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih sedalam-dalamnya karena mau untuk menerbitkan segala pemikiran Emha Ainun Nadjib sehingga pembaca dapat membacanya berulang-ulang agar semakin paham.

Sebagaimana dikabarkan dalam catatan pembuka, buku Mbah Nun ini menyampaikan kabar langit dengan bahasa yang membumi. Memang benar begitu adanya. Mbah Nun membuka intisari yang lengkap tentang bagaimana kita harus menyikapi apa-apa yang terjadi belakangan ini dengan cara pikir yang berbeda. Mbah Nun mengantarkan sebuah dialektika berpikir yang sederhana namun tetap tidak terlepas dari pangkuan Ibu Al-Quran.

Terlalu banyak quotes yang bisa diambil dari buku ini. Kalaupun sempat, akan saya rangkumkan quotes versi saya dalam tulisan lain. Yang terpenting, saya menemukan kembali sebuah konsistensi. Saya tidak perlu menemukan kembali relasi antara konteks kekinian dengan relevansi materi buku ini. Saya perlu sebuah sikap dan pernyataan tegas bahwa apa yang disampaikan oleh Mbah Nun lewat forum lingkar Maiyah dapat ditemukan dan ditelusuri kembali dalam buku ini.

Bagi pembaca yang sudah akrab dengan ceramah dan tulisan-tulisan Mbah Nun, tentu proses identifikasi keselarasan sikap dan ucapan itu akan menjadi sangat mudah. Lain halnya bagi pembaca yang baru berusaha memahami Emha. Akan berlangsung segenap pengalaman jiwa dan raga untuk melepaskan diri dari ikatan mainstream untuk kemudian menjernihkan hati dan pikiran untuk menerima rentetan pesan Mbah Nun.

InsyaAllah, buku ini akan menjadi media belajar bagi siapapun. Media pembelajaran bagi kita semua untuk selalu mawas diri, untuk selalu sadar bahwa ada kalanya hidup itu tidak selalu harus ngegas. Ada waktunya hidup mempersilakan kita untuk ngerem, untuk menahan. Supaya kita sampai tujuan dengan selamat. Selamat di dunia dan selamat di akhirat. InsyaAllah.

Judul        : Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Noura Books
Tahun       : 2016
Tebal        : 230 hal.
Genre       : Sosial Budaya


Cipayung, 21 September 2017.

Nagabumi II


Sumber Gambar: www.goodreads.com
Ada semacam perasaan haru dan bahagia ketika menyelesaikan pembacaan Nagabumi jilid kedua ini. Pun, ada semacam rasa penasaran yang tidak terlampiaskan kala membaca kata: "BERSAMBUNG" di akhir halaman. 

Ada pula semacam perasaan sedih membayangkan bila suatu masa entah kapan nanti Nagabumi jilid ketiga tidak kunjung terbit melanjutkan perjalanan Golok Karat dan Pendekar Tanpa Nama menuju Shangri-la menemui Maha Guru Kupu-Kupu Hitam.

Sebuah pembacaan panjang yang menghabiskan setengah dekade. Saya sendiri bingung entah mengapa baru bisa menamatkan Nagabumi II selama itu. Padahal, Nagabumi I cukup hanya butuh 4 bulan saja. Itu pun termasuk lama karena saya hanya membacanya setiap pulang ke Cimahi. Nagabumi II ini pada bulan April 2012 dipesan di Medan Merdeka Barat, dikirim ke Ciledug, dipindah ke Cimahi, berangkat lagi ke Ciputat. Perjalanan yang panjang dan tak kunjung selesai.

Saya mengikuti kembali pembacaan yang masih sempat ditandai sejak awal. Hanya beberapa halaman pembuka dan untung masih ada pembatas buku disana. Saya menutup pembacaan pertama pada halaman-halaman awal maka saya lanjutkan kembali dengan mudah.

Pengembaraan Pendekar Tanpa Nama berlanjut. Perjalanan mempertemukannya dengan Amrita, putri cantik pemimpin kaum pemberontak. Ia terlibat dalam sebuah pusaran pemberontakan yang berasal dari dendam yang telah mengakar. Petualangannya bersama Amrita kemudian mengantarkannya kepada Harimau Perang.

Perjalanan mengejar Harimau Perang ini menghabiskan lebih dari setengah halaman buku. Pendekar Tanpa Nama harus berurusan dengan para bhiksu Shaolin untuk sebuah kepastian bernama Harimau Perang. Perjalanannya tidak selalu mulus. Ia dipaksa oleh Kupu-Kupu Hitam untuk pergi ke Shangri-la, mencuri sebuah kitab silat.

Cerita berhenti tanpa sebuah kepastian apakah Pendekar Tanpa Nama berhasil mencuri kitab silat dalam kurun waktu 30 hari. Memang rasanya tidak menyenangkan ketika cerita harus berhenti tanpa ada kepastian, minimal hingga ada kelanjutan cerita sedikit tentang bagaimana nasib Pendekar Tanpa nama selanjutnya. Tapi, bukankah ini adalah sebuah cara agar Nagabumi III segera hadir? Semoga.

Penggalan demi penggalan bab dalam Nagabumi (baik I dan II) mengingatkan saya pada kumpulan cerita silat Kho Ping Hoo yang bisa terbit dengan puluhan buku untuk satu judul. Untuk itu, agaknya Nagabumi masih lebih baik karena cerita dan riawayat perjalanan Pendekar tanpa Nama terangkum utuh dalam satu buku. Ilustrasi isi dari Beng Rahadian turut memberi nilai visual pada Nagabumi. Setidaknya, pembaca bisa diajak berimajinasi tentang tempat-tempat yang dijelajahi oleh Pendekar Tanpa Nama.

Saya berharap Nagabumi akan masih berlanjut. Bagaimana pun, sebuah perjalanan membutuhkan sebuah akhir.

Cahaya Maha Cahaya

Kumpulan puisi Emha yang terbit pada tahun 2004 silam ini barangkali menjadi kumpulan puisi tipis yang paling susah saya tamatkan. Mulai dari membaca di rumah, di mobil jemputan, di pesawat menuju Manado, dalam gerbong KA Parahyangan, tak kunjung selesai juga pembacaan.

Sumber gambar: www.goodreads.com
Saya sendiri belakangan ini memang mengalami ‘kemunduran’ dalam membaca. Satu bulan paling habis satu atau dua judul saja. Lantas, saya tidak bisa menambah koleksi bacaan disebabkan kemajuan bacaan yang sangat lambat itu.

Terus terang, memahami ‘Cahaya Maha Cahaya’ lebih sulit dibandingkan dengan ’99 untuk Tuhanku’, misalnya. Kemesraan antara Emha dengan Tuhannya itu memang agak sulit untuk dijabarkan lewat cara pandang biasa. 

Kemesraan Emha dengan Tuhannya nampak dalam “Ajari Aku Tidur”. Emha bermesraan macam seorang anak yang minta dikeloni oleh ibunya. Lebih baik ia tidur saja usai didera segala urusan dunia.
Ajari Aku Tidur
 
tuhan sayang ajari aku tidur
seperti dulu menemuimu di rahim ibu
sesudah lahir menjadi anak kehidupan
sesudah didera tatakrama, pendidikan, politik,
              dan kebodohan
bisaku cuma tertidur
tertidur


Emha tidak menulis kritik sosial yang tajam dalam setiap syairnya. Emha memposisikan diri sebagai seorang hamba yang berusaha menuju cahaya setelah dihampas gelombang kehidupan yang tak henti-hentinya membutakan mata, hati, jiwa, dan pikiran.

Saya mencatat beberapa syair yang rasanya perlu saya pahami. Adakah sebuah tendensi atau hanyalah sebuah imaji semata. Misal, pada bait puisi berjudul “Satu Kekasihku”.

Satu Kekasihku

mati hidup satu kekasihku
takkan kubikin ia cemburu
kurahasiakan dari anak istri
kulindungi dari politik dan kia
i

Siapakah politik dan kiai yang dimaksud Emha? Mengapa sesuatu itu takkan ia buat cemburu hingga mesti dirahasiakan dari anak istri hingga sangat perlu dilindungi dari politik dan kiai? Wallahu’alam. Mungkin perlu satu buku lagi untuk menjelaskan hubungan antara politik dan kiai sehingga jelaslah hubungan keduanya.

Emha sebagai subordinat dari mereka yang terkalahkan mengadu pada Tuhannya. Dalam “Lempari Aku”, Emha seakan menunjukkan pada Tuhan bahwa ia masih ada.

dengan sembahyang mungkin kau menerimaku
tapi dengan sakit tak bisa kau elakkan hadirku

Cahaya Maha Cahaya memang hanya sebuah buku kumpulan puisi yang tipis namun justru dalam ketipisannya itulah terkuak kebesaran dan keluasan dunia seorang Emha. Emha sebagai penyair menuliskan segala keresahannya; tentang manusia dan kepastian kuasa Tuhan yang tidak perlu dipertanyakan lagi.

Cipayung, 18 September 2017.

Judul        : Cahaya Maha Cahaya
Penulis    : Emha Ainun Nadjib
Penerbit    : Pustaka Firdaus
Tahun        : 2004
Tebal        : 71 hal.
Genre        : Sastra Indonesia-Kumpulan Puisi

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...