Rabu, 13 Desember 2017

Elegi Senja Pertama

Jingga di bahumu
Malam di depanmu
Dan bulan siaga sinari langkahmu
Teruslah berjalan
Teruslah melangkah
Ku tahu kau tahu aku ada



Tidak ada matahari pagi ini. Langit masih mendung sisa hujan semalam. Ibu masih terbaring diam di ranjang.

"Aku tinggal dulu. Kamu baik-baik ya. Jangan lupa makan."

Bagas membangunkanku pelan dengan kata-katanya. Aku tidak tahu kalau dia ikut menginap denganku disini, disamping Ibu. Ah, aku pasti lelah usai menempuh perjalanan panjang semalam. Amsterdam-Jakarta-Bandung ternyata tidak sejengkal jari manisku di bola dunia. Perjalanan pulang yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku.

Sumber gambar: www.hipwee.com

*

"Kamu pergi sekolah sendirian bisa? Ibu nggak bisa antar kamu pagi ini. Ibu harus mengantar pesanan."
"Nggak apa-apa kok, Bu. Nita bisa pergi sendiri. Siapa tahu Selly masih di rumah, jadi bisa bareng ke sekolah."
"Ini uang jajan kamu. Kunci rumah Ibu simpan di tempat biasa."

Aku masih ingat percakapan dengan Ibu di satu pagi yang sudah lama sekali. Aku masih SD waktu itu. Entah kenapa ingatanku pagi ini kembali ke masa itu. Satu waktu dimana aku mulai menyadari bahwa Ibu adalah seorang Ibu yang luar biasa kuat, tabah, dan tegar. Satu titik dimana aku mulai merasakan ketulusan Ibu, yang takkan bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.

Aku terlahir tanpa mengenal siapa ayahku. Kata Nenek, ayah sudah lama meninggal sebelum aku lahir. Ayahku seorang ahli biologi molekuler yang juga seorang dosen. Determinasi dan ketekunannya membuat Ayah punya reputasi yang baik di kalangan akademisi dan peneliti. Sayang, hal itu pula yang perlahan menggerogoti tubuh Ayah. Ayah meninggal karena gangguan fungsi liver. Selebihnya, aku tidak tahu lagi soal Ayah. Tepatnya, belum mencari tahu.

Aku tumbuh dibimbing Ibu seorang diri. Kami tinggal berdua di rumah peninggalan Ayah. Sebenarnya, Ibu bisa saja menjual rumah itu dan kami tinggal bersama Nenek. Waktu aku tanya begitu, Ibu selalu bilang bahwa rumah itu terlalu banyak menyimpan kenangan tentang Ibu dan Ayah. Lagipula, ada campur tangan Kakek yang turut mendesain facade rumah itu, maklum ia seorang arsitek.

"Bukankah kenangan itu ada untuk dilupakan, Bu?"
"Begitu, ya. Kamu lagi baca buku apa?"
"Nggak sih. Tapi, banyak orang memilih kenangan mereka sendiri dan berusaha melupakannya."
"Sayang, suatu saat nanti kamu akan tahu, kenapa kenangan diciptakan dan mengapa beberapa dari mereka tinggal di hati kita."

Aku memang tidak pernah bisa sedekat itu dengan Ibu. Aku sangat jarang bisa bicara atau sekedar mengobrol ringan dengannya. Aku mulai mau dekat dengan Ibu usai menstruasi pertamaku. Aku terlalu takut menghadapi gerbang dimulainya masa remajaku. Kata orang, aku juga akan mengalami masa puber. Dari majalah remaja yang aku sering pinjam dari Kak Sheila, kakaknya Selly, aku menemukan banyak hal soal bagaimana menjadi seorang remaja. Termasuk tahapan-tahapan yang akan aku lalui nantinya. Kak Sheila sering berkata padaku bahwa tak lama lagi aku akan segera merayakan "Goodbye Miniset". Terus terang semua itumembuatku takut. Aku butuh seseorang untuk menguatkanku, mengantarku dengan perasaan gembira menuju gerbang itu. Aku tidak punya siapa-siapa lagi untuk berbagi, selain Ibu tentunya.

Ibu dengan setia menemaniku, ketika aku memilih dan membeli pembalut wanita pertamaku. Aku melihat api cinta yang dahsyat dimatanya. Barangkali, Ibu tidak pernah menyangka bahwa ia benar-benar ada disisiku, selalu ada disampingku, hingga aku menjalani masa remajaku. Ibu juga yang membantu menjelaskan soal perubahan fisik yang terjadi pada tubuhku. Ibu juga tak henti-hentinya memperhatikanku. Mulai dari penampilan, gaya bahasa, tutur bicara, segalanya tak luput dari perhatian Ibu. Aku semakin sadar bahwa aku akan tumbuh jadi perempuan dewasa, tak lama lagi. Aku jadi semakin takut.

Satu kali, aku mulai tahu rasanya jatuh cinta. Seperti anak SMP lainnya, aku terkagum-kagum pada kakak kelas yang jago main basket. Setiap pulang sekolah hari Rabu, aku dan Selly selalu punya alasan untuk pulang telat. Aku biasa berkilah pada Ibu bahwa kami harus pergi ke rumah teman lain untuk kerja kelompok. Padahal, aku dan Selly hanya duduk di pinggir lapangan sekolah melihat Arya dan Bimo latihan basket.

Aku dan Selly berhadapan dengan seorang bintang lapangan yang tentunya juga idola semua perempuan di sekolah ini. Kami tidak pernah bisa mengalihkan atensi Arya dan Bimo. Sampai suatu saat, mereka mengajak kami minum jus di kantin sekolah usai latihan. Mereka heran karena kami selalu jadi penonton setia latihan mereka. Aku dan Selly tentu senang merasa diperhatikan seperti itu. Ternyata mereka tahu kehadiran kami setiap latihan. Namun, rasa senang yang terlanjur melambung itu hanya sesaat saja. Arya dan Bimo sudah punya pacar di sekolah lain. Damn!

Lain waktu, aku jatuh cinta lagi pada guru pelajaran Seni Musik. Aku tidak tahu apakah Ibu pernah mengalami hal yang sama denganku. Aku suka memanggilnya Mas Daniel, karena ia masih cukup muda dan juga jadi anggota The Symphony 8, sebuah grup orkestra klasik yang cukup terkenal di kotaku. Aku mulai rajin latihan biola, alat musik yang aku pilih dengan asal hanya karena ingin jadi seperti seorang Sharon Corrs. Aku memainkan melodi 'Toss The Feathers' saat pertunjukan yang jadi ujian akhir pelajaran. Aku berhasil mendapat nilai sempurna dan standing ovation dari Kepala Sekolah serta Mas Daniel. Lagi-lagi, aku dibuat kecewa ketika tiket spesial pertunjukan The Symphony 8 pemberian Mas Daniel hanya untuk sekedar melihatnya menerima pelukan mesra dari seseorang yang mengaku sebagai kekasihnya.

Seakan bisa membaca perasaanku, Ibu mulai mengajakku bicara sejak kejadian malam itu. Ibu melihat perubahan yang tidak biasa akhir-akhir ini. Aku tidak lagi bergairah memainkan biola ketika Ibu memintanya. Tiba-tiba aku tersadar saat aku sudah berada di pelukan Ibu, dengan derai mata yang masih hangat. Aku masih ingat kata Ibu.

"Gagal memiliki bukan berarti gagal mencintai, sayang."

*

Aku tidak pernah menyangka bahwa aku masih bersama Anita hingga saat ini. Menemaninya pergi membeli pembalut wanita pertamanya hingga menjelaskannya soal perubahan fisik yang terjadi padanya. Sepuluh tahun berlalu sejak ia bisa memanggilku Ibu dengan sempurna. Kini, malah aku yang tak sadar bahwa waktu berjalan begitu cepat. Anak perempuanku yang belum pernah bertemu ayahnya itu kini sudah jadi gadis remaja. Tak lama lagi, seorang laki-laki akan jatuh cinta padanya. Atau malah ia yang jatuh hati duluan, pada Guru Musiknya barangkali. Seperti aku dulu.

Aku jadi malu bila mengingat lagi masa itu lagi. Aku tidak akan pernah lupa Bagus yang gila kerja itu berani bertemu Bapak dan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Padahal, saat itu aku masih jadi kekasih Daniel, seorang guru piano yang sengaja Bapak pilih untuk mengajariku memainkan melodi lagu kesukaannya, "Memories Of Youth" dari Richard Clayderman.

Sayangnya, Daniel tidak punya cukup nyali untuk melamarku. Ia terlalu takut menghadapi Bapak karena tidak mau jadi orang yang tidak tahu diri. Aku berkali-kali meyakinkannya bahwa cinta kami tidak akan pernah gagal hanya karena ia 'berhutang' pada Bapak. Bapak sangat menghargai kejujuran dan keberanian. Bagus tahu itu, maka dengan sepeda kumbangnya ia datang ke rumahku dan menyampaikan niatnya.

Aku mendapat restu kedua orangtuaku untuk menikah dengan Bagus. Dia sudah jadi dosen muda waktu itu. Aku cukup realistis untuk memulai hidupku bersama Bagus karena gaji dosen waktu itu tidaklah terlalu besar. Banyak pria lain yang patah hati karena aku lebih memilih Bagus. Bahkan, Handi, arsitek handal tangan kanan Bapak pun ikut merasakannya.

Aku kaget ketika Bagus membawaku ke konservatorium milik sahabatnya. Tepat di hari ulang tahun pertama pernikahan kami, Bagus memainkan lagu kesukaan Bapak "Memories of Youth" dan "Ballade pour Adeline" kesukaanku. Aku tidak menyangka bahwa Bagus bermain piano lebih baik daripada aku yang sengaja dikursuskan oleh Bapak. Sejak itu, Bagus tidak pernah berhenti memberiku kejutan.

Aku jadi anak perempuan pertama yang memberi cucu untuk Bapak dan Ibu. Anita Diandra Febrina, begitu kami menamainya. Lahir tanggal 14 Februari, dimana Bagus masih berada di Australia untuk hari seminar pertamanya. This mommy little girl will never see his father karena Bagus meninggal tak lama setelah kepulangannya. Kataku, sambil menggendong Anita di peristirahatan terakhir lelaki pemain melodi terindah sepanjang hidupku.

Aku masih menulis buku harianku ketika Anita menerima telepon pertama dari anak lelaki yang sedang mendekatinya. Anita mulai mengambil jarak denganku, aku bisa rasakan hal itu. Aku rasa inilah waktu untuk memberinya ruang privasi. Peranku berubah, aku harus menjadi seorang teman sekaligus sahabat untuknya.

Aku cukup tahu bagaimana Anita bermain dengan perasaannya. Aku sudah terbiasa dengan hal ini. Naluri Ibu manapun di dunia ini pasti bisa merasakan getarannya. Apapun itu, aku harus tetap bertahan dan selalu ada untuknya. Aku tahu ketakutan terbesarku. Akhirnya, aku harus akui kalau aku sangat takut untuk tidak selalu mampu menemaninya, selalu disisinya. Melewati prom night pertamanya, kelulusan SMA yang selalu penuh cerita, hari-harinya di universitas, hingga mendengarkan cerita soal wawancara kerja pertamanya.


*

Tanpamu... semua tak berarti... cinta sudah lewat...


Pada senja pertamaku di Tanah Air, aku merasa menjadi orang yang sangat bodoh. Aku mendadak merasa jadi orang paling kejam di dunia. Aku meninggalkan Ibu seorang diri di rumah demi sebuah pekerjaan di Belanda sana. Aku meninggalkan Ibu beserta segenap cinta kasih yang pernah ia sematkan dalam setiap hela nafasku. Aku masih bisa merasakan semua kasih sayang yang telah Ibu berikan sepenuhnya. Aku yakin, cinta tidak pernah gagal membuat Ibu mengerti. Hingga saat ini, saat aku memandangi pusaranya.


Jakarta-Bandung, 14 Februari 2014.


* Ditulis untuk kompilasi 'Love Never Fails 1" presented by @NulisBuku. Diterbitkan sebagai satu cerpen di buku ke-5 kompilasi "Love Never Fails".

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...