Sabtu, 30 Desember 2017

AKU: Sesudah

Sumber gambar: Koleksi Pribadi
Terus terang, saya tidak mengharapkan sebuah kejutan nan eksplosif dalam buku ini. Sebagai sebuah skenario mengenai (sebagian) perjalanan hidup Chairil Anwar tentulah ada beberapa hal yang bisa saja hilang karena pembermaknaan yang berbeda. Tentang bagaimana narasi dan teks skenario dipahami secara tekstual ataupun melalui imajinasi visual. Namun, saya tentulah merasa sangat bahagia karena melalui pemahaman tekstual pada buku ini saya dapat membuat imajinasi buatan saya sendiri.

Saya bisa membayangkan bagaimana Chairil yang tiba-tiba saja masuk ke rumah Oomnya, Syahrir, yang dulu Perdana Menteri itu semasa zaman Republik. Pun, ketika Chairil nyelonong begitu saja ketika ikut naik kereta rombongan Perdana Menteri ke Yogyakarta. 

Lewat buku ini, setidaknya pembaca bisa dibuat paham mengenai suasana apa yang membuat sajak-sajak Chairil Anwar menjadi begitu menggelora, kadang-kadang syahdu, dan tiba-tiba mengandung kepasrahan yang total pada Si Penciptanya.

Setidaknya saya mendapatkan jawaban tentang latar suasana yang mebuat sajak ‘Aku’ menjadi legenda sepanjang masa. Tentang mengapa ‘Senja di Pelabuhan Kecil’ bisa menjadi begitu syahdu, ketika Chairil termenung di pinggir pantai. Juga, penggalan syair ‘...Waktu jalan aku tidak tau apa nasib waktu...’ yang pernah saya baca dalam satu cerpen milik Seno Gumira Ajidarma, yang tercipta semasa Agresi Militer Belanda I.

Khusus untuk timeline Agresi Militer Belanda I, tercipta pula sebuah sajak perjuangan yang selalu dikenang warga Bekasi-Krawang, ‘Antara Krawang-Bekasi’. Maklum, Chairil diceritakan telah menikah dengan seorang gadis dari Karawang bernama Hapsah, Dari Hapsah pula Chairil memiliki seorang putri yang dinamainya, Evawani.

Memasuki bagian akhir, saya merasakan aroma kehilangan yang semakin menguat. Chairil agaknya tidak kuasa menahan penyakitnya hingga ia harus menyendiri di sebuah kamar yang dicarikan khusus untuknya. Perkawinannya dengan Hapsah pun harus berakhir, ia digugat cerai. Sebuah adegan yang membuat saya bergetar kala Chairil Anwar menggendong Evawani sebentar sebelum Ibunya datang. Ah, tokoh kita ini juga seorang manusia.

Menjelang akhir perjalanan hidupnya, rupanya Chairil Anwar sudah mampu meramal kematiannya sendiri. Ia sudah merasakan maut itu datang sebelum Malaikat Maut benar-benar melaksanakan tugasnya. Ia sudah menulis ‘...rimba jadi semati tugu di Karet, di Karet (daerahku yang akan datang)...’. Chairil Anwar sudah tahu ia akan berpulang kemana. Masalahnya hanya soal waktu saja, entah kapan.

Tidak diragukan lagi bahwa Chairil Anwar-terlepas dari segala kontroversinya soal sajak-sajak saduran dan terjemahan-adalah seorang pionir sastra Indonesia. Chairil Anwar menandai tonggak lini masa sastra Indonesia dengan menamai angkatannya sebagai ‘Angkatan 45’. Chairil masih berseru: “Revolusi!”, menjelang akhir-akhir masa hidupnya. Sebuah pernyataan yang tabah dan berani seakan-akan ia masih akan hidup seribu tahun lagi.

Judul           : AKU: Berdasarkan Perjalanan Hidup dan Karya Penyair Chairil Anwar
Penulis        : Sjuman Djaya
Penerbit      : Gramedia Pustaka Utama
Tahun          : 2017
Tebal           : 155 hal.
Genre          : Sastra Indonesia-Skenario

Cipayung, 29 Desember 2017.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...