Sabtu, 06 April 2013

Sang Penari dari Dukuh Paruk

Saya memang agak telat untuk menonton ‘Sang Penari’ setelah resmi dirilis 10 November 2011. Itu pun lewat hasil unduhan dari sebuah forum. Pun, membaca buku ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ sebelum edisi kompilasi trilogi bersama ‘Jantera Bianglala’ dan ‘Lintang Kemukus Dini Hari’, pemberian seorang sahabat. Pengalaman membaca buku kini tidak akan lagi sama. Maraknya visualisasi dan adaptasi cerita dari sebuah judul buku akhir-akhir ini menghadirkan suatu pengalaman lain dalam konteks pemaknaan sebuah karya, terutama sastra.


Tak terkecuali pada ‘Sang Penari’. Film yang digarap oleh Ifa Isfansyah dan skenario yang digarap bersama oleh Salman Aristo dan Shanty Harmayn ini menghadirkan sebuah pencitraan, pemaknaan, dan visualisasi gagasan atas apa yang penah dituliskan Ahmad Tohari dalam bukunya. Perlu dicatat, bahwa menampilkan kembali isi dari buku yang pernah mengalami pelarangan edar oleh Orde Baru ini bukanlah sesuatu yang mudah, as it is or as given.Terutama, menyesuaikan alur cerita agar tampil lebih singkat dari jalan cerita pada buku aslinya. Re-interpretasi terhadap karya Ahmad Tohari mutlak diperlukan.


‘Sang Penari’ bertutur tentang cerita cinta yang terjadi di sebuah desa miskin Indonesia pada pertengahan 1960-an. Dukuh Paruk namanya. Pedukuhan yang masih menganut nilai-nilai lokal-tradisional dalam tata kehidupannya ini menganggap ‘ronggeng’ bukan sekedar seni dan tradisi belaka. Ronggeng dalam tata hidup masyarakat Dukuh Paruk adalah sebuah bentuk pengabdian terhadap leluhur mereka, Eyang Sacamenggala. Maka begitu Srintil kehilangan ibunya yang ronggeng itu karena insiden ‘tempe bongkrek’, Dukuh Paruk mengalami stagnansi dalam kehidupannya. Gairah penduduk seakan hilang, tidak ada lagi berkah Eyang Sacamenggala.

Srintil (Prisia Nasution) hanyalah seorang anak kecil biasa yang senang bermain bersama dengan teman-temannya, Rasus (Oka Antara) dan kawan-kawan. Kadang, Srintil menari kala sedang bersama Rasus. Sejak itu, Srintil semakin lekat bersama Rasus. Diam-diam, Nyai Kartaredja (Dewi Irawan) pun menaruh hati bahwa suatu saat kelak cucunya itu menjadi ronggeng. Rasus tidak bisa menahan Srintil.


Rasus tahu bahwa Srintil akan menjadi ronggeng. Rasus mencoba menerima kenyataan dengan memberikan keris peninggalan Ibu Srintil kepada Srintil. Keris itu dipercaya sebagai pertanda bahwa Srintil dipercaya leluhurnya untuk menjadi ronggeng. Kehidupan Dukuh Paruk kembali bergairah setelah Srintil didaulat menjadi ronggeng dan harus menjalani ritual ‘bukak klambu’.

Rasus semakin tidak bisa menerima kenyataan itu. Beruntung, Srintil pun tidak rela keperawanannya diserahkan pada orang lain. Maka, mereka pun bercinta sebelum ‘bukak lambu’ digelar. Rasus sekali lagi menyatakan keberatannya pada Srintil. Namun, keputusan Srintil untuk menjadi ronggeng sudah bulat. Tidak ada kata mundur. Zaman pun kemudian bergerak, di mana Rasus harus memilih; loyalitas kepada negara atau cintanya kepada Srintil.


Dalam situasi yang semarak kembali itu, menyusuplah seorang antek partai komunis, Bakar (Lukman Sardi). Bakar mencoba melakukan propaganda di Dukuh Paruk. Warga yang pengetahuannya terbatas itu sedikit-sedikit dan perlahan mulai melakukan apa yang dikehendaki Bakar. Rasus merasa ada yang aneh saat kembali mengunjungi Dukuh Paruk. Pengaruh komunis bawaan Bakar telah begitu kuat di Dukuh Paruk. 


Bakar dengan cerdik memanfaatkan ronggeng untuk propaganda partainya. Kartaredja sempat dibuat ragu dengan pementasan ronggeng yang didukung oleh partai komunis walau akhirnya berhasil meyakinkan kakek Srintil agar mau tampil di kota. Apalagi setelah makam Eyang Sacamenggala dirusak sekelompok orang tidak dikenal. Padahal, itu merupakan fitnah yang dilakukan oleh Bakar dan partainya.

Sampai adegan ini, saya sangat terkesan dengan visualiasi teks pada bab yang sama. Perusakan makam itu dianggap sebagai pertanda bahwa Srintil harus kembali meronggeng. Sebuah keputusan yang kelak membawa Dukuh Paruk pada pergolakan sejarah.


Roda waktu pun berputar. Dukuh Paruk dinyatakan ‘merah’. Dengan demikian, operasi penumpasan pun digelar. Warga Dukuh Paruk yang tidak tahu apa-apa itu apalagi soal pergolakan di ibukota negara menjadi korban. Mereka dipaksa meninggalkan Dukuh Paruk dan resmi menjadi tahanan politik. Seluruhnya menjadi tersangka kecuali Sakum, si penabuh kendang.

Rasus, yang masih memendam rindu pada Srintil mencoba untuk kembali ke Dukuh Paruk. Usai menghadapi ‘gempuran’ dan komandannya (Tio Pakusadewo), Rasus tidak menemukan apa-apa lagi di Dukuh Paruk, kecuali Sakum. Lewat beberapa petunjuk, Rasus pergi ke tempat para tahanan dari Dukuh Paruk ditahan. Setibanya disana, Rasus berhasil menemukan Srintil. Malang, Rasus hanya dapat melihat Srintil pergi. Srintil digiring untuk dibawa ke tempat lain.

Sebagai penutupan, dikisahkan bertahun-tahun kemudian Rasus telah mendapat kenaikan pangkat. Namun, kenangan tentang Srintil tidak pernah padam. Rasus tahu dimana harus mencari Srintil. Saat itu, pemerintahan telah beralih ke tangan Orde Baru. Dukuh Paruk pun tinggal cerita, tak terkecuali ronggeng yang hanya sebuah tontonan yang dijajakan belaka. Dalam sebuah kesempatan di Pasar Dawuan, Rasus bertemu kembali dengan Srintil yang sedang ‘ditanggap’ oleh beberapa orang saja. Srintil merasa ketakutan dan segera pergi dengan Sakum. Namun, Rasus sempat menggenggam tangan Srintil, menyelipkan kembali keris pusaka yang dulu pernah ia berikan pada Srintil.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan


Kisah cinta Srintil dan Rasus awalnya adalah sebuah cerita cinta sederhana. Namun, akhirnya terpisah oleh jalinan takdir itu sendiri. Rasus yang merasa kecewa karena Srintil memutuskan untuk menjadi ronggeng menemukan pelariannya dalam wujud ketentaraan. Rasus dan Srintil pernah mencoba untuk mengkompromikan takdir mereka. Srintil tidak mampu menghindar dari ‘indang’ ronggeng yang diyakini telah memilihnya. Rasus sendiri tidak dapat berbuat banyak karena ia telah menjadi seorang tentara.

Saya bisa memberi nilai sempurna untuk interpreasi teks ke dalam citra visual untuk film ini. Latar belakang pengambilan gambar dan adegan yang menghadirkan nuansa alami khas Banyumasan tidak bisa dipisahkan dengan konteks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ dan melekat kepadanya sebagai sebuah kesatuan identitas. Terlebih, ada beberapa detail dalam buku yang diangkat ke dalam cerita. Hebatnya, visualisasi dalam film persis dengan yang saya bayangkan dalam imajinasi personal. Sebagai contoh, potongan dialog dengan kata-kata seperti “asu buntung” kerap muncul sebagai sumpah serapah. Tak ketinggalan, adegan ketika Srintil mengencingi jampi-jampi yang ditanam di dekat kamarnya.  Overall, film ini tidak kehilangan detail dalam teks ‘Ronggeng Dukuh Paruk’.

Saya juga melihat totalitas akting yang diberikan oleh pemeran-pemeran film ini yang very exceptional. Prisia Nasution mampu mendalami karakter seorang Srintil yang tumbuh dewasa dan menjadi ronggeng. Sementara, Oka Antara konon ‘mempersiapkan’ dirinya dengan diet ketat dalam jangka waktu yang lama untuk memerankan Rasus, agar dapat memaknai karakter Rasus sebagai bocah yang sering kelaparan, tidak bisa membaca, dan memiliki tatapan nanar. Termasuk menyesuaikan logat bicara Banyumasan. Pun, sama halnya dengan Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, dan Tio Pakusadewo.

Tidak heran, bila kemudian ‘Sang Penari’ mendulang berbagai pujian dari kritikus. Tak lupa, Ahmad Tohari menyebut ‘Sang Penari’ sebagai adaptasi yang layak untuk karyanya. Pada Festival Film Indonesia 2011, film ini meraih 10 nominasi dan berhasil memenangkan 4 piala citra. Semuanya untuk penghargaan utama. Penghargaan Film Terbaik, Sutradara Terbaik untuk Ifa Isfansyah, Aktris Terbaik untuk Prisia Nasution, dan Aktris Pendukung Terbaik untuk Dewi Irawan. Hebatnya lagi, ‘Sang Penari’ pun muncul di situs database film imdb.com. Walau sinopsisnya tidak selengkap di Wikipedia, namun bagi saya itu sudah cukup. Informasi yang dimuat IMDB sudah cukup lengkap untuk sebuah film terbaik dari Indonesia.

Walaupun ‘Sang Penari’ berangkat dari suatu sejarah masa yang sudah lama terlupakan (untuk tidak menyebutnya sengaja diabaikan) namun relevansinya dengan keadaan saat ini tetap terjaga. Kisah percintaan, dari mana pun asal dan sumbernya, tetap membawa suatu nuansa tersendiri. Pergolakan yang mewarnai perjalanan bangsa pun sama dengan gejolak dalam hati. Kadang, cinta tidak hanya sebatas perasaan. Terlalu banyak dimensi yang menaunginya. Seperti kisah cinta Rasus dan Srintil.



Judul        : Sang Penari
Sutradara  : Ifa Isfansyah
Cast    : Prisia Nasution, Oka Antara, Dewi Irawan, Slamet Rahardjo, Lukman Sardi, Tio Pakusadewo, Happy Salma
Tahun        : 2011
Produksi    : Salto Films

Paninggilan, 6 April 2013.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...