Senin, 01 April 2013

Puisi (Cahaya Bulan) - #storyofasong #1

1 April 1969 - 1 April 2013

Hari ini, saya merasa diingatkan kembali untuk melanjutkan pembacaan atas buku 'Soe Hok-Gie Sekali Lagi'. Alasannya sederhana. Belakangan saya juga jadi pendengar setia lagu 'Donna Donna' yang merupakan satu dari sekian soundtrack film 'Gie'.

Lagu itu dinyanyikan dengan apik oleh Sita RSD @sitanursanti. Setelah sebelumnya banyak diremake pula oleh penyanyi folksong mancanegara, satu diantaranya adalah Joan Baez. Sita, yang ikut bermain dalam film 'Gie' ikut membawakan lagu Donna Donna dalam sebuah adegan pementasan di kampus FS UI.

Kembali pada figur Soe Hok-Gie. Pembacaan kembali tadi membawa saya pada halaman dimana terdapat satu puisi yang bertanggal sama dengan tanggal hari ini. Sebuah puisi yang liriknya saya hafal setengah-setengah. Sebuah puisi yang tidak secara utuh ikut disisipkan dalam kompilasi soundtrack film 'Gie'.

Puisi berjudul 'Sebuah Tanya' ini kemudian diadaptasi jadi satu lagu di album soundtrack film 'Gie'. Saya lupa judul pastinya, apakah masih sama berjudul 'Cahaya Bulan' dengan tanda kurung puisi. Puisi yang dibacakan dengan apik oleh sang pemeran utama 'Gie'. Berpadu indah dengan lengkingan vokal powerful dari Okta Tobing.

Pembawaan Nicholas Saputra @nicsap sebagai pengisi suara pembaca puisi dalam lagu ini mengingatkan saya pada puisi yang dibacakan Dian Sastro @therealdisastr dalam satu soundtrack film 'Ada Apa Dengan Cinta'.  Potongan lirik terkenal disitu adalah 'pecahkan saja gelasnya, biar ramai, biar mengaduh sampai gaduh'. Entah, karena memang produser dan sutradara kedua film ini adalah orang yang sama sehingga ada nuansa serupa yang muncul dalam penggarapan soundtrack dan scoring musiknya.

'Sebuah Tanya' yang kemudian disentuh dengan musikalisasi memberi nuansa tersendiri bagi sisi lain kehidupan Soe Hok-Gie. Tidak banyak yang tahu sisi romantika dalam kehidupan Soe Hok-Gie. Setidaknya, sampai buku 'Catatan Seorang Demonstran' terbit. Lebih jelas bisa disimak 'pengakuan kekasih-kekasih' Soe Hok-Gie dalam buku yang saya lanjutkan pembacaannya ini. 


Setiap mendengarkan lagu ini, saya selalu teringat adegan dimana Nicholas Saputra yang memerankan Soe Hok-Gie beradu akting dengan Wulan Guritno. Lalu, lagu ini juga menjadi simbol pengingat pada suatu masa dimana figur seorang Soe Hok-Gie menancap erat pada setiap aktivis kampus. Usai booming film 'Gie' yang memang ditujukan untuk membangkitkan kembali semangat kaum muda Indonesia. Didukung dengan penerbitan kembali beberapa literatur tentang Soe Hok-Gie.

Waktu di kampus dulu, Soe Hok-Gie selalu digambarkan sebagai sosok mahasiswa yang paripurna. Sosok mahasiswa dengan karakter pendobrak yang berani melawan arus. Sosok mahasiswa aktivis yang berhasil memadukan unsur intelektualitas kedalam tutur kata dan perilakunya. Singkatnya, figur mahasiswa idaman.

Saat itu, saat film 'Gie' beredar, semua mahasiswa pergerakan (maksudnya yang bergerak sekitar sekre organisasi kemahasiswaan) seakan berusaha berlomba-lomba mencitrakan dirinya sebagai jelmaan Soe Hok-Gie di era modern. Mereka mencoba mengikuti gaya bahasa, tutur kata, pola pikir, dan perilaku sang mahasiswa pujaan. Tak ketinggalan juga meniru kecintaan Soe Hok-Gie pada alam membuat mereka mendadak jadi pendaki gunung. Fenomena yang mirip seperti saat film '5 cm' booming akhir-akhir ini. Sayangnya, mereka hanya berbekal apa yang dilihat dalam film saja. Saya pun tidak yakin kalau mereka membaca sampai tuntas buku 'Catatan Seorang Demonstran'. 


Sebagai edisi pembuka postingan bertagar #storyofasong ini, secara khusus saya dedikasikan kepada sosok sang mahasiswa paripurna yang wafat di Puncak Mahameru, 16 Desember 1969. Bagaimanapun, Soe Hok-Gie adalah satu figur yang turut mewarnai sejarah Indonesia. Utamanya, sebagai pemeran utama dalam riwayat pergerakan mahasiswa. Mahasiswa bersatu tak bisa dikalahkan. Hidup mahasiswa!

Paninggilan, 1 April 2013
-mengenang 44 tahun puisi 'Sebuah Tanya' karya Soe Hok-Gie
 
Sebuah Tanya - Soe Hok-Gie

akhirnya semua akan tiba 
pada pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui.

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku.

(kabut tipis pun turun pelan-pelan
di lembah kasih, lembah Mandalawangi
kau dan aku tegak berdiri
melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)

apakah kau masih membelaiku selembut dahulu
ketika kudekap kau
dekaplah lebih mesra, lebih dekat.
 
(lampu-lampu berkedipan di Jakarta yang sepi
kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya
kau dan aku berbicara 
tanpa kata, tanpa suara
ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta

(haripun menjadi malam 
Kulihat semuanya menjadi muram
Wajah-wajah yang tidak kita kenal berbicara
dalam bahasa yang tidak kita mengerti
Seperti kabut pagi itu)

manisku, aku akan jalan terus 
membawa kenangan-kenangan
dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru.

Selasa, 1 April 1969
- Soe Hok-Gie 
dikutip seperti dalam buku "Soe Hok-Gie Sekali Lagi: Buku, Pesta dan Cinta di Alam Bangsanya" cetakan ke-2, Januari 2010; diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia

2 komentar:

aprie mengatakan...

Buka linknya dan mendapati postingan tentang Gie pada halaman pertama, gak ragu saya langsung follow!
soundtrack film terbaik menurut saya.

salam kenal dari blogwalking Goodreads Indonesia :D

Anggi Hafiz Al Hakam mengatakan...

Terima kasih. Salam kenal kembali :)

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...