Jumat, 14 Agustus 2009

We Hate It When Our Friends Become Successful*)

Mungkin kalimat judul diatas sanggup merepresentasikan perasaan JK saat ini. Siapa yang tidak merasa iri kalau ternyata hasil membuktikan bahwa teman dan kawan kita lebih berhasil dibandingkan dengan kita sendiri. Terlebih lagi bila kawan kita ini terpilih (lagi) untuk jadi presiden. Sedangkan, kita hanya bisa menjadi rival sesaat saja yang menunda-nunda waktu untuk kemudian dinyatakan kalah.

Mungkin juga, saat tulisan ini ditulis, JK sedang menggumamkan lagu itu sambil berkemas untuk meninggalkan rumah dinasnya dan kembali ke kampung halamannya di Makassar sana. Sambil mendendangkan lagu itu juga, bisa saja JK sedang duduk di kursi malasnya sambil membaca berita dari harian-harian ibukota yang headlinenya dipenuhi polemik setelah usainya pemilu presiden. JK tentu sedang fokus pada gugatan yang diajukannya pada MK dan itu pula yang akan menjadi pusat perhatiannya.

Sebagai manusia, sudah fitrahnya untuk merasakan yang demikian itu. Wajar sekali perasaan itu muncul sebagai reaksi atas kegagalan dan kekalahan dalam persaingan. Apalagi, kalau ternyata kita baru tersadar bahwa yang mengalahkan kita adalah kawan seperjuangan. Kawan yang selalu menemani sejak zamannya kabinet Persatuan Indonesia dibawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati hingga bersama berdua membentuk Kabinet Indonesia Bersatu, yang akan segera expired sebentar lagi.

Adalah kawan kita juga yang mengalahkan kita, kawan yang pernah bersama-sama menuntaskan kasus Balibo Five lalu membujuk Hassan Tiro untuk menandatangani perjanjian perdamaian. Kawan kita juga yang menemani di ruangan siding untuk bertukar pendapat mengenai masalah rakyat. Mulai dari bagaimana caranya membagi subsidi minyak pada rakyat hingga menutup semburan lumpur Lapindo.

Banyak pula pencapaian yang diraih semenjak kita memutuskan untuk menjadi partner dan teammate. Sebagai contoh saja, swasembada beras yang kembali dicapai sejak 1985. Kemudian, ternyata kawan kita juga menyetujui penyaluran BLT sebagai satu cara mengurangi beban rakyat miskin padahal banyak kalangan menganggap bahwa BLT hanya menjadikan rakyat sebagai pengemis. Belum lagi, kawan kita ini juga mendukung program pendidikan BOP-BOS yang sekarang ngetop dengan sebutan “Sekolah Gratis”. Di sisi lain, partnership yang terjalin juga menjanjikan bagi stabilitas ekonomi makro maupun mikro. Indikator pertumbuhan ekonomi terlihat membaik. Itu hanya beberapa gambaran saja bahwa kawan kita ini tidak salah pilih kawan untuk menemaninya duduk di singgasana tertinggi negeri ini.

*****

Kalau bukan karena mesin politik yang mogok dan sedang turun mesin di bengkel sebelah tentu akan jadi lain ceritanya. Sebab musabab mogoknya mesin politik JK ini masih menjadi pertanyaan besar yang perlahan mulai terkuak. Padahal, perolehan jumlah suara Partai Golkar di Pemilu Legislatif kemarin cukup besar. Dengan menjadi runner-up dibelakang Partai Demokrat dan sedikit diatas PDI-P, seharusnya jumlah perolehan suara JK di Pilpres tidak anjlok secara drastis.

Kemungkinan terbesar sebagai penyebab mogoknya mesin politik Golkar di Pilpres 2009 adalah hilangnya suara kader-kader Golkar di daerah. Ini adalah dugaan yang paling masuk akal mengingat partai peninggalan Orde Baru ini masih mempunyai basis pendukung yang loyal di beberapa daerah. Terbukti ketika Pemilu Legislatif 2004, partai ini mendominasi perolehan suara baik di pusat maupun di daerah. Namun, politik tidak butuh masa lalu. Kejayaan masa lalu seketika akan menjadi omong kosong belaka karena kenyataan hari ini. Kenyataan saat ini, Golkar kehilangan banyak suara. Suara Golkar pecah. Diduga pecahan suara ini mengalir pada kubu Demokrat yang menusung SBY-Boediono. Akar rumput Golkar ditebas habis oleh Demokrat.

Dengan kata lain, JK dan Golkar dikompori dan digembosi oleh kadernya sendiri. Ketika hasil pemilu legislatif melalui quickcount merebak diberbagai media, muncul isu dan wacana bahwa Golkar harus mengusung calon presiden sendiri bila perolehan suaranya mampu melewati 20% electoral threshold. JK sebagai Pemimpin Partai tentu saat itu sedang bingung. Jalan manakah yang harus ditempuh. JK mungkin masih ingin menjadi pendamping SBY dengan ikut berkoalisi ke Demokrat tetapi suara-suara dari daerah menyatakan bahwa sebagai partai yang eksistensinya telah diakui (secara politis) harus mampu mengusung calon presiden sendiri. Tidak asal sekedar berkoalisi. Dalam hatinya mengisyaratkan bahwa ia masih ingin punya kuasa atas negeri ini.

Banyaknya desakan yang demikian kemudian membuat Partai Golkar harus membuat pertemuan dengan mengumpulkan DPD-DPD se Indonesia di markas besarnya di Slipi. Tentunya, perdebatan alot terjadi. Antara mereka yang mendukung JK untuk naik sebagai capres dari Golkar dan mereka yang mendukung koalisi dengan Demokrat. Hasilnya, sudah kita tahu sendiri. Golkar merestui JK untuk naik sebagai capres ditemani dengan “pesakitan” Golkar yang membentuk Partai Hanura, Wiranto.

Sebagai partai yang punya harga diri, Golkar telah memutuskan untuk menceraikan JK dari SBY dan jadi the real contender for next presidential bid (mengikuti istilah The Jakarta Post). JK pun menerima keputusan tersebut dan maju jadi capres yang diusung koalisi Golkar dan Hanura. Saat itu, saya yakin JK telah bersiap untuk menerima hasil yang terburuk sekalipun, yaitu kekalahan. Kekalahan yang dimaksud adalah tidak lagi menjadi wakil presiden bersama SBY lalu tidak kebagian posisi sentral dalam tata pemerintahan Kabinet mendatang. Agaknya, inilah yang sempat membuat JK kelihatan ragu untuk maju sebagai capres. Sebagian bisnis JK memang berurusan dengan negara. Pemilihan Sofyan Jalil sebagai Meneg BUMN pun tidak lepas dari peran JK untuk mengamankan bisnisnya.

Kini, hasil pemilu presiden dengan berbagai sengketanya sudah tinggal memantapkan kemenangan SBY-Boediono. Tidak banyak pilihan bagi JK. Pulang kampung, sebagaimana yang JK bilang kemarin adalah opsi yang paling realistis saat ini.

*****

Putusan MK telah jatuh. MK menolak gugatan pasca pemilu. Dengan demikian, SBY semakin memantapkan kemenangannya. Adapun JK yang memang sudah siap untuk pulang kampung tidak perlu lagi pusing dengan urusan partai: Golkar oposisi atau merapat ke Demokrat? Dimana mau diadakan Munas? Sulsel atau Riau, siapa calon kuat Ketua Umum Golkar, Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, atau Ferry Mursyidan Baldan. JK tidak perlu repot lagi mengurusi yang demikian. JK cukup datang pada acara Munas nanti, memberikan pertanggungjawabannya dan selesai urusan. Pulang kampung, seperti yang JK bilang waktu debat capres.

Beberapa suara yang menahan kepulangannya dengan alasan figur JK terlanjur melekat pada bangsa ini saya harap tidak jadi alasan menunda atau bahkan menahan kepulangan JK ke kampung halamannya. Suara-suara itu hanyalah bentuk ewuh pakewuh bangsa ini. Dan terlebih lagi dengan berbagai tawaran posisi fungsional dan struktural bagi JK yang sudah menyatakan pensiun sangat tidak layak karena hanya jadi simbolisasi belaka. Biarkan JK pulang membangun Indonesia Timur yang lebih baik karena tidak aneh buat pebisnis seperti JK bila harus sarapan Coto Makassar dan Es Palubutung, lalu makan siang nasi timbel di Kampung Daun, Lembang, dan makan malam di J.W Marriot Medan.



Kelapa Gading, 14 Agustus 2009


*) We hate it when our friends become successful, dinyanyikan oleh Morissey


Kita Adalah Teroris

Bom meledak lagi. Kemudian meledak lagi. Dan tetap meledak lagi. Bom meledak, teroris tertawa. Bom kembali berjoget. Menebar ketakutan, menakar kewaspadaan. Bom terlanjur jadi momok melebihi setan dan narkoba. Sudah cukup bangsa ini melihat bom sebagai wujud teror. Teror yang dilakukan segelintir manusia yang pikirannya ngawur.

Siapa yang tak kenal Amrozi, santri dari Pesantren yang tidak terkenal di Lamongan itu telah tiada. Pun begitu dengan kompatriotnya, Imam Samudra dan Doktor Azahari. Tapi bom masih juga meledak. Konon katanya, Noordin M Top lah dalangnya. Detasemen khusus telah dibentuk untuk menanggulangi setiap peristiwa yang berkaitan dengan teror bom. Interpol juga turun tangan untuk membekuk manusia pengebom itu.

Akhir pekan lalu ketika Temanggung, kota kecil di Jawa Tengah tiba-tiba jadi pusat perhatian dunia. Untuk masyarakat di Indonesia, mereka semua penasaran bagaimana caranya Polisi untuk menangkap buronan paling dicari di seantero jagad perIndonesiaan. Belum lagi, masyarakat internasional yang juga ikut menaruh perhatian karena Noordin sudah terlanjur mereka nilai sebagai pejuang penebar teror.

Sayang, sayang, sayang. Belakangan, ternyata bukan Noordin yang mati di Temanggung, tapi Ibrohim. Sayang sekali. Mudah rasanya bagi kita dan Polisi untuk terkecoh. Noordin atau bukan Noordin masalahnya akan tetap masih sama saja. Teror adalah penyakit yang harus segera disembuhkan supaya kelak jiwa kita tidak ikut rusak karenanya.

Teror ada dimana-mana. Ia hadir didalam hati, pikiran, dan tingkah laku kita. Maka, kita pun bisa dengan mudah menjadi Noordin-Noordin yang baru. Kita bisa dengan mudah menjadi seperti Noordin tanpa harus berilmu pada eks mujahidin Afghanistan yang pernah merakit high explosive bomb dan C4 untuk meledakkan tank-tank Rusia. Tidak perlu kita belajar teknologi bom nuklir di MIT sana karena ternyata seorang Amrozi pun bisa membuat ledakan yang tak kalah dahsyat dengan yang jatuh di Hiroshima dan Nagasaki. Dengan apa yang ada pada diri kita saja sudah mudah bagi kita untuk menjadi teroris.

Fenomena teror muncul akibat pola resistensi kultural dan psikologis dari mereka-kaum yang terbuang dan terpinggirkan dari arus zaman. Karena mereka harus bertahan hidup maka masalah ideologis yang kental menjadi solusi pemecahan masalah. Dalam perasaan terbuang dan terpinggirkan itu mereka menanam dendam dalam hati dan jiwa mereka. Tubuh mereka terlanjur jadi bom waktu yang bisa meledak seenaknya mereka. Kalau sudah begitu, tinggal mencari pembenaran yang bisa melegalkan pikiran macam mereka sehingga mereka tidak ragu lagi bahwa teror adalah semacam jalan perjuangan.

Tetapi, kita pun tidak perlu menunggu atau bahkan harus merasa terbuang dan terpinggirkan lebih dahulu kalau mau jadi seperti mereka. Dalam kondisi normal pun kita sudah bisa jadi pelaku teror. Mau naik jabatan, teror saja saingan. Mau naik gaji, merongrong atasan dengan segenap alasan produktivitas dan kinerja. Mau korupsi, teror saja polisi.

***

Kita adalah teroris. Dimanapun kita berada kita dapat merubah diri secepat mungkin. Berbagai jerat lingkungan yang menghiasi hidup kita bisa menjadi penunjuk jalan kea rah sana. Berhati-hatilah, karena setiap ketidakpuasan yang anda alami akan menggoyahkan jiwa dan pikiran anda. Lebih parah, hati anda tergerak untuk melakukan sesuatu yang radikal seperti teror itu tadi. Teror tidak selalu harus teror bom. Masih ada teror lainnya. Teror psikologis, teror sosial, ataupun teror budaya.

Kita adalah teroris. Teroris pada diri sendiri. Selalu menolak pada kemapanan sistem birokrasi yang terlanjur membudaya dan mengontrol tata kosmos kehidupan ini. Jiwa-jiwa teroris dalam diri terbentuk dari keengganan untuk beradaptasi. Jiwa-jiwa teroris ini tetap hidup dalam jiwa yang selalu memberontak. Jiwa-jiwa teroris adalah jiwa yang melawan segala sistem yang bobrok yang tidak lagi menjadikan manusia sebagai manusia. Bila Tuhan bisa diteror, tentu akan kita teror juga. Sayangnya, Tuhan punya sistem peringatan teror yang canggih dibanding dengan CIA sekalipun. Sebelum kita meneror Tuhan, kita sudah keok duluan.

Kesatuan jiwa-jiwa teroris akan mengundang manfaat ketika digunakan benar-benar pada hal yang sesuai pada tempatnya. Manfaatkan jiwa-jiwa teroris untuk melawan segala sesuatu yang tidak memanusiakan manusia. Lawanlah segala bentuk penindasan di era neoliberal ini hingga tegaknya keadilan bagi si kaya dan si miskin. Jadikan manusia kembali pada fitrahnya. Jadikan, jiwa-jiwa teroris sebagai kekuatan. Bersatu padu untuk melawan pembodohan-pembodohan di sekitar kita.


Kelapa Gading, 14 Agustus 2009


*) Terinspirasi dari tulisan berjudul “Santri Teror” dalam buku “Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” Penerbit Buku Kompas, 2007. Hal. 91

Kamis, 13 Agustus 2009

3 Malam, 3 Cerita

Bird Song

I remember everything
Every joy and pain
Every hurts and tears
Every rain spots on the window

They're watching us
Walking down to easy winter evening
That's all going wet

We always love the moment
Just sat and watching the sun goes down
Surrounded by cludy and foggy air
Just both of us

Where are you now?
I'm just an empty glass spilled nowhere
I could only hear birds singing
A sad song, that everlasted, unselfish, and endless

March 16, 2009, Jakarta

*****

Another Kind of You

Everyone can go
Everything will leave
Only desire still remain
Keeping silences in reminiscing place
Where do i find you?

Is that you blinking with the stars?
Or just blended away by the wind?
I cound only hear a whisper
Saying, i'll always be with you, by breathing your name

March 16, 2009, Jakarta

*****

Titip Rindu buat Ibu*)

Rembulan merah mengambang
Langit Cikampek malam hari
Angin kemarau mengalun terbang
Hantarkan hasrat mimpi kembali

Debur rindu bawa kelam
Sejuta rindu bawa mimpi
Desiran ingin bakar malam
Jatiluhur terpatri sepi

Ibu... Si Anak meradang
Dalam sedu gemuruh hati
Ibu... anakmu pulang
Remuk redam hati terobati

Jakarta, 12 Agustus 2009

*) Sama dengan judul novel Novia Syahidah, Titip Rindu buat Ibu

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...