Senin, 30 November 2015

Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara

Buku ini lebih terasa sebagai memoar seorang Seno Gumira Ajidarma tentang bagaimana seorang wartawan menghadapi periuk kekuasaan yang mendominasi kontrol terhadap pers. Rentang waktu sejarah republik kembali dibuka kembali pada tahun 1991. Peristiwa yang kemudian dinamai Insiden Dili 1991 tak pelak membawa nama Timor Timur mencuat dalam jagat konstelasi politik internasional. Konflik yang tak berkesudahan membuat situasi tak nyaman berlangsung hingga liberasi tahun 1999.


Banyak kejadian yang dialami SGA dalam usahanya untuk membeberkan fakta-fakta tentang peristiwa tersebut. Namun, seperti dapat ditemui pada sampul buku, pers Indonesia lebih dahulu "tiarap" dengan melakukan self-censorship. Sebagai "korban" kebijakan media tempatnya bernaung maka SGA menampilkan fakta-fakta itu melalui jalur sastra. Itulah mengapa kemudian kita mengenal karyanya "Jazz, Parfum, dan Insiden". Kemudian dimuat juga sebagai kumpulan cerpen berlatar belakang sama yaitu "Saksi Mata". Beberapa cerpen mengenai 'pembungkaman' ini juga masuk dalam kompilasi cerpen lainnya seperti "Sebuah Pertanyaan Untuk Cinta".

Kemudian, SGA juga menggugat peran sastra di tengah masyarakat Indonesia yang diumpamakannya "masyarakat yang tidak membaca". Makna kata "membaca" disini bisa menjadi satu bahan diskusi, apakah bersifat kata kerja sifat, misalnya. Tulisannya itu dibuat sebagai pidato ketika menerima penghargaan South East Asia Literary Awards di Bangkok, Thailand.

Personally, buku ini sangat dianjurkan untuk dibaca dewasa ini. Keteguhan atas prinsip yang menjadi "nafas" utama yang menyemangati penulisnnya perlu untuk diapresiasi dalam menghadapi zaman sekarang yang penuh kepalsuan. Semangat integritas yang menjadi nilai utama adalah pelajaran yang bisa dipetik dalam menghadapai gelombang sejarah bangsa di masa depan nanti.

Judul                : Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara
Penulis             : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit           : Bentang Pustaka
Tahun               : 2005
Tebal                : 244 hal.
Genre               : Kumpulan Esai

Halim Perdanakusuma, 30 November 2015

Negeri Senja

Awal bulan kemarin adalah sesuatu yang membahagiakan. Setidaknya untuk saya pribadi dan pembaca Seno Gumira Ajidarma. Novel ‘Negeri Senja’ akhirnya diterbitkan kembali tahun ini. Penerbitan kembali ini disertai dengan tampilan cover yang baru dan juga ilustrasi dari tokoh-tokoh pemeran cerita dalam novel itu sendiri. Dengan demikian, suasana pembacaan menjadi agak sedikit hidup karena pembaca tidak lagi perlu membuat imajinasi sendiri mengenai rupa para tokoh tersebut. ‘Negeri Senja’ sendiri selama masa terbitnya yang pertama meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2003.


Cerita mengenai bagaimana kehidupan dalam ‘Negeri Senja’ hanya saya baca samar-samar belaka, sebelum bisa membaca tuntas pada edisi penerbitan kembali ini. Pernah juga saya membaca satu cerpen yang terinspirasi dari Negeri Senja. Pada cerpen itu, dikisahkan mengenai kereta api terakhir bagi mereka yang ingin mengunjungi Negeri Senja. Syaratnya, para penumpang harus yakin untuk tidak kembali lagi, karena konon siapapun yang datang ke Negeri Senja tidak akan pernah bisa kembali lagi.

Usai pembacaan ‘Negeri Senja’ yang sebenarnya, saya diingatkan kembali bahwa cerpen yang sebelumnya saya baca itu ternyata memang menggunakan Negeri Senja hanya sebagai hiasan. Negeri Senja adalah satu negeri dimana senja tidak pernah berakhir. Harusnya, keadaan seperti itu membuat bosan para penduduknya. Penduduk Negeri Senja hanya tahu senja seperti itu saja tanpa perlu merasa tahu bagaimana rasanya menikmati matahari pagi maupun redupnya cahaya bulan.

Matahari tidak pernah terbenam di Negeri Senja. Begitulah setidaknya si tokoh aku menggambarkan situasi disana. Dengan situasi yang demikian itu, rakyat Negeri Senja sudah terlanjur percaya oleh mitos kedatangan Sang Penunggang Kuda dari Selatan. Dialah yang akan membebaskan mereka dari jerat kekuasaan Ratu Tirana. Usaha untuk menuntaskan rezim Tirana sudah berulang kali dilakukan. Buntutnya, pada usaha terakhir untuk membunuh Tirana, menyebabkan terjadinya pembantaian besar-besaran di Negeri Senja. Usaha untuk membunuh Tirana telah gagal. Hingga aku si pengembara itu meninggalkan Negeri Senja, matahari belum juga terbenam di Negeri Senja.

Seperti novel dan roman lainnya, SGA tidak pernah meninggalkan signaturenya. SGA tidak pernah melupakan cinta sejatinya, Alina dan Maneka. Bahkan, kesan perjalanan yang dilakukan aku si pengembara tidak bisa lepas dari kesan terhadap Alina dan Maneka. Overall, ‘Negeri Senja’ adalah bacaan wajib bagi para pembaca SGA untuk mengetahui alasan-alasan kenapa senja selalu tampak begitu indah di mata seorang Seno Gumira Ajidarma.
 
Judul           : Negeri Senja
Penulis        : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit      : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun         : 2015
Tebal          : 243 hal.
Genre         : Novel
 
Halim Perdanakusuma, 30 November 2015.

Minggu, 29 November 2015

Seputar Proklamasi Kemerdekaan

Courtesy: buku.kompas.com

Ada banyak kisah seputar pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tercinta ini. Beberapa dari pelaku sejarah saat itu menghasilkan karya dari memoar mereka. Sejarawan pun terlibat dalam mengungkap kejadian-kejadian pra dan pasca proklamasi. Hingga, ada beberapa nama yang tidak begitu dikenal namun memberikan kontribusi nyata yang tidak sedikit. 

Buku ini berhasil menghimpun berbagai sudut pandang pada lintas waktu sesuai dengan judulnya: seputar proklamasi kemerdekaan. Dimana Jepang telah menyerah kalah pada Sekutu, NICA yang berusaha kembali dengan datangnya Sekutu, hingga meletusnya Agresi/Clash ke 1 dan 2. 

Kesaksian dalam buku ini dibuka dengan bab yang memperbincangkan tanggapan para ahli dan pelaku sejarah terhadap buku memoar tulisan Bung Hatta, "Sekitar Proklamasi". Memoar itu lantas menjadi pembahasan karena berhubungan dengan isu soal kedatangan Sekutu di bawah komando Admiral Patterson yang menjadi referensi Bung Hatta saat itu untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang. Melalui bab ini, Bung Hatta dengan sangat legowo menerima kritik terhadap memoarnya. Perbincangan dengan perantara media cetak memberi kita pelajaran bahwa saling mengkritik itu wajar demi tujuan sejarah yang lebih jelas serta dalam tatanan yang bersahabat. 

Memasuki bab kedua, agaknya pembaca diajak untuk lebih mendalami kejadian-kejadian atau peristiwa yang berlangsung seputar saat penentuan teks proklamasi, peristiwa Remgasdengklok, hingga Proklamasi itu sendiri. Teks proklamasi yang otentik itu menjadi bahasan tersendiri oleh sejarawan Nugroho Notosusanto. Ada juga dua catatan panjang mengenai orang-orang Indonesia yang melakukan mogok masal pada perusahaan Belanda, KPM, di Australia sana usai mendapati kabar Indonesia merdeka. 

Aksi-aksi heroik nan memukau yang tidak pernah tercatat dalam buku Pelajaran Sejarah Indonesia manapun diungkap pada bab ketiga. Tentang suka dan duka usaha penyiaran Proklamasi ditengah kedatangan pasukan Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang. Sila baca dan resapi catatan perjuangan mereka-mereka yang bekerja bahu membahu di pedalaman demi menjaga utuhnya Republik Indonesia. 

Pada bab keempat, diungkap keterlibatan Jepang dalam hubungannya dengan Proklamasi Kemerdekaan. Peran Laksamana Tadashi Maeda beserta koleganya yang bersama-sama hadir pada penyusunan naskah otentik Proklamasi. Jangan heran bila pembaca mendapati silang pendapat mengenai versi sejarah yang selama ini beredar. Bahwa memang kita sendiri kurang antisipatif terhadap berkembangnya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dalam sudut pandang Jepang. Khusus mengenai hal ini, justru dapat menjadi awalan bagi para sejarawan untuk menilik lebih dekat dan meneliti kembali perihal wacana tersebut serta meluruskannya dengan fakta-fakta yang ada dan objektif. 

Secara keseluruhan, buku ini adalah sebuah kliping koran (harian Kompas dan Intisari) yang mengalami proses klasifikasi dan identifikasi tertentu sebagai buah riset dokumentasi yang sistematis. Dengan begitu, hal ini membuktikan bahwa ketertarikan terhadap sebuah sumber sejarah tertentu tidak hanya berupa kesaksian tertulis dalam bentuk buku semata, tetapi juga dapat berawal dari sebuah kolom artikel di koran. Untuk ini, kita patutnya bersyukur pada usaha yang demikian itu demi terjaganya obyektivitas sejarah. 

Judul           : Seputar Proklamasi Kemerdekaan
Penulis        : Hendri F. Isnaeni (ed.)
Penerbit       : Penerbit Buku Kompas
Tahun           : 2015
Tebal.           : 258 hal. 
Genre           : Sejarah Indonesia

Bumi Asri, 29 November 2015. 

Emergency Couple (lagi)




Minggu lalu, saya menonton kembali kisah Oh Jin Hee dan Oh Chang Min. Tentu saja, masih di serial drama Korea, Emergency Couple. Saya mulai dari episode 13. Tepatnya dari keping DVD nomor 3. 

Tidak ada pilihan khusus mengapa harus memilih episode itu. Yang jelas, random saja karena saya juga tidak terlalu hafal alur cerita setiap episode. Saya pun tidak menonton dengan serius. Hanya sepintas lalu saja sembari menidurkan diri. 

For your information, Emergency Couple bulan Oktober lalu baru saja mendapatkan tiga penghargaan pada ajang DramaFever di New York sana. DramaFever adalah situs penyedia streaming drama dari USA. Penghargaan diterima untuk Drama Terbaik, Aktris Terbaik, dan Drama paling banyak distreaming sejagad USA. 

Dalam rentang episode 13 hingga 16 ini ada sesuatu yang menggelitik saya hingga harus menuliskan memori atas penontonan kembali serial itu. Oh Chang Min sudah membulatkan tekadnya untuk memulai kembali dari awal dengan Oh Jin Hee. Itulah masalahnya. Saat dimana Oh Jin Hee sudah melupakan semua yang telah terjadi diantara mereka. Satu waktu dimana Oh Jin Hee mulai merasa perlu membuka hatinya kembali pada orang baru. Bahkan, Oh Chang Min sempat merusak makan malam Jin Hee dengan Chief Chon Soo. 

Oh Chang Min rupanya menyenangi idenya sendiri untuk memulai kembali dengan Oh Jin Hee. He just like the idea of falling in love, again. Hal ini mengingatkan saya pada satu tokoh dalam buku 'Traveler's Tale: Belok Kanan Barcelona'. Francis Lim yang cintanya pada Retno terhalang jurang perbedaan yang amat dalam, masih tidak bisa membiarkan dirinya dalam tanda tanya besar. Francis mengejar Retno kemanapun ia pergi demi sebuah jawaban. Francis just like the idea of falling in love, pada orang yang sama. 

Anyway, tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang hubungan antara dua kisah fiksi diatas. Misalnya, tentang kenapa kisah Francis dan Retno tidak sedramatis drama-drama Korea. Lagipula, keduanya hanyalah hasil pembacaan dan penontonan kembali. Bukan atas hasil analisis yang tak terbantahkan. 

Bumi Asri, 28 November 2015. 

Kamis, 26 November 2015

Indonesia X-Files: Catatan Seorang Ahli Forensik

Kebenaran, sedalam apapun disembunyikan ia akan menampakkan dirinya. Kesan itulah yang saya dapat dari pembacaan buku ahli forensik yang sangat berpengalaman mengolah berbagai kasus besar di Indonesia. Saya kagum, bahwa dengan kesibukannya beliau masih mampu menuliskan pengalamannya menangani kasus-kasus besar. Sebut saja Tragedi Trisakti dan Tragedi Semanggi. Lagi, mengenai kasus kematian aktivis HAM, Munir. Usaha beliau dalam menyibak fakta-fakta tersembunyi patut diacungi jempol dan diapresiasi setinggi-tingginya, ditengah usaha pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyembunyikannya.



Buku ini dibuka dengan pengantar dari pengacara kondang (yang kini tersandung kasus) O. C. Kaligis dan kriminolog Adrianus Meliala. Pendapat mereka sangat membantu dalam pembacaan kisah-kisah penulis karena dapat menjembatani pengalaman awam pembaca terhadap penulis. Penulis sendiri dengan pengalaman yang cukup panjang dalam berkiprah di bidang kedokteran forensik menyuguhkan tulisan-tulisan yang logis, ilmiah, dan faktual.
 
Menarik untuk menyimak penuturan penulis pada bab pertama. Penulis mengungkapkan berbagai temuannya seputar tragedi Semanggi, kematian aktivis buruh Marsinah, keanehan seputar peristiwa meninggalnya Bung Karno, hingga tragedi penembakan Nasruddin dan misteri dibalik meninggalnya aktivis HAM, Munir. Beliau menulis banyak soal kejanggalan-kejanggalan dan fakta tersembunyi dalam semua kasus tersebut. Ada banyak temuan-temuan yang faktual namun entah bagaimana mereka tidak pernah tersampaikan atau tampil menghiasi media massa. Dengan begitu, hilangnya nyawa dan selesainya kasus berhenti pada kesimpulan sementara semata. Tanpa mengindahkan fakta-fakta yang menyebabkan terjadinya kejadian-kejadian tersebut.
 
Memasuki bab selanjutnya, penulis menghadirkan sekelumit kisah tentang keterlibatan bidang kedokteran forensik dengan perkara kepolisian. Penulis agaknya sengaja membuat pendekatan yang lebih ilmiah agar peran kedokteran forensik dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar dan masuk akal dalam mengungkapkan satu kasus kejahatan/kriminal atau kecelakaan. Penulis mengambil contoh kasus dari beberapa kejadian penting yang melibatkan kasus kematian karena penembakan, ledakan, dan kecelakaan pesawat. Pada bab kedua ini, penulis lebih memberikan penekanan terhadap manfaat dan kegunaan kedokteran forensik.
 
Penulis juga tidak melepaskan perhatiannya kepada kasus kejahatan narkotika dan psikotropika serta pengaruh alkohol dalam kedokteran forensik. Penulis mengungkap juga satu kasus besar soal narkotika yang melibatkan Zarina, sang Ratu Ekstasi. Pada bab ketiga ini, penulis tidak terlalu banyak menulis pengalamannya.

Pengalaman penulis tidak terbatas hanya pada kasus kriminal yang melibatkan orang dewasa. Penulis juga mengungkap beberapa kasus yang pernah ditanganinya dalam hal kekerasan seksual dan kejahatan terhadap anak. Dalam bab ini, penulis banyak mengungkapkan pendapatnya mengenai kasus bayi tertukar, bayi hasil dari aborsi, pedofilia. Termasuk, kasus mutilasi anak dengan modus yang sama sekali baru dimana pelaku memotong korbannya dalam beberapa bagian dan disebar di berbagai tempat.
 
Bab 5 ditandai dengan judul yang menyatakan kedokteran forensik sebagai “pisau” ilmiah. Namun, bab ini lebih membahas seputar hal-hal teknis dari kedokteran forensik itu sendiri. Untuk membedakannya dengan bab-bab sebelumnya. Pada bab terakhir, penulis memberikan keterangannya sekali lagi pada beberapa kasus pembunuhan, mutilasi, kematian Marsinah, hingga kematian Fathurahman Al Ghozi, tertuduh teroris yang meninggal di Filipina dan sempat membuat hubungan Jakarta-Manila menegang beberapa tahun silam.
 
Harus diakui bahwa tidak banyak ahli yang mampu menuliskan berbagai pengalamannya selama berkecimpung dalam satu bidang keahliannya. Adalah satu kekhususan dimana penulis mampu menuliskan beberapa kasus penting yang turut melibatkannya dalam pemeriksaan forensik. Perlu dicermati bahwa penulis menyertakan fakta-fakta yang jarang atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh publik. Saya mencermati pada kasus Munir, keterangan yang diberikan pada buku adalah sama dengan keterangan yang penulis berikan pada wawancara atau pun coverage media cetak lainnya. Dengan demikian, tidaklah terlalu salah bila buku dilabeli voice of voiceless.

Judul          : Indonesia X-Files
Penulis       : Abdul Mun'im Idries
Penerbit      : Noura Books
Tahun         : 2013
Tebal          : 359 hal.
Genre         : Memoar-Kedokteran Forensik


Halim Perdanakusuma, 26 November 2015.

Senin, 16 November 2015

Seminggu



Nak. Catatan ini ditulis ketika usiamu menginjak seminggu tanggalan kalender masehi. Pada hari dimana kamu diperbolehkan pulang usai menjalani terapi penyinaran akibat kadar bilirubinmu yang naik. 

Nak, perlu kamu tahu bahwa kelahiranmu adalah hal paling terbaik yang pernah terjadi kepada Bapak dan Ibu. Kami bersyukur kepada Allah SWT karena engkau lahir dengan selamat dan sehat. Kami sudah sangat menantimu sejak hasil USG 4-dimensi menampakkan garis wajahmu. 

Menurut Dokter Triani, kamu akan lahir pada tanggal 6 November 2015. Tanggal yang sama ketika Bapakmu bekerja pertama kali di Jakarta. Hari yang sama ketika Sir Alex Ferguson mulai melatih MU. Setelah Ibumu mengambil cuti di awal untuk mempersiapkan kelahiranmu, rupanya tanggal kelahiranmu ikut bergeser. Namun, itu bukanlah masalah. Kami tetap menantimu. 

Proses kelahiranmu dimulai dengan induksi. Terhitung sejak hari Minggu, 8 November. Dimana konspirasi Spanyol mengalahkan Valentino Rossi yang gagal menjadi Juara Dunia MotoGP namun memenangi semua simpati penontonnya. Proses itu bukanlah hal yang mudah bagi Ibumu. Kontraksi yang dialaminya membuat Ibumu kerap mencengkeram erat jemari Bapak. Manusia berusaha dan Tuhan pula menentukan. Induksi hanya berhasil membuka jalan lahirmu hingga pembukaan 5. 

Inilah saat yang paling berat untuk Bapak. Dimulai ketika para suster dan dokter mempersiapkan Ibumu untuk  naik meja operasi demi menyelamatkanmu. Saat itu Ibu sudah puasa dua kali selama enam jam. Bapak tahu betapa lemahnya Ibumu. Namun, Bapak tetap berdoa karen dari hasil tes denyut jantungmu, hasilnya bagus, normal, dan stabil. Proses Sectio Caesaria pun dimulai. Bapak menandatangani persetujuan agar segera diambil tindakan. 

Nak, satu lagi hal yang paling berat untuk Bapak selama Bapak menikah dengan Ibu. Adalah ketika mengantarkan Ibumu ke Ruang Operasi di lantai 3. Bapak bisa membayangkan betapa besarnya kekuatan dan pengorbanan Ibumu. Bapak hanya sanggup menahan air mata sembari menciumi kening dan pipi Ibu. Bapak tidak mau kelihatan cengeng dan melankolis seperti lagu-lagu Almarhum Rinto. *abaikan *lupakan

Bapak masih menangis di kamar mandi ketika dipanggil Suster untuk menandatangani beberapa hal. Kau tahu, Nak. Nenek Haji, Eyang Uti, Eyang Kakung, dan Aunty Feby tidak begitu menampakkan raut muka tegang. Mereka berhasil menenangkan Bapak hingga Bapak mau makan nasi jatah makan malam Ibu yang belum disentuh. 

Bapak menunggu cemas sembari berdzikir dalam hati. Semoga engkau dan Ibumu selamat. Hanya ruangan tunggu sepi dan sesekali terdengar suara Haji Muhidin. 

Bapak sedang merebahkan diri di kursi tunggu ketika suster memanggil masuk ke ruang operasi. Bapak khawatir terjadi sesuatu pada kamu atau Ibumu. Tak lama, Bapak mendengar kabar gembira: bahwa engkau telah lahir dengan selamat. Kamu tepat ada di hadapan Bapak, di dalam kotak perawatan, dengan rambut acak-acakan dan sedikit gumpalan darah tipis. Bapak segera menandatangani surat kelahiranmu. 

Hari Senin, 26 Muharram 1437H, 9 November 2015, pukul 21.48 WIB. Engkau lahir dan resmi menjadi anggota terbaru keluarga kecil kami. 

Bapak diminta menemanimu kembali ke IGD Kebidanan, tempat kamu akan dibersihkan sembari menunggu Ibumu sadar dari pengaruh bius. Bapak bilang sama Nenek Haji bahwa engkau sudah lahir. Kau perlu tahu, bahwa Eyang Kakungmu begitu bahagia dengan kabar itu. Itu adalah pelukan bahagia kedua dari Eyangmu, setelah di hari wisuda sarjana Bapak. 

Menemanimu di ruang bebersih adalah momen yang sangat Bapak nikmati. Bapak mengumandangkan Adzan dan Iqamah di kedua telingamu. Alangkah bergetarnya hati Bapak ketika engkau tersenyum. Mungkin, ini adalah adzan pertama Bapak setelah lomba adzan di TPA. Dulu sekali. 

Suster segera membersihkanmu. Bapak semakin bergetar mendengar tangisanmu. Tak lupa Bapak merekam momen itu lewat kamera ponsel. Bapak seakan merasakan sakitmu ketika suntikan pertamamu, Vitamin K, mendarat mulus di paha kirimu. Bapak berdoa semoga kelak engkau senantiasa sehat. Usai pengecekan fisik, mandi, lalu engkau dibalut bedong, tugas Bapak adalah menggendongmu. Bapak menggendongmu untuk pertama kalinya. Engkau pun hanya tertidur dan memejamkan mata sementara si suster mengambil foto untuk kenang-kenangan saat engkau pulang nanti. 

Perjuangan selanjutnya adalah membangunkan Ibumu dan membawanya ke ruang perawatan. Bapak segera memeluk Ibu dalam tidurnya. Ibu tersadar dan langsung memintamu untuk ada di sampingnya. Tak lama engkau pun datang. Betapa bahagianya Ibumu saat itu. Ibu selanjutnya berusaha membuatmu mengenal ASI. 

Sepanjang malam pertama itu Bapak tidak akan pernah lupa dengan tangisanmu. Kamu begitu unik. Biar punya tempat tidur sendiri di kotak bayi, kamu selalu menangis tak lama sesudah Bapak baringkan. Ibumu sudah tertidur lelah bersama Nenek Haji disampingnya. Tinggallah engkau dan Bapak. Bapak menggendongmu hingga pukul setengah lima pagi. Saat menggendongmu itu Bapak rasakan betapa damainya jiwa dan ragamu. I would spent my time just to seeing you like this, Son. 

Tangisan pertama di pagi hari menandai keluarnya faeces pertamamu. Puluhan pesan daro handai taulan soal kelahiranmu di SMS, BBM, dan WhatsApp ikut membuka pagi pertamamu. Bapak sudah lelah ketika pagi menjelang. Ketika Bapak bangun, hanya ada kamu dan Ibu yang sedang tidur. Kamu pun menangis lagi. Seperti tahu Bapak sudah sedia menggendongmu lagi. Sepanjang siang hingga malam tak hentinya kamu menangis ketika akan Bapak baringkan ke tempat tidur. Ibu juga semakin berusaha memompa ASI untukmu. Walau masih sedikit tetapi kamu sudah mulai terbiasa. 

Dua malam bersamamu rasanya tidak pernah cukup. Bapak harus kembali ke Jakarta, melanjutkan Initial FOO Course. Mau tidak mau, suka tidak suka, Bapak harus membesarkan hati Bapak untuk berani dan 'tega' meninggalkanmu. Sepanjang jalan, Bapak hanya bisa menatapi dan menciumi fotomu. 

Senang hati Bapak ketika Ibumu sudah diizinkan pulang. Ibu semakin bersemangat menyusuimu. Dari foto-foto kiriman Eyang dan Auntymu, Bapak bisa lihat kebahagiaan dalam pancaran sinar matamu. 

Sampai tiba pada hari Sabtu lalu, dimana kamu dinyatakan kuning dengan kadar bilirubin 17 dan harus menjalani rawat inap selama dua hari. Saat itu, Bapak tidak bisa pulang karena masih ada kelas. Bapak bisa bayangkan Ibu dan Eyang Putrimu yang menangis. Bapak pun sudah siap dengan kabar itu sejak Eyang Kakung mengirim foto dengan mata yang agak kuning. 

Malam minggu Bapak pulang. Eyang Putri sudah tenang. Ibu juga tampak tenang. Besok, Bapak dan Ibu akan datang kepadamu. 

Adalah sangat tidak menyenangkan untuk datang ke rumah sakit demi melihat yang tercinta hanya bisa terbaring lemah. Melihatmu bertelanjang dada dalam pose tidur yang merdeka dibalut sinar biru adalah hal yang menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Demi kesehatanmu kelak, Bapak dan Ibu harus menanti kesembuhanmu. Rupanya, karena golongan darahmu sama dengan Bapak sehingga kemungkinan kuningmu lebih besar. 

Untung saja, segera tiba waktunya kamu disusui. Kami khawatir karena susu formula yang diberikan padamu selama masa perawatan akan mempengaruhi kemampuanmu mencerna ASI. Yang terpenting, Bapak dan Ibu bisa menggendong sekaligus menyusuimu. Kami hanya sebentar, barang setengah jam saja melepas kerinduan. Bapak harus kembali ke Jakarta dan Ibu menanti serta mendoakanmu di rumah. 

Hari ini, ketika Bapak menulis catatan ini, Bapak merasa senang dengan kepulanganmu. Bapak juga senang dengan kabar bahwa kamu sudah mulai bisa menyusui pada Ibu. Tidak melalui feeder cup dan sendok lagi. Bapak terus berdoa semoga engkau terus tumbuh sehat dan menikmati ASI dari Ibu. Percayalah, Nak. Bapak pun rindu sangat kepadamu. Menggendongmu hingga terlelap  adalah selalu Bapak nantikan. 

Selamat, Nak. Selamat atas kepulanganmu. Selamat ulang tahun seminggu pertamamu. 


Dharmawangsa, 16 November 2015. 

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...