Kamis, 22 Juli 2010

3 Hati 2 Dunia 1 Cinta: Elegi Hari Nanti (Edisi Kritikus Dadakan)

Seorang pemuda muslim. Seorang gadis katolik. Will they live happily ever after?

Intisari dari film ini kurang lebih seperti disebutkan diatas. Tetapi, kesan pertama saya terhadap film ini adalah: Henidar Amroe is Back! Stunning! Rupanya, ia membuktikan ucapannya pada suatu interview di acara Just Alvin! Henidar is on-screen, yeah!


Film garapan Mizan Production ini mengangkat tema yang universal dan masih membalas isu yang sama, perbedaan. Perbedaan keyakinan antar tokoh-tokoh utama dalam film ini menjadi tema sentral yang menjadi roh dalam film garapan Benni Setiawan ini. Diceritakan bagaimana Rosid (Reza Rahadian) yang terobsesi menjadi seorang sastrawan wannabe inspired by W.S Rendra berhubungan dekat dengan Delia (Laura Basuki), seorang mahasiswi dari keluarga berada. Keberadaan sastra sebagai bumbu lain di film ini juga cukup membangkitkan kenangan penonton terhadap syair-syair Rendra. Saya terkesan dengan potongan dialog antara Rosid dengan Martha (Ira Wibowo), Ibu dari Delia, “Mama pikir setelah Rendra nggak ada lagi yang mau jadi sastrawan...”.

Hubungan Rosid dan Delia pun semakin berjalan selayaknya kaum muda yang sedang bercinta. Mereka cenderung menjalani perbedaan dengan apa adanya dan saling menghargai satu sama lain. Akan tetapi, konflik baru timbul ketika kedekatan mereka mulai beralih menjadi sesuatu yang serius. Ada beberapa adegan yang menampilkan rapuhnya nilai-nilai dan sendi-sendi kehidupan masyarakat kita. Betapa kecurigaan dan prasangka terhadap sesuatu yang terlanjur melekat dalam keseharian kita menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

Dalam satu adegan digambarkan bagaimana keributan yang terjadi hanya karena perkumpulan yang dibentuk Rosid dan teman-temannya. Kejadian itu pun akhirnya diselesaikan dengan jalan keributan, jalan yang selalu ditempuh beberapa warga masyarakat kita untuk menyelesaikan masalah. Hal ini menampakkan bahwa kebenaran itu bukan sesuatu yang mutlak dan ada di masing-masing kepala. Sehingga, terjadilah benturan yang tidak diinginkan atas dasar prasangka dan kehendak umum-yang kadang-kadang menyesatkan. Bila dicermati lagi, scene itu terkesan mirip dengan beberapa kejadian yang pernah terjadi sebelumnya di Indonesia ini. Kekerasan telah jadi bagian hidup di Negara yang warganya dikenal ramah dan damai.

Konflik utama dari keseluruhan cerita adalah ketika keseriusan Rosid untuk menikah dengan Delia mendapat tentangan dari pihak-pihak yang berkepentingan: keluarga. Sampai disini, penonton seakan disadarkan kembali bahwa pernikahan adalah bukan hanya sekedar ikatan dua anak manusia, tetapi lebih dari itu. Pernikahan pun melibatkan dimensi-dimensi lain dalam ruang kehidupan seseorang, keluarga itu jelas faktor utama selain lingkungan yang ikut menentukan. Maka, ketika dua dunia meminta dipersatukan timbullah berbagai persoalan. Mulai dari orang tua Delia, Frans (Robby Tumewu) dan Martha yang berniat menyekolahkan Delia ke Amerika dan orang tua Rosid dengan mencarikan jodoh yang sealiran dengan mereka.

Prahara pun kembali muncul ketika 3 hati yang terlanjur bermain dengan perasaan itu bertemu satu sama lain. Nabila (Arumi Bachsin) yang tampil anggun dibalik kerudungnya, rupanya berhasil memikat hari Rosid. Namun, ketika Delia menanyakan tentang kesungguhan Rosid, maka Rosid pun terperangkap pada kenangan masa lalunya bersama Delia. Kesungguhan mereka kembali diuji.

Akhir cerita, Delia dan Rosid akhirnya sepakat pada takdir. Mereka biarkan takdir membawa nasib mereka masing-masing. Delia dan Rosid sepakat pada kata-kata mereka dulu, “Kita liat aja nanti...”.


Catatan Akhir Seorang Kritikus Dadakan

Pada akhirnya, Rosid, Nabila, dan Delia menjalani takdirnya masing-masing. Tidak satupun dari mereka bersatu kembali dalam satu ikatan. Memang nasib takdir tidak menentu. Hal ini semakin menegaskan bahwa ketika anda berpikir bahwa anda bisa mengendalikan segalanya justru yang terjadi adalah kebalikannya: everything’s out of control.

Dalam diskusi seusai pemutaran film Romo Benny Susetyo dan satu pembicara yang saya lupa namanya, mempersoalkan tentang ending dari film yang konon diangkat dari Novel Best Seller dengan judul yang sama. Bagi kedua komentator, selain jalan cerita yang memang mencerminkan perilaku masyarakat kita ditengah himpitan dan benturan antara nilai-nilai modernitas dengan budaya serta tradisi, ending dari film tadi haruslah jelas dan berujung pada satu kesimpulan (conclusion) agar tidak menimbulkan berbagai macam pretensi. Akhir cerita yang demikian tersebut diharapkan mampu memberikan suatu gambaran atau solusi bagi penonton yang kebetulan mengalami kejadian yang sama.

Akan tetapi, saya yakin bahwa ending yang ditampilkan dalam film sudah merupakan suatu keindahan tersendiri. Dalam satu tulisan, saya pernah membaca bahwa karya sastra yang baik adalah karya yang memberikan kesempatan bagi pembaca untuk menentukan kesimpulan masing-masing. Rasanya tidak berlebihan bila ending dari film ini kemudian berakhir dengan memberikan wacana bagi penonton, sama halnya seperti ciri karya sastra yang baik diatas.

Mempersoalkan perbedaan kini bukan lagi hal yang tabu. Perbedaan itu lumrah karena pada dasarnya kita mengalami pengalaman demikian setiap harinya. Tinggal bagaimana menyikapi perbedaan sebagai keberagaman dalam masyarakat yang multikultur. Dibutuhkan lebih sekedar sekedar pengertian dan pemahaman terhadap konteks keberagaman. Kesenjangan yang menimbulkan gesekan antara nilai-nilai modernitas gaya barat dan nilai-nilai tradisional, seperti terdapat dalam novel Atheis, dapat diminimalisir dengan berbagai cara, diantaranya dialog antar budaya. Menyikapi perbedaan dalam heterogenitas masyarakat mutlak diperlukan untuk mengembalikan dan menegakkan kembali nilai-nilai humanisme universal yang terlanjur pudar dalam wajah masyarakat kita.


Paninggilan, 21 Juli 2010 23.56


*dengan ingatan pada Nonton Bareng & Diskusi Film, 3 Hati: dua dunia, satu cinta, 10 Juli 2010 di Pondok Indah Mall.

Sabtu, 17 Juli 2010

Setelah Malam Ini

Setelah malam ini
Ratu Sofia masih harus berpikir
Akankah Catalan dimerdekakan
Seperti Habibie melepas Timor Timur

Setelah malam ini
Hanya tinggal sisa cerita
Tentang keinginan-keinginan tanpa batas
Menuju horison terasing*


Setelah malam ini
Masih ada rasa mengusik
Tentang nama yang tersirat
Laki-laki lain dalam secarik surat**

Setelah malam ini
Angin berdebar menyebar impresi
Dan malam kian mendendangkan sunyi
Aku (masih) sendiri



Paninggilan, 12 Juli 2010. 03.59


ditulis usai Spanyol mengalahkan Belanda, 1-0 di Final Piala Dunia 2010

* Horison Terasing, satu judul pameran yang pernah diselenggarakan di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
** Laki-laki Lain dalam Secarik Surat, Kumpulan Cerpen Budi Darma, Bentang Pustaka, 2008


NB: judul diatas sama dengan judul lagu Kahitna, Setelah Malam Ini, album Permaisuri (2000)
crossposting dengan judul yang sama dari sini

Kamis, 08 Juli 2010

Obituari 2 Maestro

Belum usai menuliskan isi kepala tentang Abdullah Totong Mahmud, baru saja saya mendapat kabar bahwa Achdiat Karta Mihardja meninggal dunia.

*

Ambilkan Bulan, Bu.


Beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan Mei entah apa yang merasuki saya waktu itu, saya menjadi sangat ingin sekali mendengarkan lagu Ambilkan Bulan. Thanks God it’s 4shared. Menjelang tidur, saya selalu memutar lagu itu sebagai pengantar. Pertama kali mendengar tahu ada lagu anak-anak seperti itu kira-kira sekitar medio 1997. Entah Tasya atau siapa yang menyanyikannya, kalau tidak salah ingatan yang tersisa di kepala saya adalah model yang jadi Ibu si anak di video klipnya adalah Maudy Koesnaedi.


Adalah suatu perasaan yang mengagumkan untuk mengenang sang pencipta lewat karya-karyanya. Apalagi kalau ternyata karyanya abadi dan selalu menjadi pertanda zaman. Mengenai lagu itu juga ada alasan emosional sehingga saya tidak pernah bosan memaksa si Ngipod untuk memutarbalik playlist. Menurut saya, kekuatan lirik yang sangat dahsyat tercermin dari lagu ini. Saya sendiri tidak pernah punya pengalaman untuk sekedar memintakan bulan pada Ibu. Barangkali karena saya anak laki-laki jadi Ibu tidak pernah menjadi Ibu yang diperankan dalam video klip lagu ini.

Saya tidak menyangka bahwa ditengah guyuran hujan dan gemuruh dari langit pada siang 8 Juli kemarin bangsa Indonesia telah kehilangan seorang maestro lagu anak-anak. Mendengar kabar wafatnya Pak A.T. Mahmud saya hanya bisa diam sambil memutar lagu itu dikepala saya, berulang-ulang. Semoga bulan pun ikut menerangi jalan keabadian Pak Abdullah.

Lelaki kelahiran Palembang, 3 Februari 1930 yang juga sahabat Prof. Emil Salim semasa SMP itu kini telah tiada untuk selamanya. Namun, karyanya akan tetap abadi. Selalu dikenang sepanjang masa oleh mereka yang tak pernah lupa akar rumput bangsanya.

Achdiat K. Mihardja


Perkenalan saya dengan Begawan sastra yang satu ini dimulai dengan cerpen beliau yang dimuat dalam Tokoh-tokoh Cerita Pendek Indonesia hasil kompilasi Korrie Layun Rampan sekitar tahun 2005. Judul cerpennya saya lupa. Tetapi dari biografi singkat penulisnya sudah barang tentu beliau ini adalah satu dari sekian banyak maestro sastra Indonesia. Buktinya, beliau menjadi Guru Besar yang mengajar Kesusasteraan Indonesia di Australia National University (ANU). Biografi singkat itu juga yang selalu menyemangati saya supaya suatu saat nanti harus bisa berlabuh di ANU, Canberra atau Monash di Melbourne. Saya mengenal lebih dekat sosok beliau melalui Majalah Horison edisi bulan April 2010.

Beliau lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat pada tanggal 6 Maret 1911 dan wafat pada usia 99 tahun di Australia sana. Ia pernah mengenyam pendidikan AMS-A Solo dan Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Semasa mudanya, beliau pernah bekerja sebagai guru di perguruan Taman Siswa, Redaktur Balai Pustaka, Kepala Jawatan Kebudayaan Perwakilan Jakarta Raya, dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1956-1961), dan sejak 1961 hingga pensiun sebagai dosen kesusastraan Indonesia pada Australian National University, Canberra, Australia.


Hingga hari ini belum ada satu pun karya beliau yang saya baca secara penuh. Kecuali tulisan cerpennya di buku Korrie Layun Rampan tadi. Awal-awal menulis di blog saya sering mengutip judul novel beliau lainnya, Debu Cinta Bertebaran, untuk dimasukkan kedalam tulisan. Keduanya adalah karya fenomenal yang mengalami cetak ulang di dalam negeri dan luar negeri. Akan tetapi, barangkali Atheis lah yang merupakan karya terpenting dari beliau. Waktu di SMA, penggalan novel Atheis seringkali jadi bahan soal dan pertanyaan di LKS (Lembar Kerja Siswa) Bahasa Indonesia.

Pada masanya, Atheis yang ditulis sekitar tahun 1940-an mengemukakan masalah baru yang belum pernah dikemukakan sastrawan-sastrawan lain. Terlebih lagi pada masa itu atheisme mulai di kenal di Indonesia. Pemikiran Karl Marx dan Frederick Nietzsche merasuki ranah pembicaraan kaum intelektual. Atheis menjadi satu bukti respon dan keterlibatan beliau dalam diskusi tentang atheisme.

Satu lagi yang membuat Atheis akan selalu dikenang dan melegenda dalam sejarah sastra Indonesia adalah isinya yang membahas benturan nilai-nilai antara theisme dengan atheisme dalam tatanan masyarakat tradisional Indonesia. Ada konteks ikatan pertentangan budaya antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern serapan dari Barat. Implikasinya terlihat langsung pada benturan antara nilai-nilai kepercayaan pada Tuhan di satu sisi dan nilai-nilai penolakan terhadap Tuhan di sisi lain*).

Selamat jalan, Aki. Doa kami bersamamu. Terima kasih untuk telah jadi pembeda, antara mereka yang memilih jalan Tuhannya dan mereka yang mencoba membuat jalan sendiri menuju keabadian yang kekal.


Paninggilan, 8 Juli 2010. 23.35


*) dikutip dari Majalah Horison, April 2010

NB: Profil A. T. Mahmud dapat dibaca di website Tokoh Indonesia

Komentator Dadakan #5: Duel Para Raksasa


Bila Piala Dunia 2010 ini diawali dengan hambarnya pertandingan yang miskin kejutan. Memasuki fase akhir penyisihan grup barulah kejutan mulai bermunculan. Italia dipaksa pulang dengan tertunduk usai dikalahkan Slovakia setelah sebelumnya Mexico berhasil menyudahi perlawanan Ayam Jantan dari negeri tempat lahir Napoleon. Babak 16 besar juga menghadirkan lagi kejutan. Inggris kalah dari Jerman, 4-1 dibayar tunai. Rakyat Inggris berduka menyaksikan sekumpulan pemain hebat hasil kompetisi paling wahid di dunia. Barangkali rasa pedihnya kurang lebih sama dengan ketika Hitler menghujani London dengan bom-bom yang dibawa Luftwaffe.

Final 1966, wasit mensahkan gol Inggris begitu saja padahal bola belum melewati garis gawang. Jerman Barat pun tak mampu melawan kenyataan bahwa Inggris berada di ambang tanah terjanji, beyond the promised land. Inggris juara dengan keputusan yang kontroversial. Sama kontroversialnya dengan di Afsel 2010. Sejarah berulang terbalik dan Tuhan (memang) Maha Adil. Bola yang sudah kadung masuk tidak dianggap sebagai gol. Rakyat Jerman bersorak, kini rakyat Inggris dan skuad nasionalnya tahu rasanya tersakiti oleh nasib, seperti yang mereka alami 44 tahun yang lalu.

Para Pemain Uruguay usai dikalahkan Belanda, 2-3

Kesedihan pun sama dialami Argentina dan Brazil. Seluruh negeri Argentina tertunduk lesu ketika Maradona, sang dewa bola bergelar “il nostro dio” gagal membesut Messi dan kompatriotnya menari tango untuk menggasak Jerman. Juga, tak ada lagi tarian samba semenjak Felipe Melo dikartu merah dan Brazil kalah dari Belanda, 2-1. Raksasa berguguran.

Tingkah laku fans Jerman usai Argentina kalah 4-1

Semifinal pun ternyata masih menyisakan pertarungan level raksasa. Raksasa yang masih kuat bertahan untuk mempertahankan hegemoninya di jagad persepakbolaan dunia. Tersisalah Spanyol, Jerman, Uruguay dan Belanda. Dua raksasa penuh gelar, Jerman dan Uruguay dan dua raksasa tanpa gelar, Spanyol dan Belanda. Jerman juara 3 kali, Uruguay baru 2 kali. Spanyol dan Belanda hanyalah raksasa kecil yang bergelar Juara Eropa.

Arjen Robben, usai menundukkan Uruguay

Belanda sudah terlebih dahulu memastikan tempatnya di final. Satu raksasa telah mereka taklukkan. Sejauh ini juga mereka telah membuktikan kesalahan hipotesis Uwe Seller, eks skuad Die Nationalmannschaft. “Belanda datang dan bermain di Piala Dunia hanya untuk menunjukkan kemampuan mereka, sedangkan kami (Jerman, pen.) datang untuk menang, itulah yang membedakan kami.”. Begitulah Uwe Seller menanggapi performa Belanda menjelang Piala Dunia dimulai. 25 pertandingan tanpa catatan kalah sekalipun adalah sebuah eksepsi atas hipotesis tersebut.

Kini, tinggal menunggu hasil ulangan partai Final Piala Eropa 2008, Jerman VS Spanyol. Aroma dendam masih menghiasi rivalitas kedua kutub sepakbola Eropa ini. Sepanjang penampilannya di Afsel, Jerman tampil sangat meyakinkan, kecuali pada saat kalah dari Serbia, 0-1. Permainan konsisten, disiplin tinggi dan ketahanan luar biasa membuat reputasi mereka sebagai tim turnamen semakin kuat.

Reaksi pemain Jerman usai mencetak gol ke-4,
Akankah kegembiraan Jerman kembali saat melawan Spanyol?

Agaknya, menjelang pertarungan melawan Spanyol, sempat beredar kabar yang dikhawatirkan memecah konsentrasi mereka. Konon, Michael Ballack masih berminat untuk menjadi kapten Der Panzer setidaknya sampai Piala Eropa 2012 bersaing dengan Phillip Lahm yang juga masih antusias untuk memimpin Jerman sampai beberapa tahun ke depan. Rivalitas keduanya dikhawatirkan menjadi sebab disharmoni dalam tim. Joachim Loew pun belum mau berkomentar tetapi menurut Oliver Bierhoff, hal itu tidak akan menjadi masalah bagi Jerman jelang laga lawan Jugadorios del Espana.

Phillip Lahm, sejauh ini tidak diragukan untuk kembali memimpin Jerman usai Piala Dunia

Menarik untuk disaksikan apakah Jerman berhasil mengatasi Spanyol, atau sebaliknya. Dua raksasa ini perlu untuk membuktikan kapabilitas dan reputasi mereka di kancah persepakbolaan sejagad. Satu syarat bagi Spanyol untuk bisa menjadi raksasa bergelar adalah harus mampu menyudahi perlawanan Bavarian Spielmacher. Entah dengan mematikan motor serangan mereka, Schweinsteiger atau dengan hanya menutupi pergerakan talenta muda Mesut Oezil. Jika Spanyol malah menjadi korban keganasan Jerman berikutnya, sudah tentu memori tentang ulangan Final 1974 kembali menyeruak. Johan Cryuff tentu akan bisa lebih memaknainya sambil berharap generasi emas Belanda saat ini mampu melunasi dendamnya.

Akankah juga kegembiraan seperti ini hadir saat Spanyol melawan Jerman?

Kalaupun seandainya Spanyol bertemu Belanda di final nanti, sudah tentu satu dari mereka akan mendapatkan gelar jawara sejagad pertamanya. Kekalahan bukanlah tragedi, kecuali jika kita mengambilnya dari Tuhan. Akankah Frisian Warriors, een soldats von Oranje, bertempur kembali dengan lawan mereka di 1974 atau malah mengadu nasib dengan Iberian Conquerors? Masalahnya, hanya tinggal menunggu waktu saja. Karena siapa pun juaranya, sudahlah tentu mereka yang paling siap untuk menerima takdir mereka sendiri: Juara Dunia 2010.


Paninggilan, 8 Juli 2010. 00.05

Dibuat jelang laga Spanyol VS Jerman

*) foto (c) Getty Images, direpro printscreen dari website FIFA


Rabu, 07 Juli 2010

Senja di Jakarta

Senja di Jakarta*

Senja di Jakarta adalah warna-warni kehidupan
deru kota membahana dalam ruang dan waktu

Senja di Jakarta adalah tentang gairah
tentang bagaimana menyambut malam
sambil berpikir mau apa besok?

Senja di Jakarta adalah tentang kisah
dari sekian banyak cerita ketidakadilan

Sebentar, aku hirup dulu aroma kopi buatanmu


Mungkin, kalau ikut aku kemarin
Kau pasti merengek minta pulang
Ketika si pengkhotbah bersuara
(lagi-lagi) tentang ketidakadilan
yang kini dialami anaknya
itulah dunia kita, Aninda

Senja di Jakarta
bagai asap rokok yang segera terseret angin
terkapar, terlindas, terhempas

Senja di Jakarta
masih menyisakan cerita
yang terus mengalun
entah sampai kapan


Jakarta, 6 Juli 2010. 22.10

')dengan ingatan pada cahaya senja yang berkilauan sepanjang Jalan Sudirman

* sama dengan judul novel karangan Muchtar Lubis, "Senja di Jakarta", diterbitkan Yayasan Obor Indonesia. Kabar terakhir yang saya terima, buku tersebut bisa dicetak ulang sesuai permintaan (print on demand).

Suatu Malam, Aku Berkhayal

Entah karena bosan sepanjang perjalanan dengan Metro Mini yang merambat dalam kemacetan Negara Bagian Tjiledoeg, aku berkhayal. Membayangkan suatu masa. Barangkali, usai menatap senja di Jakarta yang cahayanya bagai kilatan emas dalam semarak pantulan pencakar langit sepanjang Sudirman ada sesuatu yang mengganggu. Bukan juga karena si pengkhotbah yang juga jualan kopi itu. Disela-sela Kisah Para Rasul, aku mendengar kisah tentang ketidakadilan, kisah yang socially unfair. Itu menurut versinya.

Masih di Metro Mini sialan, ketika hidup (masih) terasa panjang, aku menulis sajak:

aku ingin menikahimu dengan sederhana
dengan ucapan yang tak lekat dengan kata

aku ingin menikahimu dengan sederhana
hanya berhias intan Martapura


aku ingin menikahimu dengan sederhana
tanpa bayangan senja di sela foto pre-wed
juga gegap gempita gedung resepsi di pojok jalan itu

aku ingin sederhana saja
karena aku masih belum tahu
apa makna yang disisakan ijab
itu cinta atau hanya rasa?


Jakarta-Tangerang, 6 Juli 2010. 19.47


*)dengan ingatan pada suatu sore tertanggal diatas, usai hujan reda, sehabis meet and greet, membahas revisi dan hal-hal lain yang belum selesai

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...