Jumat, 26 Maret 2010

Tea for Two: Kekerasan dalam Romantisme

Judul : Tea for Two
Penulis : Clara Ng
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2009
Genre : Novel Dewasa
Tebal : 312 hal.
ISBN :978-979-22-4332-1












Aku menulis namamu di gerimis

Gerimis jatuh di hatiku seperti nafas hangatmu
Pada senja yang temaram

Puisi indah itu sebagai bukti penanda kesungguhan cinta Alan yang membuat Sassy jatuh cinta. Namun, itu baru bisa ditemukan menjelang sepertiga halaman buku.

Tea for Two bukanlah sebuah cerita tentang menghabiskan waktu penuh cinta dengan pasangan sambil minum teh. Kalau memang begitu, rasanya lebih mirip dengan iklan produk teh. Tea for Two yang ini adalah perusahaan mak comblang yang dimiliki oleh Sassy. Saking cintanya, Sassy menganggap Tea for Two sebagai bayinya. Tea for Two bertujuan untuk menyatukan individu-individu dalam ikatan pernikahan.

Pada awalnya, cerita akan tampak indah seperti bayangan tentang pernikahan itu sendiri, tetapi aroma mencekam mulai tercium kala memasuki halaman persembahan dari penulis. Kisah pertama dimulai dengan honeymoon Sassy di Bali pasca pernikahannya dengan Alan. Secara tak terduga, tepat di hari kedua honey yang dibawa sang bulan tidak lagi terasa manisnya. Sassy mengalami kekerasan yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Alan tiba-tiba menjadi seorang pencemburu berat dan melampiaskan kekesalannya dengan menampar Sassy. Hanya karena tidak tahan melihat Sassy mengobrol dengan bule yang ditemuinya di dekat kolam renang hotel tempat mereka menginap.

Permainan alur cerita mulai terasa di halaman-halaman selanjutnya. Pembaca akan dibawa untuk lebih mengenal latar belakang cerita dan karakter tokoh-tokoh. Sassy adalah seorang tipikal perempuan karir muda mandiri khas metropolitan yang aktif, dinamis, dan workaholic serta dikelilingi sahabat yang menyenangkan. Karena pekerjaannya pula, Sassy mengenal Alan. Berawal dari sebuah perkenalan yang tidak disengaja, hal itu dengan cepat menjadi gerbang pembuka berseminya benih-benih cinta diantara mereka.

Awal yang menyenangkan bagi mereka berdua. Keduanya saling jatuh cinta. Cinta yang sungguh menggebu dengan segala impiannya. Makan malam romantis, buket bunga kejutan dan 150 kata cinta setiap hari, hanya jadi satu pertanda akan kesungguhan Alan untuk menikahi Sassy. Sassy benar-benar dibuat jatuh cinta oleh Alan. Impian-impian yang dulunya hanya dimiliki oleh Cinderella kini nampak jelas dimatanya.

Return to Prelude. Semua itu berubah ketika pernikahan Sassy tidak seperti yang diceritakan dalam kisah Cinderella. Pernikahan yang sedari bulan madu sudah dikotori dengan perilaku tidak terpuji seorang suami yang mencampakkan istrinya begitu saja hanya karena mengobrol dengan seorang bule. Usai pertengkarannya yang pertama, Alan serta merta meminta maaf pada Sassy dengan sebuah candle light dinner yang romantis. Alan berhasil memenangkan kembali hati Sassy dan Sassy kembali menuai harapan kebahagiaan bersama Alan.

Honeymoon sudah berakhir. Alan dan Sassy kembali pada kehidupan mereka semula. Alan pun berubah. Tak seindah dan semesra dulu. Alan lebih mudah tersinggung walau hanya gara-gara hal-hal kecil, seperti potongan rambut yang terlalu pendek dan hak sepatu Sassy yang terlalu tinggi. Yang lebih menyedihkan, Alan lebih sering melampiaskannya tidak saja dengan perkataan tetapi juga mulai mengarah pada kekerasan fisik. Sassy mengalami sendiri KDRT. Pernikahan yang tadinya akan membuka jalan bagi kebahagiaan ternyata tidak semudah yang diduga. Alan menampakkan bagian lain dari dirinya yang terkesan childish, self-centered, egois dan terlalu obsesif.

Ketika Sassy hamil, Alan sepertinya belum keluar dari kebiasaan buruknya dan semakin menekan Sassy. Sassy, yang masih beranggapan dirinya sedang mendaki jalan menuju kebahagiaan tetap berusaha untuk jadi istri yang sempurna untuk Alan walau memang rasanya menyakitkan. Ketika Emma, anak mereka lahir, Alan tidak tampak peduli sedikit pun sebagai seorang ayah. Dalam kondisi yang demikian dan situasi semakin bertambah buruk, Alan mencari pelarian dengan berselingkuh. Sassy dapat mengendus keadaan itu dan segera mengambil tindakan dengan mendekati selingkuhan suaminya itu. Tetapi, jangan harap pembaca menemukan cerita seperti di An Affair to Forget dimana si istri akhirnya berhasil bersahabat dengan selingkuhan suaminya sehingga si suami berhenti berselingkuh.

Akhirnya, Sassy sampai pada satu titik dimana ia benar-benar lelah dengan semua yang menimpanya. Tetapi, ia masih sulit membedakan batas antara kebahagiaan dan kekerasan yang dialaminya. Ketika Sassy dan Rose memergoki Alan dengan Malla di rumah mereka, Sassy merasa hidupnya sudah berakhir dan kebahagiaan yang selalu diimpikannya melayang entah kemana. Dukungan dari sahabat, orang tua, dan teman-teman yang sama-sama pernah merasakan KDRT membuat Sassy menemukan kembali makna kebahagiaan yang sesungguhnya.

Permainan alur cerita menjadi kelebihan buku ini. Tampaknya, penulis sengaja untuk melakukan permainan alur cerita untuk menggiring pikiran pembaca dengan tidak memberi judgement (penilaian) pada satu bagian cerita saja. Clara Ng cukup baik dalam memainkan karakter beserta latar, suasana, dan situasi-situasi lainnya yang mengiringi keseluruhan jalan cerita. Narasi cerita yang disampaikan dari dua sudut pandang juga ikut memberi kemudahan untuk lebih memahami jalan cerita.

Kekuatan seorang perempuan seringkali dinilai dari ketabahannya untuk menjalani berbagai ujian kehidupan yang menderanya. Ketabahan hati seorang perempuan yang digambarkan oleh Clara Ng bisa jadi merupakan suatu gugatan atas dominasi kaum pria dalam ikatan pernikahan. Maka dalam cerita ini maka jelaslah bahwa Clara Ng berusaha menghindari stereotip tentang perempuan sebagai pihak yang lemah dan seringkali tersakiti namun tidak mampu mengatasi kelemahannya. Clara Ng berhasil menggambarkan perempuan dalam berbagai wajah.

Melalui buku ini, pembaca diajak untuk lebih waspada dalam mengambil keputusan untuk menikah. Tea for Two menampilkan sisi lain pernikahan yang tidak selalu diiming-imingi dengan kiasan happily ever after. Ada kalanya pernikahan tidak selalu berakhir bahagia selamanya. Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah jembatan yang mempersatukan dua pribadi yang berbeda sehingga tumbuh saling pengertian dan saling memahami untuk saling melengkapi bukan untuk menyakiti.

Sebuah Otokritik

Awalnya, saya kira akan ada sebuah keindahan dan romantisme yang menggebu-gebu sampai akhir cerita. Namun, yang saya dapat adalah sebuah perasaan ngeri karena saya tidak menyangka bahwa KDRT (bukan Kekerasan Dalam Ranjang Tua) menjadi tema utama cerita ini. Saya pikir, isu KDRT ini hanya akan mengemuka sedikit saja dan tidak jadi permasalahan utama, tapi ternyata saya salah.

Perlu lebih dari sekedar keinginan untuk menamatkan bacaan ini. Saya sendiri membutuhkan mood yang cukup bagus untuk menyelesaikan buku ini. Sebagai laki-laki, dan subjek utama pelaku KDRT dalam buku ini, saya juga merasa sangat sedih kalau seandainya memang ada lelaki yang berlaku seperti itu pada istrinya. Pada kasus Sassy, ada benang merah diantara keduanya sehingga menjadi pembenaran bagi Alan untuk melakukan KDRT pada istrinya.

Tersirat bahwa Alan pernah mengalami kekecewaan dengan beberapa perempuan sebelum Sassy sehingga timbul keinginan dalam diri Alan untuk menjadikan istrinya sesuai apa yang diinginkannya dan tidak didapatkan dari mereka. Dengan alasan melindungi istrinya Alan berusaha mengubah Sassy menjadi perempuan yang sempurna dimatanya. Kenyataan seperti itu mengaburkan makna dari pernikahan itu sendiri yang seharusnya mampu menyatukan kedua pribadi yang memang jelas-jelas sudah berbeda tanpa kehilangan makna eksistensi pribadinya masing-masing.

Alan terlihat tidak begitu matang sebagai lelaki. Emosinya begitu meluap-luap. Seperti gunung, Alan terlihat begitu kuat dan tegar tetapi ternyata ia begitu rapuh. Dengan satu ledakan kekecewaan Alan dengan cepat berubah menjadi sosok yang menakutkan, tidak hanya sebagai suami tapi juga sebagai seorang ayah. Begitu teganya Alan membiarkan Sassy sendirian membesarkan buah cinta mereka hingga mencari pelarian yang lain. Alan berselingkuh dengan Malla setelah sebelumnya berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Sassy yang sudah terlanjur menderita dengan semua itu tapi masih percaya kata-kata Alan.

Sassy sendiri mencoba menutupi kepedihan masa lalunya dengan kebahagiaan dan mimpi-mimpi yang pernah Alan bawa. Sassy pun terjebak dalam angan-angan yang semakin kabur. Sassy tetap meyakini suatu saat hal itu pasti terjadi dan Alan akan berubah. Namun, kiranya Sassy lupa pada luka-luka yang telah Alan torehkan. Luka secara fisik maupun psikis akibat KDRT itu sendiri.

Novel ini bisa dianggap sebagai gugatan kaum perempuan atas dominasi kaum pria terhadap pernikahan. Sisi baiknya, adalah cerita ini mengangkat kisah seorang perempuan yang dengan kekuatannya untuk bertahan berhasil menemukan dan membangun kembali fondasi-fondasi kehidupannya yang terlanjur berserakan. Melalui Tea for Two, pembaca akan menemukan pembelajaran bahwa mencintai saja tidak pernah cukup bila ternyata kita tidak bisa saling memahami dan membiarkan pasangan kita menjadi diri mereka yang seutuhnya.



Paninggilan, Tangerang, 26 Maret 2010, 01.35

Kamis, 25 Maret 2010

Setangkai Mawar di Dahan Lain

Mbak,

Terima kasih atas perhatian Mbak selama ini. Kalau dihitung, sudah tiga bulan setelah e-mail terakhir saya. Saya merasa malu karena Mbak duluan yang menegur saya. Sekali lagi maaf, Mbak. Memang sejak kepindahan saya ke Tangerang saya belum sekalipun menghubungi Mbak. Rata PenuhRasanya, SMS yang terkirim kemarin itu cukup jadi alasan kenapa saya tidak segera memberitahu perihal kepindahan ini. Saya pikir Mbak tidak perlu tahu semua hal tentang kepindahan saya yang terasa mendadak ini, pun ketika Mbak nantinya bertanya tentang alasan-alasan saya meninggalkan kota tercinta. Saya memang pernah berniat untuk memulai segalanya kembali disana bersama Mbak. Terkadang, takdir Tuhan bekerja begitu cepat sehingga kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sebetulnya, semua itu nanti akan berujung pada muara yang sama. Jadi, izinkan saya tidak membahasnya disini. Lagipula, mungkin minggu depan saya akan sengaja menemui Mbak. Mbak tidak perlu tahu dimana dan kapan. Seperti biasa, saya akan kabari lagi nanti. Terus terang, saya juga perlu untuk bicara dengan Mbak. Bukan hanya Mbak saja, bahkan saya sekalipun punya sesuatu untuk sekedar kita bicarakan.

Tepat seperti yang Mbak duga, perhatian saya akhir-akhir ini memang teralihkan. Antara pekerjaan dan kesenangan, seperti biasa. Namun, semuanya terkendali. Tidak ada lagi alasan untuk memblokir internet hanya karena saya sering chatting dengan Mbak. Pun ketika saya hanya bermain Winning Eleven di Facebook karena file-file pekerjaan itu seperti kehilangan geregetnya. Sampai suatu hari, di sore yang mendung, tepat saat bubaran orang kantoran, saya duduk di depan televisi.

Mbak tentu masih ingat sinetron drama Korea terakhir yang terakhir saya tonton adalah yang judulnya Full House, yang satu karakternya bernama Han Ji Eun. Saya ingat ketika itu Mbak sering memainkan soundtracknya di laptop. Sambil memasang headphone di telinga, Mbak menyanyikan lagu dengan lancar tanpa suara padahal tak sekalipun benar-benar paham bahasa Korea. Sejak itu, saya tidak pernah lagi menonton yang begituan.

Seperti yang Mbak tahu, jarang sekali saya mau menonton televisi maka akan aneh jadinya bila saya tiba-tiba mau menonton televisi, apalagi di jam bubaran kantor. Tapi, begitulah takdir bekerja. Membawa kita pada suatu hal yang tidak pernah terduga sebelumnya. Waktu itu, saya tidak terlalu peduli dengan acara di sore itu, sebuah sinetron drama Korea. Lagipula, siapa yang mau menonton acara seperti itu di lobby yang penuh dengan lalu-lalang manusia pekerja. Karena, masih hujan dan tidak harus buru-buru pulang, saya jadi ikut menonton sinetron itu juga.

Waktu itu, entah karena saya menonton sejak episode-episode awal maka saya pun semakin penasaran. Saya selalu bergegas untuk menyelesaikan semua pekerjaan sebelum pukul lima sore. Suatu hal yang jarang bahkan tak pernah saya lakukan sebelumnya. Bila sudah tiba waktunya, kadang saya sengaja ikut nonton di dapur kantor atau tempat kumpul office boy. Mereka tidak protes sedikitpun karena sudah merasa cukup dengan rokok dan kopi yang saya bawa sehingga mereka tidak terlalu peduli untuk mengganggu saya menonton. Maka tak salah bila nenek saya gemar betul duduk berjam-jam sehabis maghrib sampai menjelang tengah malam hanya untuk menyaksikan sinetron yang selalu seperti itu. Sinetron yang produsernya itu-itu juga. Makanya, sampai hari ini pun saya selalu menantikan waktu itu tiba, untuk sekedar menonton sinetron itu. Saya merasa jadi seorang pasien dengan jadwal minum obat yang teratur. Betapa pun ceritanya sederhana dan masih tentang cinta. Namun, mengapa saya masih mau menontonnya hingga menantikannya setiap hari tentu tidak sesederhana itu.

Sinetron itu berjudul “Surgeon Bong Dal Hee”. Melihat judulnya, Mbak pasti sudah menebak kalau sinetron ini bertema rumah sakit atau minimal apapun yang ada hubungannya dengan bedah. Memang betul begitu dan Bong Dal Hee itu adalah nama aktris pemeran utamanya. Berlatar di rumah sakit Hankook University, beberapa dokter magang harus bekerja bersama dokter-dokter senior sebagai pembimbing mereka. Perasaan cinta yang mengintip dibalik pekerjaan dan tuntutan profesi diantara mereka jadi sedikit tabu karena menyangkut urusan profesi dan perasaan sehingga kadang menjadi konfilk. Belum lagi persoalan jadi semakin sulit kala diantara mereka ada yang mencintai orang yang sama. Kurang lebih ceritanya seperti itu. Berkisar dalam pekerjaan, kehidupan dan romantika dokter-dokter penghuni rumah sakit. Saya tidak perlu menceritakan serinci mungkin, Mbak. Saya tidak cukup piawai untuk bercerita tentang sinetron. Sekedar untuk Mbak tahu. Bagi saya pribadi, ada semacam ikatan khusus yang membuat saya merasa harus terus menyaksikan sinetron ini.


Bulan Juli lalu, pada diskusi buku “Olenka” karya Budi Darma, saya sempat bertemu dengan Kiai Maman. Bukan nama sebenarnya, tapi saat diskusi berlangsung “Kiai Maman” adalah panggilan untuk Maman S. Mahayana, bintang tamu yang menemani Budi Darma sekaligus pengajar sastra di FIB-UI. Saya sempat bertanya kepada keduanya sehingga pernah ada komunikasi terjalin diantara kami. Saat tulisan ini ditulis mungkin keduanya sudah melupakan saya.

Beberapa bulan kemudian, saya membaca majalah Horison. Kemudian, mata saya sampai pada halaman tentang tulisan Kiai Maman yang saya lupa judulnya, tapi di footage akhir tulisan, beliau hingga saat ini masih jadi Dosen Tamu di University Hankook, Korea Selatan. Karena itulah, saya merasa ada semacam ikatan perasaan (saya tidak tahu lagi harus bilang apa) antara saya dengan Hankook yang membuat saya semakin mencintai Dokter Bong.

Mbak, tentu dapat menangkap maksud saya kan? Mungkin terdengar sedikit naïf dan absurd tapi memang begitulah keadaannya. Mbak harusnya tertawa lebih puas dan lebih terbahak-bahak dari sebelumnya sekalian menertawakan kebodohan dan pendeknya jalan pikiran saya.

Saya sadar bahwa mungkin saja Mbak menertawakan saya seperti itu. Di pikiran Mbak tentu saja saya bukan seorang penikmat sinetron bahkan nonton film pun jarang. Mbak sendiri mungkin heran kenapa tiba-tiba saya jadi begini dan itu masih mungkin akan jadi pertanyaan di lain hari. Saya persilakan Mbak untuk menanyakannya di hari kita bertemu nanti.

Kadang saya berpikir, apakah Mbak akan cemburu bila saya ceritakan semua ini. Saya rasa sebagai seorang perempuan adalah wajar bila merasa cemburu karena saya telah mengabaikan perasaan Mbak hanya demi sesuatu yang remeh, demi seorang Bong Dal Hee yang hanya muncul di televisi, hanya untuk mendahulukan kepentingan saya, bukannya urusan kita berdua. Kalau muncul rasa cemburu akibat kebiasaan saya yang baru ini, bukan Mbak saja yang ikut merasakannya. Aninda pun merasakan hal yang sama, namun saya masih terlalu pengecut untuk menghadapinya dan membalas semua surat-suratnya.

Seharusnya, saya menelpon Mbak atau mengirim e-mail pada Aninda usai bubaran, bukan malah hanyut dalam cerita sinetron. Harusnya begitu, sampai pesona Bong Dal Hee begitu membuat saya begitu rindu akan kelanjutan kisah ceritanya. Saya memang cukup sadar untuk melakukannya. Saya tahu Mbak butuh teman bicara dan Aninda masih harap-harap cemas menantikan kabar dari saya. Saya tahu itu, Mbak. Namun, agaknya saya masih terlalu takut. Saya takut menghadapi perasaan saya sendiri.

Mbak, tolong jangan bicarakan hal ini dengan Aninda. Saya takut sinetron Korea itu jadi petaka dan sumber api cemburu buat Aninda. Apalagi kalau sampai Aninda tahu saya membuat tulisan ini untuk Mbak. Jauh-jauh hari sebelumnya, Aninda sudah merasa ada sesuatu yang membuat jaraknya dengan saya semakin jauh. Bahkan, pernah suatu hari Aninda mengubah namanya di Facebook menjadi Yang Terlupakan, demi usahanya untuk selalu mengingatkan dan menyindir saya. Sampai nanti, sampai tulisan ini selesai Mbak baca, saya masih merasa takut untuk membalas semua surat Aninda. Jangan tanya kenapa karena saya pun belum tahu jawabnya.

Bilang sama Aninda kalau saya baik-baik saja dan tolong yakinkan Aninda kalau bukan hanya dia saja yang belum menerima sepucuk kabar dari saya. Mbak yakinkan saja dia bahwa Mbak pun belum pernah sekalipun saya hubungi. Tolong jaga perasaan Aninda walau saya tahu itu juga akan membuat Mbak semakin terluka. Saya sepenuhnya sadar bahwa betapa pun manjurnya obat penyembuh luka tetap saja luka itu masih membekas. Bagai paku yang menancap di batang kayu lalu dicabut kembali sehingga menimbulkan bekas lubang. Seperti perumpamaan tadi, saya memang terlalu egois untuk membiarkan Mbak dan Aninda merasakan luka yang sama sedangkan saya sibuk dengan dunia saya sendiri.

Saya tidak mengharapkan pengertian Mbak atas keadaan saya. Dari apa yang saya tulis pun, saya yakin Mbak tahu apa yang saya inginkan. Maka, untuk kesekian kalinya, entah untuk yang keberapa kalinya, saya lagi-lagi harus mengucapkan terima kasih kepada, Mbak. Saya tidak akan meninggalkan janji di akhir tulisan saya. Saya masih terus berusaha untuk meredakan badai dalam hati ini yang selalu membuat saya enggan menulis untuk Mbak dan juga Aninda.

Maafkan saya, Mbak.




Paninggilan, Tangerang, 25 Maret 2010, 15.30

Selasa, 16 Maret 2010

Rashomon



Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang yang tidak suka (hal.162)



Frase diatas dapat ditemukan dalam cerpen berjudul “Hidung” yang ditempatkan sebagai cerita penutup. Kumpulan Cerpen berisi 7 cerita pendek dan beberapa diantaranya adalah karya termasyhur dari penulisnya. Sebut saja Rashomon, Kappa, Di Dalam Belukar, Benang Laba-laba, dan Hidung. Beruntung, semuanya ada dalam satu kumpulan buku ini sehingga kita diajak untuk lebih memahami cerita pendek macam apakah yang jadi karya terbaik dari penulis cerpen terbaik Jepang ini.

Rashomon

Cerita ini mengambil latar suasana kota Kyoto yang bertambah sepi usai didera bencana beruntun mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karenanya Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Rashomon sendiri sering dikaitkan dengan Rajomon yaitu pintu gerbang pada zaman Heian (794-1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti gerbang. Ketika itu, ibukota Jepang terletak di Nara.

Diceritakan, Genin (samurai kelas rendah) mendapati dirinya sedang berteduh dari hujan dibawah rashomon. Karena kedinginan dan dirinya mendapati pilihan untuk bertahan hidup atau mati lalu mayatnya dicampakkan di dalam menara dekat rashomon, Genin kemudian beranjak menuju ke atas menara. Genin menemui seorang nenek tua yang mencabuti rambut mayat-mayat yang bergelimpangan untuk membuat cemara. Genin pun memulai perkelahian dengan nenek tua itu. Entah mendapatkan keberanian dari mana, Genin yang hidupnya sudah terlanjur memilih untuk jadi pencuri atau mati kelaparan akhirnya merenggut pakaian yang dikenakan nenek tua itu.

Situasi dalam cerpen ini mengingatkan saya pada Indonesia dalam memoar Soe Hok Gie, "Catatan Seorang Demonstran", dimana Gie pernah menulis tentang orang yang begitu kelaparan hingga makan kulit mangga dari tempat sampah. Keadaan yang sama sulitnya tadi kadang-kadang menghadapkan hidup ini pada beberapa pilihan yang utamanya adalah untuk terus bertahan hidup-apapun caranya.

Di Dalam Belukar

Pada cerpen selanjutnya, Di Dalam Belukar, Akutagawa bercerita tentang kisah tragis pasangan suami istri yang jadi sasaran pembunuh. Plot cerita dimainkan seperti suasana sidang di pengadilan dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Akutagawa tidak memaksakan dan menggiring pembaca pada satu kesimpulan. Akutagawa berhasil memainkan plot cerita dengan keterangan yang beragam dari saksi-saksi sehingga kita dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri. Inilah karya sastra yang baik dimana kita sebagai pembaca dibiarkan menarik kesimpulan dan memiliki penilaian masing-masing terhadapnya.

Dalam cerita ini juga, Akutagawa mengangkat nilai-nilai kehormatan sebagai bagian dari budaya tinggi Jepang. Sama seperti budaya tinggi Samurai yang diperankan dengan baik oleh film “The Last Samurai”.

Kappa

Kappa bercerita tentang seorang manusia yang tidak sengaja masuk ke dalam dunia bangsa Kappa dalam perjalanan pendakiannya ke Gunung Hodaka. Kappa yang ini bukanlah merek apparel produk olahraga tetapi lebih kepada sosok binatang dalam imajinasi Akutagawa. Kappa digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai peradaban kehidupan mirip dengan manusia. Akutagawa dengan sangat fantastis, imajinatif, dan detail menceritakan perjalanan tokoh aku dalam suasana kehidupan sehari-hari bangsa Kappa. Imajinasi yang kaya dan liar dalam cerpen Kappa ini mengingatkan kita pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma terutama “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karena lompatan peristiwa-peristiwa yang sama-sama imajinatif dan fantastis.

Alur pada cerita-cerita seperti Di Dalam Belukar dan Kappa mengingatkan kita pada novel karya Budi Darma “Olenka”, yang kaya akan ide tentang berkelebatannya pikiran-pikiran di dalam kepala penulisnya. Di dalam novel itu juga Budi Darma kerap menyebutkan bahwa karya sastra yang baik adalah karya dengan berkelebatannya pikiran-pikiran dari penulisnya yang membentuk satu kesatuan cerita.

Bubur Ubi

Bubur ubi bercerita tentang seorang Goi (samurai pada zaman Heian yang menduduki kelas paling rendah). Goi mengalami berbagai penghinaan dalam seluruh hidupnya sebagai seorang samurai, bahkan ketika sedang makan bubur ubi sekalipun. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan tuannya, Goi mendapatkan kesempatan untuk makan bubur ubi sepuasnya. Dengan rasa bahagianya itu ia bias melupakan masa lalunya yang penuh penghinaan.
Cerita ini menyiratkan moral tentang kriteria-kriteria seperti apa yang membuat seseorang layak dihina atau dipermalukan. Seorang samurai yang hidup dalam kelas masyarakat tersendiri pun masih dapat diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang-orang diluar kelasnya. Akutagawa, dalam hal ini berhasil menceritakan dan menggambarkan bagaimana masih rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap sesama.

Benang Laba-laba

Yang justru ironis adalah cerita Benang Laba-laba dimana Kandata, seorang penjahat kambuhan, yang terlanjur disiksa di dalam neraka mendapatkan kebaikan dari Sang Buddha untuk masuk surga karena pernah menyelamatkan seekor laba-laba. Namun, karena keserakahan dan ketamakannya, benang laba-laba yang diulurkan Sang Buddha untuk membantunya masuk surga malah terputus sehingga ia kembali ke dasar neraka.

Melalui cerita ini, Akutagawa menceritakan kisah yang sederhana namun sarat makna dengan perumpamaan yang sederhana. Memberi kita pelajaran untuk senantiasa berusaha memanfaatkan kesempatan-kesempatan baik untuk berbuat tetapi dengan tidak serakah dan egois.

Si Putih

Si Putih adalah sebutan untuk tokoh binatang anjing dalam cerpen ini, Shiro. Dikisahkan, Shiro berubah warna menjadi hitam legam setelah kawannya Si Hitam ditangkap petugas hewan liar. Si Putih terlalu takut untuk menolong kawannya itu hingga ia dihinggapi rasa bersalah yang sangat dalam sampai kulitnya berubah warna. Shiro tidak diakui sebagai anjing milik majikannya. Shiro putus asa dan mencoba bunuh diri. Namun, usahanya sia-sia karena dengan itu ia malah jadi buah bibir masyarakat atas kepahlawanannya. Akhir cerita, usai menyelesaikan monolognya, suatu keajaiban terjadi.

Dari cerita ini, dengan kembali mengambil perumpamaan binatang, Akutagawa ingin menyampaikan beberapa pesan tentang keberanian dan kejujuran. Keduanya tampak seperti hal yang selalu berdampingan. Namun, batas keduanya sering kali terlampau besar sehingga bisa saling menutupi.

Hidung

Bagaimanakah perasaan anda bila memiliki hidung yang menjuntai hingga 16 cm dan mengganggu anda untuk makan. Kiranya, hal ini adalah tema utama dari cerita Hidung. Seorang pendeta, Naigu, harus hidup dengan hidung yang panjang seperti itu. Dalam hidupnya, Naigu mengalami ketidakbahagiaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, dengan bentuk hidungnya yang seperti itu. Ketika perasaan seperti itu muncul, Naigu selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dengan bentuk hidung yang normal. Pada suatu waktu Naigu berhasil melakukan perubahan dengan hidungnya. Naigu senang karena ia bisa hidup dengan wajar tapi petaka itu justru baru dimulai. Naigu mulai merasa tidak bahagia dengan hidungnya yang baru. Kebahagiaan yang jadi tujuannya pun tidak tercapai.

Dari cerita ini, Akutagawa memainkan ide dan makna eksistensial dari seseorang dalam lingkungannya. Betapa kita hanya bisa jadi ada dan dianggap ada bila kita memang diterima oleh lingkungan kehidupan sehari-hari. Wujud penghargaan dari orang lain itulah yang sering kita anggap sumber kebahagiaan.

Akutagawa, melalui cerpen ini, mengajarkan kita untuk senantiasa berbahagia dengan apa yang kita miliki saja. Namun, nafsu manusia seakan tidak berhenti untuk mencapai suatu kebahagiaan lain dan pada akhirnya tidak mendatangkan kebahagiaan apapun. Seringkali, berubah menjadi kesengsaraan. Betapa tipis dan rapuhnya jurang pemisah antara bahagia dan sengsara.

Penutup

Komposisi penempatan judul-judul cerita dalam buku ini sangat tepat. Dari satu petualangan ke perjalanan hingga ke peristiwa lainnya. Pembaca diberikan satu loncatan peristiwa-peristiwa yang kadang-kadang tidak masuk akal. Pada beberapa cerita, pembaca juga punya kesempatan untuk menentukan akhir dan kesimpulan cerita. Maka tidak salah memang bila Akutagawa menyandang gelar Cerpenis Terbaik Jepang.

Melalui cerita-cerita dalam buku ini Akutagawa ingin menggambarkan betapa tipis dan licinnya batas antara buruk dan bagus, jahat dan baik, hina dan mulia, bohong dan jujur, salah dan benar. Sebagai bacaan alternatif buku ini bisa dijadikan referensi bagi peminat sastra khususnya cerita-cerita Jepang dan pencari ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup.

Judul : Rashomon: Kumpulan Cerita Akutagawa Ryunosuke
Penulis : Akutagawa Ryunosuke
Penerjemah : Bambang Wibawarta
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2008
Genre : Kumpulan Cerpen Terjemahan
Tebal : vi + 167 hal
ISBN : 979-91-0093-3



Paninggilan, Tangerang, 15 Maret 2010, 23,29


Minggu, 14 Maret 2010

An Education



Judul : An Education (2009)
Sutradara : Lone Scherfig
Pemain : Carey Mulligan (Jenny), Peter Sarsgaard (David), Emma Thompson, Olivia Williams,
Produksi : BBC


Pada tahun 1960-an, London bisa dibilang sebagai kota yang membosankan, konservatif, dan terlihat sangat ketinggalan dibandingkan dengan kota lainnya di Eropa, sebut saja Paris misalnya. Pada waktu itu, kebetulan sedang berkembang suatu tren yang menyiratkan antusiasme terhadap semua yang berbau Perancis: sastra, musik, literature, film, fashion, bahkan rokok sekalipun. Hal ini tentu jadi fenomena yang cukup berpengaruh pada masanya.

Berlatarbelakang suasana kehidupan masyarakat London periode awal 60-an, An Education sebuah film adaptasi dari novel karya Nick Hornby, bercerita tentang kehidupan seorang gadis remaja yang cantik, pintar,dan juga cerdas dalam usahanya untuk bisa mencapai pendidikan tinggi di Oxford University. Layaknya, anak yang seumuran dengannya yang juga bisa kita temui di Indonesia ini, adalah bahwa keinginan dan dorongan untuk masuk kuliah di perguruan tinggi seringkali dipengaruhi oleh ekspektasi dan harapan orang tua. Begitu pula dengan Jenny, dimana orang tuanya sangat berharap agar ia bisa masuk Oxford dan menemukan calon suaminya disana. Seorang calon suami yang diharapkan tentu saja mapan, kaya, dan hidupnya sejahtera.

Kehidupan Jenny mulai berubah saat ia mengenal David, seorang pria tampan dan mempesona. Mereka kemudian menjadi teman dekat dan mulai berkencan. Dari penampilannya, David terlihat sangat mapan sebagai art dealer dan pengembang properti. Untuk Jenny, David lebih dari sekedar itu. Jenny menaruh perhatian pada pengetahuan David tentang seni dan budaya. David sangat paham dan akrab dengan karya-karya terbaru literatur Perancis dan fashion. Terlebih lagi ketika David mengajak Jenny ke klub jazz hingga akhirnya David benar-benar mewujudkan keinginan Jenny untuk pergi ke Paris. Tak lama kemudian, David melamar Jenny. Jenny menerima lamaran David dan keluar dari sekolah tanpa mengikuti ujian A-level, yang membuat Jenny semakin melupakan Oxford.

Banyak orangtua yang seharusnya khawatir dengan putrinya yang belum dewasa dan baru berumur 17 tahun, tetapi sudah berani memutuskan untuk menikah dengan pria umur 30-an. Apalagi bila sampai harus mengorbankan pendidikannya. Orang tua Jenny nampaknya biasa saja dengan hal itu karena menganggap Jenny telah menemukan pasangan hidupnya yang sudah mapan dan menganggap Jenny tidak perlu lagi untuk masuk Oxford*. Satu-satunya hal yang membuat ayah Jenny keberatan adalah David seorang Yahudi.

Makna judul film ini “An Education” bisa dipahami dari dua sisi. Sebagai karya drama, film ini menceritakan kisah Jenny yang dapat diartikan dalam arti luas sebagai pembelajaran pelajaran-pelajaran hidup. Yang kedua, bisa juga diartikan secara literal sebagai pendidikan formal yang harus ditempuh seseorang melalui sekolah untuk mendapatkan bekal ilmu pengetahuan.

Kepala sekolah dan Guru Jenny tentu menyayangkan keputusannya. Namun, Jenny bersikeras untuk tetap keluar sekolah karena sama seperti yang pernah kita rasakan juga kalau sekolah itu membosankan. Lagipula, Jenny sudah punya calon suami yang mapan sehingga ia semakin yakin kalau ilmu dan pelajaran yang didapatkan dari sekolahnya tidak akan berguna untuk kehidupannya kelak. Jenny keluar dari sekolah karena dirinya menganggap akan mendapatkan pengetahuan yang lebih setelah hidup bersama David nantinya. Jenny memimpikan kehidupannya dengan David di Paris, di tepi sungai Gauche, membaca tulisan Sartre, merokok Gauloises, dan menonton film terbaru keluaran Nouvelle Vague.

Sampai akhirnya petaka itu tiba. David yang Jenny kenal tiba-tiba berubah menjadi “socially awkward” karena ketidakjujurannya. Seketika impian itu hilang dan Jenny sudah terlanjur meninggalkan sekolahnya. Jenny kemudian mencoba untuk membuka kembali hubungan dengan kepala sekolah dan gurunya. Mereka memberikan kesempatan kedua agar Jenny bisa mengikuti ujian A-level sebagai syarat masuk ke Oxford. Akhirnya, Jenny diterima di Oxford dan pergi ke Paris bersama kekasihnya yang lain.

***

Film ini mengangkat isu-isu yang lekat dengan keseharian kita. Utamanya, adalah mengenai pendidikan dan kodrat seorang perempuan. Saya teringat satu judul bab dalam buku “Leaving Microsoft to Change the World” tulisan John Wood: Mengembalikan Anak Perempuan Pada Tempatnya, Sekolah. Seringkali pendidikan untuk anak perempuan tidak dijadikan prioritas melainkan hanya jadi satu pelengkap dan formalitas belaka karena kelak ia akan bersuami sehingga tidak perlu lagi untuk sekolah dan mendapatkan pendidikan setinggi-tingginya.

Inggris dikenal dengan tradisi dramanya yang sangat baik dan sebagai drama Inggris, An Education termasuk kedalamnya. An Education tidak hanya bercerita tentang seorang gadis yang beranjak dewasa dan mencoba memahami pilihan-pilihan dalam hidupnya. An Education juga mengangkat isu-isu lainnya yang berhubungan dengan kehidupan dan gaya hidup kelas-kelas sosial dalam masyarakat modern Inggris pasca perang dunia II, rasisme (anti semitisme, yang bisa dilihat dalam beberapa dialog) serta nilai-nilai dan makna dari pendidikan yang membuat film ini menjadi semakin kaya dan layak untuk ditonton berulang kali.


Paninggilan, Tangerang, 14 Maret 2010, 00.23


* Ini mengingatkan saya pada Nia Ramadhani yang akan resmi sebagai menantu Aburizal Bakrie tanggal 1 April nanti


Kamis, 11 Maret 2010

Siau Ling: Drama Musik Kemempelaian Budaya

Katakan Lay Kun dirimu siapa
Apa kau dari bintang angkasa
Atau jelmaan para dewata
Namamu terukir dalam atma

Lay Kun, Lay Kun, Jelita dari Utara
Hatimu bakal berlabuh pada siapa
Bila besok hari datang kumbang dua
Membawa persembahan segudang cinta


Menurut imajinasi penulisnya, salah seorang adipati Tuban pada abad ke-15 bernama Wilotikto. Nama itu mengingatkan kita pada ibukota kerajaan Majapahit, Wilwatikta. Tapi, kono Wilotikto berasal dari Oei Lo Tik. Adipati ini terkenal senang kawin. Meskipun punya 50 orang istri namun belum mendapatkan seorang anak pun. Bisa ditafsirkan, mungkin Adipati Wilotikto ini adalah “orang kasim” yang dikirm kaisar untuk menjadi konsulnya. Tetapi entah bagaimana, sebetulnya seorang di antara 50 orang istrinya itu ada juga yang melahirkan. Renggoning namanya, dengan putra bernama Samik atau Santang.



Dikisahkan, Semarang 500 tahun yang lalu, Samik datang dari Tuban dan bernyanyi semerdu hatinya untuk menarik perhatian Lay Kun, putri tunggal keluarga Tan Kim Seng. Lay Kun sebetulnya menaruh perhatian juga pada Samik. Namun, ayahnya tidak bisa menerima sehingga Samik babak-belur dihajar oleh Tan Kim Seng. Dalam kisah ini, Tan Kim Seng adalah ahli obat-obatan tradisional yang datang ke Jawa bersama rombongan Panglima Ceng Ho.

Tan Kim Seng tidak mungkin menerima Samik karena sudah berjanji akan menerima lamaran Adipati Wilotikto. Bandot tua berumur 71 tahun ituberjanji akan menceraikan semua istrinya bila mendapatkan yang ke-51. Sebenarnya, kedatangan Samik pada Lay Kun karena ditugaskan oleh ibunya, Renggoning, untuk merebut cintanya Lay Kun sehingga Renggoning tidak sampai menjanda.

Ketika hari yang dinanti tiba, Adipati Wilotikto beserta rombongan besar dari Tuban melamar Lay Kun di Semarang. Namun gadis itu terguncang jiwanya dan pingsan. Adipati menyangka Lay Kun pingsan saking terlalu bahagia. Kenyataannya, Lay Kun hanya dapat disembuhkan oleh suara seruling yang ditiup Samik, yang datang menyamar sebagai Santang, pemain seruling dari Pasundan. Sayang, upaya Santang akhirnya terbongkar juga ketika sedang bercinta dengan Lay Kun. Santang dihukum keras dihadapan Adipati Wilotikto.

Pertumpahan darah tak terhindarkan. Adipati menikam Samik. Renggoning, ibunya Samik murka dan menikam Adipati. Adipati yang sama sekali tidak merasa punya anak dan tidak tahu bahwa ia telah membunuh anaknya sendiri. Semua pengawal Wilotikto ikut melampiaskan kekesalannya pada Wilotikto yang terlanjur jadi smbol kerakusan dan kezaliman dalam kekuasaan.

Membaca Siau Ling berarti mengajak kita untuk menelusuri kembali sejarah yang melatarbelakangi peristiwa-peristiwa hari ini. Berlatar belakang abad ke-15, buku ini bercerita tentang cinta sepasang anak manusia yang kandas karena tingkah laku penguasa yang sewenang-wenang. Siau Ling sendiri bukanlah nama pemeran utama dalam buku ini,. Secara morfologi, siau ling adalah kata asli Bahasa Cina yang diseap oleh Bahasa Melayu, seringkali ditambahkan –er, jadi seruling.

Walaupun Siau Ling mengambil latar belakang tahun 1414 dan mengaitkan dengan sejarah, seluruh kisah didalamnya imajinatif. Melalui buku ini, pembaca diajak lebih mengenal sejarah kerajaan di Jawa, terutama Kerajaan Majapahit. Lalu, masuknya “kaum pendatang” ke Pulau Jawa hingga akulturasi budaya antara masyarakat Jawa dengan etnis pendatang Tionghoa. Beberapa catatan sejarah didalamnya bisa dijadikan sebagai rujukan tentang asal-muasal hubungan Nusantara dan Tongkok serta sejarah kedatangan kaum Tionghoa yang tersebar di Pantai Utara, terutama Semarang dan Tuban.

Siau Ling lahir dalam periode yang sangat memprihatinkan (tahun 2000-2001). Indonesia sedang mengalami masa-masa penyadaran yang luar biasa. Masyarakat Indonesia seolah berada dalam situasi tidak berdaya, terhimpit dalam masalah politik, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat berada dalam tatanan yang acak. Mirip dengan situasi abad ke-15 dan 17 dimana setelah runtuhnya Kerajaan-kerajaan besar, muncul raja-raja kecil yang menunggu masuknya penguasa kolonial. Begitupun Indonesia dengan Otonomi Daerahnya yang semakin menegaskan keberadaan penguasa-penguasa daerah.

Dalam konteks kekinian, Siau Ling mengajarkan pada kita agar setiap pemimpin senantiasa mengayomi rakyatnya. Pemimpin harus rendah hati dan membela kebenaran, termasuk diberi tahu bila sewaktu-waktu ia telah melahirkan ‘anak haram’. Kita tidak dilatih untuk tidak bersandar pada idola-idola karena pada taraf imajinasinya, Remy Sylado tidak memberi kita seorang pun pahlawan.

Melihat kembali pada judul sebagai “drama musik kemempelaian budaya” kita diajak melihat bagaimana para penghuni Nusantara menekankan keasliannya agar tidak dijarah dan menggarisbawahi toleransinya dengan para pendatang. Ini bisa disebut sebagai “pembaruan” yang luar biasa. Persaingan dan pertikaian tidak didasarkan kepada perbedaan keturunan, warna kulit, dan agama. Justru, malah karena perebutan kepentingan, untuk mendapatkan keuntungan secara politis atau pun secara ekonomi.

Melalui Siau Ling, kita diajarkan untuk saling menghargai keragaman budaya sebagai jati diri bangsa yang majemuk. Masyarakat majemuk yang tidak cengeng tetapi juga tidak bengis. Bersama seluruh dunia, saat ini Indonesia sedang menjalani proses demokratisasi dan internasionalisasi yang luar biasa cepatnya. Kedua proses itu tidak hanya mengubah kita, tetapi juga menghendaki peran dan sumbangan kita dengan proaktif mengadakan perubahan dan memberikan sumbangsih terbaik.


Judul : Siau Ling: Drama Musik Kemempelaian Budaya
Penulis : Remy Sylado
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2003
Genre : Drama Musikal
Tebal : xv + 136 hal.
ISBN : 979-9023-47-5



Paninggilan, Ciledug
11 Maret 2010


LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...