Jumat, 26 Maret 2010

Tea for Two: Kekerasan dalam Romantisme

Judul : Tea for Two
Penulis : Clara Ng
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2009
Genre : Novel Dewasa
Tebal : 312 hal.
ISBN :978-979-22-4332-1












Aku menulis namamu di gerimis

Gerimis jatuh di hatiku seperti nafas hangatmu
Pada senja yang temaram

Puisi indah itu sebagai bukti penanda kesungguhan cinta Alan yang membuat Sassy jatuh cinta. Namun, itu baru bisa ditemukan menjelang sepertiga halaman buku.

Tea for Two bukanlah sebuah cerita tentang menghabiskan waktu penuh cinta dengan pasangan sambil minum teh. Kalau memang begitu, rasanya lebih mirip dengan iklan produk teh. Tea for Two yang ini adalah perusahaan mak comblang yang dimiliki oleh Sassy. Saking cintanya, Sassy menganggap Tea for Two sebagai bayinya. Tea for Two bertujuan untuk menyatukan individu-individu dalam ikatan pernikahan.

Pada awalnya, cerita akan tampak indah seperti bayangan tentang pernikahan itu sendiri, tetapi aroma mencekam mulai tercium kala memasuki halaman persembahan dari penulis. Kisah pertama dimulai dengan honeymoon Sassy di Bali pasca pernikahannya dengan Alan. Secara tak terduga, tepat di hari kedua honey yang dibawa sang bulan tidak lagi terasa manisnya. Sassy mengalami kekerasan yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Alan tiba-tiba menjadi seorang pencemburu berat dan melampiaskan kekesalannya dengan menampar Sassy. Hanya karena tidak tahan melihat Sassy mengobrol dengan bule yang ditemuinya di dekat kolam renang hotel tempat mereka menginap.

Permainan alur cerita mulai terasa di halaman-halaman selanjutnya. Pembaca akan dibawa untuk lebih mengenal latar belakang cerita dan karakter tokoh-tokoh. Sassy adalah seorang tipikal perempuan karir muda mandiri khas metropolitan yang aktif, dinamis, dan workaholic serta dikelilingi sahabat yang menyenangkan. Karena pekerjaannya pula, Sassy mengenal Alan. Berawal dari sebuah perkenalan yang tidak disengaja, hal itu dengan cepat menjadi gerbang pembuka berseminya benih-benih cinta diantara mereka.

Awal yang menyenangkan bagi mereka berdua. Keduanya saling jatuh cinta. Cinta yang sungguh menggebu dengan segala impiannya. Makan malam romantis, buket bunga kejutan dan 150 kata cinta setiap hari, hanya jadi satu pertanda akan kesungguhan Alan untuk menikahi Sassy. Sassy benar-benar dibuat jatuh cinta oleh Alan. Impian-impian yang dulunya hanya dimiliki oleh Cinderella kini nampak jelas dimatanya.

Return to Prelude. Semua itu berubah ketika pernikahan Sassy tidak seperti yang diceritakan dalam kisah Cinderella. Pernikahan yang sedari bulan madu sudah dikotori dengan perilaku tidak terpuji seorang suami yang mencampakkan istrinya begitu saja hanya karena mengobrol dengan seorang bule. Usai pertengkarannya yang pertama, Alan serta merta meminta maaf pada Sassy dengan sebuah candle light dinner yang romantis. Alan berhasil memenangkan kembali hati Sassy dan Sassy kembali menuai harapan kebahagiaan bersama Alan.

Honeymoon sudah berakhir. Alan dan Sassy kembali pada kehidupan mereka semula. Alan pun berubah. Tak seindah dan semesra dulu. Alan lebih mudah tersinggung walau hanya gara-gara hal-hal kecil, seperti potongan rambut yang terlalu pendek dan hak sepatu Sassy yang terlalu tinggi. Yang lebih menyedihkan, Alan lebih sering melampiaskannya tidak saja dengan perkataan tetapi juga mulai mengarah pada kekerasan fisik. Sassy mengalami sendiri KDRT. Pernikahan yang tadinya akan membuka jalan bagi kebahagiaan ternyata tidak semudah yang diduga. Alan menampakkan bagian lain dari dirinya yang terkesan childish, self-centered, egois dan terlalu obsesif.

Ketika Sassy hamil, Alan sepertinya belum keluar dari kebiasaan buruknya dan semakin menekan Sassy. Sassy, yang masih beranggapan dirinya sedang mendaki jalan menuju kebahagiaan tetap berusaha untuk jadi istri yang sempurna untuk Alan walau memang rasanya menyakitkan. Ketika Emma, anak mereka lahir, Alan tidak tampak peduli sedikit pun sebagai seorang ayah. Dalam kondisi yang demikian dan situasi semakin bertambah buruk, Alan mencari pelarian dengan berselingkuh. Sassy dapat mengendus keadaan itu dan segera mengambil tindakan dengan mendekati selingkuhan suaminya itu. Tetapi, jangan harap pembaca menemukan cerita seperti di An Affair to Forget dimana si istri akhirnya berhasil bersahabat dengan selingkuhan suaminya sehingga si suami berhenti berselingkuh.

Akhirnya, Sassy sampai pada satu titik dimana ia benar-benar lelah dengan semua yang menimpanya. Tetapi, ia masih sulit membedakan batas antara kebahagiaan dan kekerasan yang dialaminya. Ketika Sassy dan Rose memergoki Alan dengan Malla di rumah mereka, Sassy merasa hidupnya sudah berakhir dan kebahagiaan yang selalu diimpikannya melayang entah kemana. Dukungan dari sahabat, orang tua, dan teman-teman yang sama-sama pernah merasakan KDRT membuat Sassy menemukan kembali makna kebahagiaan yang sesungguhnya.

Permainan alur cerita menjadi kelebihan buku ini. Tampaknya, penulis sengaja untuk melakukan permainan alur cerita untuk menggiring pikiran pembaca dengan tidak memberi judgement (penilaian) pada satu bagian cerita saja. Clara Ng cukup baik dalam memainkan karakter beserta latar, suasana, dan situasi-situasi lainnya yang mengiringi keseluruhan jalan cerita. Narasi cerita yang disampaikan dari dua sudut pandang juga ikut memberi kemudahan untuk lebih memahami jalan cerita.

Kekuatan seorang perempuan seringkali dinilai dari ketabahannya untuk menjalani berbagai ujian kehidupan yang menderanya. Ketabahan hati seorang perempuan yang digambarkan oleh Clara Ng bisa jadi merupakan suatu gugatan atas dominasi kaum pria dalam ikatan pernikahan. Maka dalam cerita ini maka jelaslah bahwa Clara Ng berusaha menghindari stereotip tentang perempuan sebagai pihak yang lemah dan seringkali tersakiti namun tidak mampu mengatasi kelemahannya. Clara Ng berhasil menggambarkan perempuan dalam berbagai wajah.

Melalui buku ini, pembaca diajak untuk lebih waspada dalam mengambil keputusan untuk menikah. Tea for Two menampilkan sisi lain pernikahan yang tidak selalu diiming-imingi dengan kiasan happily ever after. Ada kalanya pernikahan tidak selalu berakhir bahagia selamanya. Karena pada hakikatnya, pernikahan adalah jembatan yang mempersatukan dua pribadi yang berbeda sehingga tumbuh saling pengertian dan saling memahami untuk saling melengkapi bukan untuk menyakiti.

Sebuah Otokritik

Awalnya, saya kira akan ada sebuah keindahan dan romantisme yang menggebu-gebu sampai akhir cerita. Namun, yang saya dapat adalah sebuah perasaan ngeri karena saya tidak menyangka bahwa KDRT (bukan Kekerasan Dalam Ranjang Tua) menjadi tema utama cerita ini. Saya pikir, isu KDRT ini hanya akan mengemuka sedikit saja dan tidak jadi permasalahan utama, tapi ternyata saya salah.

Perlu lebih dari sekedar keinginan untuk menamatkan bacaan ini. Saya sendiri membutuhkan mood yang cukup bagus untuk menyelesaikan buku ini. Sebagai laki-laki, dan subjek utama pelaku KDRT dalam buku ini, saya juga merasa sangat sedih kalau seandainya memang ada lelaki yang berlaku seperti itu pada istrinya. Pada kasus Sassy, ada benang merah diantara keduanya sehingga menjadi pembenaran bagi Alan untuk melakukan KDRT pada istrinya.

Tersirat bahwa Alan pernah mengalami kekecewaan dengan beberapa perempuan sebelum Sassy sehingga timbul keinginan dalam diri Alan untuk menjadikan istrinya sesuai apa yang diinginkannya dan tidak didapatkan dari mereka. Dengan alasan melindungi istrinya Alan berusaha mengubah Sassy menjadi perempuan yang sempurna dimatanya. Kenyataan seperti itu mengaburkan makna dari pernikahan itu sendiri yang seharusnya mampu menyatukan kedua pribadi yang memang jelas-jelas sudah berbeda tanpa kehilangan makna eksistensi pribadinya masing-masing.

Alan terlihat tidak begitu matang sebagai lelaki. Emosinya begitu meluap-luap. Seperti gunung, Alan terlihat begitu kuat dan tegar tetapi ternyata ia begitu rapuh. Dengan satu ledakan kekecewaan Alan dengan cepat berubah menjadi sosok yang menakutkan, tidak hanya sebagai suami tapi juga sebagai seorang ayah. Begitu teganya Alan membiarkan Sassy sendirian membesarkan buah cinta mereka hingga mencari pelarian yang lain. Alan berselingkuh dengan Malla setelah sebelumnya berhasil mendapatkan kembali kepercayaan Sassy yang sudah terlanjur menderita dengan semua itu tapi masih percaya kata-kata Alan.

Sassy sendiri mencoba menutupi kepedihan masa lalunya dengan kebahagiaan dan mimpi-mimpi yang pernah Alan bawa. Sassy pun terjebak dalam angan-angan yang semakin kabur. Sassy tetap meyakini suatu saat hal itu pasti terjadi dan Alan akan berubah. Namun, kiranya Sassy lupa pada luka-luka yang telah Alan torehkan. Luka secara fisik maupun psikis akibat KDRT itu sendiri.

Novel ini bisa dianggap sebagai gugatan kaum perempuan atas dominasi kaum pria terhadap pernikahan. Sisi baiknya, adalah cerita ini mengangkat kisah seorang perempuan yang dengan kekuatannya untuk bertahan berhasil menemukan dan membangun kembali fondasi-fondasi kehidupannya yang terlanjur berserakan. Melalui Tea for Two, pembaca akan menemukan pembelajaran bahwa mencintai saja tidak pernah cukup bila ternyata kita tidak bisa saling memahami dan membiarkan pasangan kita menjadi diri mereka yang seutuhnya.



Paninggilan, Tangerang, 26 Maret 2010, 01.35

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...