Selasa, 16 Maret 2010

Rashomon



Dalam hati manusia ada dua perasaan yang saling bertentangan. Tentu saja tidak ada seorang pun yang tidak bersimpati terhadap nasib malang orang lain. Tapi jika ada orang yang ingin berusaha mengatasi nasib buruknya, maka akan ada orang yang tidak suka (hal.162)



Frase diatas dapat ditemukan dalam cerpen berjudul “Hidung” yang ditempatkan sebagai cerita penutup. Kumpulan Cerpen berisi 7 cerita pendek dan beberapa diantaranya adalah karya termasyhur dari penulisnya. Sebut saja Rashomon, Kappa, Di Dalam Belukar, Benang Laba-laba, dan Hidung. Beruntung, semuanya ada dalam satu kumpulan buku ini sehingga kita diajak untuk lebih memahami cerita pendek macam apakah yang jadi karya terbaik dari penulis cerpen terbaik Jepang ini.

Rashomon

Cerita ini mengambil latar suasana kota Kyoto yang bertambah sepi usai didera bencana beruntun mulai dari gempa bumi, angin puyuh, kebakaran, dan paceklik. Karenanya Kyoto jadi senyap dan porak-poranda. Rashomon sendiri sering dikaitkan dengan Rajomon yaitu pintu gerbang pada zaman Heian (794-1185), sekarang terletak di Perfektur (daerah setingkat provinsi) Nara. Mon berarti gerbang. Ketika itu, ibukota Jepang terletak di Nara.

Diceritakan, Genin (samurai kelas rendah) mendapati dirinya sedang berteduh dari hujan dibawah rashomon. Karena kedinginan dan dirinya mendapati pilihan untuk bertahan hidup atau mati lalu mayatnya dicampakkan di dalam menara dekat rashomon, Genin kemudian beranjak menuju ke atas menara. Genin menemui seorang nenek tua yang mencabuti rambut mayat-mayat yang bergelimpangan untuk membuat cemara. Genin pun memulai perkelahian dengan nenek tua itu. Entah mendapatkan keberanian dari mana, Genin yang hidupnya sudah terlanjur memilih untuk jadi pencuri atau mati kelaparan akhirnya merenggut pakaian yang dikenakan nenek tua itu.

Situasi dalam cerpen ini mengingatkan saya pada Indonesia dalam memoar Soe Hok Gie, "Catatan Seorang Demonstran", dimana Gie pernah menulis tentang orang yang begitu kelaparan hingga makan kulit mangga dari tempat sampah. Keadaan yang sama sulitnya tadi kadang-kadang menghadapkan hidup ini pada beberapa pilihan yang utamanya adalah untuk terus bertahan hidup-apapun caranya.

Di Dalam Belukar

Pada cerpen selanjutnya, Di Dalam Belukar, Akutagawa bercerita tentang kisah tragis pasangan suami istri yang jadi sasaran pembunuh. Plot cerita dimainkan seperti suasana sidang di pengadilan dengan mendengarkan keterangan saksi-saksi. Akutagawa tidak memaksakan dan menggiring pembaca pada satu kesimpulan. Akutagawa berhasil memainkan plot cerita dengan keterangan yang beragam dari saksi-saksi sehingga kita dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri. Inilah karya sastra yang baik dimana kita sebagai pembaca dibiarkan menarik kesimpulan dan memiliki penilaian masing-masing terhadapnya.

Dalam cerita ini juga, Akutagawa mengangkat nilai-nilai kehormatan sebagai bagian dari budaya tinggi Jepang. Sama seperti budaya tinggi Samurai yang diperankan dengan baik oleh film “The Last Samurai”.

Kappa

Kappa bercerita tentang seorang manusia yang tidak sengaja masuk ke dalam dunia bangsa Kappa dalam perjalanan pendakiannya ke Gunung Hodaka. Kappa yang ini bukanlah merek apparel produk olahraga tetapi lebih kepada sosok binatang dalam imajinasi Akutagawa. Kappa digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai peradaban kehidupan mirip dengan manusia. Akutagawa dengan sangat fantastis, imajinatif, dan detail menceritakan perjalanan tokoh aku dalam suasana kehidupan sehari-hari bangsa Kappa. Imajinasi yang kaya dan liar dalam cerpen Kappa ini mengingatkan kita pada cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma terutama “Sepotong Senja Untuk Pacarku” karena lompatan peristiwa-peristiwa yang sama-sama imajinatif dan fantastis.

Alur pada cerita-cerita seperti Di Dalam Belukar dan Kappa mengingatkan kita pada novel karya Budi Darma “Olenka”, yang kaya akan ide tentang berkelebatannya pikiran-pikiran di dalam kepala penulisnya. Di dalam novel itu juga Budi Darma kerap menyebutkan bahwa karya sastra yang baik adalah karya dengan berkelebatannya pikiran-pikiran dari penulisnya yang membentuk satu kesatuan cerita.

Bubur Ubi

Bubur ubi bercerita tentang seorang Goi (samurai pada zaman Heian yang menduduki kelas paling rendah). Goi mengalami berbagai penghinaan dalam seluruh hidupnya sebagai seorang samurai, bahkan ketika sedang makan bubur ubi sekalipun. Akhirnya, setelah menempuh perjalanan panjang dengan tuannya, Goi mendapatkan kesempatan untuk makan bubur ubi sepuasnya. Dengan rasa bahagianya itu ia bias melupakan masa lalunya yang penuh penghinaan.
Cerita ini menyiratkan moral tentang kriteria-kriteria seperti apa yang membuat seseorang layak dihina atau dipermalukan. Seorang samurai yang hidup dalam kelas masyarakat tersendiri pun masih dapat diperlakukan tidak layak bahkan oleh orang-orang diluar kelasnya. Akutagawa, dalam hal ini berhasil menceritakan dan menggambarkan bagaimana masih rapuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita terhadap sesama.

Benang Laba-laba

Yang justru ironis adalah cerita Benang Laba-laba dimana Kandata, seorang penjahat kambuhan, yang terlanjur disiksa di dalam neraka mendapatkan kebaikan dari Sang Buddha untuk masuk surga karena pernah menyelamatkan seekor laba-laba. Namun, karena keserakahan dan ketamakannya, benang laba-laba yang diulurkan Sang Buddha untuk membantunya masuk surga malah terputus sehingga ia kembali ke dasar neraka.

Melalui cerita ini, Akutagawa menceritakan kisah yang sederhana namun sarat makna dengan perumpamaan yang sederhana. Memberi kita pelajaran untuk senantiasa berusaha memanfaatkan kesempatan-kesempatan baik untuk berbuat tetapi dengan tidak serakah dan egois.

Si Putih

Si Putih adalah sebutan untuk tokoh binatang anjing dalam cerpen ini, Shiro. Dikisahkan, Shiro berubah warna menjadi hitam legam setelah kawannya Si Hitam ditangkap petugas hewan liar. Si Putih terlalu takut untuk menolong kawannya itu hingga ia dihinggapi rasa bersalah yang sangat dalam sampai kulitnya berubah warna. Shiro tidak diakui sebagai anjing milik majikannya. Shiro putus asa dan mencoba bunuh diri. Namun, usahanya sia-sia karena dengan itu ia malah jadi buah bibir masyarakat atas kepahlawanannya. Akhir cerita, usai menyelesaikan monolognya, suatu keajaiban terjadi.

Dari cerita ini, dengan kembali mengambil perumpamaan binatang, Akutagawa ingin menyampaikan beberapa pesan tentang keberanian dan kejujuran. Keduanya tampak seperti hal yang selalu berdampingan. Namun, batas keduanya sering kali terlampau besar sehingga bisa saling menutupi.

Hidung

Bagaimanakah perasaan anda bila memiliki hidung yang menjuntai hingga 16 cm dan mengganggu anda untuk makan. Kiranya, hal ini adalah tema utama dari cerita Hidung. Seorang pendeta, Naigu, harus hidup dengan hidung yang panjang seperti itu. Dalam hidupnya, Naigu mengalami ketidakbahagiaan yang muncul dari dalam dirinya sendiri, dengan bentuk hidungnya yang seperti itu. Ketika perasaan seperti itu muncul, Naigu selalu membandingkan dirinya dengan orang lain dengan bentuk hidung yang normal. Pada suatu waktu Naigu berhasil melakukan perubahan dengan hidungnya. Naigu senang karena ia bisa hidup dengan wajar tapi petaka itu justru baru dimulai. Naigu mulai merasa tidak bahagia dengan hidungnya yang baru. Kebahagiaan yang jadi tujuannya pun tidak tercapai.

Dari cerita ini, Akutagawa memainkan ide dan makna eksistensial dari seseorang dalam lingkungannya. Betapa kita hanya bisa jadi ada dan dianggap ada bila kita memang diterima oleh lingkungan kehidupan sehari-hari. Wujud penghargaan dari orang lain itulah yang sering kita anggap sumber kebahagiaan.

Akutagawa, melalui cerpen ini, mengajarkan kita untuk senantiasa berbahagia dengan apa yang kita miliki saja. Namun, nafsu manusia seakan tidak berhenti untuk mencapai suatu kebahagiaan lain dan pada akhirnya tidak mendatangkan kebahagiaan apapun. Seringkali, berubah menjadi kesengsaraan. Betapa tipis dan rapuhnya jurang pemisah antara bahagia dan sengsara.

Penutup

Komposisi penempatan judul-judul cerita dalam buku ini sangat tepat. Dari satu petualangan ke perjalanan hingga ke peristiwa lainnya. Pembaca diberikan satu loncatan peristiwa-peristiwa yang kadang-kadang tidak masuk akal. Pada beberapa cerita, pembaca juga punya kesempatan untuk menentukan akhir dan kesimpulan cerita. Maka tidak salah memang bila Akutagawa menyandang gelar Cerpenis Terbaik Jepang.

Melalui cerita-cerita dalam buku ini Akutagawa ingin menggambarkan betapa tipis dan licinnya batas antara buruk dan bagus, jahat dan baik, hina dan mulia, bohong dan jujur, salah dan benar. Sebagai bacaan alternatif buku ini bisa dijadikan referensi bagi peminat sastra khususnya cerita-cerita Jepang dan pencari ajaran-ajaran kebijaksanaan hidup.

Judul : Rashomon: Kumpulan Cerita Akutagawa Ryunosuke
Penulis : Akutagawa Ryunosuke
Penerjemah : Bambang Wibawarta
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Tahun : 2008
Genre : Kumpulan Cerpen Terjemahan
Tebal : vi + 167 hal
ISBN : 979-91-0093-3



Paninggilan, Tangerang, 15 Maret 2010, 23,29


Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...