Kamis, 25 Maret 2010

Setangkai Mawar di Dahan Lain

Mbak,

Terima kasih atas perhatian Mbak selama ini. Kalau dihitung, sudah tiga bulan setelah e-mail terakhir saya. Saya merasa malu karena Mbak duluan yang menegur saya. Sekali lagi maaf, Mbak. Memang sejak kepindahan saya ke Tangerang saya belum sekalipun menghubungi Mbak. Rata PenuhRasanya, SMS yang terkirim kemarin itu cukup jadi alasan kenapa saya tidak segera memberitahu perihal kepindahan ini. Saya pikir Mbak tidak perlu tahu semua hal tentang kepindahan saya yang terasa mendadak ini, pun ketika Mbak nantinya bertanya tentang alasan-alasan saya meninggalkan kota tercinta. Saya memang pernah berniat untuk memulai segalanya kembali disana bersama Mbak. Terkadang, takdir Tuhan bekerja begitu cepat sehingga kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Sebetulnya, semua itu nanti akan berujung pada muara yang sama. Jadi, izinkan saya tidak membahasnya disini. Lagipula, mungkin minggu depan saya akan sengaja menemui Mbak. Mbak tidak perlu tahu dimana dan kapan. Seperti biasa, saya akan kabari lagi nanti. Terus terang, saya juga perlu untuk bicara dengan Mbak. Bukan hanya Mbak saja, bahkan saya sekalipun punya sesuatu untuk sekedar kita bicarakan.

Tepat seperti yang Mbak duga, perhatian saya akhir-akhir ini memang teralihkan. Antara pekerjaan dan kesenangan, seperti biasa. Namun, semuanya terkendali. Tidak ada lagi alasan untuk memblokir internet hanya karena saya sering chatting dengan Mbak. Pun ketika saya hanya bermain Winning Eleven di Facebook karena file-file pekerjaan itu seperti kehilangan geregetnya. Sampai suatu hari, di sore yang mendung, tepat saat bubaran orang kantoran, saya duduk di depan televisi.

Mbak tentu masih ingat sinetron drama Korea terakhir yang terakhir saya tonton adalah yang judulnya Full House, yang satu karakternya bernama Han Ji Eun. Saya ingat ketika itu Mbak sering memainkan soundtracknya di laptop. Sambil memasang headphone di telinga, Mbak menyanyikan lagu dengan lancar tanpa suara padahal tak sekalipun benar-benar paham bahasa Korea. Sejak itu, saya tidak pernah lagi menonton yang begituan.

Seperti yang Mbak tahu, jarang sekali saya mau menonton televisi maka akan aneh jadinya bila saya tiba-tiba mau menonton televisi, apalagi di jam bubaran kantor. Tapi, begitulah takdir bekerja. Membawa kita pada suatu hal yang tidak pernah terduga sebelumnya. Waktu itu, saya tidak terlalu peduli dengan acara di sore itu, sebuah sinetron drama Korea. Lagipula, siapa yang mau menonton acara seperti itu di lobby yang penuh dengan lalu-lalang manusia pekerja. Karena, masih hujan dan tidak harus buru-buru pulang, saya jadi ikut menonton sinetron itu juga.

Waktu itu, entah karena saya menonton sejak episode-episode awal maka saya pun semakin penasaran. Saya selalu bergegas untuk menyelesaikan semua pekerjaan sebelum pukul lima sore. Suatu hal yang jarang bahkan tak pernah saya lakukan sebelumnya. Bila sudah tiba waktunya, kadang saya sengaja ikut nonton di dapur kantor atau tempat kumpul office boy. Mereka tidak protes sedikitpun karena sudah merasa cukup dengan rokok dan kopi yang saya bawa sehingga mereka tidak terlalu peduli untuk mengganggu saya menonton. Maka tak salah bila nenek saya gemar betul duduk berjam-jam sehabis maghrib sampai menjelang tengah malam hanya untuk menyaksikan sinetron yang selalu seperti itu. Sinetron yang produsernya itu-itu juga. Makanya, sampai hari ini pun saya selalu menantikan waktu itu tiba, untuk sekedar menonton sinetron itu. Saya merasa jadi seorang pasien dengan jadwal minum obat yang teratur. Betapa pun ceritanya sederhana dan masih tentang cinta. Namun, mengapa saya masih mau menontonnya hingga menantikannya setiap hari tentu tidak sesederhana itu.

Sinetron itu berjudul “Surgeon Bong Dal Hee”. Melihat judulnya, Mbak pasti sudah menebak kalau sinetron ini bertema rumah sakit atau minimal apapun yang ada hubungannya dengan bedah. Memang betul begitu dan Bong Dal Hee itu adalah nama aktris pemeran utamanya. Berlatar di rumah sakit Hankook University, beberapa dokter magang harus bekerja bersama dokter-dokter senior sebagai pembimbing mereka. Perasaan cinta yang mengintip dibalik pekerjaan dan tuntutan profesi diantara mereka jadi sedikit tabu karena menyangkut urusan profesi dan perasaan sehingga kadang menjadi konfilk. Belum lagi persoalan jadi semakin sulit kala diantara mereka ada yang mencintai orang yang sama. Kurang lebih ceritanya seperti itu. Berkisar dalam pekerjaan, kehidupan dan romantika dokter-dokter penghuni rumah sakit. Saya tidak perlu menceritakan serinci mungkin, Mbak. Saya tidak cukup piawai untuk bercerita tentang sinetron. Sekedar untuk Mbak tahu. Bagi saya pribadi, ada semacam ikatan khusus yang membuat saya merasa harus terus menyaksikan sinetron ini.


Bulan Juli lalu, pada diskusi buku “Olenka” karya Budi Darma, saya sempat bertemu dengan Kiai Maman. Bukan nama sebenarnya, tapi saat diskusi berlangsung “Kiai Maman” adalah panggilan untuk Maman S. Mahayana, bintang tamu yang menemani Budi Darma sekaligus pengajar sastra di FIB-UI. Saya sempat bertanya kepada keduanya sehingga pernah ada komunikasi terjalin diantara kami. Saat tulisan ini ditulis mungkin keduanya sudah melupakan saya.

Beberapa bulan kemudian, saya membaca majalah Horison. Kemudian, mata saya sampai pada halaman tentang tulisan Kiai Maman yang saya lupa judulnya, tapi di footage akhir tulisan, beliau hingga saat ini masih jadi Dosen Tamu di University Hankook, Korea Selatan. Karena itulah, saya merasa ada semacam ikatan perasaan (saya tidak tahu lagi harus bilang apa) antara saya dengan Hankook yang membuat saya semakin mencintai Dokter Bong.

Mbak, tentu dapat menangkap maksud saya kan? Mungkin terdengar sedikit naïf dan absurd tapi memang begitulah keadaannya. Mbak harusnya tertawa lebih puas dan lebih terbahak-bahak dari sebelumnya sekalian menertawakan kebodohan dan pendeknya jalan pikiran saya.

Saya sadar bahwa mungkin saja Mbak menertawakan saya seperti itu. Di pikiran Mbak tentu saja saya bukan seorang penikmat sinetron bahkan nonton film pun jarang. Mbak sendiri mungkin heran kenapa tiba-tiba saya jadi begini dan itu masih mungkin akan jadi pertanyaan di lain hari. Saya persilakan Mbak untuk menanyakannya di hari kita bertemu nanti.

Kadang saya berpikir, apakah Mbak akan cemburu bila saya ceritakan semua ini. Saya rasa sebagai seorang perempuan adalah wajar bila merasa cemburu karena saya telah mengabaikan perasaan Mbak hanya demi sesuatu yang remeh, demi seorang Bong Dal Hee yang hanya muncul di televisi, hanya untuk mendahulukan kepentingan saya, bukannya urusan kita berdua. Kalau muncul rasa cemburu akibat kebiasaan saya yang baru ini, bukan Mbak saja yang ikut merasakannya. Aninda pun merasakan hal yang sama, namun saya masih terlalu pengecut untuk menghadapinya dan membalas semua surat-suratnya.

Seharusnya, saya menelpon Mbak atau mengirim e-mail pada Aninda usai bubaran, bukan malah hanyut dalam cerita sinetron. Harusnya begitu, sampai pesona Bong Dal Hee begitu membuat saya begitu rindu akan kelanjutan kisah ceritanya. Saya memang cukup sadar untuk melakukannya. Saya tahu Mbak butuh teman bicara dan Aninda masih harap-harap cemas menantikan kabar dari saya. Saya tahu itu, Mbak. Namun, agaknya saya masih terlalu takut. Saya takut menghadapi perasaan saya sendiri.

Mbak, tolong jangan bicarakan hal ini dengan Aninda. Saya takut sinetron Korea itu jadi petaka dan sumber api cemburu buat Aninda. Apalagi kalau sampai Aninda tahu saya membuat tulisan ini untuk Mbak. Jauh-jauh hari sebelumnya, Aninda sudah merasa ada sesuatu yang membuat jaraknya dengan saya semakin jauh. Bahkan, pernah suatu hari Aninda mengubah namanya di Facebook menjadi Yang Terlupakan, demi usahanya untuk selalu mengingatkan dan menyindir saya. Sampai nanti, sampai tulisan ini selesai Mbak baca, saya masih merasa takut untuk membalas semua surat Aninda. Jangan tanya kenapa karena saya pun belum tahu jawabnya.

Bilang sama Aninda kalau saya baik-baik saja dan tolong yakinkan Aninda kalau bukan hanya dia saja yang belum menerima sepucuk kabar dari saya. Mbak yakinkan saja dia bahwa Mbak pun belum pernah sekalipun saya hubungi. Tolong jaga perasaan Aninda walau saya tahu itu juga akan membuat Mbak semakin terluka. Saya sepenuhnya sadar bahwa betapa pun manjurnya obat penyembuh luka tetap saja luka itu masih membekas. Bagai paku yang menancap di batang kayu lalu dicabut kembali sehingga menimbulkan bekas lubang. Seperti perumpamaan tadi, saya memang terlalu egois untuk membiarkan Mbak dan Aninda merasakan luka yang sama sedangkan saya sibuk dengan dunia saya sendiri.

Saya tidak mengharapkan pengertian Mbak atas keadaan saya. Dari apa yang saya tulis pun, saya yakin Mbak tahu apa yang saya inginkan. Maka, untuk kesekian kalinya, entah untuk yang keberapa kalinya, saya lagi-lagi harus mengucapkan terima kasih kepada, Mbak. Saya tidak akan meninggalkan janji di akhir tulisan saya. Saya masih terus berusaha untuk meredakan badai dalam hati ini yang selalu membuat saya enggan menulis untuk Mbak dan juga Aninda.

Maafkan saya, Mbak.




Paninggilan, Tangerang, 25 Maret 2010, 15.30

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...