Selasa, 11 September 2012

The Battle for Skripsi: Sebuah Kontemplasi

Awal Desember 2007. Saya heran kenapa saya selalu pulang dari kampus sendirian. Biasanya, ada saja kawan yang menemani. Saya selalu ingin cepat pulang. Padahal, tidak ada yang saya kerjakan di rumah. Tugas kuliah pun sudah tidak terlalu banyak di ujung semester 7. Seminggu itu rasa heran saya akhirnya terjawab. Beberapa sahabat mencoba mengingatkan saya bahwa kami harus segera menyiapkan bahan penelitian untuk mata kuliah Seminar. Tidak sampai disitu saja, bahan untuk mata kuliah itu juga nanti akan dijadikan bahasan untuk skripsi.

Saya sangat kanget mendengar kabar itu. Saya bertanya pada diri sendiri, “Halo, kemana aja sih?” Saya tambah kaget ketika menemui sahabat-sahabat saya itu sedang serius mencari dan menuliskan materi yang akan mereka tampilkan di seminar nanti. Akhir Desember ini, paling lambat semua mahasiswa di kelas kami harus sudah selesai seminar semua. Begitu yang saya dengar dari pihak Jurusan.

Saya tidak menyangka bahwa teman-teman saya ini tiba-tiba menjadi lebih aware dan rajin-tidak seperti biasanya. Mereka lebih serius untuk menggarap mata kuliah yang satu ini. Buat mereka yang punya niat lulus cepat tentu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk menyiapkan bahan sebanyak-banyaknya dan tak lupa rajin berkonsultasi pada Dosen Pembimbing Mata Kuliah Seminar.

Saya terus terang tidak punya ide mengenai hal yang akan saya tampilkan nanti. Saya buka kembali catatan-catatan semester yang lalu. Ada beberapa hal menarik yang bisa saya ajukan kembali. Masing-masing berasal dari mata kuliah Metode Penelitian Kuantitatif dan Metode Penelitian Kualitatif. Namun, rasanya tidak kreatif kalau masih mengangkat isu lama menjadi sesuatu yang baru dan hanya berbeda kemasannya saja. Saya jadikan keduanya sebagai cadangan saja, bila nanti tidak juga mendapatkan ide.

Hari-hari berjalan semakin cepat menjelang Seminar. Setiap harinya saya hanya bisa langsung pulang ke rumah setiap selesai kuliah. Sampai di rumah, bukannya buka buku mencari bahan, saya malah tidur. Saya menjuluki diri saya “Kupu-kupu” untuk pertama kalinya. Artinya, “kuliah pulang, kuliah pulang.” Itulah julukan saya pada diri sendiri waktu itu. Saya mencoba lari dari kenyataan. Saya menutupi ketidakmampuan saya dengan melarikan diri dari kenyataan yang saya hadapi.

Sampai suatu hari di tengah bulan Desember, saat akan berjalan pulang, saya melihat kerumunan teman-teman keluar dari Perpustakaan Skripsi. Mereka tampak puas karena persiapan bahan penelitian untuk diajukan di seminar nanti sudah selesai. Sedangkan saya? Oh My God. Where have you been, Nggi?

Saya mengunjungi pondokan kost tempat kami biasa berkumpul. Untuk kesekian kalinya saya kaget lagi. Ternyata, dari semua orang disitu hanya saya yang masih belum menyelesaikan tugas ini. Saya pulang dengan perasaan gondok karena tidak menyangka mereka berhasil mengalahkan saya, dan saya tidak suka itu. Kenyataan memang sulit untuk diterima.

Malamnya, entah dapat ide darimana, saya mengajukan sebuah judul sederhana. Judul yang saya coba hubung-hubungkan dengan contoh skripsi Paman saya. Saya buat outline lalu saya mulai menyusun kerangka usulan penelitian. Lengkap seperti BAB I skripsi betulan.

Saya memang ketinggalan jadwal seminar yang pertama. Sungguh malu sekali rasanya. Nilai A yang bertebaran di transkrip semua jadi omong kosong belaka. Hanya karena saya tidak sanggup memenuhi batas akhir seminar yang pertama ini. Saya merasakan beban dan tekanan yang semakin meningkat.

Dengan sedikit usaha “pendekatan” kepada Dosen akhirnya saya dan lima orang kawan lainnya diizinkan untuk ikut seminar tambahan jilid dua. Seminar yang khusus diadakan untuk kami itu berlangsung menjelang liburan Natal 2007. Saya menjadi peserta terakhir seminar karena saya juga harus menyelesaikan presentasi Praktik Kerja Lapangan (PKL) dengan Dosen Penguji yang sama. Untuk yang terakhir disebutkan tadi, saya juga jadi peserta terakhir. Saya mahasiswa terakhir di kelas yang melaporkan hasil PKL.



Setelah mendapatkan “ACC” dari seminar kemarin, Dosen Penguji menyarankan kami agar bahan seminar itu dijadikan embrio skripsi. Dengan demikian, terhitung sejak Januari 2008 kami mulai penyusunan skripsi. Awal tahun yang dibuka dengan optimisme untuk tidak mengulangi kesalahan kemarin. Pelajaran dari mata kuliah Seminar kemarin sudah cukup membuat saya belajar untuk tidak lagi menganggap enteng tugas apapun.

Ternyata, meraih kesempatan itu tidak semudah yang saya duga. Dua minggu pertama bulan Januari itu saya tidak mendapat kemajuan apa-apa untuk pengerjaan skripsi ini. Saya memang bertemu dan berkonsultasi dengan Dosen Pembimbing. Kadang-kadang juga dengan Dosen Wali. Tapi tetap saja tidak ada hasilnya karena saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya tuliskan.

Dua minggu itu jadi minggu yang paling memuakkan sepanjang perjalanan kuliah saya. Saya benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi. Saya dilanda frustasi dan kejenuhan. Saya tahu bahwa saya tidak bisa berhenti karena hal itu. Tetapi, saya juga harus segera menemukan solusi agar masalah ini tidak kian larut dan jadi masalah yang baru.

Mau tak mau ku harus
Melanjutkan yang tersisa*

Pada suatu malam, lagu itu mengalun pelan di radio. Saya yang sedang melamun jadi tersentak. Lagu itu membuka hati, jiwa, dan pikiran saya untuk kembali fokus pada apa yang telah saya kerjakan: skripsi. Saya tidak bisa mundur begitu saja. Mau tak mau saya memang harus melanjutkan yang tersisa. Saya akan melakukan sesuatu untuk diri saya sendiri. For the love of the game, for the love of my life.

Dengan rasa percaya diri level 10, saya temui lagi Dosen Pembimbing. Paparan saya untuk penelitian ditolak lagi. Ini sudah penolakan ketiga. Artinya, sebenarnya saya sudah kehabisan kesempatan. Tetapi, saya rasa Dosen Pembimbing pun punya pertimbangan sendiri untuk tidak meloloskan usulan saya. Saya masih terus berusaha walau memang tidak menyenangkan sekali rasanya.

Tidak terasa, Februari tiba-tiba datang begitu saja. 14 Februari, hari dimana tiga sahabat saya dinyatakan lulus membuat saya tergugah untuk tidak menyerah. Seminggu kemudian, setelah mengalami lima kali ganti judul, usulan penelitian saya diterima untuk dilanjutkan ke Bab selanjutnya.

Saya terpacu untuk menyelesaikan bab-bab selanjutnya. Saya jadi tidak takut lagi akan kegagalan. Skripsi hanyalah sebuah proses belajar agar kita tahu dimana letak kesalahan kita. Saya tidak perlu takut lagi menghadapi segala macam kritikan, justru itulah yang akan membangun skripsi ini menjadi lebih baik. Seminggu sejak itu, saya berhasil meloloskan dua bab sekaligus. Jam 11, saya ajukan Bab II: ACC. Jam 12, saya ajukan lagi Bab III: ACC. Saya juga tambah heran karena Dosen Pembimbing tidak memberikan argumen apa-apa.

Saya mengulangi hal yang sama tiga minggu kemudian. Agak sedikit lebih lama karena saya harus menganalisa hasil penelitian dan menuliskan kesimpulannya. Entah karena keberuntungan atau memang karena kasihan, kedua Dosen Pembimbing tidak berkomentar apa-apa ketika menyetujui nama saya untuk ikut sidang.

Hari itu, Kamis 27 Maret 2008, saya dinyatakan lulus dengan nilai IPK yang tidak terlalu mengecewakan. Hal ini menjadi pertanda bahwa apa yang telah saya lakukan kemarin itu tidaklah terlalu salah. Saya berhasil mendahului kawan-kawan yang lebih dulu punya ide soal seminar kemarin. Saya berhasil mempertahankan determinasi untuk menyelesaikan apa yang telah saya mulai.

Setelah apa yang saya lalui kemarin, saya belajar banyak hal. Skripsi bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban. Skripsi hanyalah sarana latihan sejauh mana pemahaman seorang mahasiswa dalam menempuh masa perkuliahan. Skripsi pun tidak perlu dianggap jadi momok yang menakutkan karena masih bisa direvisi usai dibantai habis di dalam ruang sidang oleh para Dosen Penguji. Bukankah kesalahan diciptakan agar kita tahu dimana letak kekurangan kita?

Dalam kasus ini, setidaknya saya sedikit belajar juga dari kisah-kisah kebangkitan para CEO dalam memimpin bisnisnya dalam buku “Change”. Ada gunanya juga buku “Change” yang ditulis begawan manajemen kita, Rhenald Kasali. Dari buku itu, saya tahu bagaimana menciptakan perubahan dari dalam diri sendiri. Plus, sedikit wawasan tambahan dari Jack Welch yang berhasil mentransformasikan General Electric untuk kembali ke bisnis inti mereka. Pun, turnaround management yang dilakukan oleh Robby Djohan untuk meletakkan dasar-dasar fondasi manajemen korporasi yang lebih tangguh bagi Garuda Indonesia. Pengalaman memang guru yang paling baik.

Kegagalan bukanlah suatu tragedi kecuali bila memang kita masih terjebak dalam penyangkalan semu. Menerima kegagalan memang tidak pernah menyenangkan. Sama halnya dengan mengakui sebuah kegagalan. Dibutuhkan lebih dari sekedar keluasan jiwa dan hati yang lapang untuk melakukannya. Apalagi mengingat harga yang ditimbulkan dari suatu kegagalan yang sama mahalnya dengan harga sebuah pengalaman. Bangkit dari kegagalan adalah sebuah cermin jujur yang menampakkan kekuatan sejati untuk tetap bertahan dan berjalan. It’s not about the failure but it’s all about how you manage the corrective action and move on after all that happened.


Jakarta, 14 Mei 2012.

* lirik lagu "Mau Tak Mau" dari Jagostu

1 komentar:

Adit Purana mengatakan...

setel lagunya vierra dong.. "Agar aku tak kesepian.."

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...