Kamis, 30 Agustus 2012

Tiga Surat Cinta untuk Aninda (3-habis)

Aninda cintaku, manisku, sayangku,

Hari-hariku disini sebentar lagi usai. Engkau tentu membayangkan aku mengunjungi tempat-tempat yang pernah kita idamkan saat menonton bersama serial drama “Surgeon Bong Dal Hee” dan “Fashion 70’s”. Pengetahuan dan wawasanmu selalu bertambah usai menyaksikan bagaimana dr. Ahn mengoperasi pasiennya. Engkau pun tentunya makin paham tentang ego dan persaingan sesama dokter. Dari semua itu Aninda, aku selalu salut akan rasa penasaranmu pada sejarah perang Korea. Seperti engkau tahu, aku pun sama penikmat sejarah walau tidak pernah hafal tanggal berlangsungnya pemberontakan PRRI dan Permesta.

Sejarah bagiku adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.

Aku selalu kebingungan menjawab pertanyaanmu soal Perang Korea. Perang yang berlangsung selama tiga tahun itu dimulai oleh serangan Korea Utara pada 25 Juni 1950. Perang baru reda pada 25 Juli 1953. Tidak lama memang, engkau tahu sendiri penjajahan Jepang di Indonesia pun hanya berlangsung empat tahun. Tetapi, dampak dan akibat yang dihasilkan dari invasi Jepang itu sendiri lebih kejam dan sporadis dari tiga setengah abad umur pendudukan Belanda.

Aninda, aku kini membayangkan wajahmu lengkap dengan kerutan dahi usai bertanya soal perang itu. Engkau masih tidak percaya bahwa perang yang singkat itu menimbulkan dampak yang begitu besar bagi keutuhan sebuah keluarga. Telah engkau saksikan sendiri Aninda, bagaimana perang membuat pertalian sebuah keluarga menjadi berserakan seperti yang dialami Kang Hee dan Deo Mi. Mungkin nanti, saat aku telah kembali, kita bisa membaca lagi sejarah Perang Korea ini bersama. Kata temanku, Majalah Horison bulan April kemarin menampilkan esai seorang Profesor asal Korea yang membahas soal Perang Korea dan hubungannya dengan perkembangan sastra di negerinya Ahn Jung Hwan* ini.

Sehari sebelum kepulanganku, Kim dan Lee mengajakku mampir ke sebuah tempat yang masih ada hubungannya dengan ketertarikanku soal sejarah. Kim dan Lee tahu itu sejak mereka menjadi tamu istimewaku dulu di Jakarta. Kami pernah bertukar pandangan soal dunia susastra yang dipengaruhi oleh gelombang sejarah masing-masing bangsa di belahan timur bumi ini.

Pagi tadi, aku berdiri dihadapan National Museum of Korea. Museum yang namanya serupa dengan Musium Nasional negeri kita, Aninda. Sayangku, museum ini besarnya luar biasa. Museum ini adalah museum keempat terbesar di dunia. Engkau bisa membayangkan sendiri bagaimana luasnya museum ini. Lee menjelaskan bahwa dibutuhkan delapan belas jam untuk mengelilingi seluruh museum ini. Bayangkan Aninda, delapan belas jam hanya untuk membaca peradaban yang dibentuk atas nama sejarah. Delapan belas jam dikotamu mungkin hanya jadi jumlah waktu kerja seharian belaka. Namun disini, bisa jadi delapan belas jam yang fantastis.

Aninda tercinta, suatu saat nanti bila kita datang ke museum ini bersama tentu engkau akan melihat sendiri bagaimana sejarah dikemas secara menarik. Penyajian artefak dan sistem penandaan koleksi museum sangat informatif. Dibalut dengan penerangan yang begitu anggun dan elegan. Seakan kita dibuat lupa bahwa sejarah itu tidak mengandung kebenaran. Kim dan Lee bergantian menjelaskan satu persatu peninggalan sejarah bangsanya disana. Aku jadi ingat Guru Sejarah kita, Ibu Guru Enny, yang selalu antusias membawakan pelajaran dan selalu tahu siapa yang menguap selama pelajaran berlangsung.

Tidak hanya sampai disitu. Kim dan Lee rupanya ingin memberiku kenangan tak terlupakan soal sejarah bangsanya. Aku bersyukur dalam hati karena aku membawa banyak hal untuk kuceritakan kembali padamu, Aninda. Kim dan Lee membawaku mengunjungi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Seperti di museum, aku serasa diundang untuk menjelajahi masa lalu suatu bangsa. Bedanya, di museum tadi kental dengan nuansa modern sedangkan di Istana ini aku melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.

Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat. Aku membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan oleh Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.

Demikianlah Anindaku, sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa. Kita tidak perlu repot-repot menuntut Pemerintah untuk menambal dinding bangunan-bangunan bersejarah macam museum di negeri kita. Kita hanya perlu menatap sejenak ke belakang. Mengenang apa yang telah kita lalui dalam sejarah hidup kita masing-masing. Mengenang hari pertama aku jatuh cinta kepadamu, masa-masa pertengkaran yang selalu berakhir dengan kata maaf, pun hari-hari menjelang pernikahan kita yang segera menanti usai kepulanganku dari Korea ini.

Begitulah Aninda, surat-surat ini pun telah jadi bagian dari sejarah kita. Sejarah yang akan menembus ruang dan waktu bagi anak cucu kita kelak. Sejarah yang akan menuliskan nama kita disana sebagai suatu kesatuan yang utuh, tak lekang oleh waktu.

Peluk hangat dan cium mesra,

Kekasihmu yang akan segera pulang.


Paninggilan, 14 Mei 2012

*Ahn Jung Hwan, pemain sepakbola yang mencetak gol penentu kemenangan Korea Selatan atas Italia 2-1, di perempat final Piala Dunia 2002 lalu.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...