Selasa, 07 Agustus 2012

Perihal Menjadi Imam

Jadi imam itu berat bukan main. Amanah imamah, jangan main-main. Aku belum sanggup tegak untuk itu. Kalau kubaca “Iyyaka na’budu wa-iyyaka nasta’in”, aku merasa bertanggungjawab atas ikrar itu secara kolektif. Menjadi imam itu memimpin sumpah: “Hanya kepada-Mu kami menyembah...”

“Jamaah Kaffah” dalam buku "Tuhan Pun Berpuasa", Emha Ainun Nadjib, Penerbit Buku Kompas, 2012.
 

Menjadi imam atau pemimpin adalah satu hal yang erat kaitannya dengan amanah. Bila saya ditunjuk untuk memimpin shalat berjamaah maka itu merupakan amanah atau kepercayaan yang diberikan kepada saya. Singkatnya begitu. Selama syarat imam shalat terpenuhi maka saya akan pimpin shalat berjamaah tersebut.

Membaca petikan tulisan Emha Ainun Nadjib diatas justru malah membuat saya kembali bertanya pada diri saya sendiri. Kalau saja seorang Emha masih merasa enggan, masih merasa malu kepada Tuhannya, dan sungkan kepada jamaah, karena derajatnya yang sekedar derajat makmum, lha kok saya bisa-bisanya menerima begitu saja pinangan kawan-kawan untuk mengimami shalat mereka.

Padahal, tanggung jawab seorang imam itu cukup berat. Kalau ia membaca Al-Fatihah ia tentu harus paham apa makna shirattal mustaqim. Kalau ia bersujud ia tentu harus paham apa makna dibalik gerakan sujud itu. Kalaulah ia membaca hafalan ayat, sudah barang tentu hafalan ayatnya juga harus kuat. Belum lagi dengan hukum bacaan tajwid yang fasih.

Bila Emha saja masih merasa rendah diri untuk menjadi seorang imam, maka apalah artinya saya ini. Lalu saya jadi bertanya-tanya kepada diri saya sendiri. Apakah saya bisa menjamin penyembahan kepada Allah SWT oleh jamaah dibelakang saya? Apakah saya benar-benar mampu menjadi pandu mereka dalam menghadapi shirattal mustaqim?

Menurut Emha sendiri, kalau mau jadi imam itu sing kaffah. Maksudnya, kalau mampu mengimami shalat maka harus mampu juga memimpin jamaah dalam konteks yang lebih luas. Dalam segala konteks kehidupan. Baik itu dalam konteks ekonomi, sosial, kebudayaan, moral, politik, kemanusiaan, demokrasi, hingga peradaban.

Barangkali, kawan-kawan harus kembali melihat potongan saya. Apakah saya benar-benar bisa menjalankan peran tersebut. Tolong, jangan jadikan saya imam. Biarkanlah saya jadi makmum di barisan shaf paling belakang. Kalau memang masih harus jadi imam, biarlah Allah SWT menempatkan saya kesitu. Supaya saya bisa kaffah, menuruti apa kata Emha. Wallahu'alam bis shawab.



Medan Merdeka Barat, 7 Agustus 2012.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...