Selasa, 28 Agustus 2012

Tiga Surat Cinta untuk Aninda (2)

Anindaku, cintaku, 

Apa kabarmu hari ini? Aku harap matahari yang sama menerangi indah harimu disana. Aku ingin bercerita tentang keadaanku hari ini. Usai hari kedua seminar yang sangat melelahkan. Terlalu banyak hal yang tidak harus kita mengerti, Aninda. Terlalu banyak juga hal yang tidak perlu diungkapkan. Hanya saja, aku selalu merasakan kehadiranmu bersamaku disampingku setiap aku menuliskan kata-kata dalam surat ini. Engkau seakan menjelma dalam bayangan malam di sudut jendela kamar itu.

Apa yang aku ceritakan sekarang ini adalah cerita tentang perut kami yang dimanjakan dengan makanan disini. Untungnya, kami terlahir sebagai manusia yang mampu menilai suatu makanan layak disebut istimewa atau tidak. Sesuatu yang tidak dimiliki makhluk ciptaan Tuhan lainnya.

Sarapan kami disini tergolong istimewa. Kami makan pagi di sebuah restoran yang terletak di lobi hotel. Sajian makanan tersedia dalam buffet dan dihidangkan secara bebas merdeka. Kami bebas mengambil apa saja selama berjenis-jenis makanan itu ada disana. Engkau tentu tahu kebiasaan orang Indonesia kan? Seperti itulah kami disana. Menu sarapan yang jarang kami sentuh disini macam roti, kentang, sosis, buah, susu, jus, dan salad menjadi menu favorit kami.

Usai sarapan, kami kembali menghadiri seminar. Masing-masing perwakilan negara anggota ICAO menyampaikan hasil pemikiran mereka. Kami pun kebagian dan turut serta menyumbangkan pemikiran. Paparan itu sukses menuai kritik dan pujian. Aku tidak terlalu ambil pusing. Biar saja temanku itu yang menjelaskan. Aku percaya bahwa ia sudah lebih dari paham mengenai hal itu.

Malamnya, kami merasa segar untuk sekedar mencari angin di Negeri Ginseng ini. Kim dan Lee mengadakan semacam welcoming party kecil-kecilan. Kami disambut lagi oleh hidangan yang mewah dan gemerlap. Aku memang masih kenyang, begitupun kawan lainnya. Tetapi, rasa penasaran kami terlalu besar sehingga kami mencoba banyak makanan yang belum pernah kami kenal. Aku sudah lupa nama-nama makanan itu. Ingatan jangka pendekku agak bermasalah akhir-akhir ini. Aninda, engkau tahu sendiri bahwa makanan Korea yang aku kenal hanyalah kimchi dan bibimbap. Selebihnya, aku lupa. Padahal, Kim dan Lee sudah menerangkan dengan sangat jelas apa yang kami makan itu tadi.

Demikianlah Aninda, betapa makanan yang masuk perut kami ini sejatinya adalah faktor utama terwujudnya perdamaian dunia. Perang, apapun bentuknya, sejatinya disebabkan oleh sekelompok manusia yang selalu merasa lapar atau mereka yang sudah kenyang tetapi lupa untuk berhenti.

Aku tulis surat ini dengan perasaan yang sama seperti saat pertama kali jatuh cinta padamu, Aninda. Hanya kepadamu, Aninda. Perasaan yang sama seperti kemarin, esok, dan seterusnya.

Penuh cinta,


Kekasihmu si sudut kota Seoul.


Paninggilan, 14 Mei 2012.

*ICAO: International Civil Aviation Organization

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...