Selasa, 08 September 2009

Puasa di Jakarta (dan sedikit cerita lainnya)

Bulan Ramadhan semakin beranjak melewati setengah rembulan. Masih rembulan yang sama. Rembulan yang kadang berwarna kemerahan kala menggantung di langit Cikampek bagaikan bola lampu raksasa di tengah jamuan makan malam. Puasa di Jakarta adalah kerinduan. Kerinduan pada suasana Ramadhan di kampung halaman. Rindu pada mushaf yang selalu dibaca menjelang maghrib. Rindu pada suara muadzin-muadzin yang selalu diagungkan menjelang waktu berbuka puasa. Rindu pada ceramah seusai Subuh yang menambah kantuk semakin menjadi.

Seperti biasanya, tidak banyak yang terjadi padaku selama Ramadhan kali ini. Aku masih sama seperti muslim lainnya yang sahur menjelang waktu imsak dan berbuka puasa kala maghrib menjelang. Masalah kesehatan terutama berat badan bukan lagi masalah serius yang harus diperhatikan. Sudah tentu Ramadhan kali ini aku tidak makan tiga kali sehari. Paling banyak dua kali sehari. Sahur dan buka. Sudah itu saja. Jadi, kemungkinan berat badan akan turun bukan khayalan semata.

Ramadhan kali ini rasanya berlalu begitu saja. Sama seperti yang telah kulalui pada tahun-tahun sebelumnya. Tiba-tiba sudah tengah bulan. Harus kuakui kualitas ibadahku masih sama-sama saja. Aku masih menjalankan shalat lima waktu, kadang-kadang ditambah shalat sunat rawatib. Tilawah qur’an kadang-kadang sehabis maghrib. Itu pun melanjutkan bacaan yang tidak selesai sejak Ramadhan-Ramadhan kemarin, bukan dimulai dari potongan ayat pertama Al Fatihah. Disaat kawan yang lain berlomba mengkhattamkan Qur’an, aku malah asyik menamatkan Plan of Attack dari Dale Brown yang tebalnya 510 halaman itu.

Rupanya, aku terbawa alur cerita buku itu yang bercerita tentang proliferasi nuklir Rusia yang berimplikasi pada serangan udara pesawat bomber Rusia ke target-target anti serangan di wilayah Amerika Utara, USA dan Canada. Membaca buku itu ibarat menonton film perang buatan Hollywood. Kurang lebih sama dengan ketika kau menonton Tom Cruise di film “Top Gun”. Mungkin itu sebabnya, ada buku yang diangkat kisahnya untuk dijadikan film atau film yang dibuat berdasarkan pelebaran jalan cerita pada suatu buku tertentu. Kisah seorang pilot ternyata bisa lebih menarik dari tenggelamnya Fir’aun ditelan Laut Merah.

Aku lihat status facebook dan ternyata telah banyak terjadi perubahan. Status kawan-kawan kini lebih banyak dihiasi dengan ucapan syukur atau minimal ucapan-ucapan lainnya yang menyertakan nama Tuhan disana. Ada yang bahagia dan mengucap syukur. Ada yang kecewa sambil tetap optimis bahwa Tuhan tidak akan pernah salah dalam member ujian. Ada yang tidak tahu harus berbuat apalagi sehingga “memaksa” Tuhan untuk memberikan petunjuknya. Ada juga yang cukup menulis juz yang sedang dibacanya sehingga semua Jamaah Al Fasbukiyah mengetahui dan menulis komentar bernada semangat untuk mengkhattamkan Qur’an. Aku rasa hal seperti itulah yang tidak perlu. Soal ibadah biar diri sendiri dan Tuhan saja yang tahu. Khawatir menjadi riya’. Bila sudah begitu percuma saja pahala yang sudah terkumpul lenyap begitu saja bagai api memakan kayu bakar. Begitulah yang kupahami dari Guru Agama waktu sekolah di SMA.

Cerita selanjutnya masih sama saja. Konsumerisme dan konsumtivisme masih menjadi isu yang menarik untuk diangkat menjadi tema bulanan. Lihat saja, banyak pusat perbelanjaan yang mengadakan special offer hingga sale gila-gilaan. Bahkan, ada yang sampai mengklaim bahwa ditempatnya itulah konsumen akan benar-benar menikmati shopping experience yang berbeda untuk pertama kalinya di Indonesia. Sebagai implikasi menjelang lebaran hal ini terlihat sangat lumrah. Selumrah kita meninggalkan kekhusyukan sepuluh hari terakhir untuk saling berlomba memadati pasar-pasar dan tempat perbelanjaan.

Untuk yang masih muda, nongkrong dan belanja di distro masih akan jadi budaya setidaknya 10 tahun lagi. Untuk yang beranjak dewasa, belanja barang branded dengan harga sale bisa jadi pilihan utama ketika THR telah dibayarkan. Untuk kaum dewasa menjelang tua dimana belanja bukan lagi kebutuhan utama mereka hanya cukup menerima pemberian saja dari anak-anak atau keluarga terdekat. Toh, dengan begitu lebaran masih akan tetap semarak.

Kalau ada yang sampai membuatku sibuk menjelang lebaran ini adalah persiapan mudik. Aku akan bersama jutaan warga kota ini akan terlibat bersama dalam sebuah ritual tahunan. Tujuanku tidak jauh, hanya sampai ke Bandung saja. Namun, esensinya masih akan tetap sama. Mudik ya pulang ke kampung halaman. Kira-kira begitu tafsirnya walau tentu berbeda dengan ketika pulang pas bukan waktunya mudik. Kalau lebaran tahun ini tidak diundur dan di suspend, Insya Allah ini akan jadi mudik pertama. Jadi aku belum akan terlalu banyak cerita karena aku belum mengalaminya.

***

Mestinya kau tak perlu buka buku harianku
Hanya akan membuat dirimu tersiksa dalam rasa curiga *)

Pelan lagu mengalun dari speaker. Sebuah lagu lama dari Krisdayanti zaman dulu dia belum terkenal dan seheboh sekarang. Dulu lagu itu memang hits. Aku masih ingat cuplikan video klipnya. Ternyata, dari zaman dulu selingkuh itu memang sudah ada dan tercipta. Maka, aku tidak heran apabila sekarang cerita dalam lagu itu menimpa si penyanyinya. Aku memang tidak mengikuti berita perceraian Krisdayanti. Aku hanya baru tahu kejelasan ceritanya dari tulisan di kolom kecil The Jakarta Post hari ini. Anang mengaku kehilangan separuh jiwanya. What a sad story. But that’s reality. Once you get betrayed, you’ll get another betrayal. Kadang cinta dan pengkhianatan menjadi sebuah ikatan yang utuh tanpa harus saling melepaskan. Dan inilah waktu yang tepat untuk berkata "I'm sorry goodbye***)"

Lagu lainnya yang keluar dari speaker yang bermerek sama dengan nama atasanku terdengar sedikit aneh.

Waktu aing datang ka imah sia
Ku indung sia dipareuman lampuna
kagok edan ku aing sagala dipacok
sihorengteh indung sia kabagean **)

Aku jadi teringat kisah seorang anak kecil. Ia selalu tidur bersama ibunya setiap malam. Pada suatu purnama yang sempurna, ia terbangun dari tidurnya dan tidak mendapati sang ibu disampingnya. Mungkin karena sudah menyimpan rasa curiga ia pergi mengambil sebilah pisau di dapur. Kemudian, ia berjalan keluar rumah diterangi purnama yang bagaikan bola lampu neon besar.Entah bagaimana, dalam kegelapan kamar, ia kini mendapati ibunya sedang hanyut dalam pelukan seorang lelaki yang tidak ia kenal. Keduanya tidak bangun dan tidak tahu bahwa ada seorang anak kecil dengan sebilah pisau tengah menanti mereka untuk memberi izin pada Izrail untuk mencabut nyawa keduanya. Singkat cerita, si anak kembali pulang ke rumah dengan pisau berlumuran darah. Ia tidak tahu apa-apa. Tidak ada pula teriakan kesakitan ketika akhirnya Izrail melaksanakan tugasnya.

Mengerikan memang. Tapi, apapun masih bisa terjadi dalam hidup ini. Semuanya kadang bisa jadi kejutan tanpa harus menunggu keajaiban.

***

Senja telah turun di Jakarta. Matahari kini bagaikan bola merah membara. Sinarnya kini menembus jendela ruanganku. Gemuruh terdengar tandanya pekerja pulang ke rumah. Semua saling berlomba. Mengejhar adzan maghrib katanya. Aku tahu maghrib pun akan segera menghampiriku tepat dalam macetnya Jakarta. Debu, cinta, dan rindu berkejaran menghiasi kota yang tidak pernah diam sepi.


Kelapa Gading, 8 September 2009


*) Krisdayanti, “Terserah (buku harian)”. Ngetop pada zamannya.
**) The Panas Dalam, “Maklum Poek”. Penampilan liriknya dalam bahasa sunda tergolong cukup ekstrim tapi menghibur.
***) Krisdayanti, "I'm Sorry Goodbye".

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...