Senin, 26 Maret 2012

Cerita Dibalik Debu, Sebuah Catatan, dan Trilogi

Sudah lama sekali saya tidak membersihkan rak buku. Entah kapan terakhirnya saya tidak ingat persis. Kuas cat ukuran 2 inci pun masih ditempatnya. Bulunya masih halus tanda masih perawan. Sudah lama juga saya tidak membuka buku-buku dalam rak itu. Akhirnya, saya pun memberanikan diri untuk membersihkan debu-debu dengan resiko bersin-bersin. Perlu dicatat, hidung saya terlalu sensitif untuk debu dan pagi itu sedang kumat-kumatnya.

Selesai bermain dengan debu, sambil menata buku satu persatu ke tempatnya masing-masing, saya mulai membuka-buka kembali buku-buku itu. Sebuah perasaan menakjubkan tiba-tiba muncul. Saat menemukan penanda, baik itu pembatas buku ataupun kalimat yang digarisbawahi. Merujuk pada bagian paragraf yang entah saat itu terasa sangat ada maknanya. Lengkap dengan aroma lembap dan debu yang menempel pada setiap lembar halaman buku.

Saya seakan berada pada masa-masa itu. Pada banyak malam sunyi, berbaring membaca buku-buku Seno Gumira Ajidarma sebelum tidur sambil ditemani alunan lagu jadul dari K-Lite 107.1 FM. Percayalah, Atas Nama Malam akan lebih syahdu bila engkau membacanya saat malam menuju puncak gairahnya. Ada kejutan tersendiri bila mengingat saat itu. Saat yang telah terlewati dan hanya jadi kenangan dalam ingatan semata. Hanya menyisakan makna-makna yang tertinggal berceceran dalam pikiran. Sampai saya menemuka dua buku itu, Catatan Hati Seorang Istri dan Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya Pipiet Senja.

Kalau diingat lagi, ada korelasi antara kedua buku itu, Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia. Saya memutuskan untuk membeli Trilogi Pipiet Senja dan Catatan Asma Nadia itu karena beberapa sebab. Selain rekomendasi seorang sahabat dan sebuah rasa penasaran tentang seluk beluk pernikahan. Entah kenapa, waktu itu dorongan untuk kembali memaknai kalam-kalam ayat Illahi menyeruak begitu hebat. Mungkin karena saat itu saya terlalu banyak mengkonsumsi buku-buku sastra yang begitu menalar pikiran. Pengaruh SGA begitu kuat sehingga saya tidak mampu untuk menjauh dari buku-buku sastra lainnya. Barangkali juga saya sedang jenuh. Saya butuh bacaan yang bisa mendekatkan kembali dengan tanda-tanda kebesaran Tuhan.


Beralih sejenak, saya sampai pada Catatan Hati Seorang Istri karya Asma Nadia. Buku yang dibeli tak lama sebelum keberangkatan saya ke Jakarta untuk sebuah wawancara kerja di bulan Oktober 2008. Buku berisi catatan-catatan singkat tentang perasaan dan suara hati kaum istri. Tentang bagaimana kaum istri memaknai peran mereka atas kehidupan ini. Sebagai seorang istri bagi suami mereka, seorang ibu bagi anak-anak mereka, dan kawan sekaligus lawan bagi diri mereka sendiri.

Buku ini sebenarnya jadi penanda atas suatu perasaan. Dalam suatu obrolan singkat pada suatu malam menjelang pernikahan seorang sahabat, terlintas ide untuk setidaknya ‘mempelajari’ hal-hal yang dimungkinkan terjadi pada saat pernikahan. Tak tahu kenapa pilihan untuk ‘belajar’ hal itu jatuh pada buku ini. Saya ambil logika sederhana. Jika kita mau mengetahui bagaimana isi dan suara hati seorang istri maka carilah dari mereka yang benar-benar menyuarakannya. Buku ini misalnya. Dikumpulkan dari beberapa kisah nyata yang benar-benar terjadi. Isu-isu tipikal macam perceraian, perselingkuhan, dan KDRT masih menjadi perdebatan hingga hari ini. Satu hal yang membuat kisah non-fiksi ini memiliki kesan yang kuat adalah pengaruhnya untuk membangkitkan semangat menulis di kalangan kaum istri di tanah air.

Selanjutnya, saya menemukan lagi buku-buku yang belum saya tamatkan sejak pertama kali membelinya kurang lebih 4 tahun yang lalu. Buku Trilogi Kalbu-Nurani-Cahaya dari Pipiet Senja. Ketiga buku kecil yang belum mampu saya tamatkan hingga hari ini. Saya sadari itu ketika mulai membaca buku terbaru Pipiet Senja “Menoreh Janji di Tanah Suci” seminggu yang lalu. Sebuah memoar pengalaman haji dan umroh yang dituturkan secara gamblang oleh penulisnya.

Saya sangat malu kepada diri sendiri untuk menyikapi keadaan ini. Saya merasakan suatu keadaan ‘imbalance’ atau ketidakseimbangan. Ada suatu perasaan yang kering. Sehingga, saya perlu menyeimbangkan kembali keadaan itu melalui bacaan sastra Islami sebagai bagian dari Sejarah Perkembangan Sastra Nusantara. Jangankan membaca kata per kata, lembar per lembar. Menyentuhnya pun saya tidak pernah.

Dulu, saya harap Trilogi ini bisa jadi alternatif bacaan sastra. Terutama sastra Indonesia dengan sentuhan Islami yang memang sedang menggeliat dan mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam dekade terakhir ini. Ada yang ingin saya pelajari dari fenomena itu. Bagaimana fiksi berbaur dalam realita sehingga menghadirkan realitas fiksi dalam pikiran pembaca. Someday, saya akan menamatkan pembacaan Trilogi ini. Entah kapan, tapi saya tahu waktu itu akan tiba.


Paninggilan, 25 Maret 2012. 20.09
hujan besar disini

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...