Jumat, 12 Februari 2010

The Lies We Live In

Waktu dan jarak adalah penyembuh luka yang paling baik.


Entah bagaimana tiba-tiba aku ingat kembali pada ucapan sahabatku yang mendadak jadi Begawan yang sangat bijak. Begitulah yang kuingat, ketika perempuan ini meninggalkanku sendirian usai melepas kepergiannya. Gerimis selalu turun tanpa pesan. Senja murung pada mendung yang rawan. Hujan kemudian mengukir gelisah pada dinding senja. Waktu maghrib jatuh, buluh cintaku rapuh*)

*

Kata-kata itu masih terngiang bagai bisikan cinta yang begitu lembut dan mesranya sehingga aku terlena. Hah, tiba-tiba lamunanku ikut terbawa lagu dangdut dari kamar sebelah. Waktu dan jarak bukanlah obat untuk mereka yang terpisah. Bukan pula jadi semacam dimensi penawar luka. Waktu dan jarak adalah pemisah, hijab yang membuat luka ini semakin dalam. Barangkali, aku lupa aku luka.**)

Aku tetap merasa ucapan sahabatku itu benar adanya. Mungkin, yang jadi masalah adalah aku masih saja menyangkalnya. Tidak mudah melupakan seseorang. Apalagi kalau sudah tenggelam dan akhirnya karam di palung hati. Tidak mudah walau mungkin saja satu saat waktu dan jarak menunjukkan kuasanya.

Aku pikir melupakan sesorang itu hanya butuh semalam saja-seperti yang sudah-sudah. Semalam saja, sudah itu tutup buku. Tidak perlu ada lagi catatan atau cerita tentang kenangan yang perlu dibuka kalau hanya membuka luka lama saja.***) Setidaknya, begitu yang aku pikirkan. Sama seperti pesan di inbox Facebook dari cintaku yang jauh di Kangguru****) sana. Sebenarnya, aku lebih suka memanggil nama aslinya namun “Cinta” sepertinya terdengar lebih syahdu untuk dia yang memang lugu. Kami hanya berteman saja. Hampir tidak ada perasaan. Tidak seperti perempuan yang pergi di maghrib itu. Terlalu banyak perasaan untuknya.

*

Who do you need?
Who do you love?
When you come undone,
(Duran-Duran, Come Undone)

Aku kira hidup akan lebih mudah bila aku benar-benar telah melupakannya. Pekerjaan yang semakin menjemukan dan memuakkan sehingga menyita seluruh waktuku ternyata masih cukup ampuh untuk jadi pelarian. Diam-diam ,aku mulai menjalin hubungan dengan hidupku lagi ketika aku mengenal seorang perempuan lainnya. Perempuan yang ini ternyata lebih wanita dari perempuan. Aku jalani hubungan ini dengan biasa saja hampir tanpa perasaan walau kadang ada getar-getar asmara terasa. Semua berjalan biasa saja lagipula aku juga sudah lupa rasanya yang begitu.

Lupakanlah, kita pernah saling cinta
(Atiek C. B., Maafkanlah)

Melupakan dirinya yang pernah melupakanku di maghrib itu memang tidak mudah. Rasanya sama tidak menyenangkannya dengan mengucapkan selamat tinggal pada Jakarta. Aku memang terus berkata tidak mudah pada diriku sendiri. Aku terus menutup kemungkinan-kemungkinan terbaik untuk sampai pada takdirku yang lain.

40 hari setelahnya hidupku berantakan. Aku jadi lebih sensitif dan emosional. Seperti tokoh Retno di Travelers’ Tale. I’m fine. FINE. Frustatic Insecure Neurotic Emotional. Aku nyaris kehilangan pekerjaanku. Aku rupanya cukup pintar untuk menyerang atasanku yang selalu mengejek dengan sindiran halusnya untuk setiap kesalahan yang ia buat-buat sendiri. Tahu apa dia soal pekerjaanku? Untungnya, aku juga tidak cukup bodoh untuk meminta maaf sehingga atasanku mau damai tanpa syarat.

Kalau dalam hari-hari yang empat puluh itu aku menulis sajak mungkin aku bakal jadi saingan Pablo Neruda yang punya karya 20 Love Poems and a Song of Despair. Aku punya dua kali lebih banyak darinya. Seandainya saja itu terjadi, kau tentu bisa membacanya saat ini dan kau tentu pahami juga galaunya hatiku.

*

It takes some times; God knows how long, I know that I can’t forget you,
As soon as my heart stop breathing, anticipating,
As soon as forever is through, I’ll be over you
(TOTO, I’ll be Over You)

Semua telah berubah. Rupanya waktu dan jarak mulai memainkan perannya masing-masing. Menjelma dalam ruang dan waktu hidupku yang tak lagi semu. Aku telah menata kembali perasaanku. Aku mungkin telah kehilangan perasaan itu, entah hilang kemana, dicuri siapa, aku tidak peduli.

Aku sedang tidak melakukan apa-apa sampai ada panggilan masuk di handphoneku.

“Halo…”

Suara perempuan itu lagi. Alunan suara terindah yang pernah kukenal melebihi nikmatnya alunan simfoni no.9 Beethoven. Kami bicara tidak terlalu lama namun entah mengapa hanya mengulang kebiasaan kami dahulu. Seketika perasaan itu mendadak memenuhi dadaku. Apalagi saat dia janjikan bertemu weekend besok. Lebih-lebih lagi ketika akhirnya aku bersepakat dengannya untuk saling menghubungi. Sometimes, it just came naturally that you can’t avoid.

Aku tidak bisa menghindar dari serangan dadakan ini. Aku memang terkejut. Kita memang seharusnya tidak saling bertemu dulu. Hampir setengah tahun dan aku mulai menemukan kembali hidupku. Namun, waktu dan jarak bukan jadi penyembuh luka tapi hanya jadi penimbun luka. Lukanya masih menganga, nanar, dan belum sembuh benar.

Tidak ada perasaan senang ketika aku menemuinya. Hanya senyum kecil dan sedikit rasa tidak percaya kalau akhirnya aku benar-benar bisa melihatnya lagi dekat denganku. Satu sisi, memang aku merasa senang dengan kehadirannya tapi di sisi lain aku menyangkal pertemuan ini karena aku memang sangat ingin melupakannya.

Sejauh yang telah kami lalui hanyalah tentang kenangan dan keceriaan yang dulu sudah lama hilang. Binar matanya memang terlihat lebih jernih saat ini. Tidak ada rasa khawatir menggelayut pada setiap kerutan di keningnya. Dia terlihat begitu senang. Tapi apa mungkin dia bahagia? Aku rasa aku tidak perlu menjawabnya.

Sementara dia mulai bercerita tentang perasaannya, aku mencoba mengalihkan perhatianku pada imajinasiku sendiri. Aku membayangkan sedang berjalan dengannya di La Rambla, Barcelona. Sejauh aku menatap yang kubayangkan hanyalah deretan rumah bergaya mediteran di Lienza, pesisir Mediterania. Anginnya pun kubuat mirip dengan angin musim gugur di Wina.

*

Aku masih dengar ceritanya. Tentang pekerjaan, hidupnya, dan yang terpenting perasaannya kepadaku. Memang sangat tidak menyenangkan untuk melawan perasaan ini. Setidaknya aku tahu bagaimana perasaannya. Aku pun mulai berpikir untuk melupakannya saja. Lagipula, untuk apa dia datang sejauh ini kalau cuma untuk bahas yang beginian. Dia memang tidak tahu bagaimana hidupku di periode empat puluh hari yang itu.

Memang dia menyesali perpisahan kemarin. Menurutku, lebih baik kita anggap saja ini semua sebagai satu kemestian. Tapi dia tidak mau menganggapnya demikian. Perempuan dengan lesung pipi yang merona merah itu masih terus bercerita tentang perasaannya, persis setelah aku tidak lagi dihatinya. Ada banyak lelaki yang bersedia menunggu untuknya. Lihat saja wallnya yang selalu berisi komentar dari lelaki-lelaki itu setiap dia berhasil mengupdate statusnya.

Pernah aku cemburu dan aku menyesalinya sekarang. Perempuan itu masih menyimpan sedikit rasa dihatinya. Aku pun demikian. Namun, sebesar apa? Aku tidak pernah tahu. Lebih tepatnya, tidak mau tahu. Aku tahu bahwa kami berdua memang menyimpan satu kebohongan yang masih kami pendam dan enggan untuk diceritakan.

Kami pasti berbohong bila kami berkata bahwa hidup kami masing-masing akan lebih baik bila dijalani sendiri-sendiri. Kami pasti berbohong bila kami berkata bahwa sudah bisa saling melupakan. Kami memang berbohong bila kami tidak saling membutuhkan. The lies we live in.

Dan kau tahu, rasanya menyimpan kebohongan ini seperti waktu menonton Persib Bandung lawan Persik Kediri. Aku memang senang Persib bisa menang tapi aku juga sakit karena aku juga mendukung Persik. Begitu juga ketika sebelumnya Persib menang lawan Persebaya.

*

Sampai hari ini, sampai senja turun di Bukit Dago yang tidak lagi hijau dengan gerimis yang masih tanpa pesan. Dalam diam, kami saling menyadari kalau kami berdua, aku dan dia, masih menyimpan satu atau banyak kebohongan lainnya.



Pharmindo, 3 Februari 2010
diterbitkan dari Ciledug, Tangerang, 12 Februari 2010


*) dari puisi “Magrib Jatuh”, Esha Tegar Putra. Majalah Horison, Juli 2009, hal.8
**) dari judul lagu “Aku Lupa Aku Luka” dinyanyikan oleh Koil
***) dengan ingatan pada lirik lagu “Memori” dari Ruth Sahanaya. Memori, kau membuka, luka lama
****) mengacu pada judul sajak Chairil Anwar “Cintaku Jauh di Pulau” dan judul cerpen Seno Gumira Ajidarma “Cintaku Jauh di Komodo”

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...