Rabu, 19 Desember 2012

Markesot = Personifikasi Emha?

Markesot adalah sosok lugu nan cerdas, mbeling, dan terkadang misterius. Dalam kesehariannya dengan sahabat-sahabatnya, Markembloh, Markasan, Markemon, dan lain-lain yang tergabung dalam Konsorsium Para Mbambung (KPMb), memperbincangkan seabrek problem dalam masyarakat kita.

Markesot menampilkan dirinya sebagai anggota dari kaum yang termarjinalkan, entah oleh deru laju pembangunan, kemajuan zaman, kosmopolitanisme desa maupun globalisasi. Walau begitu, tidak lantas menjadikan Markesot sebagai warga negara ‘kelas dua’, Markesot pun bisa berwujud sebagai makhluk multidimensional. Markesot menempuh jalan sunyi yang hanya dimilikinya sendiri. Adapun, kalau Markesot berkumpul dengan Markebul, Markedul, dan para Mar-Mar- lainnya itu bukan semata karena ia merasa kesepian. Ada suatu dimensi pemikiran yang ingin dicapainya dari interaksi dengan kawan-kawan sekonsorsium mbambung itu.

Emha Ainun Nadjib di forum Bangbang Wetan. Image courtesy: @maiyahan


Emha Ainun Nadjib. Image courtesy: @maiyahan

Pembaca mungkin bertanya, apakah personifikasi identitas personal yang melekat dalam diri Markesot merupakan cerminan terhadap diri Emha Ainun Nadjib sebagai realitas? Pertanyaan itu tidak salah, malah sangat dimungkinkan sekali.

Saya mencoba menafsir soal ini dari beberapa hal yang saya tahu. Pada album KiaiKanjeng “Kado Muhammad” terdapat lagu yang isinya musikalisasi puisi berjudul “Jalan Sunyi”. Saya selalu ingat kalimat pembuka puisi itu: akhirnya kutempuh jalan yang sunyi mendendangkan lagu bisu. Kemudian, Emha juga menulis buku ‘Jalan Sunyi Emha’ yang diterbitkan Progress pada tahun 2009 silam. Saya belum pernah membaca bukunya. Namun, saya rasa isinya menggambarkan bagaimana perjalanan seorang Emha Ainun Nadjib menjalani dan menjiwai sepenuh hati jalan sunyi yang ditempuhnya, sejak dulu hingga kekinian.

Lalu, dalam Markesot Bertutur, ada sebuah artikel berjudul ‘Perjalanan Sunyi’ yang dapat dibaca pada halaman 430. Dalam artikel ini, Markesot dikisahkan melakukan suatu pengembaraan yang disebutnya ‘Perjalanan Sunyi’ sendirian. Secara diam-diam, ia mengunjungi berbagai tempat. Menghayati berbagai nuansa dan merasuki berbagai nilai. Kisah perjalanan ini, menceritakan identitas siapa itu Markesot walaupun tidak secara detail. Melalui ilustrasi jalan cerita yang demikian kiranya pembaca dapat menggali dan mengambil kesimpulan sendiri tentang figur seorang Markesot.

Lalu, apa hubungan diantara ketiganya? Dengan mengambil kata kunci yang sama: sunyi, ada hubungan yang tersirat antara realitas wujud Emha dengan seorang Markesot yang fiktif dan imajinatif.

Secara realitas, Emha memang terlihat seperti apa yang kita lihat sekarang. Emha tidak pernah tampil dalam panggung apapun secara nasional. Namun, Emha secara bergerilya mampu menghidupkan jamaah Maiyah Nusantara melalui Kenduri Cinta, Bangbang Wetan, Padhang Mbulan, yang memiliki pengajian rutin. Emha tidak lantang bersuara, berorasi di depan massa namun tulisannya menghiasi halaman-halaman media massa. Senantiasa mengingatkan kita akan sifat illahiyah dalam keIndonesiaan kita yang perlahan luntur. Pembaca tentu masih ingat ketika tahun 1998, beberapa hari menjelang jatuhnya Suharto, Emha termasuk satu dari beberapa tokoh nasional yang dipanggil ke Cendana. Itu merupakan suatu bukti bahwa betatapun Emha “sengaja” menarik diri dari konstelasi, cahayanya tidak pernah pudar.

Emha menempuh jalan sunyinya sendiri. Bersama KiaiKanjeng ia melintasi berbagai negara di dunia. Melantunkan tembang cinta pada Tuhannya. Membaur dengan kaum jemaah agama lain dari berbagai belahan dunia. Menyuarakan nilai-nilai universalitas kemanusiaan.

Markesot pun demikian. Ia memiliki waktu-waktu tertentu untuk berkumpul bersama jamaah Mar-Mar lainnya. Apa saja mereka bicarakan,mulai konflik politik internasional sampai soal celana. Dari tasawuf hingga filosofi urap. Tentu dengan gaya bertutur Jawa Timuran yang penuh canda dan sindiran. Markesot kadang menghilang tetapi kemudian ia muncul lagi. Kadang dengan raut wajah murung, gembiran, bahkan datar dan biasa-biasa saja padahal sedulurnya di konsorsium mbambung selalu berdebat membeicarakan kemana perginya Markesot. Diluar itu, Markesot senantiasa mengajak kita meneropong kehidupan secara arif dan menemukan hakikat dibalik nilai-nilai semu yang merajalela.

Akhirul kalam, personifikasi sosok Markesot terhadap figur seorang Emha Ainun Nadjib dimungkinkan sekali. Mengingat ada kesamaan-kesamaan antara dua tokoh itu. Hal ini mengingatkan saya pada hal yang sama, yang menimpa Sukab dan penciptanya, Seno Gumira Ajidarma. Permainan kontekstual dalam cerita membawa pembaca pada lingkaran metarealitas. Semuanya dikembalikan pada pikiran masing-masing pembaca. Tidak ada kesalahan dalam menafsirkan personifikasi dari hal yang fiktif ke hal yang denotatif. Karena, segenap pemaknaan atas Markesot dan Emha, hidup dalam alam pikiran kita masing-masing. Wallahu’alam bis shawab.


Paninggilan, 19 Desember 2012

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...