Minggu, 18 November 2012

Kubah

Karman, seorang tahanan politik yang dibebaskan setelah mengalami masa tahanan selama 12 tahun di Pulau Buru, harus menjalani kehidupan baru pasca kebebasannya. Betapa 12 tahun menjadi waktu yang terasa lama dalam penantiannya. Zaman telah berubah selama ia berada di pulau terasing itu. Tak pelak, Karman pun awalnya merasa tidak pantas menjadi orang yang merdeka. Suatu hal yang bertentangan dengan keinginan setiap tahanan manapun. Karman masih merasa asing bahkan dengan tempat yang ditinggalinya sejak lahir itu.


Kubah, edisi baru tahun 2012


Keraguan masih menggelayuti langkah Karman. 12 tahun lalu ia mengalami sendiri kejadian itu. Kejadian yang tidak akan pernah dilupakannya. Kejadian yang tidak akan pernah ia mau alami lagi. Sudah cukup dirinya merasakan penderitaan lahir batin. Dibuang selama 12 tahun dan meninggalkan fondasi kehidupannya yang belum tegak benar.

Karman pun mengatur langkahnya menuju satu tempat yang dikenalinya. Rumah Gono, adik iparnya. Disanalah segala kenyataan menghampirinya. Rudio, anak sulung Karman menyambut kedatangannya. Karman sadar betul bahwa Rudio kini telah memiliki seorang ayah tiri, Parta. Marni, istri Karman, meminta cerai lewat surat yang dikirimkannya pada Karman sewaktu masih menjalani masa hukuman di Pulau Buru.

Sejak itulah, cerita dimulai. Dengan runtutan lini masa yang mundur, Ahmad Tohari mengisahkan Karman sebagai korban permainan politik yang melanda bangsa ini medio 1960-an. Diceritakan bahwa Karman dijadikan martir sekaligus alat yang berperan sebagai mesin partai komunis yang berusaha untuk menguasai negeri melalui berbagai propaganda. Keadaan Karman yang mengalami beberapa kekecewaan usai penolakan atas cintanya kepada Rifah, anak Haji Bakir, pengusaha lokal yang pernah jadi induk semangnya. Karman menjadi seorang yang berbalik mengingkari Tuhan.

Ketidakpuasan yang dirasakan Karman dimanfaatkan oleh beberapa koleganya dengan alasan Karman harus tahu berterima kasih. Karman mendapatkan pekerjaan karena kawan-kawan partainya itu, Margo, Triman, serta seorang yang bergigi perak. Mereka semakin gencar mendoktrin Karman. Dengan dalih ujian, Karman dihadapkan pada menu bacaan khas kaum revolusionis Rusia. Segala bacaan tentang paham kapitalis, sosialis, dan perjuangan kelas dilahapnya.

Tiba saatnya pada geger Oktober 1965. Karman telah mendengar kabar bahwa kawan-kawan partainya telah menemui ajal masing-masing. Revolusi telah memakan anaknya sendiri. Karman pun semakin merasa bahwa giliran dia akan segera tiba. Menyadari itu, maka Karman tidak sempat berpikir lagi. Ia harus segera melarikan diri, termasuk meninggalkan Marni, istri yang sangat dicintainya bersama dengan Rudio, Tini, dan si bungsu.

Dalam pelariannya, Karman serasa diburu. Bayangan-bayangan masa lalu selalu menghantuinya. Agaknya, ia mulai merasa menyesal karena harus meninggalkan Tuhan yang dulu selalu taat disembahnya. Ia juga menyesal kenapa harus mengikuti semua yang diajarkan Margo dan Triman. Rapat-rapat itu, diskusi-diskusi itu, semua menghujam jantungnya. Suatu hari, ia bertemu dengan Kasta, pemburuh bambu yang selalu melintas sungai di sekitar Lubuk Waru, tempat persembunyian Karman. Karman seketika merasakan kembali keteduhan dalam dirinya. Ditemukannya kembali mutiara yang hilang. Namun, semua sudah terlambat. Ia kini jadi buronan yang paling dicari pihak berwajib.

Hari demi hari berlalu. Karman semakin tidak beruntung. Ia semakin sering sakit-sakitan dalam pelariannya. Tanpa Karman tahu, seseorang telah memperhatikannya selama berhari-hari. Ia pun ditangkap dalam keadaan hampir tidak sadar diri. Hari itu pun petualangan Karman berakhir. Ia tidak pernah kembali lagi ke Pegaten. Apalagi menemui Marni dan anak-anaknya tercinta.

Akhir cerita, Karman menemukan kembali kemanusiaannya. Ia memperbaiki hubungannya dengan Haji Bakir usai menikahkan Tini dengan cucu Haji Bakir. Karman telah menebus masa lalunya dengan membuatkan kubah baru bagi masjid Haji Bakir. Keterampilan yang dipelajarinya semasa dalam tahanan membantunya untuk membuat sebuah kubah baru yang nampak megah.

Catatan Seorang Kolumnis Dadakan

Kubah, edisi pertama terbitan Penerbit Pustaka Jaya

Membaca kembali karya Ahmad Tohari artinya sama dengan menelisik keindahan alam pedesaan yang asri nan rindang. Pengalaman seperti ini tidak pernah lepas dari tulisan Ahmad Tohari. Bahkan telah menjadi semacam trademark bagi masterpiece karya-karyanya yang gemilang. Nilai-nilai kehidupan dan kearifan lokal semakin hangat terasa dalam setiap rangkaian kalimat yang disusunnya.

Pengalaman seperti ini tidak jauh berbeda dengan membaca buku lainnya, yaitu Orang-Orang Proyek, Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, Lintang Kemukus Dini Hari, Bekisar Merah, dan Belantik. Ahmad Tohari begitu detail dalam menceritakan latar belakang cerita. Bisa saja, hal ini didasari atas pengalaman hidup di lingkungan sekitar tempat tinggalnya

Prelude atau pembukaan cerita masih sama dengan cara Ahmad Tohari bercerita. Keindahan pemandangan pedesaan tertuang dalam kata-kata yang ditulisnya. Alur cerita pun dinamis. Maju-mundur dan mundur-maju untuk memberikan kekuatan  kesan pada jalan cerita.

Seperti Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk (termasuk Jantera Bianglala dan Lintang Kemukus Dini Hari), Ahmad Tohari menempatkan tokoh-tokohnya sebagai rakyat biasa yang termakan arus zaman. Kisah tentang orang-orang kecil yang terlalu naif dan terlalu mudah diperalat demi kepentingan propaganda belaka.

Bila pada Ronggeng Dukuh Paruk, Srtintil dan rombongan ronggeng Dukuh Paruk termakan hasutan untuk “melawan” pada keadaan yang merepresi mereka yang ternyata dimanfaatkan partai komunis sebagai alat propaganda, pada Kubah, Karman digambarkan sebagai pegawai kantor kecamatan yang “cerdas” sebagai penggerak masyarakat Desa Pegaten untuk mendukung partai komunis. Pergolakan antara kaum agamis/kaum adat dengan kaum komunis menjadi unsur utama yang muncul sebagai satu bumbu khusus.

Agaknya, tidak ada perbedaan yang mendasar antara keduanya. Sama-sama bercerita tentang masa-masa penuh penderitaan usai perang kemerdekaan dan penegakan kedaulatan republik. Kedua karya Ahmad Tohari itu masih mempunyai relevansi yang tinggi dengan keadaan saat ini. Saat kajian-kajian pada peristiwa kelam sejarah bangsa tidak lagi diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi.

Tulisan Ahmad Tohari yang terstruktur dengan baik, membuat kedua karyanya ini seakan kehilangan suspense pada jalan dan alur cerita. Memang Ahmad Tohari bukan seorang penulis yang pandai menulis buku thriller. Tetapi, walaupun saat Kubah ditulis ia termasuk masih orang baru dalam jagad susastera neger ini, perlu dicatat bahwa kemampuannya untuk mengolah cerita, memainkan tokoh-tokoh beserta linimasanya, serta kedekatan konteks antara buah karya dengan realitas sejarah yang benar nyata terjadi, adalah suatu nilai lebih yang mampu memperbanyak perbendaharaan referensi kita soal sejarah bangsa sendiri. Sedikit saran, sila lanjut baca roman Ajip Rosidi, “Anak Tanah Air”. Sila temukan relevansi antara karya Ahmad Tohari dan Ajip Rosidi yang sama-sama bercerita pada lini masa yang sama.


Tidak heran apabila kemudian novel Kubah ini menjadi novel terbaik tahun 1981 dari Yayasan Buku Utama Kementerian P & K dan juga sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang. Sejarah, selalu hadir dalam bentuk apa saja yang selalu bisa mengingatkan kita. Bila film G30S/PKI yang terlanjur ngetrend itu sudah tidak hits lagi, maka kini diganti dengan “The Act of Killing”. Suatu penyajian sejarah melalui sudut pandang yang berbeda. Begitulah, dinamika sejarah menghiasi sejarah perjalanan bangsa kita. Sesekali kita perlu menoleh ke belakang, tanpa pretensi untuk menyalahkan, melainkan untuk mengambil sebanyak mungkin pelajaran.

Judul         : Kubah
Penulis      : Ahmad Tohari
Penerbit     : Gramedia Pustaka Utama
Tahun        : 2012 (cet. 4, edisi baru).
Tebal          : 211 hal.
Genre         : Novel-Sejarah


Pharmindo, 18 November 2012.

1 komentar:

Adit Purana mengatakan...

Kisah fiksi -hampir- selalu beriringan dengan cerita realita :D

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...