Rabu, 23 Juni 2010

Bola Bola Nasib (Komentator Dadakan #3)

Kegagalan Perancis dalam Piala Dunia 2010 sudah dapat diprediksi sejak awal drawing grup. Perancis tidak lagi ditempatkan sebagai tim unggulan bersama Brazil, Argentina, Spanyol, atau Inggris. Sebelumnya, Perancis juga dinilai lolos karena kebetulan mereka berhasil membuat Damien Duff dkk menangis hanya karena ulah tangan usil Thierry Henry. Untung saja, tidak ada pihak yang menyamakan kelakuan Henry itu sebagai “Gol Tangan Tuhan” yang sampai hari ini masih menjadi milik Yang Dipertuan Agung Diego Armando Maradona. Bahkan, Peter Shilton dan rakyat Inggris pun tidak akan pernah lupa kejadian tersebut.


Napoleon kembali menangis. Kejadian ini mengulang kisah tragis Piala Dunia 2002, dimana Perancis tak mampu lolos dari penyisihan grup setelah dikalahkan Senegal 0-1. Padahal, saat itu masih ada sang maestro lapangan tengah, Zinedine Zidane. Harmoni dan kerjasama tim menjadi isu yang mencuat ketika skuad Raymond Domenech kembali gagal menuai hasil. Dicoretnya Nicolas Anelka, bisa jadi satu pertanda akan hal tersebut setelah sebelumnya Patrice Evra mengaku tidak mengenal bahkan tidak pernah mengobrol dengan Yoann Gourcuff.

Dua kapten yang tersisih, Steven Pienaar dan Thierry Henry

Sama seperti sepakbola Indonesia. Perancis harus berbenah bila ingin kembali mendengarkan nyanyian Ayam Jago menyambut pagi yang cerah. Pergantian pelatih menjadi isu penting dan harus menjadi perhatian utama. Masalah teknik permainan biarlah para pemain sendiri yang menentukan di lapangan. Tinggal dibutuhkan keseriusan pelatih dalam menentukan taktik dan strategi permainan. Jangan lupakan juga peran pelatih dalam membangun karakter tim dana rasa percaya antar pemain.

Gol yang diakibatkan ulah Henry atau Maradona akhirnya membuat satu keniscayaan bahwa nasib kadang berat sebelah dan memihak mereka yang berlaku tidak jujur (unfair). Adalah satu kenyataan juga bahwa hal yang demikian terjadi juga dalam sepakbola, terlebih dalam gelaran hajat sepakbola terbesar di dunia. Kadang nasib berperan sesuai kodratnya, tim kuat menang lawan tim lemah. Tetapi barangkali nasib juga sudah bosan berperan demikian. Sebuah nama besar bisa langsung menjadi kerdil sesuai kehendaknya sehingga takdir hanya tinggal memuluskan jalan saja.

Franck Ribery. Au Revoir, Coupe du Monde

Bola-bola nasib yang bergulir kian tak pasti kesana kemari dapat disaksikan dalam banyak pertandingan. Spanyol kalah lawan Swiss, Jerman gagal melawan mental pejuang dari Balkan yang ditampilkan Serbia, Italia gagal menang dari Selandia Baru, dan Maradona yang berhasil membalikkan semua pandangan miring tentang kepelatihannya.

Diluar semua itu, bukankah kehendak manusia sendiri yang menentukan nasibnya? Terkadang juga nasib hanya mengikuti kehendak hidup manusia dan saat ini nasib pula yang ikut menggelinding bersama Jabulani. Ia hanya mengikuti kehendak si Jabulani, entah ke gawang atau ke pelukan tangan penonton.

Barangkali, perlu diuji hipotesis sementara, apakah nasib sepakbola Perancis sama dengan sepakbola Indonesia, dimana banyak pemain hebat tetapi malah terasing di negeri sendiri. Maka dari itu, layak ditunggu kelanjutan cerita ini, apakah hanya akan jadi fiksi belaka seperti kisah cerita dalam komik atau malah tragedi dari Yunani.

*judul tulisan sama dengan satu judul dari Trilogi Sepakbola Sindhunata, “Bola-bola Nasib”, Penerbit Buku Kompas, 2002

*ditulis ketika Perancis gagal lolos dari fase penyisihan Grup A, setelah kalah dari Afrika Selatan, 1-2(0-2)

*foto (c) Getty Images diambil dari website FIFA, ditampilkan disini hasil repro printscreen

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...