Jumat, 21 Mei 2010

Sepenggal Obrolan Sejarah dan Catenaccio

Final Liga Champions 2010 mempertemukan dua jawara dari dua liga bergengsi di Eropa. Bayern Muenchen mewakili Bundesliga dan Serie-A menempatkan Inter Milan sebagai sisa-sisa kejayaan Italia dalam kancah persepakbolaan Eropa. Dilihat dari sejarahnya, kedua tim ini mewakili Negara Fasis. Jerman dengan okupansi Hitler atas Eropa yang membuat Jerman ikut menanggung beban Bailout Yunani dan Italia dengan Mussolini yang Macchiavelis itu. Hitler dan Mussolini akan duduk bersama dan menyaksikan laga para juara ini dari atas kayangan. Mereka tentu akan duduk bersebelahan sambil menikmati wine Prancis dan caviar khas Spanyol.

Barangkali obrolan mereka hanyalah obrolan biasa sebagai kawan lama. Lagipula, mereka sudah melupakan dendam lama mereka kepada Churchill dan Eisenhower karena Hitler sudah lebih dulu membuat malu Churchill dengan menyerah di Battle of Old Trafford. Pasukan Hitler yang menjelma dalam diri der soldats von Oranje; Louis van Gaal, Mark Bommel, dan Arjen Robben, sukses menjatuhkan bom untuk meledakkan Old Trafford yang dengan segera membuat Churchill, Sir Matt Busby dan fans MU menangis histeris. Panser-panser Jerman membuktikan kekuatan strategi dan ketahanan fisik yang prima. Pun ketika mereka kembali menggilas Oliympique Lyonnais yang datang bertanding dengan gelar sebagai titisan Kaisar Napoleon.

Hitler yang rupanya agak telat belajar dari Napoleon dalam usahanya menguasai Rusia rupanya berhasil membuat Napoleon untuk sekali lagi mengakui keunggulan Hitler dengan Spetsnasznya. Mungkin saat itu Hitler berharap untuk bisa meladeni pasukan Jenderal Franco dibawah komando Pep Guardiola. Tetapi, kadangkala nasib memainkan perannya sehingga membuat Mussolini bangga karena Inter Milan berhasil mengandaskan impian Barcelona. Hitler kembali akan bertemu dengan Mussolini setelah keduanya juga bertemu ketika Juventus meladeni Bayern Muenchen di babak penyisihan.

*

Bagi Van Gaal dan Mourinho, final kali ini bukan sekedar pertaruhan gengsi karena keduanya pun pernah merasakan gelar Juara Champions. Van Gaal mengalami masa yang mengagumkan dengan Ajax Amsterdam sepanjang tahun 1992-1995. Termasuk ketika mengalahkan AC Milan di Final tahun 1995. Frank Rijkaard yang baru ditarik kembali dari Milan berhasil memberikan sodoran bola kepada Kluivert empat menit sebelum laga usai. Berbagai raihan gelar Ajax saat itu sempat menjadi mitos yang akhirnya terpatahkan ketika Juventus membabat Ajax di Liga Champions 1996 dan 1997. Setelah itu, mitos Ajax hanya tinggal sejarah dan Van Gaal memutuskan melanjutkan kultur dan struktur ciptaannya di Barcelona, tentunya dengan membawa serta mantan anak asuhannya di Ajax.


Agaknya, catatan Mourinho belum semengkilap milik Van Gaal. Memang Mourinho pernah membawa FC Porto menjadi juara di Final 2004 dengan mengandaskan AS Monaco. Tetapi harap diingat bahwa Liga Champions 2004 dipenuhi berbagai kejutan dengan tumbangnya tim-tim unggulan sejak dari babak penyisihan sehingga memuluskan langkah FC Porto yang waktu itu kualitasnya masih diatas AS Monaco untuk meraih gelar juara tahun 2004. Kesempatan kedua sempat datang menghampiri Mourinho di All England Final di Luzhniki, Moskow, kalau bukan karena tendangan penalti John Terry yang melenceng sehingga membuat Ferguson tersenyum lebar dengan Piala Champions kedua kalinya.

Final di Santiago Bernabeu nanti sejatinya adalah pertarungan taktik dan strategi. Van Gaal adalah orang yang sangat percaya pada struktur dan kultur suatu tim. Sejauh struktur itu kukuh dan kulturnya hidup maka kesebalasan akan tetap berjaya seperti yang pernah dialaminya ketika menukangi Ajax Amsterdam. Van Gaal juga merupakan tipikal orang Belanda yang kukuh berpegang pada idealisme. Kemenangan dan kekalahan adalah dua hal yang tidak dapat dibandingkan. Begitulah Van Gaal mengutip Boris Pasternak.

Sedangkan, Mourinho adalah pelatih tipikal sepakbola modern yang mampu menciptakan sistem penyerangan yang efektif walau cenderung bercirikan permainan defensif. Hal itu pula yang mendatangkan kesuksesan baginya kala menukangi Chelsea. Permainan yang mengandalkan serangan balik yang efektif sudah cukup untuk membawa Chelsea menjadi penguasa Liga Premier Inggris selama tiga musim berturut-turut. Kalaupun ada yang perlu jadi catatan atas taktik dan permainan ala Mourinho tentu adalah sistem permainan yang lebih mirip dengan catenaccio. Suatu sistem lama yang masih bertahan sampai dengan saat ini. Sistem lama yang terbukti pernah dan masih efektif dibandingkan dengan macam-macam teori ofensif yang belum terbukti efektif.


Catenaccio dengan sempurna dikembangkan oleh Hellenio Herrera di Inter Milan. Terbukti dengan taktik sistem grendel destruktif berhasil mengubur permainan sepakbola indah. Ditangan Herrera, Inter Milan berhasil meraih Scudetto 1963, 1965, dan 1966. Herrera semakin mencatatkan namanya dalam prasasti sejarah sepakbola dengan gelar dua kali juara Champions pada tahun 1964 dan 1965. Ketika itu, dengan sistem Catenaccio yang dianutnya Herrera menjelma menjadi birokrat sistem super catenaccio, diktator dunia bola, sekaligus pendosa dunia bola.

Sistem defensif catenaccio tidak memiliki aroma khas Pizza Italia. Ia juga tidak mewakili keindahan Venesia dengan gondolanya. Catenaccio mengandalkan permainan yang berpusat di daerah pertahanan sendiri dengan meminimalkan penguasaan bola di daerah lawan. Aturan yang berlaku adalah larangan untuk membuat dan menentukan permainan dengan inisiatif dan memprovokasi lawan untuk mengembangkan pola permainannya. Sementara, para Catenaccionista diwajibkan untuk menanti dan mengharapkan lawan melakukan kesalahan dengan melakukan counter attack pada lubang di pertahanan lawan. Itulah yang menjadi dasar pelajaran utama dalam diktat sistem defensif. Sekedar catatan tambahan, diperlukan juga pemain-pemain dengan karakter pekerja yang solid dan kemampuan teknik tinggi.

Catenaccio terbukti diakui oleh dunia ketika Italia menjadi juara Piala Dunia 1982 di Spanyol. Santiago Bernabeu juga lah yang menjadi saksi atas kemenangan Enzo Bearzot, Sang Ekstremis Serangan Balik dengan Paolo Rossi sebagai pahlawannya. Enzo Bearzot berhasil menerjemahkan kembali apa yang telah dituliskan Hellenio Herrera dalam Kitab Abadi Catenaccio. Bearzot mungkin tidak mengharapkan munculnya Hantu Hellenio Herrera untuk membantunya meraih gelar juara dunia tetapi mungkin ia juga tidak akan menolak bila memang catenaccio yang dikembangkan Herrera berperan besar dalam kemenangan di Bernabeu 1982.

Pada Liga Champions tahun ini, catenaccio berhasil mematikan skema ofensif milik Barcelona. Di Giuseppe Meazza, total football milik Barcelona tidak berkutik melawan skema catenaccio yang lagi-lagi berhasil diterjemahkan dengan baik oleh Mourinho. Serangan balik yang cepat dan tertata rapi membuat Inter unggul atas Barca. Tak jauh berbeda ketika keduanya bertemu kembali di Nou Camp. Sistem pertahanan grendel yang rapat terbukti ampuh meredam permainan Barca lewat Cambiasso dan Sneijder sebagai jangkarnya.

**

Walaupun begitu, pertahanan defensif catenaccio tentu masih bisa diimbangi dengan kreativitas tanpa batas. Dunia defensif bisa didobrak sebagai bukti bahwa sepakbola bukanlah sistem pengetahuan yang kaku tetapi kebebasan yang menuntut kreativitas, bahwa taktik hanyalah alat bukan landasan yang tidak boleh diganggu gugat. Untuk melawan Inter Milan di Final nanti, skuad Muenchen harus bisa menampilkan kreativitas dan kegembiraan dalam bermain sepakbola seperti yang pernah ditunjukkan pendahulu mereka, Sang Kaisar, Franz Beckenbauer.

Madrid akan menjadi saksi akankah Hantu Hellenio Herrera kembali menampakkan dirinya dengan Inter Milan sebagai medianya, atau malah struktur dan kultur yang Van Gaal pelihara di Muenchen akan berdampak positif bagi FC Hollywood untuk kembali menjadi Raja di Eropa. Hellenio Herrera tentu akan sangat senang apabila catenaccio peninggalannya mampu membawa Inter menjadi Raja Eropa di tempat dimana Dino Zoff pernah mengangkat tropi kejayaan sepakbola sejagat. Tetapi, kekuatan der Panzer khas Bavaria sudah terlanjur melekat dalam diri setiap pemain Muenchen. Agresivitas yang dipadu dengan kekuatan pertahanan yang seimbang dengan penyerangan akan menjadi senjata model baru dalam menghadapi tipikal taktik dan strategi tim asal Italia. Bukan tidak mungkin hal yang sama seperti yang telah mereka lakukan pada anak didik Ferguson akan mereka ulangi kembali untuk meruntuhkan tembok catenaccio. Über Alles, Müenchen!




Pharmindo, 20 Mei 2010. 18.01

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...