Senin, 06 Juli 2009

Nobody's Note

Cerita di Hari Jum’at: Ibroh dari Sebuah Suplemen

Adalah kebiasaan saya untuk membeli Koran Harian Republika setiap hari Jum’at. Bila sedang tidak pulang ke Bandung tentu hal itu adalah menu wajib di Jum’at petang. Alasan yang utama adalah segala intisari berita sepekan terakhir terkadang direview dalam sebuah kesimpulan menjelang akhir pekan. Selain itu juga, di edisi Jum’at, Republika menyertakan bonus suplemen Dialog Jum’at. Lumayan, hitung-hitung untuk belajar agama dan meneguhkan iman yang makin menipis ini seminggu sekali.

Pun, Jum’at kemarin (3/7) saya membeli Koran seperti biasa di kios langganan. Pertama menyentuh rasanya seperti tidak biasa. Terasa lebih tebal. Perasaan , suplemen Dialog Jum’at belum akan ditambah jatah halamannya. Mungkin, ada rubrik lain. Itulah yang ada di benak saya kemudian. Saya tidak sempat menengok seluruh halaman karena mengejar waktu shalat maghrib yang selalu singkat. Saya hanya membaca headline yang berjudul “Satu Putaran Panaskan Debat”.

Anda semua tentu menyimak debat terakhir di malam Jum’at itu kan? Satu debat yang entah diposisikan sebagai debat yang berkonotasi saling serang pendapat dari kontestan atau diskusi untuk mencari penyelesaian dan jalan keluar. Sedikit mengulas kembali, tidak banyak yang berubah dalam debat tersebut. Megawati masih dengan pendapat-pendapatnya yang terkesan sangat normative. SBY yang masih tampil jaim, dan JK yang terlihat santai namun lebih serius dalam pembahasan masalah.

Setelah shalat maghrib dan makan sebungkus nasi padang. Saya mulai membuka halaman satu per satu. Beritanya masih dihiasi kabar dari kematian tragis Michael Jackson yang membuat DEA (Drugs Enforcement Agency) turun tangan, Franck Ribery yang keukeuh (ngotot-pen) ingin pindah ke Real Madrid, Semifinal Wimbledon, dan yang paling menyita perhatian saya adalah Operasi Khanjar (Operasi Tebasan Pedang) yang dilakukan oleh Marini AS di Afghanistan , operasi militer terbesar dibawah kepemimpinan Barack Obama.

Alangkah terkejutnya ketika mengetahui sebab Koran hari ini berasa lebih tebal. Terselip satu lagi suplemen yang berfungsi sebagai alat kampanye SBY-Boediono dengan judul “Amanah untuk Rakyat”. Suplemen yang berjumlah 16 halaman ini bercerita tentang profil SBY dan Boediono dari mereka lahir hingga mereka meniti karir masing-masing. Diceritakan bagaimana SBY lahir dan tumbuh dalam lingkungan masyarakat pesantren, bersekolah negeri di Pacitan, sekolah militer di AKABRI, hingga karir militer dan sipilnya sampai saat ini. Begitu pun dengan pasangannya, Boediono. Cerita dimulai dengan masa kecil Boediono yang santun dan sederhana sebagai anak pedagang batik di Blitar. Lalu, diceritakan pula bagaimana perjalanan pendidikan dan karir Boediono sampai saat ini pula.

Bagi saya apa yang terjadi hari ini adalah sebuah keanehan. Aneh karena menurut saya media telah kehilangan independensinya. Media, terlebih di zaman pemilu yang kesekian ini telah menjadi senjata yang ampuh bagi setiap insane politik yang ingin menegaskan eksistensinya. Aneh. Sama anehnya ketika Metro TV menjadi corong dan wahana pencitraan dari satu kandidat capres lainnya. Begitu juga ketika menjelang pemilu legislative, masih di harian yang sama, terpampang iklan full page dari PDIP yang menyangkal seluruh pencapaian di masa pemerintahan SBY-JK demi menegaskan citra partai yang peduli wong cilik yang juga tentu sudah terlanjur melekat pada partai berlambang banteng ireng (banteng hitam) tersebut.

Entah teori komunikasi massa mana yang digunakan. Permainan dengan media ini tentu bukan tanpa tujuan dan hasil yang ingin dicapai. Saya tidak sempat membandingkan dengan media cetak lainnya. Apakah mereka juga melakukan hal yang sama dengan kandidat yang lain, saya belum tahu. Saya memandang hal ini sebagai konsekuensi yang wajar dari demokrasi yang selalu kita banggakan dan nilai bisnis yang menggiurkan. Dari sudut pandang demokrasi, kebebasan berpendapat melalui media lebih terjamin tanpa adanya diskriminasi dan intimidasi pihak lain. Sedang dari sisi bisnis, Koran butuh iklan sebagai pemasukan terbesarnya dan si pengiklan butuh media untuk menyampaikan sesuatu yang mereka bawa (namanya juga kampanye). Maka sangat wajar bila mereka menerima order untuk membuat suplemen yang seperti itu agar profil si pengiklan mendapatkan exposure kepada publik dan Koran mendapat pemasukan yang sudah tentu besar dari si pengiklan.

Bila suatu hari nanti anda ada yang membacanya dan kagum dengan isi suplemen tersebut tolong beri tahu saya. Itu artinya anda masih waras. Sama seperti saya. Saya mengagumi kisah-kisah didalam suplemen tersebut. Tetapi, dalam situasi politik saat ini bahasa penyampaian yang digunakan pun memang bahasa dengan kesan positif yang pada akhirnya menggiring kesadaran pembaca untuk kemudian bersimpati lalu memilih pasangan tersebut pada pemilu 8 Juli nanti. Semuanya telah direncanakan dengan sedemikian matang. Bukan tanpa alasan tim sukses SBY-Boediono menempatkan public profiling tersebut pada harian Republika yang punya credo “Pegangan Kebenaran”.

Saya masih terkesima dengan kisah-kisah tersebut. Cukup ambil ibrohnya (pelajaran) saja. Cukup ambil nilai-nilai yang terkandung didalamnya:kerja keras, pantang menyerah, santun, sederhana, rendah hati, dll. Masalah pilihan, saya kira anda semua sudah lebih pintar untuk menentukan siapa yang akan dipilih pada pemilu mendatang. Biar hati nurani anda dan sepasang mata yang setajam garuda dipadu dengan kecepatan berpikir menuntun anda semua untuk memilih kandidat yang pantas untuk memimpin Indonesia.

Salam hangat dari Cakung.

Jakarta, 4 Juli 2009

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...