Jumat, 24 April 2015

Anggukan Ritmis Pak Kiai


Dulu di sebuah pesantren, ada dua orang kiai yang berdebat tentang hukum kesenian. Salah seorang dari mereka bersikeras bahwa kesenian itu syirik, bahkan haram. Kami para santri menyaksikan perdebatan itu dengan hati berdebar. Dari kejauhan, terdengar suara musik dari loudspeaker. Kiai yang saya kisahkan itu mulai meledak-ledak dan menyebut seni itu haram, tetapi kedua kakinya bergerak-gerak mengikuti irama musik dari kejauhan.

Kami, para santri, melihat bahwa kaki beliau itu bukan bergerak menggeleng-geleng, melainkan mengangguk-angguk. Maka, kami tiru anggukan ritmis kaki Pak Kiai itu, sebab gerak kaki beliau itu lebih merupakan ungkapan batinnya dibanding lisannya.



*****

 
Dari kutipan tulisan dalam esai yang berjudul sama dengan bukunya ini, Emha "menggugat" perkara kemusliman kita. Emha secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa apa yang kita lakukan dan yakini dalam batin kita masih jauh dari kenyataan lisan yang terucap. Satu sisi, kita bisa bilang bahwa musik Z haram, namun dalam kenyataannya kita ikut menikmati alunan musik Z itu pula.


Emha melalui tulisannya mencoba menguliti perkara-perkara kemusliman kita yang birokratif, ketaatan yang dibumbui rasa takut pada atasan-bukan pada kecintaan dan pengabdian terhadap Tuhan. Pada akhirnya kita akan terkunci pada pergunjingan siapa masuk surga siapa masuk neraka, perdebatan mengenai halal dan haram, hingga persekongkolan antara pahala dan dosa.

Emha, saya rasa sengaja menitikberatkan tulisannya pada detail-detail ritual keislaman kita yang malah memicu keresahan dengan perbedaan pendapat antar umat yang gampang mengkafirkan orang lain. Perbedaan tata kelola ibadah adalah satu hal yang kalau bisa diseragamkan, jangan sampai ada yang berubah. Kalau anda mau ikut silakan, namun kalau anda tidak mau mengikuti, tidak masalah. Anda bisa disangka melakukan bid'ah atau malah lebih parah. Anda bahkan bisa dikafirkan justru oleh sesama saudara muslim.

Gugatan Emha yang lain adalah seperti apa yang tertuang dalam bab "Kiai Sudrun Gugat". Dalam tataran praktis keislaman kita memang memiliki banyak perbedaan dalam mengekspresikan kecintaan terhadap Nabiyullah, Rasulullah, maupun kepada Allah SWT sendiri. Cara-cara bermanja seperti itu seringkali berhadapan dengan gerakan pemurnian aqidah itu sendiri. Kita dengan gampangnya menghakimi sesama muslimin-muslimat dengan cap bid'ah. Padahal, apa yang diekspresikannya itu merupakan satu usaha dalam melibatkan diri dengan Allah SWT atau taqarrub ilallah. 

Saya senang sekali menjumpai satu-dua tulisan yang pernah saya baca sebelumnya. Ada satu esai yang juga dimuat dalam buku "Tuhan Pun Berpuasa". Lalu, ada tulisan tentang pencurian sepeda milik Emha yang disalin ulang ke dalam website www.caknun.com dalam kolom Hikmah.

Terus terang, saya menikmati alur pemikiran Emha dalam buku ini. Emha secara konsisten memperbincangkan kreativitas budaya dan eksplorasi intelektual sebagai wahana dakwah serta penyampaian pesan penawar penyakit-penyakit jiwa. Emha barangkali ingin berpesan bahwa sebelum kita menghakimi orang lain apalagi itu saudaramu seagama, berpikirlah dahulu tentang kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkannya berlaku seperti itu. Bahwasanya, Tuhan pun tergantung prasangka hambaNya.


Judul        : Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
Penulis     : Emha Ainun Nadjib
Penerbit   : Penerbit Bentang Pustaka
Tebal        : 428 hal.
Tahun       : 2015
Genre       : Agama Islam-Esai


 Dharmawangsa - Medan Merdeka Barat, 24 April 2015.

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...