Minggu, 17 Maret 2013

Menjombang: Sebuah Napak Tilas (2)

Posting sebelumnya: Menjombang: Sebuah Napak Tilas (1)

Keberangkatan – Minggu, 10 Februari 2013

QZ 7632 BDO - SUB

 Saya mengawali pagi keberangkatan ini dengan sebuah petikan lirik lagu dari Ebiet G. Ade, “...barangkali disana ada jawabnya..” Saya terus menggumamkan lirik itu dalam hati. Mudah-mudahan disana saya akan menemukan sebuah jawaban. Entah untuk pertanyaan yang mana. Saya terlanjur punya banyak pertanyaan yang saya pun sungguh tidak tahu dimana dan apa jawabannya.



Matahari mulai naik layaknya seorang petani yang membajak sawah. Pertanda hari akan cerah. Saya akan mengawali perjalanan ini dengan penerbangan QZ7632 BDO-SUB. Pukul 08.00 pesawat PK-AXC sudah mendarat dan parkir di apron. 08.15 semua penumpang sudah dibolehkan naik ke pesawat. Tepat pukul 08.30, pesawat lepas landas meninggalkan Bandara Husein Sastranegara. Sewaktu take-off saya mengalihkan pandangan ke arah hanggar pesawat milik ACS PT.DI (Aircraft Services) dimana terparkir dua prototipe pesawat terbang kebanggaan negeri; N250 Gatotkoco dan N250-100 Krincing Wesi. Sebagaimana yang telah kita saksikan bersama dalam film ‘Habibie dan Ainun’.

N250 Gatotkoco & N250-100 Krincingwesi

Dari ketinggian, saya dapat melihat lingkaran pegunungan yang mengelilingi kota Bandung. tak heran bila banyak pilot berkomentar soal susahnya melakukan pendaratan (landing) di Bandara Husein. Cekungan Bandung membuat pilot harus mampu mengendalikan pesawat secara presisi untuk melakukan pendaratan. Kendala cuaca seperti kabut dan awan tebal adalah tantangan tersendiri dalam menghadapi kompleksitas Bandara Husein yang berkarakter special airport.
 
Bandung, a view from the sky
 
Persis seperti dugaan saya sebelumnya, pesawat akan menuju Surabaya dengan melintasi pesisir pantai utara Jawa. Pemandangan cukup cerah. Tidak banyak kumpulan awan tebal. Sehingga, saya bisa memejamkan mata sejenak tanpa harus menamai mereka satu persatu. Konon, banyak pilot menamai awan-awan yang mereka jumpai untuk mengusir kebosanan mereka.

Pengumuman persiapan pendaratan di Bandara Juanda, Surabaya, sudah terdengar. Dari jendela, awan tebal mulai nampak, menyambut kedatangan kami di Surabaya. Tak lama kemudian, kami mendarat dengan selamat di Bandara Juanda, Surabaya. Tepat pukul, 09.30. Sebentar lagi, perjalanan panjang baru akan dimulai. And i’m ready for that!

Happy Landing in Juanda Airport, SUB

Way Back Home: Pare

Feels like home to  me, feels like home to me, feels like i’m on way back where i came from.. 
(Feels Like Home – Chantal Kreviazuk)

Setelah mendarat, saya harus menunggu sekitar 30 menit sebelum Pak De datang menjemput. Rupanya, Pak De dan Bu De akan menjemput saya di Juanda sekalian menuju Blitar untuk menengok cucu mereka disana. Saya akan ikut mereka sampai Pare.

Perjalanan menuju Pare dalam siang yang panas di hari raya Imlek itu berlangsung sekitar 3 jam. Saya kembali meretas jarak pada memori tahun 2007. Sebuah perjalanan serupa saya lakukan. Bedanya, kali ini tidak melewati kota Malang. Dari Surabaya, lewat Jombang, lalu ke Pare.

Saya melewati jalan yang disebut Bapak sebagai pintas menuju Pare, melewati Mojokerto, Mojoagung, dan Mojowarno. Jalan pintas itu juga yang menghubungkan jalan utama Jombang-Mojokerto dengan Pare. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan beberapa bis pariwisata yang membawa peziarah ke makam Gus Dur.

Melihat hal yang demikian, saya melamun sambil membayangkan bahwa saya akan bernasib sama seperti mereka esok hari. Saya akan membuka tabir dan selubung dari ketidaktahuan saya selama ini. Saya akan menziarahi dua makam Eyang.

Tepat pukul 13.00, kami tiba di Pare. Pare adalah sebuah kota kecil di selatan Kediri, dulunya adalah bagian dari Karesidenan Kediri. Rumah Eyang terletak di jalan besar utama yang langsung menghadap Pasar Pare. Dulu, Eyang Ti berjualan di pasar. Saya pernah diajaknya kesana


Rumah di Jalan Muria itu masih berdiri tegak. Namun, sudah jauh berbeda dengan ingatan terakhir saya, Januari 2007. Tidak ada lagi teras dan beranda di depan rumah. Kini sudah diganti mirip rumah toko, dengan railing door di muka halaman depan. Hilang sudah cerita yang selalu saya lihat setiap mengenang kembali foto-foto bersama sepupu yang lain. Bangunan utama masih tetap pada bentuknya. Di rumah itulah Eyang membesarkan ketiga putranya. Semua memori, kenangan, dan apalagi itu namanya menghujam segenap jiwa dan perasaan.

Rumah itu memang sudah dijual setelah tercapai kesepakatan antara ketiga putra Eyang. Saya tidak bisa lagi masuk ke rumah itu. Kenangan yang ditinggalkannya masih dapat saya rasakan, biar Cuma dalam hati saja.

Saya singgah sebentar di rumah Bu De Nana, tak jauh di belakang bekas Rumah Eyang. Saya menghirup kembali aroma kenangan yang menyeruak layaknya kopi tubruk yang baru dijerang. Ditambah dengan sepiring nasi rawon yang semakin membuat saya kangen pada rawon buatan Eyang. Saya bersyukur karena disana sudah berkumpul Pak De-Pak De dan Bu De-Bu De yang lain. Entah siapa yang mengaturnya, yang jelas mereka semua sudah mengetahui bahwa saya akan datang kesana.

Puas berbasa-basi, mereka mulai menanyakan maksud kedatangan saya. Sambil bercanda, satu persatu dari mereka mulai bertanya apakah saya akan segera menikah. Mereka pikir, dengan datangnya saya untuk berziarah ini karena ada maksud yang saya hendaki. Dan itu adalah sebuah pernikahan. Saya hanya bisa tersenyum sambil menjelaskan mimpi-mimpi itu. Nampaknya, merka percaya pada cerita saya. Saya tambahkan pula bahwa saya ingin bersilaturahmi mewakili Bapak.

Entah sudah tradisi atau memang kebiasaan disana, bahwa setiap seseorang menziarahi leluhurnya dapat dipastikan bahwa ia akan segera menikah. Saya tidak menampik kenyataan itu. Yang jelas, sambil guyon, saya jelaskan bahwa kalaupun saya nanti akan menikah, tentu calon istri saya itu akan saya bawa berkeliling Surabaya-Kediri-Pare untuk mengenalkannya kepada lingkungan keluarga besar.

Usai bercengkerama, saya menuju daerah Tulungrejo, rumah Pak De Wid, Kakaknya Bapak. Barangkali pembaca sudah mafhum bahwa Tulungrejo adalah daerah penghasil kemampuan bahasa Inggris yang konon sudah terkenal di negeri ini. Banyak pelajar dari luar kota singgah di Tulungrejo untuk mengasah kemampuan bahasa Inggris mereka. Biasanya, paling cepat, dibutuhkan waktu dua minggu untuk menyelesaikan kursus bahasa, itupun kalau kita memang punya kemampuan dan bakat yang bagus. Maka, sore itu pemandangan di sekitar Tulungrejo diwarnai pelajar bersepeda yang menikmati waktu istirahat mereka.

Agak sedikit canggung ketika memasuki rumah Pak De. Saya belum beranjak menuju pintu masuk hingga Pak De menjumpai saya dan seketika langsung memeluk saya. Saya melihat ada air mata di sela matanya. Tak heran, waktu Pak De menangis waktu ditelepon Bapak. Sebuah nostalgia, sebuah kerinduan, mewarnai sore di Tulungrejo.

Pertemuan kembali dengan Pak De yang pertama sejak April 2009 ini menyiratkan sebuah makna. Bahwa nilai eksistensialitas manusia diuji ketika berhadapan dengan masa lalunya. Saya diuji dalam memaknai makna keberadaan saya dalam konteks hubungan kekeluargaan.

Lama kami bercengkerama di ruang depan. Banyak yang ingin Pak De tahu tentang saya. Soal pekerjaan, soal hidup, dan soal-soal lainnya yang kadang tidak bisa saya jawab langsung. Misal saja pertanyaan yang sama seperti sebelumnya, apakah saya akan segera menikah. Rasanya ingin bikin hashtag #IndonesiaTanpaKapanKawin lagi, tapi ini bukan Lebaran, anyway.

Saya jelaskan semuanya pada Pak De. Mulai dari mimpi yang pertama saya alami dengan Eyang Ti hingga mimpi terakhir dengan Eyang Kung. Jawaban Pak De ternyata sama dengan jawaban Bapak. Saya tidak perlu jauh-jauh mendatangi makam Eyang hanya untuk mengetahui apa maksud semua itu. Pak De menganjurkan supaya saya jangan lupa baca doa dan mengirim Al Fatihah.

Saya tidak puas dengan penjelasan itu. I want something more. Rupanya, Pak De tidak terlalu antusias menanggapi cerita saya tentang mimpi-mimpi itu. Pak De hanya bilang, beliau hanya kan menunggu pertanda dari Sang Jenderal. Sang Jenderal yang dimaksud itu adalah Eyang Ti. Saya heran, bagaimana Pak De bisa mendapat jawaban dari Eyang Ti. 

Saya lantas memaksa bahwa jawabannya adalah YA. Pak De akan mengantar saya ke makam Eyang Kung dan Eyang Ti. Saya bilang, saya sudah terlanjur datang kesini dan Eyang Ti pun tahu dan beliau pasti mengizinkan saya untuk menziarahinya. Pak De lalu tertawa mendengar keyakinan saya semacam itu.

Saya benar-benar serius soal maksud saya ini. kedatangan saya kesini bukan main-main. Ibarat judul sebuah acara traveling: Bukan Jalan Jalan Biasa!

Pak De kemudian terdiam sebentar lalu menjelaskan bahwa niat saya sudah bagus. Entah tadi itu Pak De memang menguji keyakinan saya atau tidak, yang jelas beliau seperti terlihat sedikit ragu. Saya tanya, apakah yang membuat Pak De ragu. Pak De bilang, makam Eyang Ti ada di dekat sini jadi tidak masalah, bisa jalan kaki. Tapi, makam Eyang Kung di Jombang kini tidak lagi banyak dilalui angkutan umum mengingat kemacetan yang sering terjadi di suatu area yang sedang dibangun jembatan. Jadi, Pak De ragu ada angkutan umum yang mendekati lokasi makam di daerah Mancar, Peterongan, Jombang.

Kalau itu masalahnya, kita cari saja orang yang bisa disewa motornya. Kalau perlu, kita sewa angkot saja, supaya tidak ribet, sambung saya. Pak De mengangguk dan setuju. Saya juga berharap semoga diberi kelancaran dan kemudahan untuk esok hari. Perdebatan kami pun berakhir dan segera mencair dengan secangkir kopi. Sebuah akhir yang indah untuk sore yang merambat lambat di Tulungrejo.

Sore itu juga yang mengantarkan saya pada sebuah fakta yang baru saya sadari. Saya menghadapi kenyataan bahwa saya adalah cucu tertua dari nasab keluarga Bapak. Saya adalah cucu pertama Eyang. Selama ini, saya selalu menganggap bahwa Mas Hilmi, anak Pak De Wid, adalah cucu pertama Eyang. Aya kaget mengetahui kenyataan ini. Saya merasa seperti memikul beban tanggung jawab. Untuk apa itu, saya tidak tahu. Saya hanya merasa bahwa saya harus mampu memimpin dan mempersatukan kembali cucu-cucu Eyang. Saya bersyukur, bahwa saya melakukan perjalanan ini. semoga bisa dicontoh sepupu lainnya.

Naar Kediri

Suasana Malam di Jalan Dhoho Kediri

Usai shalat Maghrib, saya meneruskan perjalanan ke kota Kediri, bersama dengan keluarga Pak De Ayik, kakak sepupu Bapak. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 45 menit. Maklum, mobil yang kami tumpangi adalah mobil Mitsubishi tua tahun 1970-an kebanggaan Pak De Ayik. Mobil yang dibanggakannya kepada saya, dengan foto-foto berlatar kota yang pernah disinggahi  mobil ini, antara lain RSPAD Gatot Subroto Jakarta, dan Cilegon.

Kediri. Tidak banyak yang saya ingat tentang Kediri. Seingat saya, terakhir kali mengunjungi Kediri itu tahun 1995, waktu Eyang Kung meninggal. Selebihnya, kebanggaan soal Kediri hanya bisa dirasakan lewat Persik Kediri, yang langsung menjuarai Liga Indonesia usai promosi ke kasta tertinggi jagad persepakbolaan negeri ini.

Menikmati Kediri di malam hari Imlek seperti ini rasanya kurang begitu semarak. Banyak toko dan tempat makan yang tutup. Tapi, kemajuan dan denyut kota ini masih terasa. Stadion Brawijaya Kediri masih berdiri dengan megah. Di bagian luar, terdapat monumen peringatan atas peristiwa yang menimpa suporter Persik pada saat menerobos pagar stadion. 

Arch de Triomphe a la Kediri

Perlu dicatat, sebelum masuk ke kota Kediri dari arah Pare (selatan), ada suatu remarkable place. Entah bagaimana, Kediri berhasil membangun sebuah landmark taman kota dengan bangunan yang mirip Arch de Triomphe di Perancis sana. Sebuah bangunan di sudut Champ Elysee yang dibangun Napoleon pada tahun 1806 sebagai simbol kemenangan. Dari sudut pandang awam, saya menilai kota ini sedang berkembang pesat. Terbukti dengan Arch de Triomphe a la Kediri. Barangkali, ada seorang putra daerah yang pulang belajar di negeri Napoleon sana lalu berinisiatif mengajukan proposal untuk mendirikan bangunan tersebut.

Saya langsung menuju Jalan Singonegaran, menengok Bu De yang terbaring sakit. Kami membacakan doa untuk kesembuhan beliau. Pak De begitu senang melihat kedatangan saya. Kehadiran Bapak sudah tergantikan oleh saya. Kami menikmati malam dengan late dinner di rumah makan gudeg. Berhubung tempat makan Kediri-an langganan Pak De sudah tutup.

Usai bercengkerama sebentar, membahas kelakuan kader-kader partai islam (yang ternyata nasionalis juga *sigh) dalam kasus impor sapi, saya pamit pulang. Saya akan kembali ke Pare. Tentu setelah menjelaskan maksud kedatangan saya kepada Pak De. Saya tidak menghitung sudah berapa kali mengulang-ulang cerita perihal kedatangan saya ke tanah leluhur ini.

Malam semakin meninggi. Kota mulai sepi. Jalanan menuju Pare begitu lengang. Hanya satu dua mobil berpapasan. Selebihnya gelap. Saya tiba kembali di Pare menjelang tengah malam. Jalanan mulai senyap tetapi saya belum bisa menutup mata. Saya tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok. Pikiran saya berlarian antara memori-memori yang saling berkejaran. Esok masih akan tiba. Saya akan mengunjungi mereka. Malam terasa begitu panjang.

Pare-Surabaya-Pharmindo-Paninggilan, Februari 2013

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...