Pekerjaan menulis sebuah review, A Year in Blogging, selama ini hanya ada dalam pikiran semata. Tanpa benar-benar dituangkan menjadi sebuah tulisan yang bisa tayang di blog ini.
Kenapa saya lebih cenderung bercerita tentang buku-buku yang belum dibaca selama tahun 2012 kemarin? Sederhana saja. Buku-buku yang belum dibaca lebih mudah saya temukan dalam daftar my books di akun Goodreads saya. Lagipula, menulis tentang mereka jauh lebih mudah daripada menulis review tentang buku yang sudah dibaca. Seperti yang sudah saya lakukan selama ini disini.
Saya tidak pernah melakukan suatu penilaian atas sebuah karya tulisan. Saya merasa tidak berhak untuk melakukan judgement terhadap suatu buku apapun. Baik atau tidak baik, bagus atau jeleknya sebuah buku hidup dalam pikiran masing-masing pembaca. Soal urusan kritik, itulah mengapa Tuhan menciptakan kritikus dan akademisi.
Saya tidak pernah melakukan suatu penilaian atas sebuah karya tulisan. Saya merasa tidak berhak untuk melakukan judgement terhadap suatu buku apapun. Baik atau tidak baik, bagus atau jeleknya sebuah buku hidup dalam pikiran masing-masing pembaca. Soal urusan kritik, itulah mengapa Tuhan menciptakan kritikus dan akademisi.
Terinspirasi dari satu thread diskusi di Goodreads, saya ingin membuat catatan yang sekaligus juga jadi dokumentasi tertulis tentang me and my blog. So, here i go. Please feel free to read and enjoy this-not-so-awesome note.
Februari
Lunch With Mussolini
Buku ini saya beli karena tertarik dengan judulnya. Sekali lagi, pemberian nama judul bagi suatu karya berpengaruh dalam menentukan frame of reference di benak pembaca. Dari awal, saya sudah berpikir bahwa buku ini berbicara seputar peristiwa sejarah. Barangkali saja ada satu tokoh dari penulis, Derek Hansen, ada yang benar-benar diceritakan melakoni sebuah “lunch” dengan Il Duce Mussolini.
Berikut deksripsi singkat pada bagian belakang sampul buku (courtesy Goodreads):
In the spring of 1945, with the end of the Second World War in sight, a German officer orders the reprisal shooting of eight woman in a small alpine village near Lake Como.
Nearly fifty years later, in a suburb of Sydney, the daughter of one of the victims discovers her mother's executioner quietly living under an assumed name a few streets away.
Aware of the impotence of the law. Colombina is determined to avenge the past. She makes up her mind to confront the old man and make him pay for his crime.
Colombina in turn is forced to confront her own past and her own involvement.
In Lunch with Mussolini four men meet every Thursday to share their passion for storytelling.
Derek Hansen weaves a gripping tale of romance and tragedy, heroism and treachery, which twists and turns to an ending as stunning as it is unexpected.
Personal Note:
Buku ini juga menandai pertemuan kembali dengan seorang sahabat lama, @lellydisini di sebuah toko buku di bilangan Jalan Siliwangi Bandung.
Maret
Soe Hok-Gie Sekali Lagi & Bekisar Merah
1
Kedua buku ini saya beli bersamaan pada sebuah bookfair. Sangat beruntung karena keinginan saya untuk membaca karya-karya Ahmad Tohari akhirnya bisa tersalurkan. Bila pada Ronggeng Dukuh Paruk edisi terbaru menampilkan tiga novel sekaligus-Ronggeng Dukuh Paruk, Jantera Bianglala, dan Lintang Kemukus Dini Hari-maka Bekisar Merah memuat Bekisar Merah dan lanjutannya, Belantik.
Cover edisi terbaru |
Ronggeng Dukuh Paruk berhasil saya tamatkan bulan Juni. Itupun dengan cara mencicil setiap bubaran kantor di bis jemputan. Namun, Bekisar Merah terlanjur dikandangkan ke Markas Besar Buku di Bandung. Sehingga saya tidak punya banyak kesempatan untuk membacanya ketika sedang di Bandung. Terus demikian hingga buku-buku baru lainnya berdatangan dan meninggalkan Bekisar Merah berdiri tegak, angkuh, di dalam rak.
Akhir Desember kemarin, saya melanjutkan pembacaan Bekisar Merah. Sudah sampai sekitar halaman 100-an lebih dan cerita sudah menginjak kelanjutan hidup Lasi dalam pelariannya di Jakarta. Saya pikir satu atau dua bulan lagi buku ini bisa saya tamatkan.
2
Soe Hok Gie Sekali Lagi, adalah sebuah buku yang diterbitkanpada tahun 2009 lalu. Buku ini juga sempat diangkat menjadi satu topik bahasan dalam acara talkshow “Kick Andy”, saat itu. Pada acara itu, disebutkan beberapa alasan kenapa buku ini diterbitkan. Suatu keputusan yang tidak terlalu salah menyusul kisah perjalanan hidup Seo Hok-Gie yang diangkat ke layar lebar pada tahun 2005 oleh dua sineas terbaik Indonesia, Riri Riza dan Mira Lesmana, dan Gie diperankan dengan apik oleh Nicholas Saputra @nicsap.
Penjiwaan karakter Gie yang dilakukan Nicholas Saputra mirip dengan apa yang dilakukan Reza Rahadian dalam film “Habibie dan Ainun” yang masih tayang belakangan ini. Agaknya, masih banyak kisah tentang Soe Hok-Gie yang mengandung relevansi dengan keadaan bangsa kita saat ini. Dengan penerbitan kembali buku tentang Gie-setelah re-publish Catatan Seorang Demonstran- kita seakan diajak melihat kembali sejarah, juga tentang semangat seorang Gie yang mau berbuat untuk bangsa yang sangat dicintainya.
Saya agak mengalami sedikit kesulitan dalam menamatkan buku ini. Isi buku yang berupa kumpulan artikel dan tulisan dari sahabat-sahabat Gie cenderung mudah membuat mood naik turun. Karenannya, saya hanya membaca artikel/tulisan tertentu yang saya anggap menarik. Seperti beberapa potongan puisi yang sempat di-scoring ke soundtrack film Gie yang juga dibawakan oleh Nicholas Saputra.
Akhirnya semua akan tiba pada suatu masa
Pada suatu hari yang biasa
Sekarang, buku ini saya simpan dengan gagah di meja kantor. Sengaja, sebagai pengingat bahwa saya masih punya ‘pekerjaan’ yang belum selesai.
April
Nagabumi II: Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang
Sudah jadi rahasia umum bahwa menamatkan bab demi bab dalam buku Nagabumi adalah sebuah kepuasan pribadi (iya gak sih?). pembacaan Nagabumi episode pertama saya habiskan sepanjang bulan April hingga Agustus 2010. Lagi-lagi kendala jarak Jakarta-Bandung menjadi faktor lambatnya pembacaan. Impresi atas Nagabumi I yang mengandung beberapa “fakta” sejarah selalu membuat penasaran untuk terus membuka halaman dan berlanjut dari satu bab ke bab lainnya.
Menamatkan Nagabumi II saya rasa adalah pekerjaan membaca paling berat tahun 2012 ini. Terlalu banyak buku lain yang mendistraksi perhatian. Pengalihan ini bukan karena masalah panjangnya halaman buku tetapi justru karena keistimewaan Nagabumi. Mau dibaca kapanpun, selama bersambung, tidak jadi masalah karena Nagabumi dulunya diciptakan sebagai cerita bersambung di harian Suara Merdeka Semarang. Dalam episode kedua ini, dilengkapi dengan ilustrasi yang dibuat oleh Beng Rahadian @bengrahadian, seorang komikus penggiat Akademi Komik Samali. Saya pernah sekali berkunjung ke Akademi Samali sehingga pemuatan karya @bengrahadian tadi memliki ikatan emosi yang kuat untuk saya yang juga mengidolakan Seno Gumira Ajidarma.
Hening
Hening adalah satu yang tersisa dari sekumpulan buku yang saya beli pada pesta buku diskon di toko buku terbesar di Matraman. Alasan saya tertarik membaca buku ini adalah satu pernyataan di balik sampul:
Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah: sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah masa-masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam berpangku tangan melihat penderitaan.
Hening, yang ditulis salah satu penulis terbaik Jepang, Shusaku Endo, bercerita tentang seorang misionaris Portugis yang berusaha melakukan kristenisasi pada masyarakat Jepang abad 17 periode Edo. Hubungan antara misionaris Portugal dengan Jepang tidak pernah saya tahu kapan dimulainya. Hanya saja, ada satu asumsi yang muncul ketika saat ini saya sedang membaca Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia jilid 1 yang ditulis Rosihan Anwar. Jauh sebelum Perang Pasifik, Portugis sudah melakukan penjelajahan ke berbagai belahan dunia. Tujuannya jelas, mencari sumber rempah-rempah yang menjadi barang mahal di Eropa kala itu. Dengan judul misi dagang, berlayarlah pelaut-pelaut terbaik Portugis atas titah raja.
Sudah tercatat dalam beberapa buku sejarah bahwa pendudukan Portugis atas Nusantara yang didahului oleh kejatuhan Kerajaan Malaka pada tahun 1511, menyebabkan penjelajahan samudera sangat dimungkinkan menjangkau wilayah-wilayah negara kepulauan lain. Barangkali saja, salah satu kapal misi dagang Portugis sempat berlabuh di Jepang dan sesuai dengan misi 3G: Gold, Glory, Gospel; mereka berusaha meneruskan “titah suci” itu di bumi yang mereka pijak.
Mei
Untuk Negeriku
Hasrat untuk memiliki buku trilogi tulisan Wakil Presiden RI pertama, Mohammad Hatta, ini muncul dalam satu lawatan ke rumah seorang Paman. Saya melihat dalam lemari Paman saya ini berjejer beberapa buku ekonomi yang diterbitkan penerbit-penerbit terkenal lalu beberapa buku biografi tentang tokoh-tokoh Indonesia. Salah satunya adalah founding father kita yang lahir di Bukittinggi ini.
Kesan mendalam terhadap Mohammad Hatta saya dapat ketika menemukan buku lama “Demokrasi Kita”. Demokrasi Kita adalah kumpulan tulisan Mohammad Hatta yang diterbitkan harian Pandji Masyarakat. Perbedaan pandangan antara Hatta dengan Soekarno menyebabkan pengunduran diri Hatta. Hatta yang menilai Soekarno sudah terlalu jauh berpaling dari demokrasi dan Pancasila, mengambil sikap demikian agar leluasa untuk melakukan tindakan-tindakan yang dikehendakinya. Pandangan dan sikap Hatta tersebut semuanya dituangkan disana. Termasuk solusi-solusi untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan inflasi yang mencekik rakyat Indonesia.
Saya belum menemukan korelasi apapun antara trilogi Untuk Negeriku dengan Demokrasi Kita. Namun, saya yakin keteguhan sikap dan konsistensi Hatta akan selalu jadi bagian integral dalam setiap tulisannya.
23 Episentrum
Buku ini masuk dalam daftar Program CBD (Cari Buku Diskon). 23 Episentrum banyak bercerita tentang passion. Bagaimana memaknai passion sebagai kesatuan utuh dri sebuah individu. Tidak butuh waktu lama untuk tahu hal itu karena dalam suplemen buku ini, diceritakan berbagai kisah dari kawan-kawan penulis yang berbuat dan bekerja dengan mengikuti passion mereka.
Pembacaan berhenti pada satu halaman yang memuat lirik lagu Somebody dari Depeche Mode. Saya tidak kuasa menahan rasa yang muncul saat membaca bagian ini. Terlebih karena waktu itu saya sedang PDKT (yang akhirnya gagal juga) dan serasa disindir oleh lirik lagu itu. Sila googling sendiri untuk membaca lirik lagu itu.
Cerita Sahabat
Seperti 23 Episentrum, Cerita Sahabat juga masuk kategori Program CBD bulan ini. Terdorong oleh diskon besar saya agak sedikit memaksa untuk membeli buku ini. Mengingat masih banyak buku yang on-going dan waiting list. Selebihnya, tidak pernah saya baca lagi setelah menamatkan pembacaan cerpen dari Faye Yolody @fayeyolody tentang perjodohan pada akhir bulan Juni. Saya penasaran dan merasa ingin tahu (kepo? :)) ) sudut pandang orang lain soal perjodohan, karena waktu itu saya akan dijodohkan dengan anak seorang kolega Ibu. Sudah jangan dibahas lagi.
episode lanjutan sila klik disini
Jakarta-Bandung-Paninggilan, 12 Januari 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar