Rabu, 20 Februari 2013

Melombok: The Travelogue (Eps.2)

Melombok - Episode 1  klik disini

Day 2 – Sabtu, 15 Desember 2012

Liburan ke pantai di akhir tahun ini mengingatkan saya pada Desember 2008. Ketika itu saya menghadiri pernikahan seorang sahabat di Pangandaran. Sekalian liburan. Kebetulan, akhir tahun selalu memasuki musim penghujan sehingga sangatlah sulit untuk menemukan sunset. Plus, kondisi air laut yang tidak sebersih musim panas. Ditambah lagi angin yang berhembus kencang dari arah samudra. Pokoknya serba tidak ideal. 

Malimbu High - Pelabuhan Bangsal

Kekhawatiran itulah yang membuat kami sedikit waswas. Bila cuaca tidak bersahabat, angin kencang, dan mendung, kami terancam tidak bisa menikmati keindahan pesona alam Gili Trawangan. Perjalanan pun dimulai dengan menyusuri jalur pinggiran pantai barat Lombok, dari Senggigi menuju Malimbu sebelum sampai di Pelabuhan Penyeberangan Bangsal.

Pemandangan di sekitar Malimbu High
 
Malimbu adalah sebuah kelokan di jalan raya Senggigi menuju Bangsal. Entah mengapa dan apa sebabnya kelokan Malimbu ini bisa menjadi daya tarik bagi setiap wisatawan yang berkunjung kesana. Pemandangan sekitar lepas pantai Malimbu dan perbukitan di sekitarnya memang terasa menenteramkan. Apalagi ketika cuaca tidak begitu panas. Kami tidak lama berhenti disitu. Setelah memuaskan diri dengan usaha eksistensial, kami melanjutkan perjalanan.


Setibanya di Bangsal, kami dibuat sedikit heran. Mobil harus berhenti di tempat parkir yang disediakan kira-kira 500 m sebelum Pelabuhan. Ada tanda dilarang masuk. Kami harus sampai ke Pelabuhan dengan menaiki delman atau andong yang disini dinamakan ‘cimodo’. Tiga andong sudah disiapkan untuk rombongan kami. 

Cimodo, delman khas Lombok

Ongkos naik delman dari tempat parkir ke Pelabuhan sebesar Rp. 15.000,- untuk 4 orang penumpang. Khusus penumpang wide-body (ukuran ekstra) saya sarankan untuk membayar lebih karena dimensi kendaraan delman disini tidak sama dengan yang biasa dijumpai di kota-kota besar seperti Bandung dan Yogyakarta. Ukuran dek penumpang cenderung lebih kecil sehingga ruang kaki menjadi lebih sempit dari biasanya. Selebihnya, tetap sama saja tidak ada perbedaan lain yang signifikan.

Rombongan Turis Bule
Ketika menunggu kapal di Pelabuhan, kami sempat berjumpa kembali dengan sepasang turis bule yang duduk di row sebelah saya waktu di penerbangan kemarin. Rupanya, mereka turis backpacker yang bersenjatakan panduan dari Lonely Planet dan beberapa catatan yang (mungkin) telah mereka buat sebelum berangkat ke Lombok. Kami tidak berangkat ke Gili Trawangan satu perahu dengan mereka karena kami sengaja menyewa satu perahu khusus untuk mengangkut rombongan kami. Harga sewa perahu adalah Rp. 10,000,- per penumpang dengan maksimal sekali pemberangkatan 25 orang. Aturannya, driver akan berlayar setiap penumpang sudah penuh terisi. Jadi, kalau belum penuh 25 orang, kita diharuskan menunggu. Perubahan cuaca yang kadang mendadak pun bisa menjadi halangan untuk menyeberang. Hal ini dengan sigap diinformasikan oleh Petugas Adpel. Demi pencegahan kecelakaan dan keselamatan pelayaran. Safety first!

Signage di Pelabuhan Bangsal

Pelabuhan Bangsal - Gili Trawangan

Pengaturan pemberangkatan kapal di Pelabuhan Bangsal dibuat sedemikian rupa mirip di bandar udara. Artinya, perahu motor baru boleh diberangkatkan dan melepas jangkar bila Administrator Pelabuhan telah mengeluarkan rilis yang bisa didengarkan melalui speakerphone. Kami masih harus menunggu sekitar 20 menit sebelum naik kapal. Kabar yang diterima dari Adpel, gelombang laut masih tinggi disertai angin kencang sehingga membahayakan pelayaran (aduh bahasanya, berasa naik Titanic). Pelabuhan Bangsal tidak hanya menyediakan transportasi dari Bangsal ke Gili saja tetapi juga ke Pelabuhan lainnya di Bali. Dari kejauhan, gugusan Tiga Gili: Trawangan, Menuk, Air; sudah terlihat menggoda. Perlahan cuaca berangsur cerah. Matahari mulai nampak. Angin berhembus pelan. Satu persatu perahu motor dirilis untuk meninggalkan Pelabuhan.

Perahu motor di Pelabuhan Bangsal

Dermaga Pelabuhan Bangsal, Lombok
 
Tiba giliran perahu motor kami yang full on board menuju Gili Trawangan. Kata Lalu Zul, guide kami, pelayaran akan memakan waktu selama setengah jam. Saya menyangkal estimasi dari Lalu Zul, “masa pulau di depan keliatan gitu nyampenya setengah jam?” Perkiraan saya didasari perhitungan jalur darat. Lalu Zul hanya berpesan supaya saya jangan dulu berkomentar dan rasakan dulu pengalamannya. 



15 menit berlalu sementara perahu kami memimpin diantara 3 perahu motor lainnya yang menuju Gili Trawangan. Kebosanan mulai melanda karena ekspektasi kami yang salah, berharap segera merapat ke Gili Trawangan. Untungnya, beberapa kawan mengambil inisiatif untuk berlagak seperti kapten pilot. 



“Gili Tower this is flight DSKU01 heading east bound to Gili Trawangan request clearance to landing.”

“DSKU01 you are 1 mile away of Gili Trawangan runway, prepare to landing, landing gear down, roger.” 



“Tower, landing gear down. Flaps up. Ready  to landing, approximate 5 minutes. Flight Attendants, landing position.”



Tak pelak guyonan semacam itu cukup mengocok perut kami untuk sejenak melupakan mabuk laut bagi yang sudah mulai ‘goyang’. Saya menghabiskan waktu dengan mengambil gambar seputar pemandangan yang kelak jadi bukti bahwa saya pernah kesana dan menyalakan dua batang rokok. Mesin perahu dimatikan, jangkar dibuang. Perahu menepi. Kami pun turun menuju kafetaria yang akan menjadi ‘base operation’ kami selama seharian berada di Gili Trawangan.

Gili Menuk - Gili Trawangan

Ready to dive!
Usai mengganti baju dan membawa perlengkapan seperlunya, kami naik perahu kembali. Perahu motor kami dilengkapi dengan glass bottom surface. Artinya, bagian tengah paling dalam dari perahu dibuat dari kaca fiber tebal yang berfungsi sebagai sarana untuk menikmati keindahan biota alam bawah laut perairan sekitar Bangsal-Gili. Terus terang, itu cukup menghibur buat kami-kami ini yang sudah jarang berlibur ke pantai. Lalu Zul mengajak kami untuk snorkeling di sekitar perairan Gili Menuk. Saya tanya driver perahu, mengapa harus disana. Jawabannya, perairan sekitar Gili Menuk cukup dalam (sekitar 6 meter lebih) dengan pemandangan yang InsyaAllah bikin puas. Hmm..rasanya cukup menantang. Walaupun saya percaya diri dengan kemampuan renang yang seadanya, tantangan untuk snorkeling di kedalaman yang lebih dari 5 meter tetap saja membuat deg-degan. Rasanya, tidak lebih dari deg-degan menunggu jawaban ditolak atau diterima. #abaikan

The Man Who Can't Be Moved

Putar haluan, kapten!

Tidak lama, kami sudah mengenakan peralatan standar snorkeling. Life vest, corong udara, kacamata selam, dan tak lupa sepatu katak. Kesan pertama saya sebelum take-off terjun ke laut lepas adalah air laut itu asin, dan itu cukup mengganggu. Maklum, kebanyakan renang di Gelanggang Olahraga Sabuga Bandung hehehe... Satu yang saya ingat seperti ketika untuk pertama kalinya terjun bebas dari ketinggian 5 meter di Kolam Renang Sabuga adalah lebih baik nyebur di kolam yang dalam daripada kolam yang lebih dangkal. Alasannya, hukum Archimides berlaku. Gaya benda yang menekan permukaan air akan mendapatkan tekanan dengan nilai gaya serupa. Kurang lebih begitu, CMIIW. 

Benar saja, rasanya memang lebih baik begitu. Saya bisa segera menyesuaikan diri, mengatur gerak dan nafas. Bahkan sempat membantu seorang kawan yang ‘kaget’ ketika take-off ke laut. Kecuali, air asin yang kerap masuk ke jalur kerongkongan sehingga terminum, selebihnya adalah suatu kenikmatan. Betapa saya bersyukur dapat diberi kesempatan untuk menikmati jargon “The Beauty of Indonesia’. Sungguh tiada terkira bahwa negeri kita ini memiliki ‘surga’kecil disini.

Kami tidak lama disitu. Selain karena arus mulai deras, di sekitar daerah laut itu tidak ada pembatas area snorkeling dengan laut lepas. Sehingga cukup membahayakan kami yang masih amatiran ini. Kami beringsut menuju Gili Trawangan kembali. Tak jauh dari tepi pantai, terdapat perairan karang yang cukup dalam dan dengan pemandangan yang tak kalah indahnya. Kami pun diperbolehkan untuk memberi makan ikan disana. Dengan modal roti tawar yang banyak dijual di warung sekitar sana kami bisa menarik perhatian ikan-ikan tropis berwarna-warni. Sungguh suatu keindahan lainnya yang tiada tara. Ikan berwarna yang selama ini hanya saya saksikan di National Geographic (kalau kebetulan sedang menginap di hotel :D )  kini berada di hadapan mata.

Setelah menikmati semua keindahan biota karang itu, sempat terpikir beberapa hal. Kelak, ikan-ikan yang mendiami wilayah itu akan merasakan ‘kejenuhan’ dan ‘kebosanan’ karena selalu diberi makan roti tawar oleh pengunjung. Gue aja bosen, apalagi ikan..hahaha.. suatu saat, gen mereka akan bermutasi dan mengalami evolusi. Nantinya, penerus keturunan spesies mereka  selanjutnya bukan lagi ikan laut murni yang hanya makan plankton dan hewan-hewan mikroskopis lainnya, tetapi berubah menjadi ikan laut yang sebagian pemakan plankton/mikroskopis dan roti tawar. Entah bagaimana menjelaskannya, tapi kalau anda pernah nonton Godzilla, mungkin anda akan paham (atau tambah bingung :D ). Itu hanya pemikiran sempit belaka yang datang dari sebuah pikiran yang berusaha untuk ingin melestarikan lingkungan biota laut di sekitar perairan Gili Trawangan. 

Tiga Duyung Mendarat
 
Rupanya, beberapa kelompok usaha atau pun kelompok pecinta lingkungan sudah melakukan berbagai usaha untuk usaha pelestarian itu. Misal, ada sebuah perusahaan yang ikut membantu usaha budidaya terumbu karang. Usaha mereka cukup bagus dari segi branding dan positioning, serta relevansinya dengan program Community Social Responsibility (CSR) mereka. Mereka cukup membuat kerangka besi tempat terumbu karang akan menempel dan selanjutnya berkembangbiak tentu dengan tambahan label perusahaan mereka. Suatu usaha sederhana yang sarat makna. Lainnya, di pinggir pantai terdapat penangkaran penyu yang disponsori oleh satu perusahaan penerbangan nasional/national flag carrier (untuk tidak menyebutnya maskapai berkode GA :D).

Kolam Penangkaran Penyu, Gili Trawangan, Lombok.


Hari sudah siang. Saya mulai kepanasan. Tiga dari kami pun segera menepi. Segera menuju kamar mandi tempat membilas. Waktu makan siang sudah tiba. Usai mandi, kami berjalan menuju kafetaria ‘base operation’ semula. Rupanya, cukup jauh dari tempat kami snorkeling, sekitar 1 km. Namun, karena itu pula saya dapat merasakan denyut kehidupan di Gili Trawangan ini. Sepanjang jalan di tepian pantai ini banyak kafe atau sekedar tempat makan. Saya tidak bisa membandingkannya dengan Bali. Yang jelas, beragam menu disajikan. Beberapa bahkan melengkapinya dengan ornamen-ornamen berbahasa internasional. Banyak pula tempat yang menawarkan peralatan diving dan snorkeling. Jangan khawatir kehabisan uang tunai, ada beberapa ATM yang saya jumpai disini, diantaranya adalah Bank Mandiri, BNI, dan BRI. Menurut Lalu Zul, setiap hari Senin, Rabu, Jum’at, dan Malam Minggu beberapa kafe mengadakan party. Biasanya, kalau lagi banyak wisatawan asing yang berkunjung kesana. Mau coba? 

Coral Reef Restoration Center

Beach Club, tempat jajan

International Taste

Come in, speak little-little Anglais!
 
Sebagai informasi, harga sewa satu set alat snorkeling berkisar Rp. 70,000,- dengan denda mencapai Rp. 200.000,- bila salah satunya ada yang hilang tenggelam. Sekedar saran, segera beritahukan guide/pemandu bila mengalami kejadian itu. Harga sewa glass bottom boat dari Gili Trawangan ke lokasi snorkeling sekitar Rp. 50.000,-/penumpang, maka usahakan sewa perahu beramai-ramai bila menghendaki tarif yang lebih murah, harap dicatat juga bila anda seorang low cost traveler. Bila peserta lebih dari 10 orang, perahu bisa disewa dengan harga grup/borongan Rp. 500.000,-. 

Hutan Pusuk

Selesai makan siang, kami melanjutkan agenda selanjutnya. Tercatat di itinerary adalah Hutan Pusuk. Sebuah kelokan (lagi-lagi) di sepanjang Jalan Raya yang menghubungan Bangsal dengan Ampenan dan Mataram, dimana terdapat spesies monyet liar. Pengunjung bisa berhenti sejenak dan memberi mereka makan. Monkeyfeeding. Suasana itu mengingatkan saya pada sebuah daerah di Sumatera Utara, di sepanjang jalan raya menuju Danau Toba di Prapat. Hanya saja, waktu itu saya tidak berhenti.

Kitorang so bersodara!

Monkeyfeeding di Hutan Pusuk
Pikiran aneh itu datang lagi. Monyet liar yang dulunya hanya makan dari hasil hutan yang ada di sekitar habitat  mereka kini sudah pandai menandai kendaraan yang berhenti dan mereka lantas bersiap menunggu pengunjung yang akan melempar kacang ke arah mereka. Kecederungan seperti ini bila terus dibiarkan akan mengganggu ekosistem dan ‘kodrat’ monyet di sekitar Hutan Pusuk. Saya khawatir mereka akan selalu menunggu kedatangan wisatawan yang sekedar ingin mencari sensasi dengan monkeyfeeding sehingga mereka lupa akan kodrat mereka. Lagi-lagi, saya tidak bisa menghindari datangnya pemikiran semacam tadi di Gili. Saya takut mereka menjadi makhluk yang malas lalu menjarah ke pemukiman penduduk karena sudah terbiasa dengan makanan manusia. Semoga saya salah.

Buah Tangan dari Lombok

Hari merambat senja ketika kami tiba di sentra oleh-oleh. Kami membeli beberapa penganan khas Lombok seperti dodol rumput laut, telur asin (dari telur bebek liar), dan tak ketinggalan susu kuda liar. Perjalanan dilanjutkan menuju sentra penjualan mutiara. Perlu dicatat, bahwa Lombok sudah terkenal sebagai pemasok mutiara berkualitas baik. Pasar ekspornya sudah mencapai Jepang dan Eropa. Konon, tambak mutiara disini dimiliki dan dikelola oleh seorang Jepang. 

Dalam setiap perjalanan menuju obyek wisata jangan heran bila pembaca menemukan banyak penjual mutiara. Hati-hati dan jangan tergiur dengan harga murah yang ditawarkan.

Dipilih, dipilih, dipilih, mutiaranya Kakak!

Harga mutiara air laut adalah yang paling mahal. Harga per gram yang berwarna putih mulai sekitar Rp 250.000 dan yang berwarna coklat paling mahal sekitar Rp 350.000. Jadi satu butir mutiara warna coklat yang beratnya lima  gram saja bisa seharga Rp 1.750.000.  Mutiara laut dijual dengan harga per gram hanya di toko-toko mutiara yang besar saja di seputaran kota Mataram. Harga mutiara air laut per gram tergantung ukuran berat. Mulai  Rp 250.000 sampai Rp 500.000 per gram tergantung ukuran besar kecilnya.

Mutiara yang bagus berwarna putih dan coklat adalah yang terlihat bening, mulus dan cenderung berbentuk bulat. Ada juga yang bentuknya bulat dan terdapat tonjolan-tonjolan kecil karena bentuk mutiara air laut alami tidak bisa dibentuk di dalam kerang. Bila anda menghendaki mutiara dengan harga yang lebih terjangkau, mutiara air tawar bisa jadi alternatif. Bentuknya sebagian besar lonjong seperti telur burung merpati. Warna mutiara air tawar ada yang berwarna pink dan putih.

Mutiara air tawar yang sudah diikat di cincin, anting, dan kalung yang  memakai lapisan perak hanya seharga Rp 10.000-Rp 20.000 per buah. Tetapi penjual mutiara yang mangkal di daerah wisata di sana membuka harga dengan harga tiga kali lipat dari harga sebenarnya. Anda harus berani menawar harga sepertiganya.

Kebetulan kami mampir di sebuah toko yang khusus menjual mutiara. Dari luar, tidak nampak bahwa rumah yang besar itu adalah sebuah toko. Namun, begitu masuk ke pekarangannya segera nampak pemandangan layaknya sebuah toko perhiasan. Kata Lalu Zul,hal inilah yang membedakan penjual mutiara. Lalu Zul berani menjamin kualitas mutiara yang dijual di toko “Lipco” ini. Saya membeli sebuah gelang bermata dan dua cincin mutiara dengan harga yang wajar. Saya sedikit tidak ambil pusing dengan harga jual disitu karena kualitasnya memang terjaga. Kwalitet no.1, menirukan iklan cetak sebuah produk racun tikus medio 1950-an. Yang terpenting, mereka menerima pembayaran melalui kartu debit dan kartu kredit. So, bukan pilihan yang terlalu salah to spend your money and makes it worth.

Satu tujuan terakhir sebelum makan malam, yaitu sentra penjualan kaos oblong. Bila Yogyakarta sudah lebih dulu eksis dengan Dagadu, lalu Bali dengan Joger-nya, maka Lombok menawarkan Lombok Exotic. Memang betul harganya sangat ‘eksotis’. Mulai kisaran Rp. 25.000,- hingga Rp. 80.000,- tergantung ukuran, bahan, dan model sablon. Saya dibuat keheranan lagi, karena Exotic dengan bahan kaos yang sama namun hargaharga jualnya jauh dibawah Dagadu dan Joger. Entah ini suatu trik bisnis atau bagaimana, saya tidak mengerti. 

Usai membeli beberapa potong kaos, saya sempat merokok sebentar sambil duduk-duduk menunggu kawan-kawan selesai belanja. Kebetulan, sang pemilik toko duduk di dekat saya. Dia bercerita bahwa harga jual kaosnya memang tidak masuk akal. Memang tidak masuk akal. Lihat saja warna sablon dan separasi yang mencapai 8 warna itu. Saya tidak percaya bahwa harga kaos itu bisa begitu murah, ujar saya pada sang pemilik toko. Dia lalu menjelaskan, bahwa itu memang strategi dari bisnisnya. Dia tidak mengambil keuntungan yang banyak lazimnya pengusaha konveksi lainnya. Baginya, yang terpenting adalah kontinuitas order yang disebabkan oleh kepuasan pelanggan. Saya senang dengan gaya penjelasannya yang santai namun tetap berkali-kali meyakinkan saya bahwa dia sangat menjamin kualitas kaos hasil produksinya. Sebuah model bisnis yang patut ditiru.

Ayam Taliwang Lombok

RM Lesehan Taliwang Irama

The Legendary Ayam Taliwan from Lombok
 
Dari Lombok Exotic, kami beranjak ke Rumah Makan Lesehan Taliwang Irama, yang terletak di Jl. Ade Irma Suryani No. 10 Cakranegara Lombok. Sudah barang tentu menu utama makan malam kami adalah Ayam Taliwang. Sengaja, Lalu Zul membawa kami kesini. Konon, disinilah restoran Ayam Taliwang yang sudah turun temurun. Mengenai rasa, saya tidak bisa berkomentar selain: istimewa, hauce ping ping ping!!! (a la Benu Buloe).

Rasa lelah akibat perjalanan seharian ini semakin menjadi dalam perjalanan kembali ke hotel di Senggigi. Untung saja, kami para lelaki sempat beristirahat sebentar dalam perjalanan menuju hotel sehingga masih punya cukup tenaga untuk menikmati malam minggu di Senggigi.

Stones in the Midnight

Tentu saja, saya dan kawan-kawan tidak ingin melewatkan kesempatan bermalam minggu di Senggigi. Bar dan kafe sepanjang jalan mulai menggeliat  menjelang tengah malam. Terdengar alunan musik pop dari kafe di seberang. Rupanya, anak-anak muda  senang betul main kesitu. Jalan sedikit, dentuman house music menghentak. Inilah surga bagi mereka para penikmat malam. Sayang, kami datang seminggu lebih cepat dari jadwal manggung DJ Rahma Azhari di pub sebelah hotel kami menginap.

Pusat Kerajinan Tangan di Senggigi
  
Setelah melihat-lihat sentra handicraft berjudul “Bayan Lombok”, saya berpisah dari rombongan kawan-kawan. Mereka mau dipijat katanya. Sedang saya, ingin kembali ke hotel, mau tidur. Capek betul rasanya. Ini kaki pegal sekali. Namun, seorang kawan yang tadi saya ‘selamatkan’ waktu snorkeling tidak jadi dipijat. Mau ikut saya, katanya. Baiklah, saya ingin menikmati live music malam ini. Bukan lagu pop melayu yang lagi ngetrend. Kalau ada dangdut, bolehlah. Tapi, tak kunjung kami temukan. Untung saja ada sebuah kafe tenda yang kalau didengar-dengar sedang menggelar “Blues’s Night”. Saya coba mampir kesana bersama seorang kawan ini. Dia juga penggemar musik dan Juventus. Sedangkan saya, senang musik dan AC Milan. 

Dugaan saya tidak salah. Begitu saya datang, band yang sedang tampil itu langsung menghentak dengan lagu Rolling Stones, “(I Can’t Get No) Satisfaction”. Yeaah...this is LIFE!!! Sembari menyantap fried calamari roll, kepala kami pun turun naik ikut irama lagu. I can’t get no..... 

She Got the Moves Like Jagger!

Saya memang tidak salah pilih. Pengunjung lainnya, baik yang sudah datang sebelum kami maupun datang sesudah kami ternyata bule semua. Mereka rupanya juga sama menikmati sajian kafe ini. Tidak ketinggalan seorang pengunjung, umurnya mungkin sudah 50 tahun lebih, tepat dipanggil nenek tampaknya, meminta band membawakan lagu ‘Paint It Black’. Dengan penuh antusias meminta si nenek ikut manggung bersama mereka. 

Granny singing Paint It Black

Granny rupanya penggemar Mick Jagger, sebentar mereka bercengkerama di panggung. Yeah, Granny mulai menyanyi. Tampak sekali Granny menikmati malam ini. Tidak ketinggalan juga saya, si kawan R ini, dan juga pengunjung bule lainnya. Sengaja band membuat lagu ini lebih panjang dari biasanya. Granny nampak puas dengan penampilannya. Kami semua memberi applaus untuk band dan si Granny.

Sayang, itu adalah pertunjukan terakhir malam ini. Kafe tidak lalu tutup, masih terus buka. Tetapi, tentu saja akan berbeda bila tidak ada hiburan live music disitu. Sedang, di tempat lain, irama melayu terdengar akrab mengalun, kata Franky Sahilatua.

Kami pun bergegas meninggalkan kafe dan kembali ke hotel sembari menunggu kawan-kawan lain yang selesa dipijat. Mereka bilang enak cuma sayang terapisnya kurang tahu cara memijit yang benar. Sementara mereka lanjut begadang sampai pagi, saya segera pergi tidur. Biar dicap sebagai orang yang tidak menikmati liburan, tidak masalah. Buat saya, esok masih ada tujuan. Saya tidak mau kelelahan. Malam pun terasa panjang. And, life is very long.


Senggigi-Paninggilan, Januari 2013.

Melombok Eps.3-TAMAT  klik disini

Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...