Selasa, 26 Februari 2013

Dance With My Father

Gus Dur adalah seorang Bapak yang amat santun kepada tetangganya, tetapi sangat keras mendidik disiplin mental anak-anaknya sendiri dengan hajaran dan gemblengan sedemikian rupa. Kalau pakai budaya Jombang, agar anak-anak menjadi tangguh mentalnya, ia perlu diancup-ancupno ndik jeding (kepalanya dibenam-benamkan ke air kamar mandi), dibatek ilate (ditarik lidahnya keluar mulut sehingga tak bisa omong), atau disambleki mbarek sabuk lulang (dicambuki pakai ikat pinggang kulit).
                                                      

Emha Ainun Nadjib, dalam Kompas, Senin, 25 Februari 2013.

Baiklah, kita mulai penulisan malam ini. Sebelum beranjak ke materi lainnya. Entah itu review film terbaru Rain, R2B:Soar Into The Sun atau sebuah catatan iseng usai membaca bagian awal buku Doorstoot Naar Djokja (Julius Pour, 2009) yang membuat saya teringat kembali pada waktu memimpin Kompi Kuning melawan Kompi Merah dalam perang paintball di Citarik. *abaikan

Mungkin, saya terbawa perasaan sentimental mengingat penulis artikel itu adalah Emha Ainun Nadjib, budayawan asal Jombang yang bermukim di Yogyakarta. Sedikit cerita tentang Jombang, medio bulan ini saya sempatkan untuk mengambil cuti demi tetirah sejenak dan napak tilas ke makam Eyang di Jombang. Barangkali, untuk urusan sentimentil sebuah tulisan ini dibuat. Mencoba mengkaitkan perasaan yang tertinggal disana dengan sebuah tanda tanya soal asal usul demi menyusun kepingan makna eksistensialitas diri.

Membaca kembali paragraf pembuka diatas, saya jadi ingat kembali bagaimana cara Bapak memperlakukan saya, dengan segala caranya yang kemudian membentuk pribadi saya. Saya mengalami suatu pengalaman yang akan terus saya kenang. Beberapa diantaranya tidak ingin saya ingat dan bahas lagi, apalagi untuk diceritakan. Bagaimanapun, ingatan tentang hal ini tetap hidup dalam benak saya.




Waktu kecil saya tumbuh sebagai anak-anak normal yang bergaul di lingkungan komunal. Maksudnya, selalu bermain dengan teman sepermainan yang sama, maklum anak komplek. Dari situ, kemudian muncul banyak “pertentangan” antara keinginan saya sebagai anak yang ingin bermain dengan kehendak. Tak pelak, karena hal itulah kemudian saya membuat masalah yang membuat orang tua (utamanya Bapak) mengambil sebuah tindakan.

Saya pernah dihukum dengan dibanjur (disiram) dengan air sumur. Bapak dan Ibu pernah melakukannya kepada saya hanya karena saya menolak untuk segera pulang ke rumah setelah dipanggil berkali-kali. Setibanya di rumah, saya disuruh membuka baju kemudian jongkok dekat sumur. Lalu, Bapak segera menarik tali timba. Seketika, tubuh saya sudah basah. Sambil menangis saya berteriak “udah...udaaaahh” , tetapi sebelum tiga kali guyuran Bapak atau Ibu tidak akan berhenti. Efek dari aksi polisionil (halah bahasanya) itu lumayan membuat kapok.

Lain waktu, saya pernah dihajar habis-habisan dengan sapu lidi. Saya tidak ingat lagi apa sebabnya. Yang saya ingat, Bapak begitu marah sehingga menarik saya ke kamar tidur sambil menenteng sapu lidi dan memukul punggung saya berkali-kali. Rasa benci terhadap Bapak muncul semakin kuat. Saya benci, benci sekali sama Bapak. Saya tidak bisa menghindari perasaan semacam itu. Entah saya memang salah atau tidak yang jelas efek jera dari setiap pukulan Bapak sudah cukup untuk membuat saya mengaku salah.

Untung saja saya tidak mengalami hal yang dilakukan Gus Dur, seperti pada paragraf yang ditulis Emha. Tetapi, entah karena sama-sama orang Jawa Timur seperti Gus Dur, Bapak memang santun dengan tetangga tetapi keras terhadap anak-anaknya sendiri. Bila saya sedang main dengan anak tetangga, dan terjadi sesuatu pada anak itu yang bukan disebabkan oleh kesalahan saya, maka saya lah yang kemudian jadi sasaran amukan Bapak. Saya bingung karena saya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Namun, saya tetap terima konsekuensinya. Kadang, tidak boleh main keluar rumah selama 3 hari atau terpaksa menerima hukuman fisik seperti dipukul sapu lidi.

Kalau dulu sudah ada yang namanya Komnas Perlindungan Anak, saya pasti sudah melaporkan kejadian itu. Zaman telah berubah. Keterbukaan pandangan orang tua dalam cara mengasuh dan membimbing anak mulai berkembang pesat. Cara-cara lama telah ditinggalkan. Hukuman fisik dianggap sudah tidak pantas. Berhubung Generasi DHA masa kini memiliki way of life sendiri yang berbeda dengan zaman saya.

Itulah bayangan yang ada di benak saya selagi membaca artikel Emha diatas. Ingatan saya kembali ke masa-masa itu. Kata orang bijak, selalu ada hikmah di balik peristiwa. Mungkin, Bapak ingin mengajarkan saya bahwa hidup ini kadang tidak bersahabat. Hidup ini keras, Bung! Jadi, beliau mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk membuat anaknya ini kuat dan tegar. Sekalipun, saya mengalami kekerasan fisik semacam itu, saya tetap merasa selalu rindu akan sosok seorang Bapak. Sosok yang selalu membuat saya menundukkan kepala ketika meminta uang Rp. 100,- untuk jajan.

Butuh waktu lama untuk tahu apa makna dibalik semua itu. Januari 2007, saya tinggal di Surabaya selama 21 hari. Kesempatan itu saya gunakan untuk bersilaturahmi dengan keluarga dari nasab Bapak. Saya bertemu dengan Bu De yang sepesusuan dengan Bapak. Dari Bu De, saya berhasil memperoleh keterangan mengenai cerita dan jalan hidup Bapak. Keterangan yang mengantarkan pada sebuah kesimpulan bahwa Bapak menghendaki saya untuk bisa memilih jalan sendiri. Sama dengan yang beliau alami.

Seringkali saya mendapatkan cerita bahwa keinginan Bapak tidak sejalan dengan pilihan saya. Bagi beliau, itu adalah konsekuensi dari sebuah sikap yang ingin ditanamkannya dulu. Saya kemudian mentafakkuri diri sendiri dengan membuka kembali jalan memori. Ketika memilih jurusan untuk kuliah, misalnya. Saya sempat mendapat keterangan bahwa beliau tidak menghendaki pilihan saya. Tetapi, karena saya punya pilihan sendiri yang saya yakini maka beliau tidak banyak komentar dan setuju-setuju saja.

Kini, saat tulisan ini dibuat, saya sampai pada sebuah konklusi. Kalau dulu nggak gitu, ya sekarang nggak gini.


Paninggilan, 26 Februari 2013




Tidak ada komentar:

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...