Aku bingung, tak bisa membaca hati*
Pada kunjunganku yang pertama kali ke Kuala Lumpur, aku kehilangan ponselku. Aku baru sadar saat aku akan menelpon seorang kawan di Jakarta. Bagaimana hal itu bisa terjadi, barangkali kalian bisa menyimpulkannya sendiri.
Pada kunjunganku yang pertama kali ke Kuala Lumpur, aku kehilangan ponselku. Aku baru sadar saat aku akan menelpon seorang kawan di Jakarta. Bagaimana hal itu bisa terjadi, barangkali kalian bisa menyimpulkannya sendiri.
*
Aku bertemu dengannya pertama kali dalam sebuah jamuan makan malam pada sebuah seminar. Aku datang terlambat dan tidak punya pilihan lain kecuali mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Aku sengaja duduk di sebelahnya. Itu hanya modus saja, siapa tahu dia butuh teman ngobrol.
Aku belum tahu namanya hingga dia menyibakkan rambut panjangnya. Rupanya, dia masih mengenakan tanda pengenal. Andini. Ya, namanya Andini. Hal pertama yang aku coba perhatikan dari Andini adalah jemari tangannya. Aku tidak punya kelainan jiwa karena selalu mengamati jemari seorang perempuan. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia belum ada yang punya. Lagu ‘Keroncong Cincin’ dari Koes Plus seketika mengisi pikiranku.
Aku tidak berhasil membuka percakapan hingga pelayan datang dan menuangkan teh pertama ke gelasnya. Kami terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasanya tidak salah bila ponsel masa kini dinamai smartphone. Selain bisa membuat penampilan terlihat smart, ponsel ini juga pilihan yang smart untuk mengisi keheningan.
“Selamat malam. Saya Adhi.” Sapaku.
“Malam juga. Saya Andini.” Jawabnya.
“Stay disini juga?”
“Ya. Supaya gampang, nggak telat ikut acaranya.”
Percakapan kami terus berlanjut, sementara para penari mulai mengisi panggung dengan tarian tradisional Negeri Jiran. Malam ini sepertinya jadi ‘cultural night’ untuk mereka yang baru datang pertama kali ke Malaysia.
Kami terlibat dalam obrolan santai seputar pekerjaan dan rutinitas yang semakin menjemukan. Andini terlihat senang sekali bisa sesekali menertawakan hidupnya. Begitupun aku, rasanya lebih mudah bicara dengan seseorang yang baru kita kenal dibanding dengan orang yang selalu dekat tapi tidak pernah mengerti kita seutuhnya.
Malam ini sempurna. Pembawa acara setengah memaksa kami untuk naik panggung dan bernyanyi duet. Andini tidak keberatan. Aku juga demikian. Red wine mulai bekerja pada kami.
Andini memilih lagu ‘We Could Be In Love’. Kalian pasti tahu itu lagu macam apa. Kalau bukan bersama Brad Kane, aku lebih memilih Lea Salonga menyanyikannya dengan Yana Yulio. Malam ini, aku membawakan lagu itu demi menghibur kolega sesama peserta workshop.
Aku bertemu dengannya pertama kali dalam sebuah jamuan makan malam pada sebuah seminar. Aku datang terlambat dan tidak punya pilihan lain kecuali mengambil tempat di sebelah perempuan itu. Aku sengaja duduk di sebelahnya. Itu hanya modus saja, siapa tahu dia butuh teman ngobrol.
Aku belum tahu namanya hingga dia menyibakkan rambut panjangnya. Rupanya, dia masih mengenakan tanda pengenal. Andini. Ya, namanya Andini. Hal pertama yang aku coba perhatikan dari Andini adalah jemari tangannya. Aku tidak punya kelainan jiwa karena selalu mengamati jemari seorang perempuan. Aku hanya ingin memastikan bahwa dia belum ada yang punya. Lagu ‘Keroncong Cincin’ dari Koes Plus seketika mengisi pikiranku.
Aku tidak berhasil membuka percakapan hingga pelayan datang dan menuangkan teh pertama ke gelasnya. Kami terlalu sibuk dengan pikiran masing-masing. Rasanya tidak salah bila ponsel masa kini dinamai smartphone. Selain bisa membuat penampilan terlihat smart, ponsel ini juga pilihan yang smart untuk mengisi keheningan.
“Selamat malam. Saya Adhi.” Sapaku.
“Malam juga. Saya Andini.” Jawabnya.
“Stay disini juga?”
“Ya. Supaya gampang, nggak telat ikut acaranya.”
Percakapan kami terus berlanjut, sementara para penari mulai mengisi panggung dengan tarian tradisional Negeri Jiran. Malam ini sepertinya jadi ‘cultural night’ untuk mereka yang baru datang pertama kali ke Malaysia.
Kami terlibat dalam obrolan santai seputar pekerjaan dan rutinitas yang semakin menjemukan. Andini terlihat senang sekali bisa sesekali menertawakan hidupnya. Begitupun aku, rasanya lebih mudah bicara dengan seseorang yang baru kita kenal dibanding dengan orang yang selalu dekat tapi tidak pernah mengerti kita seutuhnya.
Malam ini sempurna. Pembawa acara setengah memaksa kami untuk naik panggung dan bernyanyi duet. Andini tidak keberatan. Aku juga demikian. Red wine mulai bekerja pada kami.
Andini memilih lagu ‘We Could Be In Love’. Kalian pasti tahu itu lagu macam apa. Kalau bukan bersama Brad Kane, aku lebih memilih Lea Salonga menyanyikannya dengan Yana Yulio. Malam ini, aku membawakan lagu itu demi menghibur kolega sesama peserta workshop.
Anyone who seen us, knows what’s going on between us
It doesn’t take a genius, to read between our lines
Aku menggenggam jemari Andini. Aku merasakan hangat yang seketika merambat dalam hatiku. Aku mulai menikmati momen ini. Aku tidak ingin kehilangan sentuhan Andini malam ini.
Aku bisa melihat penonton menikmati penampilan kami. Aku melihat beberapa dari mereka menyanyi bersama kami. Di pojok dekat pintu masuk, seorang kawan mendendangkan kepalanya sambil menatap lekat pada ponselnya. Sementara, perempuan yang duduk bersama Dennis, hanya bisa melamun kosong sambil menatap langit Kuala Lumpur yang sendu malam ini.
Kami terus menyanyi menghabiskan lagu. Sepanjang waktu itu juga aku tak bisa melepaskan pandanganku dari Andini. Rasanya, baru kemarin aku menggamit jemari Maria dan menyanyi bersamanya. A long time lost feeling.
Aku dan Andini turun panggung. Kami mendapat sambutan meriah dari penonton. We want more, we want more. Beberapa kawan sempat meminta kami kembali naik panggung. Sambil berlalu mereka membisikkan beberapa judul lagu. In Love With You dari Jacky Cheung dan Regine Velasquez, The Gift dari Martina McBride dan Jim Brickman, dan Immortality dari Celine Dion & Bee Gees.
Andini hanya tersenyum seraya terus berlalu. Andini belum melepas genggaman tangannya. Aku merasa seperti ketika turun dari altar bersama Maria.
I know what these are symptoms of
We could be... We could be in love...
Acara makan malam selesai. Aku menunggu lift bersama Andini. Aku bilang padanya bahwa aku akan berjalan-jalan sebentar di sekitar hotel, sekedar mencari angin. Hidangan malam ini terlalu berlebihan menurutku. Jadi lebih baik, aku berjalan kaki sebentar sekedar menghilangkan sebah. Aku belum bertanya pada Andini ketika dia tiba-tiba menyatakan ingin ikut bersamaku.
Kami berjalan menyusuri trotoar sepanjang jalan Sultan Ismail. Malam semakin meninggi. Jalanan mulai sepi.Aku tidak tahu mau jalan kemana tapi Andini segera mempercepat langkahnya usai melihat Menara Kembar Petronas. Dari jauh, kami bisa segera mengenali menara lambang supremasi kejayaan ekonomi Negeri Jiran.
Andini berhenti dan mengambil tempat duduk. Aku melihat beberapa wisatawan dari Korea mengambil foto disekeliling. Aku duduk di sebelah Andini yang masih menatap takjub.
“First time in KL?” tanyaku.
Andini memukul lenganku. Andini tidak suka dengan sikapku. Andini merasa diolok-olok. Seolah kami tidak pernah berbagi cerita.
Aku tidak menghitung berapa lama kami saling terdiam disitu. Aku dan Andini disibukkan lagi dengan pikiran masing-masing. Aku teringat pada makan malam pertamaku dengan Maria. Andini mungkin sedang mengenang hal yang sama denganku. Aku tidak akan pernah tahu apa yang ada dibenaknya.
Aku mengantar Andini hingga depan pintu kamarnya. Terlintas, aku akan mengecup keningnya dan memeluknya barang sebentar seperti dalam film-filmnya Hugh Grant. Tapi itu tidak akan terjadi. Andini pamit dan segera masuk. Aku hanya mengucapkan selamat malam, semoga tidurnya nyenyak malam ini.
Aku belum beranjak dari tempat melepas Andini. Aku membayangkan Andini pun tidak segera melepas lelah. Aku pikir Andini masih akan berdiri sambil bersandar pada pintu kamar dan membayangkan semua yang sudah dia lalui bersamaku. Ada waktu dimana engkau tidak akan pernah rela untuk kehilangan seseorang. Kalaupun ini waktuku, tentu aku tidak akan melewatkannya begitu saja.
Aku baru saja berbalik dan membetulkan letak leher kamejaku ketika aku dengar Andini membuka pintu kamar lalu memanggil namaku. Andini berdiri di depan pintu kamar. Tuhan, apakah benar yang sedari tadi aku bayangkan?
Aku menyongsong Andini yang segera menarik tanganku masuk. Andini memelukku erat. Aku tidak mendengar apa yang diucapkannya. Aku hanya merasakan pelukan yang semakin erat. Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Lama aku menunggu hingga Andini melepas peluknya. Jujur, inilah pelukan paling panjang pertamaku sejak berpisah dengan Maria.
*
Aku terbangun disamping Andini. Pagi segera menjelang. Aku segera bersiap dan kembali ke kamarku. Andini masih tertidur dan aku benar-benar meninggalkan sebuah kecupan di keningnya.
Aku kembali ke kamarku dan coba menghubungi Leica. Aku sadar bahwa aku tidak membawa ponselku. Aku kembali ke kamar Andini. Pintunya sedikit terbuka. Seorang pembersih kamar mengetahui kedatanganku. Andini baru saja check out. This gonna be a long way.
Kuala Lumpur, 19 November 2013. 00.36
* "Membaca Hati" dinyanyikan oleh Alika, album 'My Secret Room'.