Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada dia yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya.
(Tinggal Matanya Berkedip-kedip, hal.22)
(Tinggal Matanya Berkedip-kedip, hal.22)
Tidak banyak yang tahu bahwa Ahmad Tohari menulis cerita pendek juga. Saya pun baru mengetahuinya lewat buku kumpulan 13 cerpen karya beliau ini. Kumpulan cerpen ini dimungkinkan untuk terbit pertama kalinya pada tahun 1989, atas bantuan dari Maman S. Mahayana yang bertindak sebagai compiler dan juga editor. Ketiga belas cerpen dalam buku ini disusun secara kronologis sesuai tahun terbitnya. Kecuali ‘Senyum Karyamin’ yang jadi judul buku. ‘Senyum Karyamin’ sendiri telah mengalami sembilan kali cetak ulang, terakhir pada bulan Juli 2013 lalu.
Dua cerpen pembuka, ‘Senyum Karyamin’ dan ‘Jasa-jasa Buat Sanwirya’ mengingatkan saya pada cerita awal pembuka dalam novel “Bekisar Merah”. Cerpen pertama mengingatkan saya pada tokoh utama yang sama mempunyai seorang istri yang menarik. Sedangkan, cerpen kedua justru lebih mengena karena bercerita mengenai kehidupan seorang penderes (penyadap nira kelapa) yang rentan bahaya. Cerpen ‘Si Minem Beranak Bayi’ menampilkan potret romantika kehidupan masyarakat desa yang masih tabu akan persalinan prematur. Kasdu, si pemeran utama, harus berperang melawan batinnya sendiri ketika harus menyampaikan berita kelahiran anaknya kepada kedua mertuanya.
‘Surabanglus’ adalah potret satir tentang kelaparan yang berujung pada maut. Suing sudah terlalu payah hingga harus memakan singkong beracun itu ketika Kimin berusaha mencarikan makanan baginya. Secara garis besar, Ahmad Tohari ingin bercerita soal orang kecil yang terpaksa mencari hidup dari kongkalikong pengelolaan hutan. ‘Tinggal Matanya Berkedip-kedip’ adalah cerita soal tragedi matinya seekor kerbau ditangan seorang pawang. Yang menarik dari cerpen ini adalah pesan pengarangnya yang disisipkan di bagian akhir cerpen. Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama. Pesan yang memiliki universalitas makna.
‘Ah, Jakarta’ adalah satu-satunya cerpen yang berunsur metropolitan. Cerpen ini mengingatkan kita pada masa pemberantasan gali (preman) di Jakarta. Sepintas, cerpen ini juga mengingatkan saya pada lagu Iwan Fals berjudul “Engkau Masih Sahabatku”. Nilai-nilai persahabatan dan humanisme jadi bumbu utama dalam cerpen ini. ‘Blokeng’ adalah cerpen yang sarat dengan pesan tentang kemunafikan manusia, mengacu pada kata-kata penutup dari Sapardi Djoko Damono. Ahmad Tohari mampu memainkan ironi dengan apik walau pada akhirnya ia menertawakan dunia rekaannya itu juga.
‘Syukuran Sutabawor’ bercerita tentang syukuran dari seorang Sutabawor. Pohon Jengkol miliknya tidak jadi ditebang dan menghasilkan buah jengkol yang banyak. Ahmad Tohari berhasil mengaitkan nilai-nilai realitas dengan nilai-nilai spiritualitas dalam masyarakat tradisional. Sama seperti pada ‘Rumah Yang Terang’ dimana modernitas menjadi ironi bagi sebuah keyakinan.
‘Kenthus’ adalah potret kekuasaan priyayi yang diidamkan oleh masyarakat kecil. Cerita ini masih mengandung unsur mitologi sederhana (tafsir mimpi). Hampir serupa dengan ‘Orang-Orang Seberang Kali’, dimana ajal seorang manusia ditentukan oleh takdirnya sendiri, bukan atas kuasa manusia. Personifikasi ironi pada akhir cerpen ini menjiwai keseluruhan isi cerita.
‘Wangon Jatilawang’ dan ‘Pengemis dan Shalawat Badar’ barangkali adalah cerita yang sarat emosi disini. Keduanya bercerita soal hubungan manusia dengan sesamanya maupun dengan Tuhannya. Cerpen yang pertama, si tokoh utama mengakui bahwa dirinya tidaklah lebih berharga dari seorang Sulam, wong gemblung yang selalu ditemuinya. Sedangkan cerpen terakhir, merupakan perlambang kerinduan manusia akan penegasan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Keduanya, hampir ibarat dongeng.
Catatan Personal
Penikmat karya Ahmad Tohari kiranya harus berterima kasih pada Maman S. Mahayana, Dosen Sastra Universitas Indonesia, atas usahanya mengumpulkan cerpen-cerpen ini sejak tahun 1984. Ahmad Tohari, seperti dalam novel-novelnya, masih menggunakan latar alam pedesaan yang lengkap dengan potret lingkungannya, utamanya dunia flora dan fauna. Ahmad Tohari juga tidak melupakan gaya bahasa yang lugas, jernih dan sederhana, serta kuatnya metafora dan ironi. Ahmad Tohari, melalui cerpen-cerpennya juga tidak meninggalkan ciri utama: kehidupan rakyat kecil atau masyarakat petani yang polos, miskin, bodoh, dan melarat yang datang dari satu desa entah di antah berantah.
Dua cerpen pembuka, ‘Senyum Karyamin’ dan ‘Jasa-jasa Buat Sanwirya’ mengingatkan saya pada cerita awal pembuka dalam novel “Bekisar Merah”. Cerpen pertama mengingatkan saya pada tokoh utama yang sama mempunyai seorang istri yang menarik. Sedangkan, cerpen kedua justru lebih mengena karena bercerita mengenai kehidupan seorang penderes (penyadap nira kelapa) yang rentan bahaya. Cerpen ‘Si Minem Beranak Bayi’ menampilkan potret romantika kehidupan masyarakat desa yang masih tabu akan persalinan prematur. Kasdu, si pemeran utama, harus berperang melawan batinnya sendiri ketika harus menyampaikan berita kelahiran anaknya kepada kedua mertuanya.
‘Surabanglus’ adalah potret satir tentang kelaparan yang berujung pada maut. Suing sudah terlalu payah hingga harus memakan singkong beracun itu ketika Kimin berusaha mencarikan makanan baginya. Secara garis besar, Ahmad Tohari ingin bercerita soal orang kecil yang terpaksa mencari hidup dari kongkalikong pengelolaan hutan. ‘Tinggal Matanya Berkedip-kedip’ adalah cerita soal tragedi matinya seekor kerbau ditangan seorang pawang. Yang menarik dari cerpen ini adalah pesan pengarangnya yang disisipkan di bagian akhir cerpen. Seorang pawang baru mempunyai makna bila dia berdiri di belakang seekor kerbau yang tetap tegar dan mau bekerja sama. Pesan yang memiliki universalitas makna.
‘Ah, Jakarta’ adalah satu-satunya cerpen yang berunsur metropolitan. Cerpen ini mengingatkan kita pada masa pemberantasan gali (preman) di Jakarta. Sepintas, cerpen ini juga mengingatkan saya pada lagu Iwan Fals berjudul “Engkau Masih Sahabatku”. Nilai-nilai persahabatan dan humanisme jadi bumbu utama dalam cerpen ini. ‘Blokeng’ adalah cerpen yang sarat dengan pesan tentang kemunafikan manusia, mengacu pada kata-kata penutup dari Sapardi Djoko Damono. Ahmad Tohari mampu memainkan ironi dengan apik walau pada akhirnya ia menertawakan dunia rekaannya itu juga.
‘Syukuran Sutabawor’ bercerita tentang syukuran dari seorang Sutabawor. Pohon Jengkol miliknya tidak jadi ditebang dan menghasilkan buah jengkol yang banyak. Ahmad Tohari berhasil mengaitkan nilai-nilai realitas dengan nilai-nilai spiritualitas dalam masyarakat tradisional. Sama seperti pada ‘Rumah Yang Terang’ dimana modernitas menjadi ironi bagi sebuah keyakinan.
‘Kenthus’ adalah potret kekuasaan priyayi yang diidamkan oleh masyarakat kecil. Cerita ini masih mengandung unsur mitologi sederhana (tafsir mimpi). Hampir serupa dengan ‘Orang-Orang Seberang Kali’, dimana ajal seorang manusia ditentukan oleh takdirnya sendiri, bukan atas kuasa manusia. Personifikasi ironi pada akhir cerpen ini menjiwai keseluruhan isi cerita.
‘Wangon Jatilawang’ dan ‘Pengemis dan Shalawat Badar’ barangkali adalah cerita yang sarat emosi disini. Keduanya bercerita soal hubungan manusia dengan sesamanya maupun dengan Tuhannya. Cerpen yang pertama, si tokoh utama mengakui bahwa dirinya tidaklah lebih berharga dari seorang Sulam, wong gemblung yang selalu ditemuinya. Sedangkan cerpen terakhir, merupakan perlambang kerinduan manusia akan penegasan hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. Keduanya, hampir ibarat dongeng.
Catatan Personal
Penikmat karya Ahmad Tohari kiranya harus berterima kasih pada Maman S. Mahayana, Dosen Sastra Universitas Indonesia, atas usahanya mengumpulkan cerpen-cerpen ini sejak tahun 1984. Ahmad Tohari, seperti dalam novel-novelnya, masih menggunakan latar alam pedesaan yang lengkap dengan potret lingkungannya, utamanya dunia flora dan fauna. Ahmad Tohari juga tidak melupakan gaya bahasa yang lugas, jernih dan sederhana, serta kuatnya metafora dan ironi. Ahmad Tohari, melalui cerpen-cerpennya juga tidak meninggalkan ciri utama: kehidupan rakyat kecil atau masyarakat petani yang polos, miskin, bodoh, dan melarat yang datang dari satu desa entah di antah berantah.
Ahmad Tohari berhasil menampilkan figur-figur yang tidak bisa dijejali pikiran muluk-muluk dan dibebani masalah yang berat. Ahmad Tohari mengikat tokoh-tokohnya melalui rangkaian peristiwa yang sederhana yang justru sangat leluasa untuk menghidupkan figur-figurnya itu. Lewat cara itulah, Ahmad Tohari berhasil membuat lambang-lambang atas segenap unsur-unsur kesusasteraannya yang memungkinkan penafsiran lebih lanjut atas karyanya.
Menurut Kiai Mahayana (panggilan untuk Maman S. Mahayana dalam acara launching ‘Olenka’ (Budi Darma) tahun 2009), tidak banyak yang menyinggung bahwa sejarah kepengarangan Ahmad Tohari berawal dari cerpen ‘Jasa-jasa Buat Sanwirya’ yang berhasil meraih hadiah dalam Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep tahun 1975. Belum ada studi kesarjanaan atas karya cerpen Ahmad Tohari. Padahal, gaya penulisan Ahmad Tohari pada cerpen-cerpennya tampak lebih kental, padat, dan langsung menuju pokok permasalahan yang semakin mempertegas kesan kepengarangannya. Penyusunan atas cerpen karya Ahmad Tohari diharapkan dapat menjadi bahan untuk memahami pesan dan sikap kepengarangannya yang terungkap dalam cerpen-cerpennya.
Judul : Senyum Karyamin
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013 (cetakan ke-9)
Tebal : 71 hal.
Genre : Kumpulan Cerpen
Penulis : Ahmad Tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun : 2013 (cetakan ke-9)
Tebal : 71 hal.
Genre : Kumpulan Cerpen
Pharmindo, 19 Januari 2014.
1 komentar:
postingan yang bermanfaat, terima kasih
Posting Komentar