“Pagi, Glo. Itu tadi asisten baru kamu? She looks nice.”
“You name it. Oke, kamu udah siap? Kita mulai langsung sekarang.”
“You name it. Oke, kamu udah siap? Kita mulai langsung sekarang.”
“Terserah. Lebih cepet beres, lebih bagus!”
“Pertama, seandainya kamu jadi pemain sepakbola, kamu mau pakai nomor punggung berapa?”
“Is that matter to you?”
“Sure. Nomor berapa? Lima? Sembilan belas? Dua puluh satu?”
“Kok kamu bisa tahu? Do you go deep with Danita?”
“Aku nggak mau jawab soal itu. It’s confidential. So, nomor berapa?”
“Ah, i see. Kamu tahu kenapa aku selalu suka nomor 5?
“Yang jelas bukan karena Pancasila dan Rukun Islam ada lima.”
“Kalau sembilan belas dan dua puluh satu?”
“Sembilan belas itu tanggal lahirmu. Aku bisa lihat itu di Facebook. Dua puluh satu, adalah nomor yang...suatu saat kamu pernah berharap untuk memakainya. Sayang, nggak kesampaian.”
“Danita told you that?”
“Confidential. I told you. So? Gus, let’s just be honest. OK? ”
“You are digging me.”
“But i’m not offense you.”
“Lima. Aku selalu pilih nomor lima. It’s more than a magical lucky number. It’s in me already.”
Aku kaget. Bagus tiba-tiba menjawab pertanyaanku tanpa banyak berdebat lagi. Syukurlah, berarti ia masih mau jawab pertanyaanku yang lain.
“Good. Shall we move to another questions?”
“Go ahead. I’m listening.”
“Sekarang pertanyaan yang lebih serius.”
“What kind of serious do you want from me?”
“Darimana kamu dapat ide buat nama-nama tokoh di cerpen kamu?”
“Whaaat? Kamu nanyain gituan? Gak ada pertanyaan lagi apa?”
“Kita lagi konseling. Kamu, tepatnya.”
“Kenapa mesti pertanyaan semacem itu sih?”
“Kamu mau jawab apa nggak? Kamu nggak mau bantu diri kamu sendiri? Atau, nama-nama itu memang bukan fiktif, bisa jadi mereka itu mantan-mantan kamu.”
“Hah? Mantan-mantan? Glo, kamu bercanda?”
“Tergantung maksud kamu apa.”
“Hei Glo, itu cuma fiksi. Sama aja dengan aku nulis cerpen tentang sesi konseling hari ini dan aku kasih nama konselornya Gloria. It’s just happened, Glo! Apa sih yang spesial dari nama-nama itu? Danita suruh kamu buat tanyain soal ini?”
“Danita orang yang tahu diri, Gus. Dia nggak pernah manfaatin posisi aku cuma buat kepoin kamu!”
Aku berusaha membela sahabatku. Aku kenal siapa sahabatku itu. Bagaimanapun, aku berusaha untuk tetap netral, tidak memihak satu dari mereka. Bagus nampak tersinggung."
“Terus apa masalahnya dengan nama-nama itu? Itu cuma nama. Nggak lebih.”
“Aku hanya tanya. Kamu yang jawab.”
“Glo, would you stop this session?”
“Twenty minutes break. Cukup?”
“Twenty minutes break. Cukup?”
“Cukup!”
Bagus menatap kosong pada jendela di pojok ruangan. Dari matanya, aku bisa lihat Bagus berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku memang tidak bermaksud demikian. Nampaknya, pertanyaan-pertanyaanku membawa sesuatu pada dirinya. Entah apa, itu jadi tugasku untuk mengetahuinya.
“Gus, no smoking please.”
“Lho. Udah nggak boleh lagi ngerokok disini sekarang?”
“Gus, tolong hargai aku. Aku lagi kerja.”
“After all we did in here, making love, wine-wine-solution...”
“Gus!”
“OK. Aku ngerti. Aku keluar dulu.”
“Nggak sekarang. Sesi ini belum selesai.”
“Aku nggak akan kabur, aku cuma mau ngobrol sama asisten baru kamu itu.”
Bagus menatap kosong pada jendela di pojok ruangan. Dari matanya, aku bisa lihat Bagus berada dalam situasi yang tidak menyenangkan. Aku memang tidak bermaksud demikian. Nampaknya, pertanyaan-pertanyaanku membawa sesuatu pada dirinya. Entah apa, itu jadi tugasku untuk mengetahuinya.
“Gus, no smoking please.”
“Lho. Udah nggak boleh lagi ngerokok disini sekarang?”
“Gus, tolong hargai aku. Aku lagi kerja.”
“After all we did in here, making love, wine-wine-solution...”
“Gus!”
“OK. Aku ngerti. Aku keluar dulu.”
“Nggak sekarang. Sesi ini belum selesai.”
“Aku nggak akan kabur, aku cuma mau ngobrol sama asisten baru kamu itu.”
“Kamu nggak pernah berubah ya. Namanya Citra. Bulan depan dia akan menikah.”
“Well, good then. Sainganku cuma tinggal si calon suaminya.”
“Well, good then. Sainganku cuma tinggal si calon suaminya.”
“Gus!”
“Ok, I’ll stay here.”
Bagus nampak resah. Walaupun pernikahannya sedang dalam masalah, Bagus selalu bisa menyembunyikannya dariku. Tapi tidak untuk hari ini. Bagus tidak terlihat seperti biasanya. Bagus terlihat gusar usai membaca pesan di ponselnya.
Bagus nampak resah. Walaupun pernikahannya sedang dalam masalah, Bagus selalu bisa menyembunyikannya dariku. Tapi tidak untuk hari ini. Bagus tidak terlihat seperti biasanya. Bagus terlihat gusar usai membaca pesan di ponselnya.
*
Aku bersandar pada bidang dada Bagus usai permainan cinta kami. Aku masih menemukan Bagus yang selalu seperti itu, tidak kurang apapun. Hanya saja, tatapan matanya kembali kosong saat aku menoleh padanya.
“Gus, i know you’re in a deep shit. Please, help me to help you so you can help yourself.”
“Ada alasan kenapa aku harus percaya kamu? Dengan jawab semua pertanyaan konyol itu.”
“Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu nggak pengen lagi ngebuka terus soal personal life kamu, tapi Gus, asal kamu tahu. Aku punya cara sendiri supaya kerjaan aku bisa selesai. Kalau kamu mau bantu aku, kita bakal cepet selesai, masalahmu sendiri selesai, dan kamu nggak perlu balik lagi ke tempat sialan ini. Do we made a deal?”
“Fair enough.”
Aku bersandar pada bidang dada Bagus usai permainan cinta kami. Aku masih menemukan Bagus yang selalu seperti itu, tidak kurang apapun. Hanya saja, tatapan matanya kembali kosong saat aku menoleh padanya.
“Gus, i know you’re in a deep shit. Please, help me to help you so you can help yourself.”
“Ada alasan kenapa aku harus percaya kamu? Dengan jawab semua pertanyaan konyol itu.”
“Aku tahu kamu marah. Aku tahu kamu nggak pengen lagi ngebuka terus soal personal life kamu, tapi Gus, asal kamu tahu. Aku punya cara sendiri supaya kerjaan aku bisa selesai. Kalau kamu mau bantu aku, kita bakal cepet selesai, masalahmu sendiri selesai, dan kamu nggak perlu balik lagi ke tempat sialan ini. Do we made a deal?”
“Fair enough.”
Aku merapikan pakaianku kembali lalu menuju mini kitchen. Bagus masih tiduran sambil melamun di sofa yang kami pakai untuk bercinta.
“Kamu nggak ngopi, tumben? Perlu aku bikinin. Bitter? Sweet?”
“Kamu nggak ngopi, tumben? Perlu aku bikinin. Bitter? Sweet?”
“.....”
“Aku bikinin teh aja ya.”
“.....”
“Kamu kok jadi diam? Gus, kalau kamu nggak mau jawab pertanyaanku nggak apa-apa, masih ada lain waktu. Tapi tolong, kalau sekarang ini ada yang perlu kamu ceritakan, kasih tahu aku, Gus.”
“.....”
“Kamu kok jadi diam? Gus, kalau kamu nggak mau jawab pertanyaanku nggak apa-apa, masih ada lain waktu. Tapi tolong, kalau sekarang ini ada yang perlu kamu ceritakan, kasih tahu aku, Gus.”
Hening melanda selama lima menit. Aku hanya bisa mendengar desiran angin yang menerpan dahan-dahan kering pepohonan di taman.
“I’m getting sick of it.”
“Then, help yourself out.”
“Thanks for the tea, anyway. I just...”
“Kenapa? Kamu belum bisa terima kenyataan?”
“I’m getting sick of it.”
“Then, help yourself out.”
“Thanks for the tea, anyway. I just...”
“Kenapa? Kamu belum bisa terima kenyataan?”
Paninggilan, 23 Maret 2014