Annyeonghaseyo,
Dear Ella...
Hari-hari saya disini sebentar lagi usai. Ella mungkin membayangkan saya bertemu dengan artis macam Jun Yong Hwa atau Lee Min Ho. Jangankan mereka, saya pun gagal bertemu Shin Min Ah dan Lee Yo Won. Selebihnya, sisa waktu kami disini masih berkutat soal sejarah peradaban bangsa Korea.
Sejarah bagi saya adalah hal yang sangat penting untuk menandai keberadaan kita di dunia ini. Masa depan dibangun dari puing-puing sejarah. Sejarah selalu hadir untuk kebutuhan saling mengingatkan. Sejarah selalu ada untuk kita berkaca, berkontemplasi, dan menatap diri lebih dalam.
Kami mendatangi Istana Raja Korea Purba bernama Gyeongbokgung Palace. Aroma sejarah kian pekat dari angin yang berhembus menempa. Istana ini dibangun pada tahun 1395 pada masa Dinasti Joseon. Gyeongbokgung sendiri berarti “the palace greatly blessed by heaven” atau istana yang diberkahi. Istana Gyeongbokgung ini membantu saya melihat akar tradisional bangsa Korea dengan segala keasliannya.
Raja sengaja memilih lokasi Istana Gyeongbokgung tepat di jantung Seoul. Pemilihan tempat ini didasari penghitungan fengshui mereka yang meyakini bahwa Istana yang didepannya mengalir Sungai Han dan dilindungi oleh Gunung Bugaksan dan Gunung Namsan di bagian belakang.
Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat.Saya membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Lalu bagaimana Raja mendatangi kamar Sang Permaisuri demi mendapatkan buah cinta mereka.
Bentuk bangunan dan interior yang masih utuh nampak terawat.Saya membayangkan bagaimana raja duduk disana bersama dengan para pengawalnya. Lalu bagaimana Raja mendatangi kamar Sang Permaisuri demi mendapatkan buah cinta mereka.
Bangsa Korea memang niat sekali melindungi sejarahnya. Bangunan ini memang nyaris dibumihanguskan semasa pendudukan Jepang. Namun, Pemerintah Korea sengaja merevitalisasi bangunan ini agar mampu menghadirkan kembali bagian sejarah bangsa yang terancam musnah.
Sebelum beranjak menuju N Seoul Tower, kami mengunjungi ‘The Blue House’ (‘Cheonghwadae’ dalam bahasa Korea) tempat tinggal Presiden Korea. Suasananya agak mirip Istana Bogor. The Blue House sendiri terletak di bagian selatan Istana Gyeongbokgung. Saya menyimpan tanya, apakah penamaan bangunan itu mengikuti bangunan kepresidenan Amerika Serikat yang lebih dahulu masyhur dengan nama White House. Entahlah.
Kami pun menyinggahi sebuah museum bertajuk Cheonghwadae Sarangchae yang dari jauh terbaca oleh saya sebagai Cheonghwadae Saranghae. Seketika Gina membenarkan ucapan saya. saya tertawa kecil, karena mudahnya untuk mengucapkan ‘saranghae’ pengaruh dari Hallyu (Korean Wave) di negeri kita tercinta.
Cheonghwadae Sarangchae sendiri adalah sebuah tempat yang nyaman untuk mempelajari tata hidup dan pencapaian-pencapaian Presiden Korea terdahulu, dan juga untuk memahami tradisi kultural bangsa Korea. Layanan dalam bahasa non-Korea, seperti bahasa Jepang, Inggris, dan China bisa didapatkan bila kita melakukan reservasi terlebih dahulu.
Demikianlah, sejarah yang dipertahankan dan diurus dengan begitu serius punya andil dalam membentuk sebuah bangsa yang hebat. Kita perlu belajar bahwa sejarah selalu hadir sebagai bentuk perjuangan melawan lupa.
Akhirnya, Gina dan Nick membawa kami ke N Seoul Tower dimana terdapat Pohon Gembok Cinta. Senja penutupan telah berakhir. Namun, waktu berbuka puasa masih lama. N Seoul Tower terletak di kaki gunung Namsan. Bila ditarik garis lurus, akan sejajar dengan Istana Gyeongbokgung yang agung itu. N Seoul Tower itu kurang lebih seperti KL Tower. Kita bisa mengunjungi souvenir shop yang ada di lantai bawah atau sekedar menikmati pemandangan kota Seoul dari observatorium. Jangan khawatir kelaparan, karena disini banyak sekali restoran yang bisa disinggahi di setiap level.
Menuju kesana perlu lima menit berjalan kaki dari pelataran parkir. Kami termasuk pengunjung yang beruntung karena dibolehkan menggunakan bis yang kami tumpangi hingga ke tempat parkir bis. Warga Korea sendiri tidak dibolehkan membawa kendaraan untuk menuju kesana. Sehingga, mereka memarkirkan kendaraannya dahulu sebelum berjalan menanjak yang ditempuh selama kurang lebih satu jam. Agaknya, KL Tower dalam hal ini sedikit lebih baik karena menyediakan shuttle bus dari pick up point di bawah menuju ke tower.
Saya mengalami overexcited sepanjang perjalanan lima menit yang menanjak itu. Beberapa tahun lalu, saya membaca cerita dalam surat seorang kawan @syarafmaulini kepada kekasihnya. Dia mengabadikan cintanya dengan menulis kedua nama mereka dalam gembok yang dikunci. Saya bersyukur bahwa saya tidak akan lama lagi akan mengalami pengalaman yang kurang lebih sama dengannya.
Saya lupa membawa gembok koper yang sudah saya siapkan sebelumnya. Beruntung, toko souvenir itu memang menjual gembok cinta lengkap dengan spidol khusus. Satu paket dijual seharga 8.000 KRW. Menurut catatan beberapa traveler dari negeri kita harga itu cukup mehong alias mahal.
Saya berhasil mengabadikan cinta kita disana. Saya menulis nama kita di gembok itu dan menguncinya. Saya tidak kesulitan mencari tempat untuk menggantungkan gembok harapan itu. Konon, ketika gembok itu terkunci, maka pasangan yang namanya ada di gembok tadi tidak akan terpisah untuk selamanya. Kedengarannya romantis bukan?
Ella yang baik,
Begitulah, surat-surat ini pun telah jadi bagian dari sejarah kita. Sejarah yang akan menembus ruang dan waktu bagi anak cucu kita kelak. Sejarah yang akan menuliskan nama kita disana sebagai suatu kesatuan yang utuh, tak lekang oleh waktu.
Penuh rindu,
Gyeongbokgung-Namsan, 12 Juli 2014.
Sebentar lagi saya pulang, naik Garuda :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar