1 Januari 2015 dimulai dengan sarapan pagi buatan istri tercinta. Sepasang roti bakar srikaya dan secangkir kopi hitam manis cukup untuk menghangatkan badan sehabis mandi. Awal yang bagus untuk memulai hari yang mendung ini. Diluar nampak gerimis. Belum banyak toko-toko yang buka di sekitar Hamilton Road. Kalaupun ada hanya sebuah pujasera di pojokan jalan. Itu pun sepi sekali, hanya ada dua orang tua yang nampak sedang mengobrol.
Kami segera berkemas dan check-out dengan membayar sewa kamar seharga SGD 24, lebih murah sedikit dibandingkan Lofi Inn yang berharga SGD 28 per malam. Kami berjalan kaki menuju stasiun MRT Ferrer Park. Tujuan kami selanjutnya adalah Singapore Zoo yang berada di Mandai Lake Road. Kami segera menuju stasiun Ang Mo Kio untuk transit dan meneruskan ke Zoo naik bis 138.
Sarapan Cinta
Kami tiba di Ang Mo Kio dengan perut yang keroncongan minta diisi. Usai mencari loket pemberangkatan bis 138, kami pun mampir di Subway untuk membeli paket sandwich seharga SGD 5 sebagai bekal untuk nanti di Zoo. Kami juga membeli paket nasi lemak seharga SGD 2. Lumayan untuk sarapan. Isinya cukup lengkap. Nasi lemak plus sambal goreng ikan teri, sambal goreng kentang, dan sambal cabai.
Personally, sarapan nasi lemak ini adalah yang berkesan sepanjang usia pernikahan kami. Saya membagi dua sebungkus nasi ini dan kami saling menyuapi. Sebuah romantisme lokal dalam keramaian stasiun MRT. Kami sengaja membeli satu bungkus saja karena sudah punya bekal untuk di kebun binatang nanti.
Sepenggal Doa Nenek
Selesai sarapan datanglah sebuah keajaiban. Seorang nenek yang sedari tadi duduk disamping saya memberikan sebuah paket makanan. Katanya, ia sedang menunggu temannya namun teman yang ditunggu tidak datang. Paket makanan itu tadi sudah disiapkan untuk temannya. Daripada mubazir, ia memberikan paket itu kepada kami.
Kami terus terang kaget namun mengerti alasan Nenek itu. Ia juga seorang muslim dan tinggal di apartemen seberang stasiun Ang Mo Kio. Ia minta didoakan supaya panjang umur dan terus sehat. Kami pun minta didoakan supaya selamat sampai tujuan hingga kembali ke Bandung. Tidak ada hambatan dalam berkomunikasi karena kami berbicara dalam bahasa Melayu. Nenek tadi pun pergi.
Saya mengecek paket makanan itu. Kurang lebih seperti lumpia goreng berisi seafood (udang dan kerang). Lumayan, kalaupun tidak sempat kami makan bisa jadi untuk oleh-oleh saja sekalian, pikir saya. Saya dan Ella cukup menyadari bahwa paket pemberian Nenek tadi menambah beban dalam perjalanan kami. Kami berharap bisa menemukan solusi untuk paket makanan ini. Entah kami habiskan nanti di hotel setibanya di Johor atau malah kami bawa pulang.
Singapore Zoo
Kami pun segera naik bis 138 bertarif SGD 2,1 per penumpang. Perjalanan dari Ang Mo Kio menuju Singapore Zoo ditempuh selama 20 menit. Pemandangan sepanjang jalan pun cukup menyenangkan. Kita jadi tahu bagaimana Singapura begitu serius dalam mengurus perairan negaranya. Terbukti dari banyaknya dam dan reservoir penampung air. Singapore Zoo sendiri juga terletak di pinggir Mandai Road Lake, sebuah danau.
Gerimis menyambut kami di pelataran Singapore Zoo. Saya dan Ella heran mengapa kami begitu penasaran dengan kebun binatang di negeri orang sedangkan kami pun belum pernah lagi kembali mengunjungi kebun binatang Bandung sejak masuk kuliah.
Singapore Zoo menamai dirinya sebagai ‘The World’s Best Rainforest Zoo’. Oh cmon, you’re kidding me. Yes! Kebun binatang ini adalah taman buatan. Bedanya dengan kebun binatang Bandung yang lebih alami adalah bahwa Singapura sangat serius dalam menyiapkan kebun binatang miliknya. Sepintas, bisa dilihat dari bagaimana mereka mengorganisir paket perjalanan maupun pembelian tiket via laman web mereka. Belum soal desain landscape dan penempatan satwa.
Kami membeli tiket masuk seharga SGD 37 plus tiket Parkhopper SGD 4 sehingga kami membayar masing-masing SGD 41. Saya jadi semakin penasaran dengan fasilitas Singapore Zoo dengan harga tiket sebesar itu.
Well, sisi artifisial dari kebun binatang ini ada di hampir tiap sudutnya. Saya kagum dengan desain kebun binatang disini. Saya yakin mereka juga pasti sangat serius dalam mengurus satwa-satwa yang mendiaminya. Jadwal feeding setiap satwa terlihat jelas di papan informasi sebelum kita masuk kandang mereka.
Cotton-top Tamarin adalah hewan pertama yang kami jumpai. Saya menyempatkan memotret hewan ini. Kami pun berjalan lagi menuju Rainforest Walk sebelum singgah sebentar di kandang Proboscis Monkey. Lima menit lagi adalah jadwal feeding mereka. Saya dan Ella pun menunggu waktu pembagian makan itu. Lima menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda feeding maka kami pun berjalan lagi menuju Tiger Trek untuk menjumpai seekor Harimau Putih yang sedang bersantai. Kami juga menjumpai Pygmy Hippo yang sedang berendam.
Australian Outback jadi tujuan selanjutnya. Bagi pengunjung yang ingin menikmati suasana Australia, saya sangat merekomendasikan untuk mengunjungi lokasi ini. Satwa liar khas Australia ada disini seperti Kangguru Abu-abu dan Wallaby. Satu yang aneh disini bagi saya adalah adanya Burung Kasuari disini. Barangkali, sebelum patahan benua Australia memisahkan diri dari pulau Irian memang habitat kasuari sudah lebih dulu ada disana.
Kami cukup menikmati perjalanan ini. Dari peta yang dibagikan, ada sebuah picnic site tak jauh dari lokasi kami sekarang, Great Rift Valley of Ethiopia dimana tinggal Hamadryas Baboon, Nubuan Ibex, dan Banded Mongoose. Jalanan yang menanjak membuat kami cukup kelelahan. Saya dan Ella pun bergegas menuju Pavilion by The Lake dimana terdapat zona istirahat (picnic site).
Pemandangan disana cukup menyenangkan. Angin berhembus pelan dari danau yang mengelilingi kebun binatang. Danau itu adalah bagian dari Upper Seletar Reservoir. Sebuah dam yang dibuat pemerintah Singapura untuk urusan pengairan dalam negeri. Kami menikmati bekal kami disini.
Sepotong sandwich saya potong jadi dua bagian. Lumayan untuk mengisi perut kami hingga waktu makan siang nanti. Kami harus pandai menghemat air minum karena disini sangat mahal. Rata-rata SGD 1 per satu botol 500 ml. Ada beberapa tempat yang airnya bisa langsung diminum, namun saya tidak mau kompromi dengan urusan higienitas. Saya khawatir akan berpengaruh pada kesehatan selama kami di perjalanan.
|
Singapore Zoo's Parkhopper |
Karena sudah membeli tiket Parkhopper, kami pun mengantri di stasiun 4 dekat tempat piknik. Kami akan menikmati lokasi-lokasi lain dengan kendaraan kereta tarik ini. Saya akui kalau kami sangat kelelahan bila harus mengelilingi kebun binatang dengan berjalan kaki. Kami pun harus menyimpan tenaga karena kami masih harus tiba di Johor sore ini.
Dengan Parkhopper, kami melihat wahana-wahana lainnya. Ada Free Ranging Orang Utan Island yang dipenuhi sekelompok Orang Utan, Wild Africa; yang berisi satwa-satwa liar khas gurun Afrika, ada juga Cat Country, Snake House, Fragile Forest dan area main anak-anak Rainforest Kidzworld. Saya berniat mampir lagi kemari kelak bila anak kami lahir.
Selepas turun dari Parkhopper, lokasi terakhir yang kami kunjungi adalah Frozen Tundra yang jadi tempat tinggal Beruang Kutub, Racoon Dog, dan Wolverine. Yang jelas bukan Wolverine seperti yang diperankan Hugh Jackman. Kami menikmati kelakuan si Polar Bear yang menggemaskan. Ia menceburkan dirinya kedalam kolam yang temperaturnya dibuat sama dengan habitat aslinya di kutub selatan sana.
Puas dengan segala sajian Singapore Zoo,kami pun segera menuju pintu keluar dari menunggu bis 138 lagi yang akan membawa kami kembali ke Ang Mo Kio. Sebenarnya, ada shuttle bus gratis menuju ke Ang Mo Kio namun baru tersedia pukul 13.30. artinya, kami harus menunggu setengah jam lagi. Kami pun akhirnya naik bis 138 yang datang tak lama kemudian.
Kami kembali ke Ang Mo Kio saat waktu makan siang tiba. Saat kami masih bingung mau makan apa, rupanya kios nasi lemak tadi pagi masih buka. Kami pun membeli lagi dua bungkus nasi lemak dan dua botol air mineral. Walaupun kami makan makanan yang sama dengan sarapan, kami merasa lega karena mendapatkan menu dengan harga yang bersahabat.
Kami makan di halaman luar stasiun. Kami tidak sendirian, ada beberapa orang juga yang makan sambil menunggu kereta. Ada juga yang merokok. Kami makan siang ditemani udara siang yang tidak begitu panas karena agak sedikit mendung. Kami menikmati sekali menu makan siang kami di hari pembuka 2015 ini.
Usai makan siang kami segera membeli tiket MRT menuju stasiun Kranji. Mirip dengan nama satu stasiun di daerah Bekasi Barat. Dari Kranji nanti kami akan naik bis tujuan Johor Bahru Sentral (JB Sentral), stasiun kereta antar kota di Johor sana.
Johor Bahru
Setibanya di Kranji, kami langsung menuju tempat pemberhentian bis ke Johor. Tiket bus menuju JB Sentral seharga SGD 1 atau RM 1. Terserah penumpang mau membayar menggunakan mata uang yang mana. Dari Kranji bis melewati Woodlands, yaitu gedung imigrasi Pemerintah Singapura.
Semua penumpang harus turun untuk urusan imigrasi ini. Kunjungan ke Woodlands ini menandai berakhirnya petualangan kami di Singapura hari ini. Kami pun resmi meninggalkan negeri yang telah membesarkan Lee Kuan Yew. Setelah beres urusan cap paspor, kami menunggu bis di lajur pemberangkatan. Saran saya: Jangan lupa nomor trayek bis yang anda naiki. Agar tidak lupa, cek lagi tiket yang diberikan saat keberangkatan di Kranji. Pengemudi bis akan mengecek kembali tiket anda dan anda tidak akan membayar lagi hingga sampai ke JB Sentral.
Johor Bahru-Singapura dihubungan melalui sebuah jalan tol diatas Selat Johor. Perjalanan dari Woodlands menuju JB Sentral hanya memakan waktu 15 menit. Apabila macet, kadang bisa mencapai 1 jam. Johor menjadi salah satu alternatif bagi warga Singapura selain Batam.
Kami pun tiba dengan selamat sentosa di Johor Bahru Sentral. Saya merasakan suatu perbedaan yang cukup signifikan dengan di Singapura. Barangkali, itu cuma perasaan saja. Namun, saya mendapati perasaan yang sama seperti ketika berkunjung ke Kuala Lumpur dua kali tahun lalu.
Ella sudah membooking hotel di Johor ini. Kami sempat berdebat untuk memilih jalan menuju ke Zen Zeng Hotel. Perdebatan mereda di Starbucks JB Sentral (iya, kami perlu wifi gratis!) ketika kami menyimpulkan bahwa jalan dari JB Sentral menuju hotel lumayan jauh (3 km) dan agak ribet. Kami harus naik taksi.
Kami pun naik taksi dan membayar RM 7. Hari sudah mulai senja ketika kami check-in. Hotel yang kami tempati berada di wilayah perniagaan. Artinya, tetangga sebelah kami adalah ruko-ruko dan ada beberapa restoran. Letaknya juga di pinggir rel kereta antar kota. Mungkin, jika tadi kami berjalan kaki mengikuti rel dari JB Sentral, kami akan mudah menemukan hotel ini.
Kami mendapatkan kamar yang lumayan luas untuk ukuran hotel backpacker seharga RM 72 semalam ini (Rp. 250.000,-). Ada jendela mengarah ke bagian belakang hotel dimana terdapat rel kereta. Kamar mandinya pun lumayan, ada shower dan air panas. Tapi, pihak hotel tidak menyediakan air minum di dalam kamar. Pengunjung cukup membawa teko plastik yang disediakan di kamar untuk diisi di lantai 2. Not bad.
Setelah cukup mengistirahatkan diri dan shalat, saya dan Ella pun mencari makan malam. Ada dua restoran khas India di seberang hotel. Satu bernuansa masakan kambing dan satu lagi lebih variatif, Village Restaurant namanya. Ternyata satu grup dengan restoran kambing tadi. Kami memesan dua ayam tandoori berbumbu hijau dan satu lagi ayam spicy.
Kami menghabiskan RM 47 untuk makan malam ini. Artinya, makan malam tadi cukup mahal bila dibandingkan dengan restoran Nasi Kandar Penang langganan saya di Kuala Lumpur dulu. But, it’s absolutely acceptable. Sajian restoran india ini memang tasty. Mungkin itu juga sebabnya kenapa ada stiker Tripadvisor di pintu masuk restoran.
Malam kian meninggi. Suara kereta api terakhir terdengar di JB Sentral. Sementara acara televisi masih membahas soal kecelakaan AirAsia QZ8501. Kami hanya bisa menunggu mata kami terpejam seraya membayangkan apa yang sudah kami lalui sejak di Singapura hingga tiba di Johor Bahru. Sometimes, life left us unanswered, but then life will lead you into something you never imagined before.
Bandung, 2 Januari 2015.