Image Courtesy: www.goodreads.com |
Belum selesai pembacaan buku kumpulan puisi Cak Nun, ‘Seribu Masjid, Satu Jumlahnya: Catatan Tahajud Cinta Seorang Hamba’, saya segera menghampiri toko buku langganan untuk mendapatkan edisi terbaru ‘Mati Ketawa ala Refotnasi: Menyorong Rembulan’. Terus terang, saya tidak ingin ketinggalan satu pun edisi terbaru dari buku-buku Emha. Saya tidak ingin menyesal dan terus penasaran dengan jalan pikiran Cak Nun yang selalu mendekonstruksi cara pikir saya sebelumnya.
To be honest, sebelum benar-benar bisa membaca buku ini, saya masih menduga bahwa buku ini adalah kelanjutan tulisan Emha setelah ‘2,5 Jam di Istana’. Benar saja, ada statement bahwa buku ini merupakan semacam lanjutan dari buku itu. Emha benar-benar turun dan menemani kaum yang dilemahkan dan terpinggirkan untuk senantiasa memperbarui segenap ikhtiar untuk menyikapi keadaan bangsa di era awal reformasi.
Saya jadi teringat pada syair dari lagu “Shalli Wassalim” yang ada di album Emha Ainun Nadjib berjudul “Berhijrah dari Kegelapan”.
Sayang, sayang, sayang, orang hebat tinggi hati...
Omong demokrasi, pidato berapi-api...
Ternyata karena menginginkan kursi...
Sementara rakyat, kerepotan cari nasi...
Entah ada hubungannya atau tidak, antara reformasi dan repot nasi, saya anggap buku ini adalah kesaksian Emha pada suatu masa di republik tercinta ini. Satu kesaksian agar kita mampu berkaca, untuk senantiasa istirahat sejenak, menatap ke dalam diri demi menjawab satu, ribuan, atau bahkan jutaan pertanyaan yang belum selesai. Tentang bagaimana reformasi melanda bangsa ini. Pun, kenapa bangsa yang katanya bangsa yang besar ini jadi kerepotan cari nasi.
*tulisan ini dibuat setelah membeli buku Cak Nun yang terbaru “Mati Ketawa ala Refotnasi” dan membaca artikel dengan judul sama di bagian akhir buku.
Pharmindo, 30 Juli 2016.