Siapa bilang anak orang kaya pasti pintar dan anak orang miskin pasti goblok. Memangnya Tuhan bodoh! Kok bikin aturan begitu! (Si Kembar Bodoh Pintar, hal. 21-22)
Sumber gambar: Goodreads |
Seumur saya membaca Emha saya baru tahu kalau beliau ini pandai meracik kopi. Tidak pernah ada guyonan dalam video-video yang saya tonton lewat YouTube bahwa Cak Nun mampu meracik kopi. Kalau memang begitu, barangkali saya yang terlalu mendenotasikan arti kopi, sehingga kopi yang dimaksud adalah kopi yang biasa kita nikmati. Kopi seduh kental encer manis atau pahit.
Kopi racikan Mbah Nun dalam buku keempatnya yang diterbitkan oleh Mizan ini misalnya, tentu bukanlah kopi sebagaimana yang lazimnya kita nikmati sembari menghirup udara pagi. Kopi racikan Jon Pakir ini adalah kopi yang digiling dengan persoalan-persoalan hidup masyarakat kelas bawah yang diungkapkan lewat bahasa jelata, sederhana, dan jenaka.
Jon Pakir adalah nama yang dipilih sendiri olehnya. Sang Ayah, Masa Kini, membiarkannya untuk menentukan pilihan sendiri. Suatu hal yang tidak umum karena negara sebesar ini pun ternyata tidak mampu memilih jalannya sendiri. Sila pembaca menafsir sendiri arti dari Jon Pakir, apakah ada kaitannya dengan 'fakir' yang asli bahasa Arab itu atau hanya nama serapan belaka yang dilafalkan oleh orang Sunda. Silakan. Yang jelas, pembaca tidak akan pernah tahu apa hubungan Jon Pakir dengan Cak Markesot.
Keterlibatan Emha yang intens dengan mereka itulah yang membuat esai-esainya tampak hidup, bergairah, dan mewakili perasaan kita yang sesama kelas masyarakat yang terpinggirkan. Emha tampak asyik membuat si Jon Pakir menertawakan dirinya sendiri maupun dalam menghadapi surat-surat pembaca yang memberi kritik padanya.
Kumpulan esai santai ini adalah tulisan-tulisan Emha yang diterbitkan oleh 'Masa Kini', sebuah surat kabar daerah di Yogyakarta. Buku ini menghimpun segenap ide Emha pada rentang waktu 17 Juni 1987 hingga 22 Juli 1988. Maka dari itu, kiranya pembaca yang budiman mungkin akan mengalami kesulitan tatkala menerka-nerka subjek apakah yang menjadi pembahasan Emha. Namun, tidak menutup kemungkinan lain bahwa hal-hal yang sudah usang menjelang usainya dekade 80-an tetap aktual hingga saat ini. Hingga saat buku ini diterbitkan kembali dengan format yang baru.
Untuk itu, apabila pembaca yang budiman ingin menarik simpulan atau hipotesis sementara mengenai keadaan masyarakat negeri ini pada akhir dekade 1980-an dan menjelang akhir dekade 2010-an, buku ini membuka peluang ke arah sana. Sila pembaca menafsirkan sendiri pola-pola yang digunakan penguasa untuk memantapkan kekuasaannya.
Saya mencatat satu kutipan dari satu artikel Jon Pakir:
Silakan berbuat jahat, korupsi, mentang-mentang, ber-adigang adigung adiguna, tetapi begitu kita makin terseret ke dekat liang kubur: kita cenderung makin religius. Makin tahu apa yang asli pada hidup ini, apa yang inti dan yang paling kita butuhkan. (Grup Tahlilan Sewaan, hal. 219-220)
Kutipan diatas seakan ingin menegaskan bahwa kita ini memang tidak pernah tahu apa yang kita tuju dalam hidup ini. Sehingga kadang segala macam tindak tanduk kita tidak pernah sesuai dengan kemauan Tuhan. Padahal Tuhan sudah bermurah hati dengan membiarkan kita menghirup oksigen setiap pagi. Gratis!
Saya sangat menikmati kumpulan tulisan Emha yang kesekian ini. Tulisannya mudah dicerna, maknanya jelas, dan tidak perlu repot-repot berpikir soal konteks atau lain-lainnya. Aktualitas buku ini masih terasa benar dengan kondisi Republik yang semakin buta mana utara mana selatan. Sementara itu, silakan nikmati Kopi Jawa, Kopi Brasil, Kopi Sekuler, Kopi Masa Kini, Kopi bikinan Jon Pakir....
Judul : Secangkir Kopi Jon Pakir
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Penerbit Mizan Pustaka
Tahun : 2016
Tebal : 348 hal.
Genre : Esai-Sosial Budaya
Cipayung, 23 Februari 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar